Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal

Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal
09.58 Fauzan Al-Rasyid 25 comments
Dua partai terkuat pada masa Demokrasi Liberal adalah PNI dan Masyumi. Kedua partai ini silih
berganti memimpin kabinet. Dengan sering bergantinya kabinet menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang berkuasa pada masa
Demokrasi Liberal adalah:

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Setelah bentuk negara RIS dibubarkan, kabinet pertama yang membentuk
NKRI adalah kabinet Natsir yang merupakan kabinet koalisi yang dipimpin
oleh Masyumi dan PNI sebagai partai kedua terbesar menjadi oposisi. PNI
menolak ikut serta dalam komite karena merasa tidak diberi kedudukan
yang

tepat

sesuai

dengan

kekuatannya.


Tokoh-tokoh

terkenal

yang

mendukung kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir.
Djoeanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusuma.
Program:
1.
2.
3.
4.
5.

Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan;
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang;
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat;

Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Hasil:
1. Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai
masalah Irian Barat.
Kendala yang dihadapi:
1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
2. Timbul masalah keamanan dalam negeri, yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan
Gerakan RMS.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD yang terlalu menguntungkan
Masyumi.

Mosi


tersebut

disetujui

parlemen

sehingga

Natsir

harus

mengembalikan mandatnya kepada presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, Presiden
Soekarno menunjuk Sartono, ketua PNI, untuk menjadi formatur. Hampir
selama satu bulan Sartono membuat kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi,
tetapi gagal. Akhirnya Sartono mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 23 hari (28 Maret 1951 – 18 April 1951). Kemudian
presiden menunjuk Sukiman Wirosandjojo dari Masyumi dan menunjuk

Djojosukarto sebagai formatur, mereka berhasil membentuk kabinet koalisi
antara Masyumi, PNI, dan sejumlah partai kecil.
Program:
1. Menjamin keamanan dan ketentraman;
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai
dengan kepentingan petani;
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum;
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke
dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil:
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir, hanya
saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya,
seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala yang dihadapi:

1. Adanya pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri
Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran, mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan

Mutual Security Act (MSA). Dalam MSA ini terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI. Hal ini dikarenakan RI menjadi
diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat, bahkan dinilai telah
memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang
terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran terhadap
barang-barang mewah.
3. Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga
mereka

menarik

menggugat


dukungannya

Sukiman

dan

pada

terpaksa

kabinet
Sukiman

tersebut.
harus

DPR

akhirnya


mengembalikan

mandatnya kepada presiden.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari para
pakar yang ahli dalam biangnya. Kabinet Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo
(tokoh PNI) dan mendapatkan dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program:
 Program dalam negeri:

o
o
o
o

Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD);
Meningkatkan kemakmuran rakyat;
Meningkatkan pendidikan rakyat;
Pemulihan keamanan.


 Program luar negeri:
o Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda;
o Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia;
o Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
Hasil:
Tidak ada hasil yang cukup signifkan dari Kabinet Wilopo.
Kendala yang dihadapi:
1. Masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. masalah ini
dilatarbelakangi oleh: (1) masalah ekonomi (perkembangan ekonomi dunia kurang
menguntungkan hasil ekspor Indonesia), dan (2) reorganisasi (profesionalisasi tentara)
yang menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang akhirnya menjurus ke arah
perpecahan. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan
partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini
diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan
dengan kebijakan KSAD A.H. Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno
sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan
yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam
parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan

Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini
menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen.
Sementara itu, TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan
agar parlemen dibubarkan, tetapi saran tersebut ditolak. Akhirnya muncullah mosi tidak
percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan
mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan
darat guna menekan Soekarno agar membubarkan kabinet.

2. Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB, pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa penjajahan
Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap sebagai miliknya.
Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para
petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para
petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata
dan beberapa petani terbunuh. Intinya dari peristiwa Tanjung Morawa merupakan
peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
3. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih

setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk
mengimport beras.
4. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan
bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat
ke daerah yang tidak seimbang.
5. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang
eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat
Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Selain itu, peristiwa tersebut
dijadikan sarana oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya
untuk

mencela

pemerintah

sehingga

Wilopo


harus

mengembalikan

mandatnya pada presiden.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini terbentuk dua bulan kemudian setelah Kabinet Wilopo mundur.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi anatar PNI dan NU dengan Mr. Ali

Sastroamidjojo sebagai perdana menteri. Sementara itu Masyumi menjadi
partai oposisi.
Program:
1.
2.
3.
4.

Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu;
Pembebasan Irian Barat secepatnya;
Pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB;
Penyelesaian pertikaian politik.

Hasil:
1. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan
pada 29 September 1955.
2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.
Kendala yang dihadapi:
1. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti
DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menuntut Aceh sebagai Propinsi. Daud Beurueh
(pimpinan PUSA) menilai bahwa tuntutan itu diabaikan dan menyatakan Aceh sebagian
dari NII.
3. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955, suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam
tubuh TNI-AD. Peristiwa ini adalah masalah TNI-AD yang merupakan kelanjutan dari
Peristiwa 17 Oktober 1952. Setelah peristiwa 17 Oktober, Nasution mengundurkan diri
sebagai KSAD dan digantikan oleh Bambang Sugeng. Bambang Sugeng sebagai Kepala
Staf AD mengajukan permohonan berhenti karena tugasnya dirasakan sangat berat dan
permohonan tersebut disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya menteri pertahanan
menunjuk Kolonel Bambang Utoyo, tetapi Angkatan Darat di bawah KSAD Zulkifli
Lubis menolak menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya
dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Ketika
Bambang Utoyo dilantik pada tanggal 27 Juni 1955, TNI AD memboikot pengangkatan
itu karena Bambang Utoyo adalah KSAD yang tidak pernah berkantor di Markas Besar
Angkatan Darat (MBAD). Tidak ada seorangpun panglima tinggi yang hadir dalam
upacara tersebut meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD pun menolak
melakukan serah terima dengan KSAD baru.
4. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
5. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
6. Munculnya konflik antara PNI dan NU. Hal ini menyebabkkan NU memutuskan untuk
menarik kembali menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai
lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:

NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan
dalam kabinet inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya
kepada presiden.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dalam kabinet ini Burhanudin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI
membentuk partai oposisi.
Program:
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan
Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru;
3. Masalah desentralisasi, inflasi, dan pemberantasan korupsi;
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil:
1. Penyelenggaraan

pemilu

pertama

yang

demokratis

pada

29

September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih Konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar
tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Hasil seleksi ini menghasilkan
empat partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu
PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2. Perjuangan diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang
dilakukan oleh polisi militer.
4. Terbinanya

hubungan

antara

Angkatan

Darat

dengan

Kabinet

Burhanuddin.
5. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat
Kolonel A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pada
tanggal 28 Oktober 1955

Kendala yang dihadapi:
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan
ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin pun dianggap
selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet
sehingga kabinet pun jatuh. Sehingga dibentuk kabinet baru yang harus
bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula. Tanggal 3 Maret 1956,
Kabinet Burhanudin mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet ini
merupakan kabinet peralihan dari DPR. Sementara ke DPR hasil Pemilu.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada tanggal 20 Maret 1956 yang
merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.
Program:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut:
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD;
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara;
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu, program pokoknya adalah:
1. Pembatalan KMB;
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, dan menjalankan politik
luar negeri bebas aktif;
3. Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil:
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak
dari periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh
perjanjian KMB.
Kendala yang dihadapi:
1. Berkobarnya semangat anti-Cina di masyarakat.
2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada
gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer, seperti Dewan Banteng di
Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan,
Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi
Utara.
3. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan
pembangunan di daerahnya.
4. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib
modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya.
Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
5. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan
parlementer.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I
ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk
dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama kabinet Karya dengan
programnya yang disebut Panca Karya dan Ir. Djuanda sebagai perdana
menteri. Kabinet ini merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari
para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Program:
1. Membentuk Dewan Nasional;

2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia;
3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB;
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
5. Mempergiat dan mempercepat proses pPembangunan.
Hasil:
1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial.
Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah
Indonesia karena lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang
utuh dan bulat.
2. Terbentuknya

