Prolog Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan

Pra Isu
Metodologi
Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan
Internasional
Yohanes Sulaiman
Pendahuluan
Merujuk karya Imre Lakatos “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes”, ada tiga landasan epistemologi yang
dijadikan pijakan oleh Mohtar Mas’oed ketika membuat buku pegangan Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, yaitu “Apa
yang kita ketahui?” (yang disimpan dalam bentuk teori); “Bagaimana
kita tahu itu?” (pembahasan tentang metodologi); dan “Dengan cara
apa kita tahu itu?” (teknik atau metode).1
Meski tulisan ini tidak hendak mengulas landasan Epistemologi
Lakatosian secara keseluruhan, namun landasan yang pertama yaitu
“Apa yang kita ketahui?” (yang disimpan dalam bentuk teori), akan
dibahas secara rinci pada bagian pra isu metodologi buku ini.
Sebelum masuk kepada isu yang menjadi bahasan utama buku ini
yaitu metodologi, penulis ingin menyegarkan para akademisi HI untuk
mengingat kembali perjalanan pengembangan teori dalam ilmu HI.
Untuk mempermudah pemahaman, penulis akan membagi sistematika tulisan ini menjadi lima bagian yang saling terkait: 1. Mengenal
Teori; 2. Mendebat Teori: Masalah Asumsi Dasar; 3. Mendebat Teori:

Observasi Fenomena; 4. Mendebat Teori: Evaluasi Pentingnya Teori;
5. Mendebat Teori: Kemampuan Prediksi.
Mengenal Teori
Teori merupakan tahapan terpenting dalam metodologi ilmu pengetahuan. Karl Popper dalam mahakaryanya, The Logic of Scientific
1
Lihat Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES,
1990), h. 2-3.

1

Discovery menyatakan bahwa logika ilmu pengetahuan adalah teori
tentang teori dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang apapun.
Perdebatan tentang teorilah yang menyebabkan teori itu berkembang
sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.2
Perdebatan selanjutnya adalah pentingnya teori bagi ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya dalam perdebatan ilmu pengetahuan
itu terdapat ilmuwan yang mencoba menginterpretasikan fakta dan
hubungan dengan fakta-fakta lain yang mungkin atau tidak bersangkutan, dan hubungan yang dibuat bisa secara umum diterapkan
untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi di tempat lain.
Semua perdebatan itu selalu dilakukan dengan menggunakan
teori. Teori sebagaimana didefinisikan Stephen van Evera, adalah

“General statements that describe and explain the causes or effects of classes of
phenomena.”– kalimat-kalimat umum yang menggambarkan dan menjelaskan penyebab atau dampak dari fenomena.3
Dengan kata lain, teori menggambarkan hubungan antar dua
variabel atau lebih dan dampak dari hubungan tersebut untuk menjelaskan sebuah fenomena secara umum. Sebagai contoh, teori perimbangan kekuatan (Balance of Power) yang populer di bidang Ilmu Hubungan Internasional. Teori ini digunakan untuk menjelaskan mengapa dua negara secara terus menerus meningkatkan kekuatan militer mereka.
Ada dua variabel yang penting dalam teori ini. Variabel pertama
adalah peningkatan kekuatan negara A. Variabel kedua adalah peningkatan negara B. Setelah dilakukan observasi dan analisis secara
metodologis (seperti tertuang di Bagian 1 buku ini), kita bisa mencoba memproposisikan sebuah teori adalah:
“Peningkatan kekuatan A menyebabkan terjadinya peningkatan
kekuatan B untuk mengimbangi A. Semakin tinggi peningkatan
kekuatan negara A, maka semakin tinggi juga peningkatan
kekuatan negara B.”
Teori ini kemudian bisa digunakan untuk membuat prediksi kemungkinan yang akan terjadi di tempat lain atau di masa depan bahwa dimanapun jika ada peningkatan kekuatan sebuah negara maka akan
diimbangi dengan peningkatan kekuatan oleh negara lain sebagai cara
untuk mengimbanginya.
2

Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, (London: Routledge, 2002), h. 37 & 120.
Stephen Van Evera, Guide to Methods for Students of Political Science, (Ithaca: Cornell University
Press, 1997), h. 7-8.
3


