Penerapan Paradigma Pembangunan pada Des
TUGAS INDIVIDU
PENERAPAN PARADIGMA PEMBANGUNAN
PADA DESA
OLEH :
LUKMAN HAKIM
P02 421 2507
KONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Paradigma merupakan cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif) dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat
asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam
sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual. Sedangkan
pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana. (Kartasasmita, 1997).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, paradigma pembangunan dapat
didefinisikan sebagai cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan baik pembangunan dalam arti
sebagai proses maupun sebagai metode yang bertujuan untuk mencapai peningkatan
kualitas kehidupan manusia dan kesejahteraan rakyat. Teori pembangunan pun dalam
perkembangannya semakin kompleks yang tidak terikat pada satu disiplin ilmu.
(Bjorn, 1982)
Sebuah desa pun tidak luput dari perubahan paradigma pembangunan, hal ini
merupakan suatu konsekuensi adanya dinamika pembangunan yang telah merubah
kondisi kehidupan masyarakat desa. Hal ini disebabkan karena desa dipandang
sebagai dinamika yang memposisikan desa sebagai entitas yang bergerak yang
mengalami proses dari waktu ke waktu secara mengalir.
Desa yang selama ini kita anggap hanya sebuah entitas statis, ternyata di
dalamnya tersimpan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Desa tidak dapat lagi
hanya dipandang sebagai objek yang simpel dan penuh dengan keteraturan,
melainkan penuh dengan fenomena ketidak teraturan bahkan dapat mengalami
kekacauan (chaos) selama dalam perubahannya.
Banyaknya kontributor yang terlibat dalam dinamika perubahan desa, baik
negara, lembaga donor, peneliti, investor maupun prakarsa dari desa itu sendiri.
Beragam program atau metode ditawarkan pada desa. Interaksi yang terus menerus
inilah yang menyebabkan kompleksitas dalam sebuah keteraturan desa. Tiap-tiap
kontributor membawa teori dan paradigmanya masing-masing untuk dapat
diterapkan pada suatu desa.
Desa dengan berbagai macam karakteristik bentang wilayahnya baik dataran
rendah, dataran tinggi maupun pesisir pun menjalankan paradigma yang ditawarkan
oleh para kontributor tersebut, bahkan ada juga sebuah desa yang mengalami
perubahan yang disebabkan oleh pandangan dari masyarakat desa itu sendiri yang
didasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang dimiliknya.
Teori dan paradigma yang ada yang dibawa oleh para kontributor masingmasing saling berkontestasi dalam memenangkan wacana pembangunan yang ada di
sebuah desa.
Tulisan ini merupakan sebuah ikhtisar dari buku yang berjudul “Sosiologi
Desa” dengan sub judul Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas sebuah hasil
karya Prof. Dr. Darmawan Salman. Buku ini menjelaskan kompleksitas yang ada di
berbagai tipe desa dengan berbagai paradigma yang mengiringi perubahannya.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah :
1. Menjelaskan kompleksitas yang ada di berbagai tipe desa
2. Mengidentifikasi paradigma pembangunan pada tiap-tiap desa
3. Membandingkan paradigma pembangunan pada tiap-tiap desa
1. Revolusi Hijau di Indonesia dan Perubahan Desa Persawahan dan Dataran
Rendah
Pembangunan adalah suatu perubahan yang direncanakan secara sistematis
terhadap suatu negara atau bangsa. Istilah pembangunan ini dicetuskan pertama kali
oleh Presiden Amerika Serikat saat itu Hendry Truman pada tahun 1950-an saat
mengumpulkan para ilmuwan sosial setelah terjadinya Perang Dunia ke II. Saat itu
Amerika Serikat merasa berperan dalam hal perbaikan dan akselerasi negara
berkembang dan juga negara-negara korban perang. Semenjak itulah istilah
pembangunan terus berkembang. Pada tahun 1946/1947 pemerintah Amerika Serikat
membuat kebijakan program ekonomi yang dikenal dengan Rencana Marshall atau
Marshall Plan. Program ekonomi skala besar ini memiliki tujuan untuk membantu
negara-negara Eropa pasca perang dan juga negara berkembang untuk memperbaiki
keadaan ekonomi negaranya. Saat itu pemerintah AS membentuk 2 (dua) lembaga
yang bertugas dalam membantu negara-negara Eropa dan negara berkembang yaitu
World Bank dan International Monetary Funds (IMF).
Masalah yang mendasar dalam pembangunan adalah adanya ketertinggalan
dan keterbelakangan suatu masyarakat. Ketertinggalan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain tatanan yang ada dan berkembang selama ini di dalam
suatu masyarakat, juga nilai-nilai atau norma yang dianut yang biasanya disebut
dengan tradisionalisme. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan dan
keterbelakangan itu adalah dengan melakukan modernisasi.
Modernisasi mengandung 3 makna, yang pertama makna yang sangat umum
meliputi seluruh perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju.
Sedangkan yang kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik,
ekonomi, kultural dan mental yang dialami Barat sejak abad ke-16 dan mencapai
puncaknya di abad 19 dan 20. Makna yang kedua ini sering disebut dengan
“modernitas” yang meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi,
birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi
untuk berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang
ketiga paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau
tertinggal dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang lebih
maju terlebih dahulu (Sztompka, 1993: 149).
Teori Modernisasi lahir pada tahun 1950-an di Amerika Serikat sebagai
respon kaum intelektual terhadap Perang Dunia. Teori ini lahir dalam suasana ketika
dunia memasuki “perang dingin”antara negara-negara Komunis dengan negaranegara “Barat” di bawah pimpinan AS. Teori Modernisasi dapat dilihat dalam 3
bentuk, yakni sebagai sebuah gagasan tentang perubahan sosial, modernisasi sebagai
aliran pemikiran akademis, serta sebagai sebuah bentuk ideologi. Modernisasi
sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner---dari tradisional menuju
modern. Selain itu modernisasi juga memiliki watak yang kompleks, sistematik,
menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia melalui proses
bertahap untuk menuju suatu homogenisasi dan bersifat progresif (Fakih, 2008:54).
Penganut paham Modernisasi banyak sekali, beberapa di antaranya seperti Rostow,
McClelland, Mahbub ul Haq, dsb.
Salah satu tokoh penganut paham modernisasi adalah Walt Rostow. Peneliti
kelahiran Rusia ini telah melakukan penelitian tentang tahapan perkembangan
ekonomi negara maju yang disampaikannya dalam sebuah buku The Stage of
Economic Development dengan subjudul A Non-Communist Manifesto. Dalam hal
ini Rostow menjelaskan adanya 5 (lima) tahapan perkembangan yang dilalui oleh
negara maju. Tahapan tersebut adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
Tahap masyarakat tradisional (Traditional Society Stage)
Tahap prakondisi lepas landas (Precondition for Take Off Stage)
Tahap Lepas Landas (Take-Off Stage)
Tahap gerak menuju kematangan (Drive for Maturity Stage)
Tahap konsumsi massa tinggi (High Mass Consumption Stage)
Menurut Rostow tahapan dalam perkembangan masyarakat tradisional
sampai kepada tahap konsumsi tingkat tinggi secara alami berlangsung selama 300
tahun. Rostow kemudian memberi saran pada pemerintah dengan melakukan
akselerasi perkembangan dari 300 tahun menjadi 50 tahun terhadap negara-negara
berkembang yaitu dengan memberikan bantuan pinjaman melalui World Bank dan
IMF yang digunakan dalam investasi suatu negara karena syarat utama untuk menuju
perubahan yang dicita-citakan adalah modal dan lembaga tersebut (IMF dan World
Bank) merupakan salah satu sumber modal. Filosofi dari Teori Rostow ini adalah
memberikan saran kepada pemerintahan negara berkembang untuk dapat membuka
“keran” investor melalui pihak swasta dalam mengelola Sumber Daya Alam yang
kelak dikemudian hari dikenal dengan istilah liberalisasi.
