Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum perdata

Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum perdata

Penulisan Hukum (SKRIPSI)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Muh Rasyid Ridha

E.0005224

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu dibentuklah berbagai peraturan hukum yang mengatur berbagai hal yang terjadi sepanjang kehidupan manusia yaitu sejak lahir hingga kemudian kematian merenggutnya. Mengenai hal ini secara eksplisit terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara butir 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara RI.

Tuhan menciptakan manusia ini saling berpasang-pasangan dengan tujuan agar manusia itu sendiri merasa tenteram dan nyaman serta untuk mendapatkan keturunan demi kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia membentuk sebuah lembaga perkawinan. Di Indonesia sendiri perkawinan adalah sesuatu hal yang sakral dan agung. Dengan adanya perkawinan tersebut maka diharapkan dapat membentuk sebuah keluarga yang sejahtera, karena di dalam keluarga dapat menciptakan generasi yang sehat lahir dan bathin. Generasi yang sehat itu nantinya akan dapat menciptakan sumber daya manusia yang tangguh dan handal sehingga dapat memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup keluarga serta peraturan hukum yang tegas tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan usaha untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan melindungi nasab. Namun terkadang perlindungan tersebut seringkali ternoda dengan adanya suatu perzinaan atau hubungan diluar nikah. Seringkali hubungan tersebut menghasilkan suatu keturunan yang tidak sah yang tentunya keturunan yang dari Perkawinan merupakan usaha untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan melindungi nasab. Namun terkadang perlindungan tersebut seringkali ternoda dengan adanya suatu perzinaan atau hubungan diluar nikah. Seringkali hubungan tersebut menghasilkan suatu keturunan yang tidak sah yang tentunya keturunan yang dari

Dengan perkembangan jaman yang sangat cepat ternyata mempunyai pengaruh terhadap pergaulan para muda-mudi yang saat ini mempunyai pergaulan yang luas dan cenderung bebas. Pergaulan-pergaulan tersebut sering kali membawa pada hal- hal yang negatif yang tidak sesuai dengan norma orang timur. Norma-norma agama dan hukum sudah tidak ditaati lagi, bahkan tidak jarang ada yang melahirkan anak yang disebabkan karena hubungan yang terlalu bebas diantara muda-mudi tersebut.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum di bidang Perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu (Erman Suparman, 2005: 9).

Hukum waris Indonesia masih bersifat plutralistik artinya belum ada kesatuan (kodifikasi) hukum waris yang dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap Hukum waris Indonesia masih bersifat plutralistik artinya belum ada kesatuan (kodifikasi) hukum waris yang dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap

Dari ketiga sistem hukum yang mengatur tentang waris tersebut tentunya mempunyai sumber hukum yang berbeda antar satu dengan yang lain. Waris Islam yang berasal dari hukum Islam tentunya mempunyai sumber hukum pokok yang sama dengan sumber hukum Islam itu sendiri sehingga hukum waris Islam sendiri bersumber dari Al-Qur`an, Hadits dan Ijtihad. Sedangkan dalam hukum Perdata bersumber dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari ketiga sistem hukum warisan tersebut diatas maka hanya hukum waris Islam dan hukum waris Perdatalah yang sudah mengatur secara terperinci mengenai bagian-bagian yang diterima oleh setiap ahli waris. Hal ini dapat kita lihat dalam terdapatnya aturan yang mengatur secara jelas dan terperinci yang mengatur tentang warisan, dalam hukum Perdata hukum kewarisan diatur dalam buku ke II Kitap Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan dalam hukum Islam Al-Qur`an pun telah mengaturnya yakni dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12 serta dalam surat Al-Anfal ayat 75. Sedangkan dalam hukum waris adat karena merupakan bagian dari hukum adat yang mana hukum adat yang terdapat di Indonesia saling berbeda- beda antara satu dengan yang lain maka pengaturan terhadap pembagian warisan pun juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain yang didasarkan pada sistem Dari ketiga sistem hukum warisan tersebut diatas maka hanya hukum waris Islam dan hukum waris Perdatalah yang sudah mengatur secara terperinci mengenai bagian-bagian yang diterima oleh setiap ahli waris. Hal ini dapat kita lihat dalam terdapatnya aturan yang mengatur secara jelas dan terperinci yang mengatur tentang warisan, dalam hukum Perdata hukum kewarisan diatur dalam buku ke II Kitap Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan dalam hukum Islam Al-Qur`an pun telah mengaturnya yakni dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12 serta dalam surat Al-Anfal ayat 75. Sedangkan dalam hukum waris adat karena merupakan bagian dari hukum adat yang mana hukum adat yang terdapat di Indonesia saling berbeda- beda antara satu dengan yang lain maka pengaturan terhadap pembagian warisan pun juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain yang didasarkan pada sistem