2

Walaupun pada dasarnya teori memang penting, namun teori
bukanlah sebuah pakem atau kebenaran yang tak bisa digugat. Tak
ada sebuah teori yang 100% akurat, karena teori sendiri pada dasarnya
adalah sebuah simplifikasi terhadap realitas berdasarkan asumsiasumsi pembuat teori itu sendiri. Seperti kata Popper, teori adalah
cara untuk merasionalkan, menjelaskan, dan “menguasai” dunia.4
Teori yang baik adalah teori yang dianggap singkat, sederhana,
namun jelas; menggunakan sedikit variabel, namun memiliki kemampuan yang tinggi untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di
dunia.5
Intinya, teori digunakan untuk menyederhanakan fenomenafenomena yang terjadi di dunia agar bisa dimengerti dengan mudah.
Untuk itu, teori harus memiliki logika yang konsisten dan valid secara
empiris dengan jelas menggambarkan hubungan antara variabel dan
mampu memberikan penjelasan yang berguna tentang fenomena yang
penting serta dijabarkan dengan jelas.6
Faktor simplifikasi teori ini menyebabkan banyak perdebatan di
dunia ilmu pengetahuan yang selalu terpusat dalam pembuatan
asumsi, penggunaan teori, evaluasi tentang relevansi teori, dan kemampuan teori untuk memberikan prediksi secara ilmiah. Perdebatan
itu sendiri ujungnya bisa berdampak positif bagi ilmu pengetahuan

karena teori yang ada disempurnakan atau diganti dengan teori baru
yang lebih akurat, atau minimal menciptakan perkembangan ilmu
melalui diskusi tentang teori itu sendiri dengan munculnya teori-teori
baru.
Mendebat Teori: Masalah Asumsi Dasar
Implikasi dari sederhananya sebuah teori adalah adanya asumsi
yang terpendam dalam pembuatan teori tersebut. Sewaktu kita membuat sebuah teori yang sederhana, secara sadar ataupun tidak, kita
sudah memasukkan asumsi-asumsi yang sangat mendasar sebagai
logika dasar bagi teori tersebut (underlying logic). Seperti dinyatakan
Waltz, “Sebuah teori memiliki minimal satu asumsi teoritis.”7 Asumsi
teoritis tersebut menjadi fondasi dari teori tersebut.
4

Karl Popper (2002), h. 37-38.
Gary King, Robert O. Keohane, & Sidney Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference
in Qualitative Research, (Princeton: Princeton University Press, 1994), h. 20; Stephen Van Evera
(1997), h. 19.
6
Stephen M. Walt, “The Relationship Between Theory and Policy in International Relations,”
dalam Annual Review of Political Science, Vol. 8 (2005), h. 26-28.

7
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, (New York: McGraw-Hill, Inc., 1979), h.
117.
5

3

Berdasarkan pernyataan tersebut, muncul pertanyaan penting
mengenai ketepatan asumsi dasar dari teori tersebut. Asumsi ini belum tentu disetujui oleh analis-analis lain yang melihat bahwa asumsi
dasar dari sebuah teori mungkin terlalu simplistik atau tidak sesuai
dengan kenyataan di dunia.
Misalnya dalam contoh Balance of Power teori di atas: pada dasarnya teori itu memiliki asumsi bahwa hubungan antara negara-negara
di dunia dilandasi oleh ketidakpercayaan yang sulit bagi satu negara
untuk memercayai iktikad dari negara-negara lain. Hal ini disebabkan
negara-negara tersebut berada dalam kondisi self help, hanya diri sendiri yang bisa menolong diri sendiri karena tak ada negara atau badan
lain yang akan memberikan bantuan.8
Akhirnya, karena tidak adanya rasa saling percaya tersebut, negaranegara akan berusaha mengimbangi negara terkuat dalam sistem internasional sebagai cara untuk mencegah terjadinya dominasi satu
negara tersebut kepada seluruh sistem. [Ilustrasinya adalah masyarakat yang tak memiliki perlindungan lembaga hukum, sehingga orang
terkuat di masyarakat tersebut bisa saja bertindak sewenang-wenang
tanpa kuatir akan ditangkap dan diseret ke pengadilan.]