Tahapan-tahapan pembangunan menurut teori Rostow inilah yang suatu hari
diterapkan pada negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika dan Asia
Tenggara. Indonesia sendiri saat itu tidak menjalankan teori Rostow karena sistem
pemerintahan yang dijalankan pada masa Presiden Soekarno menerapkan kebijakan
untuk tidak melakukan pinjaman luar negeri. Saat kepemimpinan Presiden Soekarno
juga terjadi nasionalisasi terhadap perusahaan asing untuk dijadikan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
Penerapan teori Rostow baru dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada
masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1970an. Pada saat itu dikenal
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun yang dibagi menjadi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Dalam Repelita tersebut mulai dari RPJPT I (Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Pertama), revolusi hijau merupakan wacana yang dominan. Dalam
revolusi hijau tersebut desa persawahan memiliki nilai yang strategis karena menjadi
pusat revolusi tersebut.
Revolusi hijau merupakan pengembangan teknologi pertanian untuk
meningkatkan produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan
pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Tujuan pokoknya adalah untuk
mencukupi tanaman pangan penduduk. Gagasan revolusi hijau bermula dari hasil
penelitian dan pendapat Thomas Robert Malthus yang ditulis dalam buku Essay on
The Principle of Populations pada tahun 1878 yang menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk berjalan lebih cepat dibandingkan dengan tingkat produksi pertanian.
Menurut Malthus, pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan
peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung.
Revolusi hijau pada saat itu didorong oleh belum terpenuhinya kebutuhan
dasar masyarakat salah satunya yaitu terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan
pangan. Permasalahan pembangunan yang utama adalah belum terpenuhinya
kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar inilah yang merupakan tanggung jawab negara
kepada rakyatnya karena terpenuhinya kebutuhan dasar adalah hak yang harus
didapatkan oleh rakyat. Pada saat itu Indonesia diambang ancaman revolusi sosial
yang diakibatkan oleh krisis pangan pada awal masa pembangunan. Selain krisis
pangan, masyarakat pedesaan terutama Jawa menghadapi krisis sosial terkait
peristiwa pemberontakan G 30 S PKI. Indonesia juga dihadapkan pada ancaman
ledakan populasi akibat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Jalan keluar
dalam menghadapi kondisi yang terjadi saat itu adalah dengan melakukan inovasi
untuk mengakselerasi produk hasil pertanian dalam hal ini padi melalui apa yang
disebut dengan revolusi hijau agar kebutuhan masyarakat akan pangan dapat
terpenuhi.
Dalam pelaksanaannya revolusi hijau dimasukkan dalam program Pelita,
terutama untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pertanian dan perkebunan.
Sasaran Pelita I yang dilaksanakan pada periode 1 April 1969 – 31 Maret 1974
adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pangan, sandang, perbaikan sarana
dan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani.
Titik berat pembangunan saat itu adalah pembaharuan bidang pertanian melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian. Metode-metode khusus yang ditempuh oleh pemerintah
antara lain Bimbingan Massal (bimas); Intensifikasi massal (inmas); Intensifikasi
khusus (insus), yang kemudian ditingkatkan menjadi "supra insus" dan Sapta Usaha
Tani. Saat itulah para petani mengalami perubahan pengetahuan serta
keterampilannya dalam mengelola lahan pertanian. Hal ini terjadi karena semakin
intensifnya komunikasi antara para petani dengan penyuluh dan juga lembaga
penelitian terkait masalah inovasi pertanian baik cara pengolahan lahan maupun
teknologi yang digunakan. Lembaga penelitian baik skala nasional maupun
internasional bersama ribuan penyuluh saling bahu-membahu dalam menghantarkan
pengetahuan baru kepada petani sehingga mendorong terjadinya perubahan. Nilainilai ketradisionalan yang selama ini dipegang oleh petani menjadi terpinggirkan.
Peraihan tertinggi revolusi hijau di Indonesia adalah tercapainya swasembada
beras dan desa persawahan muncul sebagai basis swasembada beras di Indonesia.
Pemerintahan saat itu memilih swasembada beras sebagai narasi besar dalam
menggerakkan spirit perubahan terencana dan membebaskan masyarakat dari
ancaman kelaparan. Desa persawahan menjadi primadona dari perayaan keberhasilan
swasembada beras ini. Adapun inti dari swasembada beras adalah meningkatnya
produksi dan produktivitas padi sawah berlipat-lipat sebagai hasil (outcomes) dari
penggunaan bibit unggul, pemberian pupuk sintetis dan aplikasi pestisida.
Dengan swasembada beras, Indonesia telah menjawab spirit zamannya saat
itu. Pada satu sisi keberhasilan swasembada beras memposisikan Indonesia dapat
mengatasi permasalahan utama yang mendasar terpenuhinya kebutuhan pangan
ratusan juta penduduk yang tersebar dalam berbagai wilayah, di sisi lain meneguhkan
pilihan untuk menerima modernisasi dan menerapkan kapitalisme sebagai narasi
besar dalam mengakselerasi perubahan yang dilakukan secara terencana.
Berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu adalah revolusi hijau erat
kaitannya dengan paradigma pembangunan liberal dalam hal ini adalah teori
modernisasi yang ditandai dengan adanya inovasi teknologi dalam pengelolaan
pertanian terutama di desa persawahan. Pembangunan di Indonesia yang saat itu
dibagi menjadi program yang di sebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun) juga
sedikit banyak mengadopsi teori yang disampaikan oleh Walt Rostow melalui 5
(lima) tahap perkembangan masyarakat. Revolusi hijau juga didorong oleh adanya
teori kebutuhan dasar di mana kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang dan
perumahan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara dan hal tersebut
tertuang dalam program Pelita I yang menitikberatkan pembangunan pada
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan perumahan.
2. Revolusi Senyap Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi (Sebuah Penerapan
Teori Marxis dan Teori Post-Strukturalisme)
Desa pedalaman, pinggir hutan dan dataran tinggi memiliki rentang teritorial
yang panjang dan ragam komunitas yang banyak. Desa ini mulai terentang dari
pinggiran kota dataran rendah, masuk ke inti pedalaman lalu mendaki kaki bukit di
atas gunung, selanjutnya merambah ke pinggir dan dalam hutan. Pada sepanjang
teritori itu hidup berbagai komunitas peladang dan perkebun menetap, komunitas
tebas-bakar dan perladang berpindah, komunitas pemburu dan peramu, komunitas
peternak/pastoralis, komunitas agroforestry di pinggir hutan, komunitas adat
terpencil bahkan komunitas penghuni hutan.
Desa pedalaman, pinggir hutan dan dataran tinggi memiliki produk
komoditas yang bermacam-macam. Dari desa ini dihasilkan tanaman pangan dan
hortikultura jagung, sayur mayur, buah-buahan dan ternak yang menyuplai
kebutuhan kota dan desa dataran rendah. Dari desa ini dihasilkan cengkih, kakao,
kopi, teh dan vanili yang mengisi pasar ekspor.
Ketika desa dataran rendah dan persawahan sedang merayakan swasembada
beras melalui revolusi hijaunya, desa pedalaman, desa pinggir hutan dan desa dataran
tinggi tetap dengan ketertinggalannya. Ketika jalan raya sudah terhubung antara desa
dataran rendah dan kota dan seluruh fasilitas sudah dirasakan oleh para masyarakat
persawahan, desa dataran tinggi dan pinggir hutan tetap dengan kebersahajaannya.