Dalam sistem kewarisan di Indonesia anak mempunyai kedudukan yang diutamakan dibandingkan ahli waris yang lain baik itu menurut sistem hukum Islam, Perdata ataupun hukum adat oleh karena mereka pada hakekatnya merupakan satu- satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si pewaris meninggalkan anak (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 33). Namun dalam hal suatu warisan dapat terjadi konflik apabila terdapat anak luar kawin yang dapat menjadi ahli waris. Hal ini dapat menjadi konflik mengingat bahwa anak luar kawin tersebut juga merupakan anak biologis dari orangtuanya walaupun anak luar kawin tersebut dihasilkan saat keduanya tidak sedang terikat secara sah menurut hukum perkawinan yang berlaku. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekuensi dalam bidang perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan Perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Mengingat antara anak sah dan tidak sah (anak luar kawin) yang menjadi perbedaan adalah mengenai konsekuensinya terhadap hukum yang berhubungan antara orangtua dengan anaknya. Bukan dalam hak-hak sipil (untuk hak-hak sipilnya, tetap bisa di dapat apabila, ibu bisa mendapatkan akta kelahiran sianak walaupun di luar nikah, terhadap si anak dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil setempat). Ketidakjelasan status si anak luar kawin di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Oleh karena itu sudah menjadi hak bagi si anak luar kawin untuk menuntut hak dalam mendapatkan warisan dari orangtua biologisnya.

Dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata telah diatur mengenai warisan bagi anak luar kawin secara berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh hukum waris Islam dan hukum waris Perdata yang tentunya bersendikan terhadap keadilan. Oleh karena itu untuk memberikan gambaran terhadap keadilan terhadap pembagian warisan terhadap anak luar kawin maka perlulah diadakan penelitian mengenai hal tersebut.

Sehubungan dengan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian dalam rangka penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI WARISAN ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA”

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata?

2. Bagaimanakah pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata?

3. Bagaimanakah penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya tujuan tersebut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata.

b. Untuk mengetahui pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum waris Islam dan hukum waris Perdata.

c. Untuk Mengetahui penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum Perdata

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk mengetahui dan memperluas pengetahuan, pengalaman serta pemahaman penulis tentang warisan anak luar kawin menurut hukum Islam waris dan hukum waris Perdata

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum waris Islam dan hukum waris Perdata a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum waris Islam dan hukum waris Perdata

2. Manfaat Praktis

a. Memberi jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai aspek hukumnya, baik dari hukum Perdata maupun hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai perspektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud, 2006: 35).

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud.

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji,

Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono Soekanto 2007:13-14):

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal

d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam tipe

penelitian perbandingan hukum, yaitu perbandingan waris anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Kedua jenis hukum ini diperbandingkan karena berasal dari dua rumpun sistem hukum yang berbeda.

2. Sifat Penelitian Menurut Holland dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud

Marzuki ruang lingkup perbandingan hukum terbatas pada penyelidikan secara deskriptif (Peter Mahmud Marzuki: 2006: 132):

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud Sedangkan menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud

Merujuk pada hal tersebut maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian normatif yang bersifat deskriptif karena menggambarkan secara detail tentang pengaturan warisan bagi anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata.

3. Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen publik

dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan warisan terhadap anak luar kawin. Disamping jenis data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku- buku referensi, internet dan media massa yang mengulas tentang warisan anak luar kawin.

4. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan

perbadingan yang dilakukan dengan membandingkan sistem hukum Islam dan Perdata dalam hal pengaturan warisan bagi anak luar kawin. Menurut Gutteridge yang dikutip dari buku karangan Peter Mahmud Marzuki “perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum”( Peter Mahmud Marzuki: 2006, 132).

5. Sumber Data Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu

penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records) . Dalam bukunya Soejono Soekanto bahwa sumber hukum sekender dalam bidang hukum dibagi menjadi tiga yakni:

a. Bahan hukum Primer adalah sumber hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

2) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan MPR

3) Peraturan perundang-undangan

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf

b) Peraturan pemerintah dan pearturan yang setaraf

c) Keputusan presiden dan peraturan yang setaraf

d) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf

e) Peraturan-peraturan daerah

4) Bahan hukum tidak terkodifikasi

5) Yurisprudensi

6) Traktat

7) Bahan hukum dari zaman kolonial yang sampai sekarang masing digunakan yakni KUHPerdata 7) Bahan hukum dari zaman kolonial yang sampai sekarang masing digunakan yakni KUHPerdata

1) Rancangan peraturan perundang-undangan

2) Hasil karya ilmiah para sarjana

3) Hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya kamus, ensiklopedia hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

Sedangkan sumber hukum Islam dengan mengacu pada pendapat dari Soerjono Soekanto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bahan hukum Primer bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Al-Qur`an Adalah sumber hukum Islam yang utama. Didalamnya termuat aturan-

aturan hukum dasar yang masih harus dikembangkan dan diteliti lagi. Al- Qur`an sebagi sumber hukum utama bagi umat Islam terdiri dari 30 juz, 114 surat, dan 6666 ayat

2) Al-Hadits Al-hadits merupakan sumber hukum paling utama kedua setelah Al-

Qur`an, didalam As-Sunnah terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Al- Qur`an.

3) Kompilasi Hukum Islam 3) Kompilasi Hukum Islam

primer. Dalam hukum Islam hal ini dapat dicontohkan yakni pendapat para sahabat dan ulama, mazhab-mazhab, serta hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya kamus, ensiklopedia hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

6. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara

pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

7. Teknik Analisis Data Penulis akan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu

teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah (bahan hukum). Menurut Ole R. Holsti sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, content analysis sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara sistematik dan obyektif karakteristik- karakteristik khusus ke dalam sebuah teknik (Oleh R. Holsti dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22).

Dalam penulisan hukum ini penulis berusaha untuk mendiskripsikan isi dari peraturan, mengidentifikasikan, dan mengkompilasikan data-data terkait dengan warisan anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum Perdata yang disesuaikan dengan alur pikiran sehingga dapat ditemukan suatu hubungan yang mengarah pada pembahasan yang dapat menghasikan kesimpulan.

F. Sistematika Penelitian

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan tentang hukum, tinjauan tentang hukum Islam, dan tinjauan tentang hukum perdata, serta berisi kerangka pemikiran penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah

ditentukan sebelumnya yakni mengenai bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata serta bagaimanakah pembagian ditentukan sebelumnya yakni mengenai bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata serta bagaimanakah pembagian

BAB IV PENUTUP Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek

penelitian dan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum

a. Pengertian Hukum Manusia secara kodratnya selalu membutuhkan manusia lain untuk bisa

terus hidup dengan alasan tersebut Aristoteles menyatakan manusia itu adalah Zoon Politicon . Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain tersebut maka manusia perlu adanya suatu aturan yang mengatur terhadap hubungan tersebut yang memberikan kepada manusia bagaimana ia harus bertindak dan bertingkah laku didalam masyarakat. Maka dari itu dibentuklah norma hukum

yang mengatur tentang perilaku manusia dalam hubungan masyarakat. Hukum merupakan salah satu norma dari ke empat norma yang lain paling ditaati oleh masyarakat, mengingat hanya norma hukumlah yang mempunyai daya paksa yang dapat diberlakukan secara riil kepada masyarakat.