Dewan

Nasional

sebagai badan yang bertujuan

menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Dengan dibentulnya
Dewan Nasional merupakan titik tolak untuk menegakkan sistem
demokrasi terpimpin.
3. Mengadakan Musyawarah

Nasional

(Munas) untuk meredakan

pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang,
dan pembagian wilayah RI.
4. Diadakan

Musyawarah

Nasional

Pembangunan

untuk

mengatasi

masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala yang dihadapi:
1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat.
Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putraputrinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan
keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Kabinet ini berakhir saat presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu mulailah babak baru sejarah RI yaitu
Demokrasi Terpimpin.
Jawaban Terbaik: Dampak positif sistem liberal:
1. Bisa mencapai kemajuan ekonomi yang pesat karena majunya industri dan
sektor swasta.
2. Bersifat demokratis kepada warganya.
Dampak negatif sistem liberal:
1. Terjadi kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
2. Masyarakat yang bebas membuat negara agak berbelit dalam membuat
kebijakan yang kurang populer.
Dampak posistif sistem komunis/sosialis:
1. Kemerataan dalam perekonomian rakyatnya.
2. Pemerintah mudah mengendalikan warganya karena pemerintahan bersifat
otoriter.
Dampak negatif sistem komunis/sosialis:
1. Sulit untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan ekonomi karena sektor swasta
dan industri kurang berkembang.
2. Kurang mampu bersaing menghadapi kemajuan zaman.
Vamos · 5 tahun yang lalu
1
Jempol ke atas
0
Jempol ke bawah
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar



Positif :
1. Bisa menjadi suatu kesatuan dalam pemerintahan yang adaptif dizaman

sekarang.
2. Mempunyai sistem otoriter dari masing2 daerah, dan berkonsentrasi dalam
satu pemerintahan.
Negatif :
1. Satu negara akan saling bekerja sama, menghancurkan satu sama lain,
dan akan ada penghianatan.
2. Menjadi lebih selektif dalam menjadikan pemerintahan yang baik, untuk
menghancurkan satu sama lain.

Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955)

Poster kampanye pada Pemilu 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia yang diadakan
pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis.
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa
daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya
pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga
memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu
akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante.
Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah
520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun,
Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, dan kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Daftar isi
 1 Tahapan
 2 Hasil
o 2.1 DPR
o 2.2 Konstituante
 3 Dekret Presiden
 4 Referensi

Tahapan
Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
 Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini

diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, diikuti oleh 29 partai
politik dan individu.
 Tahap ke-dua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Hasil
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan
119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9
persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis
Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam
Indonesia (2,89 persen).
Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik
(6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai
mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai,
mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Persatuan Rakyat
Marhaen Indonesia, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, Partai Rakyat Indonesia Merdeka,
Persatuan Rakyat Desa (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso).

DPR
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1956–1960
No
Partai
.

Jumlah
Suara

Persent Jumlah
ase
Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

8.434.653 22,32

57

2. Masyumi

7.903.886 20,92

57

3. Nahdlatul Ulama (NU)

6.955.141 18,41

45

No
Partai
.

Jumlah
Suara

4. Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.179.914 16,36

39

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.091.160 2,89

8

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

1.003.326 2,66

8

7. Partai Katolik

770.740

2,04

6

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI)

753.191

1,99

5

541.306

1,43

4

10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

483.014

1,28

4

11. Partai Rakyat Nasional (PRN)

242.125

0,64

2

12. Partai Buruh

224.167

0,59

2

13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

219.985

0,58

2

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI)

206.161

0,55

2

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

200.419

0,53

2

16. Murba

199.588

0,53

2

17. Baperki

178.887

0,47

1

178.481

0,47

1

154.792

0,41

1

149.287

0,40

1

21. Persatuan Dayak (PD)

146.054

0,39

1

22. PIR Hazairin

114.644

0,30

1

23. Partai Persatuan Tharikah Islam (PPTI) 85.131

0,22

1

24. AKUI

81.454

0,21

1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD)

77.919

0,21

1

26. Partai Republik Indonesia Merdeka

72.523

0,19

1

9.