Saat itu pembangunan hanya baru dapat dirasakan pada desa dataran rendah
dan belum menyentuh desa pinggir hutan dan dataran tinggi. Desa ini malah
mendapat stigma sebagai desa dengan ketidakmoderenan budaya. Desa pedalaman,
pinggir hutan dan dataran tinggi sebenarnya memiliki realitas yang begitu kompleks.
Setidaknya hal ini dapat dilihat dari tipe sistem pertanian yang ada di sana seperti
pengelolaan tebas-bakar yang disertai pembukaan hutan, sistem agroforestry baik
sederhana maupun yang kompleks dan juga peladangan berpindah.
Jika desa dataran rendah dan persawahan mengalami perubahan melalui
revolusi hijau yang diperoleh dari pengetahuan luar seperti dari pemerintah melalui
penyuluh pertanian, lembaga donor dan juga para akademisi, desa pedalaman dan
dataran tinggi juga mengalami perubahan meskipun tidak membahana seperti desa
persawahan. Jika desa persawahan memperoleh inovasi yang didominasi dari luar
(pemerintah, lembaga donor, akademisi), maka inovasi perubahan yang dialami oleh
desa dataran tinggi justru berasal dari masyarakat itu sendiri hasil dari pengalaman
dan interaksi dengan pihak lain.
Jika revolusi hijau pada desa persawahan kental sekali dengan aroma
modernisasi atau liberalisasi karena adanya modernisasi teknologi pengolahan
maupun pemupukan berupa penggunaan pupuk sintetis yang dibawa oleh para
kontributor dari luar masyarakat desa, desa dataran tinggi dan pedalaman justru
meraih perubahan dari akumulasi pengetahuan masyarakatnya sendiri.
Kasus perkembangan kakao dalam bentuk kebun rakyat di Sulawesi adalah
contohnya. Kakao di Sulawesi Selatan dan Indonesia pada umumnya merupakan
inovasi itu sendiri. Dari kakao itulah berbagai inovasi terpresentasikan. Awal adopsi
kakao bukanlah karena proyek besar seperti yang terjadi pada revolusi hijau padi
persawahan, ia lebih merupakan hasil dari proses belajar masyarakat sendiri.
Berdasarkan teori yang termasuk dalam pendukung Teori Marxis, kasus
Kakao di Desa Tampumea ini termasuk dalam Theory of Participatory Approach.
Adapun tahapan dalam pembelajaran sosial (Social Learning) adalah planning,
implementation, reflection dan conceptualization. Sebelum para petani mulai
menanam Kakao, mereka terlebih dahulu telah menanam padi, tembakau dan kedelai.
Mereka sebenarnya telah mengetahui tentang Kakao berdasarkan informasi yang
diperoleh dari pasukan DI/TII. Jika dalam kasus revolusi hijau desa persawahan
didominasi oleh proyek resmi pemerintah seperti Bimas, Inmas dan Insus, pihak
yang terlibat dalam inisiasi penanaman kakao berasal dari multipihak seperti
pedagang, penyelundup, perkebunan besar bahkan pihak militer.
Petani kebun Kakao memperoleh pengetahuannya berdasarkan Experience
Based Learning Proccess yaitu dari hasil interaksi antara petani, pedagang,
penyelundup dan pihak militer saat itu yang dijadikannya sebagai pengalaman
kemudian diterapkannya dalam bentuk penanaman Kakao.
Setelah itu kakao berkembang pesat di Sulawesi Selatan, ke seluruh Sulawesi
bahkan ke beberapa pulau lainnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hasilnya
bukan hanya mendorong peningkatan pendapatan petani pedalaman dan dataran
tinggi bahkan ikut juga membangkitkan perdagangan lokal hingga ekspor, ia juga
telah mendorong akumulasi dan reakumulasi kapital di desa dan juga telah
mendorong migrasi besar-besaran penduduk desa dataran rendah menuju pusat-pusat
perkembangan kakao. Akhirnya kakao meraih kajayaannya saat itu, sampai
kemudian hama penyakit menyerang dan petani pada berbagai desa bergulat dengan
berbagai inovasi dalam menghadapi serangan tersebut.
Jika pada masyarakat desa persawahan telah mengenal dan menggunakan
pestisida dalam membasmi hama tanaman padi, tidak demikian dengan masyarakat
desa dataran tinggi dan pedalaman. Mereka menggunakan pengetahuan mereka
untuk menghadapi serangan Perusak Batang Kakao (PBK). Di Halmahera Utara pada
1990-an, para petani menggunakan semut merah, membuat api kecil dari daun
kelapa, membakar rumput atau ban bekas di antara baris tanaman kakao menjelang
matahari terbenam atau mengecat buah kakao dengan minyak. Selain itu metode
perladangan berpindah secara parsial juga merupakan inovasi yang dilakukan para
petani dalam menghadapi PBK. Di Sulawasi Tengah pada 1999, petani
menumpangsarikan kakao dengan kelapa sebagai strategi mengatasi serangan PBK.
Selain sebagai metode untuk menghadapi serangan PBK, kelapa juga dapat dijadikan
sebagai sumber penghasilan jika pendapatan dari kakao menurun.
Para petani di desa sebenarnya memiliki pengetahuan dalam menganalisis
permasalahan yang terjadi meskipun itu secara sederhana. Dalam hal
penanggulangan serangan Perusak Batang Kakao (PBK), para petani memiliki teknik
untuk menghadapi serangan hama tersebut. Pengetahuan yang dimiliki petani inilah
yang biasa kita sebut dengan indigenous knowledge dan juga suatu bentuk kearifan
lokal (local wisdom). Indigenous knowledge dan local wisdom inilah suatu bentuk
pemikiran posmodernisme. Ketika para petani di desa persawahan telah
menggunakan pupuk sintetis dalam mengendalikan hama, para petani kakao di
beberapa daerah seperti Halmahera dan Sulawesi Tengah menggunakan pengetahuan
asli yang dimilikinya untuk mengendalikan serangan Perusak Batang Kakao (PBK).
3. Inovasi Multipihak pada Pengelolaan Hutan di Konawe Selatan
Desa pinggir hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan
sebagai sumber matapencahariannya. Sebagian besar dari warganya meramu rotan
dan damar, mengambil air nira, memenuhi bangunan rumah dan kayu bakar,
menangkap ternak dan burung serta berladang-berpindah di dalam hutan.
Para komunitas di desa pinggir hutan pun menggunakan kearifan lokal yang
dimilikinya untuk menjaga keeksistensian serta keberlanjutan hutan agar sumber
mata pencahariannya tetap ada.
Seiring berjalannya waktu populasi penduduk di desa pinggir hutan
mengalami pertumbuhan. Angka kelahiran yang tinggi dan migrasi penduduk yang
keluar rendah merupakan pemicu pemadatan populasi desa pinggir hutan. Izin HPH
yang terus bermunculan menjadikan hutan semakin mengalami keterancaman. Saat
itulah angka laju deforetasi semakin meningkat. Pengelolaan hutan yang
serampangan dan dilarangnya masyarakat desa hutan untuk mencari pendapatan di
dalam hutan menjadikan konflik antara pengelola HPH dan masyarakat semakin
tajam.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk menjembatani pihakpihak yang saling bertikai tersebut. Paradigma pengelolaan hutan pun berubah dari
State Based Forestry menjadi Community Based Forestry. Perubahan paradigma
pengelolaan hutan tersebut bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan hutan, masyarakat ikut dilibatkan dalam usaha pengelolaan hutan bukan
sebagai pihak yang dikeluarkan atau dipinggirkan dari pengelolaan hutan.
Program-program pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat ini
diselenggarakan oleh banyak pihak seperti pihak pemerintah, LSM, Perguruan
Tinggi.