Banyak pendapat dari ahli hukum yang memberikan pengertian tentang hukum diantaranya:

Plato memberikan pengertian hukum sebagai sistem peraturan- peraturan yang teratur yang tersusun baik yang mengikat masyarakat. Menurut Aristoteles hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tapi juga hakim. M.H. Tirtaamidjata hukum adalah semua aturan yang harus diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan anacaman mesti mengganti kerugian bila melanggar itu yang akan membahayakan diri sendiri, atau harta,umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaanya, didenda, atau sebagainya (Ishaq: 2008, 2-3).

Mengenai tujuan hukum dalam rangka mengatur kehidupan masyarakat yakni hukum secara garis besar ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang tujuan hukum (Ishaq: 2008, 8-9):

1) Teori Etis Teori beranggapan hukum ditempatkan pada perwujudan keadilan yang

semaksimal mungkin dalam tata tertip masyarakat, dalam arti kata hukum semata-mata hanya bertujuan keadilan. Keadilan berarti pemeliharaan tata hukum positif melalui penerapannya yang betul-betul sesuai dengan jiwa dari tata hukum tersebut.

2) Teori Utilitis Tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

bagi kepada manusia. Hal ini dilatarbelakangi karena hukum barulah sesuai dengan daya guna atau bermanfaat apabila telah memberikan kebahagian tanpa harus mempedulikan keadilan.

3) Teori gabungan Teori tujuan hukum ini merupakan gabungan dari teori utilitis dan teori etis

sehingga hukum bertujuan untuk memberikan kebahagiaan yang disertai dengan keadilan.

Hukum bekerja dengan cara membatasi tingkah laku manusia, maka dari itu untuk menjalankannya diperlukan fungsi dari hukum itu sendiri, yakni (Ishaq: 2008, 11):

1) Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku;

2) Pengawasan atau pengendalian sosial;

3) Rekayasa sosial;

4) Penyelesaian sengketa.

b. Hukum dan keadilan Keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang

sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut kejahatan maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana

(Wahyu Kuncoro, http://advokatku.blogspot.com/2006/11/memaknai-keadilan-dalam- hukum_07.html, diakses tanggal 2 februari 2009, 07.30 WIB). Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma- norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan.

2. Tinjauan Tentang Hukum Islam

a Tinjauan hukum Islam

1) Ruang Lingkup Hukum Islam

Islam merupakan ajaran Allah SWT yang mengatur seluruh bidang kehidupan manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Salah satu bidang yang diatur adalah hukum. Hukum Islam mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum-hukum lain yang ada di dalam masyarakat. Menurut pendapat Abu Ishaq as Satibi yang dikutip dari buku karangan M. Daud Ali tujuan hukum Islam adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan terpeliharanya kelima tujuan tersebut, manusia akan mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat (M. Daud Ali, 1998:192). Membicarakan tentang hukum Islam, tidak terlepas dari beberapa hal diantaranya pembahasan mengenai sumber hukum Islam, asas-asas, lingkup masalah atau pembidangan dalam hukum Islam.

a) Sumber Hukum Islam Validitas yang khas dari hukum Islam adalah bahwa ia menjadi

manifestasi kehendak Tuhan, yang pada waktu tertentu dalam sejarah, mengungkapkannya kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW karena itu, hukum Islam tidak menyandarkan diri pada otoritas pembuat hukum duniawi manapun. Sumber hukum Islam disamping Al-Qur’an adalah ketetapan-ketetapan Nabi SAW yang merefleksikan penerapan aturan-aturan, prinsip-prinsip dan perintah-perintah yang sudah dikemukakan dalam Al-Qur’an.

Sumber Hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Mengenai sumber hukum Islam, ada beberapa pendapat dikalangan para ulama. Menurut Muaz bin Jabal sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Al Hadits, dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad (Ar Ra’yu). Sedangkan menurut Imam Syafi’i dalam kitab Al Risalah, sumber hukum Islam ada empat yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits,

Ijma’, dan Qiyas. Dari dua pendapat mengenai sumber hukum Islam dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar Ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (M. Daud Ali, 2002:71-75).