Sementara itu, kaum neoliberal-institusionalis melihat teori Balance
of Power terlalu bernuansa realis yang menekankan bahwa pada dasarnya pertarungan di dunia internasional adalah pertarungan demi kekuasaan. Kaum neoliberal menekankan bahwa pada dasarnya asumsi
tersebut dilandasi rasa ketidakpercayaan yang sebetulnya bisa dikikis
secara perlahan melalui interaksi antar negara-negara yang bersaing.
Maka dari itu, belum tentu negara-negara lain ditakdirkan akan
saling bersaing karena banyak sekali potensi kerjasama antara kedua
negara yang bisa digali,9 sehingga dua negara mungkin bersama-sama
memutuskan untuk tidak membeli senjata tapi lebih memperkuat
hubungan ekonomi antar kedua negara dan menciptakan kawasan
perdamaian.
Kemungkinan lainnya adalah memakai konsep game theory dengan
membuat argumen bahwa mungkin awalnya kedua negara tersebut
bisa terlibat dalam konflik, namun pada jangka panjang melalui interaksi yang terus menerus seperti lewat hubungan perdagangan yang
saling menguntungkan dan pertukaran budaya, lama kelamaan hubungan antagonisme antar kedua negara semakin berkurang dan akhirnya kedua negara memutuskan untuk berhenti bersaing karena
8

Ibid, h. 118.
Robert Jervis, “Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the Debate,”
dalam International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer, 1999), h. 47-48.
9


4

mereka menyadari bahwa perdamaian dan kerjasama bernilai positif
dan jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak daripada persaingan
bersenjata.10 Ujungnya adalah terbentuknya tatanan dunia internasional baru yang dilandasi rasa saling ketergantungan dan kepercayaan.
Kaum realis sendiri memberikan pertanyaan mengenai tahap kecukupan asumsi dasar teori Balance of Power ini. Bagaimana negaranegara bisa tahu secara objektif distribusi kekuasaan dalam sistem
tersebut? Mungkinkah ada asumsi tambahan untuk memperkuat teori
tersebut? Randall L. Schweller memberikan jawaban yang sangat
baik dengan menyatakan bahwa mispersepsi tentang distribusi kekuasaan berperan penting dalam kebijakan negara untuk mengimbangi
negara lain. Schweller mencontohkan, menjelang Perang Dunia II,
Rusia melakukan kesalahan dengan menganggap Jerman lebih lemah
dari Prancis sehingga tidak melakukan apa-apa untuk mengimbangi
kekuatan Jerman dan pada akhirnya dikejutkan bahwa Jerman bisa
menaklukkan Prancis dalam waktu yang sangat singkat.11
Di sisi lain, kaum konstruktivis justru mempersoalkan seluruh
asumsi Balance of Power dengan mempertimbangkan norma-norma internasional yang berlaku dan identitas negara-negara tersebut. Karena
setiap tindakan yang dilakukan sebuah negara selalu didasari oleh identitas negara tersebut dan identitas itulah yang menentukan tindakan
yang akan diambil oleh sebuah negara.12 Belum tentu sebuah negara
akan melakukan perimbangan kekuatan yang disebabkan oleh identitas negara tersebut, misalnya pasifis (pencinta damai). Oleh sebab itu,

dua negara bisa saja memutuskan untuk tidak melakukan kompetisi
bersenjata dari awal karena memang identitas negara-negara tersebut
adalah seperti itu.
Berdasarkan penjelasan yang demikian, maka analisis asumsi dasar
sebuah teori menjadi sangatlah penting. Sering kali kita cenderung
menerima sebuah teori apa adanya tanpa melihat lebih jauh asumsiasumsi yang terkandung dalam teori tersebut yang mungkin kurang
tepat atau masih bisa disempurnakan. Padahal asumsi-asumsi ter10
Robert Axelrod, The Evolution of Cooperation, (New York: Basic Books, 1984); Lihat juga
Robert Jervis, “Cooperation Under Security Dilemma,” dalam World Politics, Vol. 30, No. 2
(January, 1978), h. 167-214; dan Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the
World Political Economy, (Princeton: Princeton University Press, 1984).
11
Randall L Schweller, Deadly Imbalances: Tripolarity and Hitler’s Strategy of World Conquest, (New
York: Columbia University Press, 1998), h. 168.
12
Ted Hopf, “Promise of Constructivism in International Relations Theory,” dalam
International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer, 1998), h. 173; Lihat juga Alexander Wendt, “Anarchy
is What States Make of It,” dalam International Organization, Vol. 46, No. 2 (Spring, 1992), h. 405.