Pelibatan berbagai pihak dalam pengelolaan hutan ini merupakan aplikasi
dari Teori Pembebasan Marxis yaitu antara lain Teori Pengembangan Masyarakat
atau Community Development. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai
suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan
sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
Dalam hal masyarakat pinggir hutan, pemberdayaan masyarakat dapat dilihat
pada kasus pengelolaan hutan di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Konawe Selatan memiliki potensi hutan jati seluas 38.959 ha yang tersebar pada
empat kecamatan dan 46 desa. Masalah utama pengelolaan hutan pada tahun 1990-an
adalah illegal logging yang mengancam kelestarian hutan. Sehingga pada tahun 2002
diperkenalkanlah program Social Forestry (SF) yang intinya adalah melibatkan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan. Social Forestry merupakan suatu alat
pendekatan dalam mengatasi konflik yang terkait dengan pengelolaan hutan yang ada
di daerah.
Kemudian Social Forestry mulai dikenalkan di Kendari yang disosialisasikan
oleh BPDAS Sampara dan Radio Suara Alam Kendari. Setelah itu pada tahun 2003
dilatihlah 20 orang calon fasilitator Social Forestry (SF) dari LSM dan Dinas
Kehutanan. Fasilitator inilah yang nantinya akan mendampingi masyarakat untuk
ikut aktif terlibat dalam pengelolaan hutan jati di Konawe Selatan.
Pelibatan masyarakat ini antara lain dalam hal pembuatan peta partisipatif
menggantikan peta kawasan sebelumnya yang bertujuan untuk mengatasi konflik
dalam hal penentuan batas area kelola. Pemetaan partisipatif ini didukung oleh JICADephut yang kemudian melahirkan peta kelola kawasan untuk setiap kelompok dan
dikompilasi oleh BPDAS Sampara.
Berdasarkan tahapan dalam teori Community Development, kegiatan
pembuatan peta partisipatif ini termasuk dalam tahap Technical Assistance
Approach. Maksudnya adalah para fasilitator yang telah dilatih oleh P3AE-UI ini
mendampingi masyarakat yang tujuannya adalah melakukan peningkatan
kemampuan teknis komunitas. Jika kemampuan teknis telah dimiliki oleh
masyarakat, diharapkan dalam masyarakat tersebut akan tumbuh sifat kemandirian
(Self-Help Approach).
Setelah Kelompok Social Forestry (KSF) terbentuk, kemudian disepakati juga
pembentukan koperasi yang akan mengelola unit usaha KSF, di mana KSF bertindak
sebagai badan pengawas koperasi. Dinas Perdagangan, UKM dan Koperasi
diamanahkan mendorong penguatan kelembagaan koperasi tersebut. Koperasi
tersebut kemudian diberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL).
Pemberdayaan masyarakat terus dilakukan antara lain dengan diikutkannya
para masyarakat yang terlibat dalam KSF tersebut dalam pelatihan-pelatihan
pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti pelatihan inventarisasi hutan, magang
GIS serta kunjungan shared-learning.
Dalam hal keikutsertaan pada berbagai pelatihan pengelolaan hutan
merupakan suatu bentuk aplikasi dari Teori Community Empowerment. Masyarakat
menjadi bertambah pengetahuannya dalam hal pengelolaan hutan.
4. Multi Paradigma Pembangunan pada Desa Pantai dan Pesisir
4.1 Modernisasi Alat Tangkap dan Pembuatan Perahu
Sebagian besar kota di Indonesia merupakan kota pantai, akan tetapi sebagian
besar isi pantai dan pesisir itu adalah desa. Pada tahun 2011 terdapat 10.630 desa
berciri pantai dan pesisir dengan penduduk sekitar 7,8 juta jiwa yang penghasilannya
kurang dari $1/hari. (Bakti News, 2011).
Dahulu sejarah tentang kemaritiman Indonesia begitu membahana, akan
tetapi semua itu telah berubah. Desa pesisir dan pantai semakin termarjinalkan.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belum dapat menyentuh desa pesisir
dan pantai. Kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui kementerian dan juga
perencanaan belum dapat merubah kondisi masyarakat desa pesisir dan pantai ke
arah yang lebih baik.
Di saat pembangunan di daratan sudah semakin maju, desa pantai dan pesisir
semakin jauh mengalami ketertinggalan. Daerah-daerah yang dahulu terkenal akan
kejayaan kemaritimannya kini telah memudar. Banjarmasin yang peradaban
sungainya telah dikenal luas kini mengalami kemunduran akibat pelaksanaan
pembangunan yang berorientasi pada daratan.
Desa pantai dan pesisir tengah berada dalam kerentanan akan bencana, di
mana rumah-rumah mereka rawan akan tiupan angin kencang dan ombak yang
begitu kencang. Komunitas nelayan yang memiliki formasi sosial komersial semi
kapitalis yang telah menggunakan teknologi modern dan perahu bermesin yang
bekerjasama dengan para pemilik modal telah terjadi kesenjangan yang begitu besar
dalam hal pendapatan antara pemilik modal dan pekerja.
Keterpencilan desa pantai dan pesisir yang menjadikan fasilitas-fasilitas
umum serasa begitu jauh seperti keberadaan guru, paramedis baik suster maupun
dokter.
Tetapi dibalik cerita sedih mengenai desa pantai dan pesisir ini, masih ada
cerita menarik mengenai desa ini. Desa yang semakin mengalami ketertinggalan ini
ternyata terdapat geliat perubahan meskipun perubahan tersebut tidak begitu
membahana. Banyak paradigma yang sebenarnya tersimpan di desa pantai dan
pesisir ini yang menunjukkan kekompleksitasannya.
Jika revolusi hijau pada desa persawahan terasa begitu jelas terlihat,
sebenarnya desa pantai dan pesisir juga pernah mengalami hal yang serupa yaitu
yang disebut dengan revolusi biru meskipun tidak segegap gempita desa persawahan.
Jika desa persawahan mengalami modernisasi dalam pengelolaan pertanian seperti
penggunaan pupuk sintetis dan pestisida, begitu juga yang terjadi dengan desa pantai
dan pesisir. Modernisasi alat tangkap dan juga perahu telah dialami oleh para
penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Modernisasi pada desa pantai dan pesisir terjadi pada tahun 1980-an.
Transformasi yang ingin dijalankan dari nelayan tradisional-subsisten menjadi
nelayan modern-komersial adalah salah satu bentuk modernisasi. Perubahan alat
tangkap yang sederhana menjadi yang lebih canggih sehingga dapat menjangkau laut
dalam. Begitu juga dengan penggunaan perahu layar bertonase kecil yang hendak
bertransformasi menjadi kapal bertonase besar dengan menggunakan mesin.
Kelembagaan yang bersifat patron-klien yang hendak ditransformasikan menjadi
kelembagaan formal dalam ikatan ekonomi-rasional.
Contoh inovasi yang terjadi pada desa pantai dan pesisir adalah yang terjadi
pada nelayan di Kelurahan Tanah Jaya, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan. Sampai dengan tahun 1970-an, alat tangkap yang digunakan oleh
para nelayan adalah berupa panah, tombak, pancing, jala dan sero. Perahu yang
digunakan adalah sampan kecil, perahu bercadik atau perahu layar kecil yang
dioperasionalkan secara individual dalam keadaan ikan bergerak.
Perubahan terjadi saat teknologi bagan mulai dipergunakan. Bagan ini
merupakan teknologi yang dimiliki oleh nelayan dari Pulau Sembilan (Sinjai).
Prinsip kerja bagan adalah menjinakkan ikan sebelum ditangkap. Tidak hanya
perubahan teknolgi alat tangkap yaitu bagan, kelembagaan juga akhirnya terbentuk
yang disebut dengan pungkaha-sahi (yang memimpin-anggota) yaitu antara si
pemilik modal pemilik bagan yang juga memiliki kemampuan manajerial dengan
pekerja.