(1) Al Qur’an Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama.

pada garis besarnya Al Qur’an menjelaskan berbagai aspek kehidupan manusia, baik behubungan manusia dengan Tuhannya atau hubungan manusia dengan manusia atau dengan makhluk tuhan yang lain. Soal-soal pengaturan tersebut berkenaan dengan akidah, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, berita tentang zaman yang akan datang, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

(2) As Sunnah atau Al Hadits As Sunnah atau Al Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua

setelah Al Qur’an, yaitu berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam atau ketetapan (sunnah taqririyah) Rasulullah.

(3) Akal pikiran (Ra’yu) Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia

yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan

(a) Ijma’ (konsensus) yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa atau dapat dikatakan juga sebagai persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat- ayat (hukum) tertentu dalam Al-Qur’an;

(b) Qiyas (deduksi analogi) artinya penalaran secara analogis, dengan menggunakan analogi-analogi masa lalu dan keputusan-keputusan yang dihasilkannya menjadi preseden dari setiap situasi baru, atau juga diartikan dengan menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah atau Hadits dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan Sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasan). Dalam aplikasi qiyas meliputi perbandingan antara dua hal dengan maksud menilai suatu hal dari sudut pandang hal lainnya;

(c) Isti’dal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan, misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam;

(d) Al masalih mursalah yaitu cara menemukan hukum tentang suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an (d) Al masalih mursalah yaitu cara menemukan hukum tentang suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an

(e) Istihsan yaitu cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial;

(f) Istihsab yaitu menetapkan hukum tentang suatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya;

(g) Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan dan berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

b) Asas-Asas Hukum Islam Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan

hukum lainnya. Sehingga ada aspek-aspek dan asas-asas yang harus dipenuhi yang menjadikan ciri khasnya. Apabila kata asas dihubungkan dengan hukum, maka yang dimaknai asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dalam garis besar mengenai asas hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga yaitu (M. Daud Ali, 1998:115-116):

(1) Asas-asas umum Asas umum adalah asas yang meliputi semua bidang dan segala

lapangan hukum Islam yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

(2) Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain

legalitas, larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dan praduga tidak bersalah.

(3) Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain

kebolehan atau mubah, kemaslahatan, kebebasan dan kesukarelaan, menolak mudharat dan mengambil manfaat, kebajikan, kekeluargaan, adil dan berimbang, mendahulukan kewajiban daripada hak, larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, kemampuan berbuat, kebebasan berusaha, mendapatkan hak karena usaha dan jasa, perlindungan hak, hak milik berfungsi sosial, beritikad baik, risiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja, mengatur sebagai petunjuk, dan perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

c) Lingkup Masalah Hukum Islam Dari segi materi lingkup masalah, hukum Islam mencakup

hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, hukum ini tidak terdapat pada hukum positif yang lain. Sedangkan hukum muamalah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, benda dan alam semesta mencakup bidang tentang hukum keluarga, pidana, acara, ketatanegaraan, hubungan antar negara, serta ekonomi dan perdagangan.

Waris dalam Islam di kenal dengan Fardh secara syar'ie adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Dalam Islam kedudukan ilmu waris sangatlah tinggi oleh karena terdapat Hadits Nabi SAW Dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW (Sayyid Sabiq, 1986: 2):

Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan seorang yang memberitahukannya kepada keduanya.