5


sebut perlu dilihat secara kritis dan dipertanyakan ketepatannya. Jika
asumsi tersebut kurang tepat maka perlu dibuat teori tandingan atau
mungkin teori tambahan yang bisa membuat penjelasan ilmiah dan
prediksi yang lebih akurat.
Mendebat Teori: Observasi Fenomena
Selain dari asumsi, teori pun perlu dievaluasi mengenai kegunaannya: kemampuan menjelaskan sesuatu yang diklaim bisa dijelaskan
oleh teori tersebut.13 Klaim bahwa teori bisa menjelaskan fenomena
secara umum harus diuji terlebih dahulu melalui aplikasi teori dan observasi cara kerja teori tersebut di dunia nyata.
Faktanya sering kali teori belum bisa menjelaskan beberapa fenomena yang terjadi sehingga diperlukan penyempurnaan atau pengembangan teori tersebut. Kemungkinan lainnya, jika memang teori selalu
bertentangan dengan hasil observasi mungkin sudah saatnya teori tersebut ditinggalkan.
Namun tak selamanya teori yang tak bisa menjelaskan semua
fenomena berarti gagal karena pada dasarnya teori mencoba menjelaskan sesuatu hanya secara umum. Sering kali yang menjadi masalah adalah framing dari teori tersebut.14 Framing adalah bagaimana
teori dikontekstualisasikan dan diinterpretasikan dalam kondisi apa
teori tersebut bisa berlaku dan bagaimana dampaknya.15 Dalam kasuskasus secara umum, teori tersebut masih bisa digunakan untuk memberikan penjelasan tentang fenomena yang terjadi. Namun dalam beberapa kasus spesifik, penjelasan tersebut belum tentu benar.
Misalnya dalam konteks teori Balance of Power, Stephen Walt
mempertanyakan kebenaran tentang negara-negara yang selalu mencoba mengimbangi kekuatan negara terkuat di kawasan tersebut. Dalam analisisnya mengenai perpolitikan dan pembentukan aliansi militer, ia menemukan bahwa negara-negara tidak berusaha mengimbangi kekuatan negara yang dianggap sebagai negara terkuat. Namun
usaha pengimbangan ini selalu dilakukan kepada negara yang dianggap merupakan ancaman terbesar. Dari sini, Stephen Walt berusaha
membuat teori baru yang bisa dianggap sebagai penyempurnaan teori
Balance of Power, yakni teori Balance of Threat.16

13

Kenneth Waltz (1979), h. 118.
Ibid.
15
Stephen Van Evera (1997), h. 19.
16
Stephen M. Walt, “Alliance Formation and the Balance of World Power,” dalam International
Security, Vol. 9, No. 4. (Spring, 1985), h. 33.
14

6

Teori Walt ini tak menggantikan teori Balance of Power karena
pada dasarnya teori itu secara umum masih berlaku, yakni dalam arti
negara-negara masih bereaksi kepada peningkatan kekuatan negara
lain. Namun teori Walt ini bisa dianggap sebagai penambahan variabel yang bisa memperjelas dan menambah ketepatan teori Balance of
Power.
Meski begitu, secara negatif, hal ini bisa berpotensi menciptakan
sebuah fenomena yang biasa disebut sebagai “teori karet,” dalam arti