Inovasi teknologi bagan dan juga kelembagaan pungkaha-sahi inilah yang
menjadikan produktivitas tangkapan nelayan kecamatan Kajang mulai meningkat.
Inovasi alat tangkap terjadi kembali pada tahun 1977 dari hasil interaksi
dengan nelayan dari Kajang yang bekerja pada kelompok nelayan panja Bone yaitu
adanya teknologi rompong dan panja (gill-net). Peningkatan produksi pun terjadi
sehingga mendorong lahirnya kelompok pedagang ikan serta usaha ikan asap dan
ikan pindang.
Ada juga teknologi gae (purse seine) yang diadopsi oleh nelayan Tanah Jaya
dari Bone pada tahun 1980. Selain inovasi teknologi alat tangkap, juga terdapat
inovasi kelembagaan yang merupakan bagian dari proyek pemerintah saat itu yakni
dengan pembentukan KUD-Mina yang merupakan wadah nelayan dalam
mengorganisir diri dan memperoleh pinjaman permodalan meskipun pada akhirnya
KUD Mina tidak mengalami kelanjutan akibat krisis kepengurusan dan kurangnya
fasilitasi oleh pemerintah. Akan tetapi ada beberapa pungkaha yang sukses dengan
pengelolaan usaha gae dengan memanfaatkan pinjaman modal dari KUD Mina.
Pada tahun 1995 pemancing tuna dari Bone memperkenalkan rompong
Taiwan yang memang merupakan buatan perusahaan asing Taiwan. Perahu pun
didesain untuk merepon penggunaan rompong Taiwan ini yang menyediakan ruang
penyimpanan es balok agar ikan tetap segar.
Modernisasi juga terjadi pada proses pembuatan perahu, salah satu contohnya
adalah komunitas pembuat perahu pinisi di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan yang berasal dari Desa Ara dan Kelurahan Tanalemo.
Dahulu desa ini masyhur akan pandai perahunya. Perahu yang mereka buat banyak
digunakan oleh saudagar Konjo, Makassar dan Bugis hingga tahun 1970-an.
Kemunduran terjadi saat pemerintah menerapkan regulasi modernisasi pelayaran dan
saudagar Tionghoa mengambil alih bisnis perkapalan dengan menggunakan kapal
bermesin.
Inovasi peralatan, bahan produksi dan cara kerja yang tradisional mulai
dilakukan oleh para komunitas pandai perahu dari Desa Ara dan Tanaberu saat
peralihan pasar dari perahu pinisi tradisional menjadi pasar kapal bermesin.
Perkembangan terutama terjadi antara sebelum dan sesudah pertengahan tahun 1970an. Saat itu terjadi perubahan pasar dari saudagar pelayaran lokal ke pengusaha
Tionghoa dan pembeli dari luar negeri. Inovasi teknologi yang dilakukan merupakan
suatu bentuk strategi dalam merespons peningkatan volume kerja, baik karena
ukuran perahu yang makin besar, bertambahnya komponen perahu maupun adanya
peningkatan permintaan.
Perkembangan teknologi tersebut mendorong adanya peningkatan
kemampuan kerja sehingga volume kerja yang lebih besar dapat terselesaikan.
Peralatan yang digunakan oleh para pandai perahu sebelum pertengahan 1970-an
merupakan peralatan yang sederhana, manual dan diproduksi dengan memanfaatkan
pengetahuan lokal asli seperti gergaji bantam, gergaji pemotong, gergaji dorong,
gergaji kecil, kampak dan cangkul kayu.
Selain peralatan yang sederhana, bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan perahu juga menggunakan bahan yang tradisional seperti pasak dari kayu.
Lem yang digunakan sebagai perekat pun berasal dari alam yaitu berasal dari kulit
kayu yang ditumbuk bersama air. Ada juga perekat yang menggunakan bahan dasar
kerak pelepah enau yang dikeringkan kemudian ditumbuk, dempul yang berasal dari
kapur dan minyak yang kemudian dikentalkan.
Peralatan elektronik mulai dikenal pada pertengahan tahun 1970-an yaitu
penggunaan mesin bor, ketam listrik, chain saw, amplas listrik yang kesemuanya
menggantikan alat-alat tradisional. Pasak kayu yang dahulu digunakan kemudian
berganti dengan bahan-bahan sintetis seperti baut atau mur besi. Perekat alami telah
berganti dengan lem sintetis yang dapat dibeli di toko.
Ketergantungan terhadap peralatan modern dan bahan sintetis terjadi ketika
para pandai perahu tersebut semakin sering berinteraksi dengan pasar di luar
komunitasnya. Indigenous knowledge pun semakin terabaikan berganti dengan
penggunaan teknologi modern.
Modernisasi yang dialami masyarakat desa penangkap ikan dan pembuat
perahu telah mentransformasikan pengetahuan mereka. Produktivitas dan
efektifitaspun terjadi di kedua desa tersebut. Revolusi biru pun terjadi, akan tetapi
transformasi tersebut belum dapat menggerakkan masyarakat nelayan menjadi
masyarakat industri pengolahan ikan. Begitu juga dengan masyarakat pembuat kapal,
revolusi yang terjadi berupa perubahan penggunaan peralatan dan bahan pembuat
kapal belum cukup menjadikan masyarakat tersebut menjadi masyarakat industri
perkapalan.
4.2 Program Pemberdayaan Masyarakat Desa pantai dan Pesisir
Selain modernisasi yang terjadi pada komunitas desa pengkap ikan dan
pembuat kapal yang erat dengan pembangunan paradigma ala Liberalisme, desa
pantai dan pesisir juga ternyata mengimplementasikan paradigma pembangunan
marxis yaitu adanya program pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan
masyarakat pantai dan pesisir ini dapat dilihat pada adanya 2 (dua) kegiatan besar
yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Coral Reef
Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
PEMP merupakan satu bentuk program pemberdayaan masyarakat yang
memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui
pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas SDM dan penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan
perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Penerima manfaat PEMP adalah
masyarakat pesisir yang berusaha sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pedagang
hasil perikanan, pengolah ikan, pengusaha jasa perikanan, pengelola pariwisata
bahari serta usaha/kegiatan lainnya yang terkait dengan kelautan dan perikanan
seperti pengadaan bahan dan alat perikanan serta bahan bakar minyak (solar packed
dealer) atau depot BBM yang tergolong skala usaha mikro dan kecil.
Dalam Teori Community Development terdiri dari bebrapa bagian yaitu
Technical Assistance Approach, Self-Help Approach dan Conflict Approach. Pada
tahap Technical Assistance Approach, program PEMP ini merupakan program
multipihak yang melibatkan beberapa elemen seperti pemerintah pusat dalam hal ini
Departemen Perikanan dan Kelautan, pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi/Kabupaten) dan konsultan manajemen yang bertugas pada
konsolidasi kelembagaan ekonomi yang ada di sana yaitu Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) juga berperan sebagai Tenaga
Pendamping Desa (TPD) yang mendampingi dan memfasilitasi secara teknis dan
manajerial kelompok usaha ekonomi produktif. Pendampingan yang dilakukan para
lembaga multipihak ini tujuannya adalah meningkatkan kemampuan teknis
komunitas baik kemampuan manajerial dan juga pengembangan jaringan usaha
antara masyarakat pesisir dengan kelompok lain, LSM, swasta dan pemerintah.
Sehingga diharapkan dari hasil peningkatan kemampuan teknis tersebut, masyarakat
pesisir dapat tumbuh rasa kemandiriannya yang kemudian pada akhirnya masyarakat
diharapkan dapat mengatasi jika ada permasalahan yang terjadi di kemudian hari.