18.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)

Persatuan Indonesia Raya (PIR)
Wongsonegoro

19. Grinda
20.

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia
(Permai)

Persent Jumlah
ase
Kursi

No
Partai
.

Jumlah
Suara

Persent Jumlah
ase
Kursi

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma)

64.514

0,17

1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso

53.306

0,14

1

29. Lain-lain

1.022.433 2,71

-

37.785.29
100,00
9

257

(PRIM)

Jumlah

Konstituante
Lihat pula: Daftar anggota Konstituante 1956–1959
No
Partai/Nama Daftar
.

Jumlah
Suara

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

9.070.218 23,97

119

2. Masyumi

7.789.619 20,59

112

3. Nahdlatul Ulama (NU)

6.989.333 18,47

91

4. Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.232.512 16,47

80

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.059.922 2,80

16

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

988.810

2,61

16

7. Partai Katolik

748.591

1,99

10

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI)

695.932

1,84

10

544.803

1,44

8

10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

465.359

1,23

7

11. Partai Rakyat Nasional (PRN)

220.652

0,58

3

12. Partai Buruh

332.047

0,88

5

13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

152.892

0,40

2

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI)

134.011

0,35

2

9.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)

Persent Jumlah
ase
Kursi

No
Partai/Nama Daftar
.

Jumlah
Suara

Persent Jumlah
ase
Kursi

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

179.346

0,47

3

16. Murba

248.633

0,66

4

17. Baperki

160.456

0,42

2

162.420

0,43

2

157.976

0,42

2

164.386

0,43

2

21. Persatuan Daya (PD)

169.222

0,45

3

22. PIR Hazairin

101.509

0,27

2

23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

74.913

0,20

1

24. AKUI

84.862

0,22

1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD)

39.278

0,10

1

143.907

0,38

2

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma)

55.844

0,15

1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso

38.356

0,10

1

29. Gerakan Pilihan Sunda

35.035

0,09

1

30. Partai Tani Indonesia

30.060

0,08

1

31. Radja Keprabonan

33.660

0,09

1

39.874

0,11

1

33. PIR NTB

33.823

0,09

1

34. L.M.Idrus Efendi

31.988

0,08

1

35. Lain-lain

426.856

1,13

-

18.

Persatuan Indonesia Raya (PIR)
Wongsonegoro

19. Grinda
20.

26.

32.

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia
(Permai)

Partai Republik Indonesis Merdeka
(PRIM)

Gerakan Banteng Republik Indonesis
(GBRI)

Jumlah

37.837.10
5

514

Dekret Presiden
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal
ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan
Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960,
Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan
legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara
sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Latar Belakang Pemilihan Umum 1955
Pemilu merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan
rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di tahun-tahun pertama
kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul.
Selama masa Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati beberapa era seperti Revolusi
fisik, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Terpimpin, hanya sekali terjadi Pemilu, yaitu
Pemilu 1955. Pemilu ini terjadi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Buhanuddin Harahap
dari Masyumi (29 Juli 1955-2Maret 1956). Akan tetapai peraturan yang dijadikan landasan
dalam pemilihan umum 1955 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun
pada masa pemerintahan Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952-2 Juli 1953).1[1]
Adapun latar belakangnya diselengarakannya Pemilu 1955:
a) Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri
pada usaha mempertahankan kemerdekaan.
b) Pertikaian Internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup menguras energi dan
perhatian.
c) Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu ( UU pemilu baru
disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan disahkan oleh kabinet wilopo)
Selain itu adanya dorongan oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati,
masyarakat menuntut diadakan Pemilu. Pesiapan Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo
I. Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh
Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa
pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman
dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk
meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota
1[1] Suwarno, Sejarah Politik Indonesia Modern (Yogyakarta:Ombak, 2012), hlm 97

dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha
untuk mendapatkan suara yang terbanyak.2[2]