teori tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan semua hal yang terjadi, namun di sisi lain tak bisa menjelaskan apapun karena memang
pada dasarnya teori tersebut tak bisa dibuat salah (falsifiable). Ada
satu variabel yang tak terdefinisikan dengan baik, yang bisa dengan
mudah diadaptasi untuk menjelaskan seluruh fenomena yang terjadi
di dunia tanpa bisa dibuktikan benar atau salah.17
Ambil contoh teori psikoanalisis, sebuah teori dalam psikologi
yang menekankan bahwa semua masalah psikologis bisa dijelaskan
melalui episode masa kecil yang traumatis dan tak bisa diingat.18 Masalah teori ini terjadi jika semua fenomena psikologis bisa dijelaskan
melalui trauma psikologis di masa kecil, bagaimana teori ini bisa membantu untuk mengerti perbedaan-perbedaan masalah psikologis dan
dampak lingkungan yang bisa berpengaruh kepada masalah psikologis tersebut? Apalagi, variabel “trauma psikologis di masa kecil” ini
sangat kabur. Apa definisi trauma psikologis? Apa yang bisa dianggap
sebagai trauma? Apakah dipukul orang tua bisa menjadi trauma yang
berkepanjangan? Hal ini menjadi sangat tidak jelas meski telah menciptakan teori yang kebenarannya tak bisa dibantah namun tetap tidak bisa menjelaskan apapun.
Itulah alasan teori yang baik pada dasarnya mendeskripsikan
dengan jelas variabel-variabel yang penting sekaligus efek dan dampak dari variabel tersebut dalam teori — dan juga falsifiable,19 bisa diuji
melalui observasi fenomena kebenaran teori untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan teori tersebut.20
Mendebat Teori: Evaluasi Pentingnya Teori
Pada 13 Maret 2013 dunia Ilmu Politik Amerika Serikat (AS) dikejutkan dengan usulan Senator Tom Coburn agar pendanaan untuk
riset ilmu politik di AS dihentikan kecuali untuk riset yang menyang17
18
19
20

Karl Popper (2002), h. 48-49.
Schacter,Gilbert,Wegner, “Psychology”, (New York: Worth Publishers, 2011), h. 12.
Stephen Van Evera (1997), h. 20.
Karl Popper (2002), h. 48

7

kut “keamanan negara atau kepentingan ekonomi AS”.21 Hal ini disebabkan oleh beberapa pandangan bahwa banyak riset-riset yang dilakukan akademisi dianggap tak berguna dan tak memiliki dampak
langsung bagi dunia nyata.22 Hal ini pun diakui beberapa akademisi,
bahwa mereka harus lebih aktif untuk membuat teori mereka lebih
relevan ke masyarakat.23
Sembilah hari kemudian (22 Maret 2013), Senat AS menyetujui
usulan Coburn dan keputusan ini langsung menuai banyak sekali kecaman. Syukurnya, kecaman itu membuat pemotongan dana bagi ilmu
politik tersebut dibatalkan.24
Hampir setahun kemudian, Nicholas D. Kristof, salah satu kolumnis New York Times menulis bahwa kelihatannya sangat sedikit
sumbangsih dari akademisi di dunia nyata.25 Pernyataan Kristof ini
pun kembali mengundang reaksi baik yang setuju maupun yang tidak
dengan pernyataannya.26
Insiden-insiden ini meninggalkan pertanyaan penting: sejauh mana teori ilmu politik, terutama teori-teori hubungan internasional perlu
21
“Political-Science Research: Singled Out,” dalam The Economist (21 Maret, 2013) http://
www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2013/03/political-science-research (Diakses
pada 2 Februai 2014).
22
Patricia Cohen, “Field Study: Just How Relevant is Political Science?,” dalam The New
York Times (9 Oktober 2009), http://www.nytimes.com/2009/10/20/books/20poli.html (Diakses
pada 2 Februari 2014); Greg Ferenstein, “Former Political Scientist to Congress: Please Defund
Political Science,” dalam The Atlantic (12 Februari 2013), http://www.theatlantic.com/politics/
archive/2013/02/former-political-scientist-t o-congress-please-defund -political-science/
273060/ (Diakses pada 2 Februari 2014), Charles Lane, “Congress Should Cut Funding for
Political Science Research,” The Washington Post (5 Juni 2012) http://www.washingtonpost.com/
opi ni ons/ congre ss-shoul d - cut -f und i n g-f or-pol i t i cal -sci ence-resea rch/ 2012/ 0 6/ 04/
gJQAuAJMEV_story.html (Dikases pada 2 Februari 2014).
23
Abby Rapoport, “Take That, Political Science!,” dalam The American Prospect (22 Maret
2013), http://prospect.org/article/take-political-science (Diakses pada 2 Februari 2014); Sarah
Kendzior, “Academic Funding and the Public Interest: the Death of Political Science,” dalam
Al Jazeera ( 2 Apri l 2013), http:// www.al jazeera.com/ ind ept h/opini on/ 2013/04/
20134265610113939.html (Diakses pada 3 Februari 2014); Untuk kritik yang terjadi jauh sebelum
peristiwa ini, lihat juga David Newsom, “Foreign Policy and Academia,” dalam Foreign Policy
(Winter, 1995-1996) dan Stephen Walt (2005).
24
Sandra Yan, “Restriction on NSF-Funded political science research repealed,” dalam The
Brow n Daily Herald (5 Februari 2014), http:/ /www.browndailyherald.com/2014/02/ 05/
restrictions-nsf-funded-political-science-research-repealed/ (Diakses pada 2 Februari 2014).
25
Nicholas D. Kristof, “Professors, We need You!,” dalam The New York Times (15 Februari
2014), http://www.nytimes.com/2014/02/16/opinion/sunday/kristof-professors-we-needyou.html (Diakses pada 18 Februari 2014).
26
Adam J. Copeland, “Why Nicholas Kristof ’s Latest Column Stings So Much and Why
He’s Right,” dalam The Huffington Post (18 Februari 2014), http://www.huffingtonpost.com/
rev-adam-j-copeland/nicholas-kristofs-latest-column-stings_b_4800560.html (Diakses pada 18
Februari 2014); Eric Voeten, “Dear Nicholas Kristof: We are right here!,” dalam The Washington
Post (15 Februari 2014), http://www.washingtonpost.com/blogs/monkey-cage/wp/2014/02/
15/dear-nicholas-kristof-we-are-right-here/ (Diakses pada 18 February 2014).