1) Dasar atau sumber hukum waris Islam Seperti halnya dalam hukum Islam sumber waris Islam juga

bersumber pada Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar Ra’yu ) manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Adapun sumber waris Islam adalah (Ahmad Azhar, 1999: 11)::

a) Al Qur’an Sebagai sumber hukum waris yang utama ada beberapa ayat-ayat Al-

Qur`an yang mengatur tentang pembagian warisan terdapat dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 176 serta dalam surat Al-Anfal ayat 75 yang dalam ayat-ayat tersebut disebutkan secara terperinci mengenai bagian yang diterima dari ahli waris.

b) Sunnah Muhammad Rasulullah S.A.W Walaupun dalam Al-Qur`an telah disebutkan mengenai bagian-bagian

ahli waris secara lengkap namun dalam Sunnah Rasul SAW juga disebutkan tentang bagian-bagian ahli waris diantaranya hadits riwayat Bukhari dan Muslim “mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang ahli waris secara lengkap namun dalam Sunnah Rasul SAW juga disebutkan tentang bagian-bagian ahli waris diantaranya hadits riwayat Bukhari dan Muslim “mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang

c) Ijtihad Dalam hal-hal tertentu terdapat suatu masalah dalam waris yang tidak

terperincikan dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Hadits maka dari itu sudah menjadi tugas manusia untuk menggunakan akal pikirannya untuk berijtihad. Contoh ijtihad dalam waris adalah mengenai bagian dari seorang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi lalu kepada siapa sisa tersebut diberikan.

2) Asas kewarisan Islam Sebagai hukum yang bersumber dari Al Qur’an, As Sunnah atau

Hadits hukum kewarisan Islam mengandung asas yang berlaku dalam waris Islam tersebut. Asas hukum waris Islam sendiri berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh penerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu peralihan harta warisan tersebut. Kelima asas tersebut adalah (Amir Syarifuddin, 2004: 16):

a) Asas Ijbari Penggunaan akan asas ini mengadung pengertian bahwa peralihan

harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung pada kehendak dari pewarisan atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan asas ini pewaris sebelum ia meninggal ia tidak dapat menolak, peralihan harta tersebut apapun kemauan dari pewaris harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung pada kehendak dari pewarisan atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan asas ini pewaris sebelum ia meninggal ia tidak dapat menolak, peralihan harta tersebut apapun kemauan dari pewaris

b) Asas Bilateral Mengandung pengertian bahwa harta warisan beralih kepada atau

melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat keturunan laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Yang menjadi dasar asas bilateral ini adalah firman Allah SWT dalam surat An- Nisa` ayat

c) Asas Individu Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan

arti bahwa harta warisan dapat dibagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa harus terikat dengan ahli waris lain. Menghilangkan bentuk individualnya dengan jalan mencampuradukan harta warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu bersifat kolektif maka hal ini berarti telah menyalahi ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan pelakunya terkena sanksi yakni dosa besar;

d) Asas Keadilan Berimbang Dalam kewarisan hukum Islam asas keadilan berimbang ini dapat

terlihat dalam pewarisan Islam perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang tidak terdapat kesamaan hal itu menurut Islam bukan tidak adil melainkan dalam Islam keadilan tidak terlihat dalam pewarisan Islam perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang tidak terdapat kesamaan hal itu menurut Islam bukan tidak adil melainkan dalam Islam keadilan tidak

e) Asas Semata Akibat Kematian Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam hukum Islam hanya

mengenal pewarisan yang didasarkan pada akibat kematian atau dalam hukum Perdata disebut sebagai pewarisan ab intestato dan dalam Islam tidak dikenal pewarisan karena wasiat yang dilakukan oleh pewaris sebelum meninggal. Karena dalam Islam wasiat merupakan lembaga yang berdiri sendiri dan terpisah dengan waris.

3) Syarat dan sebab mendapat warisan Dalam Islam syarat waris haruslah dipenuhi untuk dapat

dilaksanakannya suatu pewarisan. Syarat-syarat waris juga ada tiga:

a) Pertama: Meninggalnya pewaris yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya;

b) Kedua: Masih hidupnya para ahli waris maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi; b) Kedua: Masih hidupnya para ahli waris maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi;

selain adanya syarat ada pula sebab seseorang mendapatkan warisan. Dan empat sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

a) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orangtua, anak, saudara, paman, dan seterusnya;

b) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris;

c) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan;

d) Tujuan Islam, yaitu dengan menampung harta warisan yang tidak terdapat ahli warisnya di Baitul Mal yang akan digunakan untuk kesejahteraan umat.

Sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli waris sehingga akan menjadi miliknya terlebih dahulu harus dilaksanakan hak- hak yang menyangkut harta pewarisan tersebut baik si pewaris mempunyai hutang ataupun sebab lain. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan. Hak-hak tersebut menurut tertib berikut (Ahmad Azhar, 1999: 11):

a) Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur dalam masalah jenazah;

b) Melunasi hutangnya. mendahulukan hutang kepada Allah SWT seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Dengan diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris;

c) Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar;

d) Pembagian sisa harta di antara para ahli waris.

4) Penggolongan Ahli Waris Ahli waris menurut haknya dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga

golongan yakni: golongan yakni:

yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi SAW, keistimewaan dari Ahli waris dzawil furudl bagian mereka akan selalu tetap dan tidak akan berubah-ubah. Bagian tertentu yang telah diatur tersebut ialah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Adapun yang termasuk kedalam Ahli waris dzawil furudl adalah:

(1) Suami (2) Istri (3) Ayah (4) Ibu (5) Anak perempuan (6) Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (7) Saudara perempuan kandung (8) Saudara perempuan seayah (9) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

(10) Kakek (11) Nenek

b) Ahli waris `ashabah Mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhaabul Furuudh

mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka

('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, `ashobah di bagi menjadi tiga yakni:

(1) `Ashabah binafsihi yaitu `ashabah-`ashabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya adalah: Anak laki-laki; Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki; Ayah; Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah; Saudara laki-laki sekandung; Saudara laki- laki seayah; Anak saudara laki-laki sekandung; Anak saudara laki- laki seayah; paman yang sekandung dengan ayah; Paman yang seayah dengan ayah; Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah; Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

(2) `Ashabah bilghairi yaitu `ashabah dengan sebab ditarik oleh orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi `ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam `ashabah bilghairi ada empat wanita yang fardh mereka ½ bila tunggal dan 2/3 bila lebih dari satu orang, meraka adalah anak perempuan kandung, cucu perempuan pacer laki-laki, saudari sekandung, saudari tunggal ayah. Apabila salah satu perempuan-perempuan yang tersebut bersama-sama dengan seorang mu`ashshibnya- binnafsinya yang sama derajadnya dan kekuatan kekerabatannya, ia menjadi `Ashabah bilghairi. Ia bersama-sama dengan mu`ashshibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashhabul- furudh atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashhabul- furudh dengan ketentuan orang yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari orang perempuuan

(3) Ashabah ma’al ghairi yaitu `ashabah yang berkedudukan menjadi waris `ashobah karena bersama-sama dengan waris lain, seperti saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris `ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan. 'Ashabah ma'al ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya akan menjadi 'ashabah.

c) Ahli waris dzawil arham Yakni ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan pewaris

tetapi tidak termasuk kedalam golongan waris dzawil furudl dan `ashabah, yang termasuk kedalam golongan ini antara lain: cucu laki- laki atau perempuan anak-anak dari anak perempuan, kemenakan, paman seibu, paman, kakek, nenek buyut.

Walaupun seorang yang berkedudukan sebagai ahli waris namun ada kalanya ia dapat kehilangan haknya sebagai ahli waris dikarenakan tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian waris dari pewaris. Hal tersebut bisa ditentukan karena beberapa penyebab, yaitu:

1) Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang dibunuhnya;

2) Orang yang berbeda agama atau orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya;

3) Menjadi budak orang lain, budak itu dianggap tidak memiliki sesuatu oleh karenanya tidak boleh mewaris.

Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya.

Dalam hal apabila tidak terdapat ahli waris yang akan mewaris terhadap harta warisan entah itu meminggal dunia lebih dahulu sebelum pewaris, maka harta tersebut akan beralih ke Baitul Mal yakni perbendaharaan negara tempat menampung harta benda kepentingan umum yang akan dibelanjakan untuk kepentingan umum.