Tujuan Pemilihan Umum 1955
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan untuk memilih
anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan wewenang
untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara). Adapun sistem Pemilu yang digunakan
dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem ini, wilayah negara RI
dibagi dalam 16 daerah pemilihan (dimana Irian Barat dimasukkan sebagai daerah pemilihan ke16, padahal Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda, sehingga Pemilu tidak dapat dilangsungkan
didaerah tersebut).3[3]
Dalam sistem perwakilan proporsional setiap daerah pemilihan mendapat sejumlah kursi
berdasarkan jumlah penduduknya, dengan ketentuan setiap daerah berhak mendapat jatah
minimum enam kursi di Konstituante dan tiga di Parlemen. Di setiap daerah pemilihan, kursi
diberikan kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara yang
mereka peroleh, sisa suara bisa digabungkan, baik antara berbagai partai di dalam suatu daerah
pemilihan (kalau partai-partai bersangkutan sebelumnya telah menyatakan sepakat untuk
menggabungkan sisa suara), maupun digabungkan untuk satu partai ditingkat nasional.4[4]
Adapun Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante
berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat
pemerintah.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD
yang dilaksanakan secara terpisah antara Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur.
Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu
menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih
bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih
memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya
2[2] Syafie, Inu Kencana, Azhari, SSTP, Sistem Politik Indonesia. (Refka Aditama :
Bandung) hlm:73
3[3] Suwarno, Sejarah Politik Indonesia Modern (Yogyakarta:Ombak, 2012), hlm 98
4[4] Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta (Jakarta:Gramedia,1999) hlm:6

karena kedekatan emosional. Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak
menyerap biaya negara terlalu besar.5[5]
Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru
selesai pada November. Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara.
Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat
itu. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak
murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000. Tidak kurang dari 80 partai politik,
organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang
pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini,
anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika
itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang
meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap
300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik
karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke
dalam beberapa fraksi.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a) Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b) Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 15 Desember 1955.6[6]
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD
dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957
untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR,
Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.

5[5] Muslim, Dudung Abdul,2004, Pemilu Dari Masa Ke Masa (1) (): Meneladani Para
Elite di Tahun 1955 (Online). http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada 29-92014
6[6] Siregar, Insan Fahmi, Partai Masyumi dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia
(Semarang:Widyakarya, 2012), hal 25

Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet
Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat
Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan
tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak
pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang
terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan
itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih
bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran
kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri.
Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet
berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara;
korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai
persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan,
pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai
politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke
tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah
satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu
per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih
ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan
untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium
panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau
mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja
panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
Hasil Pemilihan Umum 1955
Hasil Pemilu Tahap I (29 september 1955)
Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan
suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti 172 kontestan Pemilu
1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi.
Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57

kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai
Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).7[7]
Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun 1955 :
No Nama Partai

Julmlah
Suara

Prose
ntase

1.
2.
3.
4.
5.

Partai Nasional Indonesia (PNI)
Masyumi
Nahdlatul Ulama (NU)
Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII)
Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
Partai Katolik
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)
Partai Rakyat Nasional (PRN)

8.434.653
7.903.886
6.955.141
6.179.914
1.091.160

22,32
20,92
18,41
16,36
2,89

Jumla
h
Kursi
57
57
45
39
8

1.003.326

2,66

8

770.740
753.191
541.306

2,04
1,99
1,43

6
5
4

483.014

1,28

4

242.125

0,64

2

Partai Buruh

224.167

0,59

2

Gerakan Pembela Panca Sila
(GPPS)
Partai Rakyat Indonesia (PRI)

219.985

0,58

2

206.161

0,55

2

Persatuan Pegawai Polisi RI
(P3RI)
Murba

200.419

0,53

2

199.588

0,53

2

Baperki

178.887

0,47

1

Persatuan Indonesia Raya (PIR)
Wongsonegoro
Grinda

178.481

0,47

1

154.792

0,41

1

Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)
Persatuan Daya (PD)

149.287

0,40

1

146.054

0,39

1

6.
7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
14
.
15
.
16
.
17
.
18
.
19
.
20
.
21

7[7] Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:Balai
Pustaka, 2010), hlm 317

.
22
.
23
.
24
.
25
.
26
.
27
.
28
29
.