8

memiliki relevansi bagi dunia nyata dan memberikan kontribusi bagi
para pembuat keputusan. Memang salah satu faktor terpenting dalam
teori adalah penting dan bergunanya sebuah teori untuk menjelaskan
sesuatu yang menarik secara keilmuan dan menjawab pertanyaan yang
penting di dunia nyata.27
Pada dasarnya, kaum akademisi memang harus berperan penting
bagi pembuat keputusan dan masyarakat melalui penelitian-penelitian
mereka. Namun ada juga penelitian-penelitian yang sangat berguna
tetapi tak memiliki aplikasi secara langsung untuk masyarakat, seperti
penelitian di bidang ilmu pengetahuan murni (matematika atau fisika),
namun bagi akademisi di bidang ilmu sosial, terutama di bidang ilmu
HI diharapkan agar teori yang dibuat bisa menarik dan sekaligus berguna untuk membantu para pembuat keputusan di negeri ini. Mungkin saja tidak secara eksplisit, tapi minimal bisa bernilai tambah dengan
memberikan pengertian yang lebih mendalam kepada fenomena yang
terjadi di dunia ini.
Terkait hal itu, dengan merujuk Van Evera maka teori yang baik
adalah teori yang bisa memuaskan dan menjawab keingintahuan kita
terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan negara.
Namun di sisi lain, jawabannya pun harus sesuatu yang bisa memberikan analisis mengenai penyebab jawaban tersebut.28
Ambil contoh misalnya pertanyaan, “mengapa TNI-AL tak membeli kapal induk?” Jawaban yang memberikan analisis “mengapa TNIAL tak memiliki dana yang cukup untuk membeli kapal induk”
adalah dengan memberikan analisa kebijakan birokratis dalam TNIAL akan jauh lebih memuaskan dan memberikan kontribusi bernilai
lebih kepada masyarakat dan pemerintah daripada jawaban yang hanya menyatakan “karena tidak punya dana.”
Jawaban yang kedua hanya memberikan sebuah fakta, sedangkan
jawaban yang pertama, selain memberikan fakta juga memberikan analisis (dan mungkin teori) tentang mengapa fakta tersebut bisa terjadi
dan variabel-variabel mana yang penting yang mungkin bisa diubah
agar pada akhirnya TNI-AL bisa membeli sebuah kapal induk.
Jadi teori yang baik adalah teori yang menarik dan memiliki kegunaan untuk memperkuat pemahaman kita tentang fenomenafenomena yang terjadi dan mengerti bagaimana fenomena tersebut
bisa terjadi.
27
28

Gary King, Robert O. Keohane, dan Sidney Verba (1997), h. 15.
Stephen Van Evera (1997), h. 18-19.