Dalam Teori Pendidikan Pembebasan yang dicetuskan oleh Paulo Freire,
pendidikan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan kesadaran kritis individu
tentang situasi lingkungannya dalam hal ini pendidikan harus dapat menyentuh
kesadaran masyarakat. COREMAP merupakan program pemberdayaan masyarakat
yang tujuannya adalah melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan terumbu karang.
Komponen pertama dari tujuan program ini adalah peningkatan kesadaran publik
(public awareness) mengenai pentingnya kepedulian atas pelestarian terumbu karang.
Cara-cara yang dilakukan untuk dapat menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya keberadaan dan kelestarian terumbu karang antara lain dengan
melalui berbagai instrumen seperti : penyebaran buku, brosur, leaflet, seminar,
pelatihan dan workshop, pembuatan pondok dan papan informasi, pengembangan
kurikulum muatan lokal, pemberitaan, diskusi dan iklan radio dan TV lokal, lomba
tulis, foto dan cerdas cermat, penyebaran poster-baju-topi, penguatan jurnalis
lingkungan, pameran, pemilihan duta karang dan sebagainya. Publikasi tentang
penyelamatan terumbu karang juga merupakan bagian dari upaya untuk merubah
pengetahuan masyarakat tentang arti pentingnya terumbu karang dan ini merupakan
bagian dari teori Community Empowerment (Penguatan Masyarakat).
Pengelolaan bersama masyarakat atau Community Based Management juga
diterapkan pada proyek COREMAP ini yaitu dengan dibentuknya Lembaga
Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM). Selain itu, dibentuk juga kelompok masyarakat (pokmas) dan kelompok
gender serta kelompok masyarakat pengawas. (pokmaswas).
Dalam teori Participatory Approach, pendampingan yang dilakukan oleh
institusi atau lembaga haruslah mengadopsi pengalaman masyarakat setempat.
Begitupun yang terjadi pada program COREMAP ini, melalui LPSTK desa pesisir
membuat Rencana Pengelolaan Terumbu Karang secara partisipatif. Di dalamnya
mereka menentukan daerah perlindungan laut bagi wilayahnya yang kemudian
disepakati lokasi terumbu karang yang harus dipelihara bersama.
4.3 Representasi Identitas Masyarakat Desa Pantai dan Pesisir (Aplikasi Teori
Post-Srukturalisme)
Secara terminologi Post-Strukturalisme berasal dari terminologi
Strukturalisme yang diberi prefiks ‘post’, yang berarti bahwa Post-strukturalisme
merupakan dekonstruksi dari konsep Strukturalisme. Strukturalisme sendiri adalah
sebuah perspektif yang mengkaji mengenai konstruksi sosial budaya struktur-struktur
yang dapat memberi makna terhadap kehidupan kita serta membentuk perilaku kita.
Sedangkan Post-Strukturalisme menganalisa struktur yang membentuk maknamakna sosial. Artinya, konsep mengenai identitas yang memberi makna terhadap
suatu objek merupakan suatu aspek penting bagi Post-Strukturalisme (Campbell,
2007).
Dalam hal definisi wacana pembangunan, dunia baratlah yang memenangkan
kontestasi wacana tersebut sehingga saat ini indikator pembangunan yang kita kenal
antara lain seperti Growth, GDP, Human Poverty Index (HPI), Human Development
Index (HDI) dan sebagainya yang merupakan wacana yang dilemparkan oleh dunia
barat dan negara-negara berkembang pun mengakuinya. Pemenangan wacana oleh
dunia barat ini didukung oleh adanya faktor kuatnya pengetahuan mereka sehingga
mereka (dunia barat) berani untuk memproduksi wacana dalam hal ini wacana
tentang pembangunan.
Hal yang seharusnya dilakukan oleh negara-negara berkembang adalah
dengan melakukan penguatan pengetahuan (empowering knowledge) sehingga suatu
saat akan ikut dalam kontestasi wacana.
Pandangan poststrukturalis dalam ruang lingkup yang lebih kecil dapat dilihat
pada fenomena adanya pemekaran daerah di beberapa daerah di Indonesia. Perspektif
poststrukturalis yang fokusnya adalah representasi diri dan perjuangan identitas
merupakan keberkahan tersendiri dari adanya pemekaran daerah.
Representasi identitas setidaknya kita dapat lihat pada sekumpulan desa
pantai dan pesisir pada pulau kecil seperti Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan
Binongko yang kita kenal dengan dengan Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Wakatobi menunjukkan identitasnya sebagai kawasan yang memiliki potensi
keanekaragaman hayati yang ada di bawah laut. Representasi identitas itu dinyatakan
dalam visi daerahnya yaitu “Mewujudkan Surga Nyata Bawah Laut di Simpang Tiga
Karang Dunia” yang kemudian dicanangkanlah visi jangka panjangnya untuk
menjadi “Pusat Biodiversitas Dunia”.
Kabupaten Raja Ampat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong,
saat ini telah menunjukkan identitas dirinya melalui keunikan etnisnya dan
keindahan perairan serta kekayaan lautnya yang kita dapat lihat di media-media baik
cetak maupun elektronik.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa desa yang
selama ini kita anggap hanya sebuah realitas yang statis ternyata tersimpan begitu
banyak kompleksitas. Banyak paradigma yang terhimpun di dalamnya, karena begitu
banyak kontributor yang terlibat dalam dinamika perubahan pada tiap-tiap desa
tersebut.
Paradigma pembangunan baik Liberal, Marxis maupun Post-Strukturalis
ternyata telah terepresentasikan pada tiap-tiap desa. Revolusi pun terjadi baik yang
membahana maupun yang gerilya. Inovasi yang dilakukan oleh masyarakat tiap-tiap
tipe desa ikut membawa perubahan. Desa persawahan mengalami perubahan dengan
Revolusi Hijaunya yang kemudian terkenal dengan Swasembada beras, desa dataran
tinggi yang mengaplikasikan penanaman Kakao dari hasil interaksi dengan berbagai
pihak, desa pinggir hutan yang mengimplementasikan teori Community Development
dalam pengelolaan hutan jati bahkan paradigma post-strukturalis yang mulai
digemakan oleh masyarakat Wakatobi dan Raja Ampat.
Kesemua paradigma yang diterapkan pada berbagai tipe desa tersebut
merupakan hasil dari pertarungan wacana pengetahuan yang dibawa oleh berbagai
pihak.
Keseluruhan dari fenomena dinamika perubahan dan kompleksitas yang
mengiri perkembangan sebuah desa dapat disimpulkan dalam sebuah tabel di bawah
ini :
Isu
Desa
Dataran Rendah dan
Persawahan
Dataran Tinggi dan
Pedalaman
Pinggir Hutan
Pantai dan Pesisir
Liberal/Modernisme
Marxis2 dan Post-strukturalis3
Marxis
Liberal1, Marxis2 dan Poststrukturalis3
Teori Pendukung
Teori Kebutuhan Dasar,
Modernisme
Theory of Participatory
Approach2
Community Development2
Modernisme1, Community
Development2, Pendidikan
Pembebasan2
Narasi Perubahan
Revolusi Hijau
(Swasembada Beras)
1. Experience Based Learning
Proccess2
2. Aplikasi Pengetahuan Lokal3
Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat
Bentuk / Contoh
Inovasi
Penggunaan pupuk sintetis,
penggunaan pestisida
1.Penanaman Kakao2
2.Teknik penanggulangan PBK3
Kelompok Social Forestry
Kontributor
Perubahan
Pemerintah, Penyuluh,
Akademisi, Peneliti
- Militer, penyelundup,
pedagang2
- Masyarakat Lokal3
1. Revolusi Biru1
2. Pemberdayaan
masyarakat pesisir2
3. Representasi Desa3
1. Pembuatan alat tangkap
dan bahan pembuat
perahu yang modern1
2. Program PEMP dan
COREMAP2
3. Visi daerah sesuai
karakteristik unik yang
dimiliki (Wakatobi dan
Raja Ampat3
1. Nelayan luar komunitas1
2. Lembaga donor,
pemerintah, masyarakat
3. Masyarakat lokal
Paradigma
Multipihak (pemerintah,
LSM, peneliti, lembaga
donor, masyarakat)
Tabel Perbandingan Penerapan Paradigma Pembangunan pada tiap Tipe Desa
Daftar Pustaka
Campbell, David., 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve
Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp.