PIR Hazairin

114.644

0,30

1

Partai Politik Tarikat Islam
(PPTI) 85.
AKUI

85.131

0,22

1

81.454

0,21

1

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

77.919

0,21

1

Partai Republik Indonesis
Merdeka (PRIM)
Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
R.Soedjono Prawirisoedarso
Lain-lain

72.523

0,19

1

64.514

0,17

1

53.306
1.022.433

0,14
2,71

1
1

37.785.29
9

100,0
0

257

Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada
wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota
parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota
DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.8[8]
Hasil Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan
anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya,
sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267
dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai
berikut:
No Nama Partai

Jumlah
Suara

Prosent
ase

1.

9.070.218

23,97

Partai Nasional Indonesia (PNI)

Juml
ah
Kurs
i
119

8[8] Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta (Jakarta:Gramedia,1999) hlm:
84-86

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
14
.
15
.
16
.
17
.
18
.
19
.
20
.
21
.
22
.
23
.
24
.
25
.
26
.

Masyumi
Nahdlatul Ulama (NU)
Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII)
Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
Partai Katolik
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)
Partai Rakyat Nasional (PRN)

7.789.619
6.989.333
6.232.512
1.059.922

20,59
18,47
16,47
2,80

112
91
80
16

988.810

2,61

16

748.591
695.932
544.803

1,99
1,84
1,44

10
10
8

465.359

1,23

7

220.652

0,58

3

Partai Buruh

332.047

0,88

2

Gerakan Pembela Panca Sila
(GPPS)
Partai Rakyat Indonesia (PRI)

152.892

040

2

134.011

0,35

2

Persatuan Pegawai Polisi RI
(P3RI)
Murba

179.346

0,47

3

248.633

0,66

4

Baperki

160.456

0,42

2

Persatuan Indonesia Raya (PIR)
Wongsonegoro
Grinda

162.420

0,43

2

157.976

0,42

2

Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia Permai
Persatuan Daya (PD)

164.386

0,43

2

169.222

0,45

3

PIR Hazairin

101.509

0,27

2

Partai Politik Tarikat Islam
(PPTI)
AKUI

74.913

0,20

1

84.862

0,22

1

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

39.278

0,10

1

Partai Republik Indonesis
Merdeka (PRIM)

143.907

0,38

2

27
.
28
.
29
.
30
.
31
.
32
.
33
.
34
.
35
.

Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
R.Soedjono Prawirisoedarso

55.844

0,15

1

38.356

0,10

1

Gerakan Pilihan Sunda

35.035

0,09

1

Partai Tani Indonesia

30.060

0,08

1

Radja Keprabonan

33.660

0,09

1

Gerakan Banteng Republik
Indonesis (GBRI)
PIR NTB

39.874

0,11

1

33.823

1,09

1

L.M.Idrus Effendi

31.988

0,08

1

Lain-lain

426.856

1,13

1

Jumlah

37.837.10
5

100,00

5149[
9]

Kelebihan dan Kelemahan dari Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955
Kelebihan Pelaksanaan Pemilu 1955
Pemilu 1955 sekalipun merupakan yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia ternyata
mempunyai beberapa catatan positif, antara lain :
a) Tingkat partisipasi rakyat sangat besar ( + 90 % dari semua warga punya hak pilih). Lebih dari
39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar.
b) Prosentase suara yang sah cukup signifikan ( + 80 % dari suara yang masuk) padahal + 70 %
penduduk Indonesia masih buta huruf.
c) Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan
kekerasan.
Kelemahan Pelaksanaan Pemilu 1955
a) Krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

9[9] Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta (Jakarta:Gramedia,1999) hlm:
86-87

Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam
menghasilkan konstitusi baru.
b) Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.
Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang
semula dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan
dan mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil. Selain
itu, tidak adanya pemenang mayoritas juga menimbulkan masalah lain, dimana kekuasaan
terbagi-bagi ke dalam berbagai aliran politik yang akhirnya mengakibatkan sistem pemerintahan
saat itu menjadi tidak stabil.
c) Kekecewaan diantara Partai Politik
Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada berkurang, dengan dua puluh delapan partai
mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Beberapa
pemimpin Masyumimerasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang
dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat rakyat
jelata.10[10]

10[10] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press, 1998), hlm377

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22