9

Mendebat Teori: Kemampuan Prediksi
Terakhir, teori pun harus memiliki kemampuan untuk membuat
prediksi tentang apa yang akan terjadi jika teori tersebut diaplikasikan
ke situasi yang berbeda. Dengan memberikan identifikasi yang jelas
antara hubungan tiap variabel, maka teori bisa memberikan kontribusi yang berharga baik bagi analis maupun bagi pembuat keputusan
tentang apa yang bisa terjadi jika misalnya pemerintah mengambil sebuah kebijakan tertentu.
Ini bukan berarti bahwa teori bisa meramalkan dengan kebenaran
100%. Suka atau tidak, seperti sudah dijabarkan di atas pada dasarnya
teori adalah simplifikasi dunia yang begitu kacau dan membingungkan. Teori tak akan bisa memberikan prediksi yang pasti akurat. Namun, teori yang baik bisa memberikan prediksi yang jauh lebih akurat
daripada lemparan sebuah koin dan memberikan masukan yang sangat
berharga bagi para pembuat keputusan. Teori yang baik bisa membantu meramalkan perkembangan situasi regional di masa depan, apa
yang bisa menjadi kesempatan dan tantangan bagi para pembuat keputusan.
Sebagai contoh, dengan menggunakan teori Balance of Power dan
Balance of Threat untuk menganalisis perkembangan situasi di Laut
China Selatan, kita bisa membuat analisis sederhana bahwa semakin
agresif China dalam menegakkan klaimnya di Laut China Selatan akan
menyebabkan negara-negara tetangganya seperti Filipina dan Vietnam
semakin khawatir, dan akan mengambil keputusan untuk mengimbangi kekuatan China.
Namun, mengingat kedua negara tersebut tak mungkin bisa melawan China sendiri, maka mereka akan berusaha membawa masuk
negara-negara lain yang dianggap memiliki kredibilitas dan kemampuan untuk mengimbangi China, namun tak akan memberi ancaman
kepada wilayah negara-negara tersebut, seperti AS.
Karena itulah, meski Vietnam pernah mengusir AS dari negaranya pada tahun 1975 dan Filipina pernah memaksa AS keluar dari
Pangkalan Subic dan Clark tahun 1991, namun pada akhirnya kedua
negara itu harus mengambil keputusan untuk mendekatkan diri kepada AS. Bahkan pada tahun 2012, Filipina sempat meminta AS
kembali ke Pangkalan Subic dan Clark.29
29
Jean Magdaraog Cordero, “Subic Bay and Clark Bases open to Philippines allies,” dalam
Asia Pacific Defense Forum (12 Juli 2013) http://apdforum.com/en_GB/article/rmiap/articles/
online/features/2013/ 07/12/philippines-military-bases (Diakses pada 19 Februari 2014).

10

Tentu saja seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa bisa saja prediksi teori Balance of Power ini salah. Misalnya, kaum neoliberal institutionalis bisa saja membuat prediksi bahwa pada akhirnya tak akan
terjadi persaingan kekuatan di Laut China Selatan karena semakin
dekatnya hubungan antara negara-negara di Asia Tenggara dan China,
karena diuntungkan oleh China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA)
dan China tak mungkin mau merusak hubungan dagang yang sangat
menguntungkan ini.
Kaum konstruktivis bisa saja membuat argumen bahwa pada dasarnya China tak memiliki identitas sebagai negara ekspansionis dan
lebih memfokuskan kepada diplomasi soft power-nya, sehingga pada
akhirnya, China tak akan melakukan tindakan agresif yang bisa merusak tatanan internasional.
Inilah yang menyebabkan mengapa teori itu begitu penting: kekayaan teoretis ilmu HI akan terus menciptakan perdebatan keilmuan
yang progresif dan kaya yang akan berdampak positif bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan masyarakat secara umum.
Penutup
Dalam uraian singkat ini, penulis telah berusaha membuat argumen dengan menyebut teori merupakan tahapan terpenting dalam
ilmu pengetahuan. Dan perkembangan ilmu pengetahuan yang didorong oleh perkembangan teori ini, selalu terjadi melalui perdebatan
dari banyak aspek teoretis seperti asumsi, observasi fenomena, evaluasi pentingnya teori, dan analisa kemampuan teori dalam melakukan prediksi.
Untuk itu, mengingat umur ilmu HI yang masih belia (lahir tahun
1919) dan keajegan masih terus dalam proses pencarian, maka perdebatan-perdebatan teoretis harus terus diupayakan. Hal ini penting
dilakukan agar mendapatkan keuntungan dari semua perdebatan tersebut dan ke depan teori HI semakin prediktif dalam membaca isuisu hubungan internasional.
***

11