Didalam hukum waris Islam anak dalam mewaris mempunyai kedudukan yang paling utama diantara golongan ahli waris yang lain. Anak dalam Islam dapat dibagi menjadi dua golongan yakni anak syar`iy dan thabi`iy . Dinamakan syar`iy karena agama telah menetapkan adanya hubungan nasab antara orang tua laki-laki dan perempuan melalui perkawinan, sedangkan yang dinamakan dengan anak thabi`iy adalah secara hukum dianggap tidak memiliki nasab dengan orang tua laki-lakinya karena anak tersebut lahir tidak dalam perkawinan yang sah.

Seorang anak dapat dikatakan sebagai anak anak syar`iy yaitu:

1) Anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh suami istri dari perkawinan yang sah. Sehingga anak yang dilahirkan tersebut sah secara undang-undang dan agama karena dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agama dan undang-undang. Dalam hal ini mengandung dua kemungkinan yang pertama yaitu anak yang lahir setelah terjadi akad nikah yang sah dan kemudian dalam perkawinan tersebut atau selam perkawinan 1) Anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh suami istri dari perkawinan yang sah. Sehingga anak yang dilahirkan tersebut sah secara undang-undang dan agama karena dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agama dan undang-undang. Dalam hal ini mengandung dua kemungkinan yang pertama yaitu anak yang lahir setelah terjadi akad nikah yang sah dan kemudian dalam perkawinan tersebut atau selam perkawinan

2) Anak tersebut adalah anak yang merupakan hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dengan adanya teknologi seperti jaman sekarang yang serba maju hal tersebut dapat dilakukan dengan bayi tabung.

Sedangkan anak yang disebut sebagai anak thabi`iy adalah anak luar kawin yang dianggap sebagai anak zina dari orang tuanya. Sehingga ada dua kelompok anak luar kawin dalam hukum Islam yakni anak zina dan anak li'an. Dengan mana kedua anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya tapi hanya kepada ibunya.

Dalam hal anak thabi`iy mereka tidak bisa mewaris terhadap ayah kandungnya, hal ini dikarenakan anak thabi`iy hanya bisa dinasabkan kepada jalur ibunya.

3. Tinjauan Hukum Perdata

a Ruang lingkup hukum Perdata Hukum Perdata mempunyai pengertian yakni segala peraturan hukum

yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dan yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum Perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum Perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dan yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum Perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum Perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda

Dokumen yang terkait

Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

1 1 109

Studi perubahan kualitas tanah di kawasan Lereng Gunungapi Sindoro bagian timur

0 0 48

NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA (Tinjauan Struktural dan Nilai Pendidikan)

3 27 124

PENGGUNAAN MEDIA DAN KESENJANGAN KEPUASAN (Studi Tentang Tayangan Berita Liputan 6 Petang di SCTV dan Program Reportase Sore di Trans TV terhadap Kepuasan Menonton Siaran Berita Televisi dalam Usaha Mendapatkan Informasi yang Aktual di Kalangan Anggota DP

0 0 75

Analisis Perbandingan Return dan Risiko Pemegang Saham Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi

0 0 115

PEMASARAN POLITIK (POLITICAL MARKETING) PARTAI GOLONGAN KARYA DAN PARTAI DEMOKRAT (Studi Tentang Perbandingan Pemasaran Politik Partai Golkar dan Partai Demokrat Dalam Rangka Menarik Massa Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 di Daerah Pilihan II Kab

0 0 150

1 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Sekolah Menengah Internasional di Jakarta Dengan Penekanan Pada Green Architecture TUGAS AKHIR - Konsep perencanaan dan perancangan Sekolah Menengah Internasional di Jakarta dengan penekanan pada green architecture

4 17 55

Studi Kerajinan Batik Tulis “Puri” Desa Cokrokembang Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Pacitan Periode 2004 – 2008

0 0 71

ANALISIS TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA HOTEL TERHADAP BARANG MILIK PENYEWA ARCADE ( Studi di Hotel Sahid Kusuma Surakarta)

0 1 66

Pelaksanaan payment point online bank (ppob) di PT. PLN (persero) area pelayanan dan jaringan Surakarta

1 1 112