203-228.
Salman, D., 1995. Arah Perubahan Sosial di Pedesaan Pasca Revolusi Hijau,
Analisis, Januari-Februari. Jakarta : CSIS
Salman, D., 2012. Sosiologi Desa, Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas.
Makassar: Inninawa.
PENERAPAN PARADIGMA PEMBANGUNAN
PADA DESA
OLEH :
LUKMAN HAKIM
P02 421 2507
KONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Paradigma merupakan cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif) dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat
asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam
sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual. Sedangkan
pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana. (Kartasasmita, 1997).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, paradigma pembangunan dapat
didefinisikan sebagai cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan baik pembangunan dalam arti
sebagai proses maupun sebagai metode yang bertujuan untuk mencapai peningkatan
kualitas kehidupan manusia dan kesejahteraan rakyat. Teori pembangunan pun dalam
perkembangannya semakin kompleks yang tidak terikat pada satu disiplin ilmu.
(Bjorn, 1982)
Sebuah desa pun tidak luput dari perubahan paradigma pembangunan, hal ini
merupakan suatu konsekuensi adanya dinamika pembangunan yang telah merubah
kondisi kehidupan masyarakat desa. Hal ini disebabkan karena desa dipandang
sebagai dinamika yang memposisikan desa sebagai entitas yang bergerak yang
mengalami proses dari waktu ke waktu secara mengalir.
Desa yang selama ini kita anggap hanya sebuah entitas statis, ternyata di
dalamnya tersimpan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Desa tidak dapat lagi
hanya dipandang sebagai objek yang simpel dan penuh dengan keteraturan,
melainkan penuh dengan fenomena ketidak teraturan bahkan dapat mengalami
kekacauan (chaos) selama dalam perubahannya.
Banyaknya kontributor yang terlibat dalam dinamika perubahan desa, baik
negara, lembaga donor, peneliti, investor maupun prakarsa dari desa itu sendiri.
Beragam program atau metode ditawarkan pada desa. Interaksi yang terus menerus
inilah yang menyebabkan kompleksitas dalam sebuah keteraturan desa. Tiap-tiap
kontributor membawa teori dan paradigmanya masing-masing untuk dapat
diterapkan pada suatu desa.
Desa dengan berbagai macam karakteristik bentang wilayahnya baik dataran
rendah, dataran tinggi maupun pesisir pun menjalankan paradigma yang ditawarkan
oleh para kontributor tersebut, bahkan ada juga sebuah desa yang mengalami
perubahan yang disebabkan oleh pandangan dari masyarakat desa itu sendiri yang
didasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang dimiliknya.
Teori dan paradigma yang ada yang dibawa oleh para kontributor masingmasing saling berkontestasi dalam memenangkan wacana pembangunan yang ada di
sebuah desa.
Tulisan ini merupakan sebuah ikhtisar dari buku yang berjudul “Sosiologi
Desa” dengan sub judul Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas sebuah hasil
karya Prof. Dr. Darmawan Salman. Buku ini menjelaskan kompleksitas yang ada di
berbagai tipe desa dengan berbagai paradigma yang mengiringi perubahannya.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah :
1. Menjelaskan kompleksitas yang ada di berbagai tipe desa
2. Mengidentifikasi paradigma pembangunan pada tiap-tiap desa
3. Membandingkan paradigma pembangunan pada tiap-tiap desa
1. Revolusi Hijau di Indonesia dan Perubahan Desa Persawahan dan Dataran
Rendah
Pembangunan adalah suatu perubahan yang direncanakan secara sistematis
terhadap suatu negara atau bangsa. Istilah pembangunan ini dicetuskan pertama kali
oleh Presiden Amerika Serikat saat itu Hendry Truman pada tahun 1950-an saat
mengumpulkan para ilmuwan sosial setelah terjadinya Perang Dunia ke II. Saat itu
Amerika Serikat merasa berperan dalam hal perbaikan dan akselerasi negara
berkembang dan juga negara-negara korban perang. Semenjak itulah istilah
pembangunan terus berkembang. Pada tahun 1946/1947 pemerintah Amerika Serikat
membuat kebijakan program ekonomi yang dikenal dengan Rencana Marshall atau
Marshall Plan. Program ekonomi skala besar ini memiliki tujuan untuk membantu
negara-negara Eropa pasca perang dan juga negara berkembang untuk memperbaiki
keadaan ekonomi negaranya. Saat itu pemerintah AS membentuk 2 (dua) lembaga
yang bertugas dalam membantu negara-negara Eropa dan negara berkembang yaitu
World Bank dan International Monetary Funds (IMF).
Masalah yang mendasar dalam pembangunan adalah adanya ketertinggalan
dan keterbelakangan suatu masyarakat. Ketertinggalan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain tatanan yang ada dan berkembang selama ini di dalam
suatu masyarakat, juga nilai-nilai atau norma yang dianut yang biasanya disebut
dengan tradisionalisme. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan dan
keterbelakangan itu adalah dengan melakukan modernisasi.
Modernisasi mengandung 3 makna, yang pertama makna yang sangat umum
meliputi seluruh perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju.
Sedangkan yang kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik,
ekonomi, kultural dan mental yang dialami Barat sejak abad ke-16 dan mencapai
puncaknya di abad 19 dan 20. Makna yang kedua ini sering disebut dengan
“modernitas” yang meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi,
birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi
untuk berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang
ketiga paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau
tertinggal dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang lebih
maju terlebih dahulu (Sztompka, 1993: 149).
Teori Modernisasi lahir pada tahun 1950-an di Amerika Serikat sebagai
respon kaum intelektual terhadap Perang Dunia. Teori ini lahir dalam suasana ketika
dunia memasuki “perang dingin”antara negara-negara Komunis dengan negaranegara “Barat” di bawah pimpinan AS. Teori Modernisasi dapat dilihat dalam 3
bentuk, yakni sebagai sebuah gagasan tentang perubahan sosial, modernisasi sebagai
aliran pemikiran akademis, serta sebagai sebuah bentuk ideologi. Modernisasi
sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner---dari tradisional menuju
modern. Selain itu modernisasi juga memiliki watak yang kompleks, sistematik,
menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia melalui proses
bertahap untuk menuju suatu homogenisasi dan bersifat progresif (Fakih, 2008:54).
Penganut paham Modernisasi banyak sekali, beberapa di antaranya seperti Rostow,
McClelland, Mahbub ul Haq, dsb.
Salah satu tokoh penganut paham modernisasi adalah Walt Rostow. Peneliti
kelahiran Rusia ini telah melakukan penelitian tentang tahapan perkembangan
ekonomi negara maju yang disampaikannya dalam sebuah buku The Stage of
Economic Development dengan subjudul A Non-Communist Manifesto. Dalam hal
ini Rostow menjelaskan adanya 5 (lima) tahapan perkembangan yang dilalui oleh
negara maju. Tahapan tersebut adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
Tahap masyarakat tradisional (Traditional Society Stage)
Tahap prakondisi lepas landas (Precondition for Take Off Stage)
Tahap Lepas Landas (Take-Off Stage)
Tahap gerak menuju kematangan (Drive for Maturity Stage)
Tahap konsumsi massa tinggi (High Mass Consumption Stage)
Menurut Rostow tahapan dalam perkembangan masyarakat tradisional
sampai kepada tahap konsumsi tingkat tinggi secara alami berlangsung selama 300
tahun. Rostow kemudian memberi saran pada pemerintah dengan melakukan
akselerasi perkembangan dari 300 tahun menjadi 50 tahun terhadap negara-negara
berkembang yaitu dengan memberikan bantuan pinjaman melalui World Bank dan
IMF yang digunakan dalam investasi suatu negara karena syarat utama untuk menuju
perubahan yang dicita-citakan adalah modal dan lembaga tersebut (IMF dan World
Bank) merupakan salah satu sumber modal. Filosofi dari Teori Rostow ini adalah
memberikan saran kepada pemerintahan negara berkembang untuk dapat membuka
“keran” investor melalui pihak swasta dalam mengelola Sumber Daya Alam yang
kelak dikemudian hari dikenal dengan istilah liberalisasi.
Tahapan-tahapan pembangunan menurut teori Rostow inilah yang suatu hari
diterapkan pada negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika dan Asia
Tenggara. Indonesia sendiri saat itu tidak menjalankan teori Rostow karena sistem
pemerintahan yang dijalankan pada masa Presiden Soekarno menerapkan kebijakan
untuk tidak melakukan pinjaman luar negeri. Saat kepemimpinan Presiden Soekarno
juga terjadi nasionalisasi terhadap perusahaan asing untuk dijadikan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
Penerapan teori Rostow baru dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada
masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1970an. Pada saat itu dikenal
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun yang dibagi menjadi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Dalam Repelita tersebut mulai dari RPJPT I (Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Pertama), revolusi hijau merupakan wacana yang dominan. Dalam
revolusi hijau tersebut desa persawahan memiliki nilai yang strategis karena menjadi
pusat revolusi tersebut.
Revolusi hijau merupakan pengembangan teknologi pertanian untuk
meningkatkan produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan
pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Tujuan pokoknya adalah untuk
mencukupi tanaman pangan penduduk. Gagasan revolusi hijau bermula dari hasil
penelitian dan pendapat Thomas Robert Malthus yang ditulis dalam buku Essay on
The Principle of Populations pada tahun 1878 yang menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk berjalan lebih cepat dibandingkan dengan tingkat produksi pertanian.
Menurut Malthus, pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan
peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung.
Revolusi hijau pada saat itu didorong oleh belum terpenuhinya kebutuhan
dasar masyarakat salah satunya yaitu terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan
pangan. Permasalahan pembangunan yang utama adalah belum terpenuhinya
kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar inilah yang merupakan tanggung jawab negara
kepada rakyatnya karena terpenuhinya kebutuhan dasar adalah hak yang harus
didapatkan oleh rakyat. Pada saat itu Indonesia diambang ancaman revolusi sosial
yang diakibatkan oleh krisis pangan pada awal masa pembangunan. Selain krisis
pangan, masyarakat pedesaan terutama Jawa menghadapi krisis sosial terkait
peristiwa pemberontakan G 30 S PKI. Indonesia juga dihadapkan pada ancaman
ledakan populasi akibat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Jalan keluar
dalam menghadapi kondisi yang terjadi saat itu adalah dengan melakukan inovasi
untuk mengakselerasi produk hasil pertanian dalam hal ini padi melalui apa yang
disebut dengan revolusi hijau agar kebutuhan masyarakat akan pangan dapat
terpenuhi.
Dalam pelaksanaannya revolusi hijau dimasukkan dalam program Pelita,
terutama untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pertanian dan perkebunan.
Sasaran Pelita I yang dilaksanakan pada periode 1 April 1969 – 31 Maret 1974
adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pangan, sandang, perbaikan sarana
dan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani.
Titik berat pembangunan saat itu adalah pembaharuan bidang pertanian melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian. Metode-metode khusus yang ditempuh oleh pemerintah
antara lain Bimbingan Massal (bimas); Intensifikasi massal (inmas); Intensifikasi
khusus (insus), yang kemudian ditingkatkan menjadi "supra insus" dan Sapta Usaha
Tani. Saat itulah para petani mengalami perubahan pengetahuan serta
keterampilannya dalam mengelola lahan pertanian. Hal ini terjadi karena semakin
intensifnya komunikasi antara para petani dengan penyuluh dan juga lembaga
penelitian terkait masalah inovasi pertanian baik cara pengolahan lahan maupun
teknologi yang digunakan. Lembaga penelitian baik skala nasional maupun
internasional bersama ribuan penyuluh saling bahu-membahu dalam menghantarkan
pengetahuan baru kepada petani sehingga mendorong terjadinya perubahan. Nilainilai ketradisionalan yang selama ini dipegang oleh petani menjadi terpinggirkan.
Peraihan tertinggi revolusi hijau di Indonesia adalah tercapainya swasembada
beras dan desa persawahan muncul sebagai basis swasembada beras di Indonesia.
Pemerintahan saat itu memilih swasembada beras sebagai narasi besar dalam
menggerakkan spirit perubahan terencana dan membebaskan masyarakat dari
ancaman kelaparan. Desa persawahan menjadi primadona dari perayaan keberhasilan
swasembada beras ini. Adapun inti dari swasembada beras adalah meningkatnya
produksi dan produktivitas padi sawah berlipat-lipat sebagai hasil (outcomes) dari
penggunaan bibit unggul, pemberian pupuk sintetis dan aplikasi pestisida.
Dengan swasembada beras, Indonesia telah menjawab spirit zamannya saat
itu. Pada satu sisi keberhasilan swasembada beras memposisikan Indonesia dapat
mengatasi permasalahan utama yang mendasar terpenuhinya kebutuhan pangan
ratusan juta penduduk yang tersebar dalam berbagai wilayah, di sisi lain meneguhkan
pilihan untuk menerima modernisasi dan menerapkan kapitalisme sebagai narasi
besar dalam mengakselerasi perubahan yang dilakukan secara terencana.
Berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu adalah revolusi hijau erat
kaitannya dengan paradigma pembangunan liberal dalam hal ini adalah teori
modernisasi yang ditandai dengan adanya inovasi teknologi dalam pengelolaan
pertanian terutama di desa persawahan. Pembangunan di Indonesia yang saat itu
dibagi menjadi program yang di sebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun) juga
sedikit banyak mengadopsi teori yang disampaikan oleh Walt Rostow melalui 5
(lima) tahap perkembangan masyarakat. Revolusi hijau juga didorong oleh adanya
teori kebutuhan dasar di mana kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang dan
perumahan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara dan hal tersebut
tertuang dalam program Pelita I yang menitikberatkan pembangunan pada
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan perumahan.
2. Revolusi Senyap Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi (Sebuah Penerapan
Teori Marxis dan Teori Post-Strukturalisme)
Desa pedalaman, pinggir hutan dan dataran tinggi memiliki rentang teritorial
yang panjang dan ragam komunitas yang banyak. Desa ini mulai terentang dari
pinggiran kota dataran rendah, masuk ke inti pedalaman lalu mendaki kaki bukit di
atas gunung, selanjutnya merambah ke pinggir dan dalam hutan. Pada sepanjang
teritori itu hidup berbagai komunitas peladang dan perkebun menetap, komunitas
tebas-bakar dan perladang berpindah, komunitas pemburu dan peramu, komunitas
peternak/pastoralis, komunitas agroforestry di pinggir hutan, komunitas adat
terpencil bahkan komunitas penghuni hutan.
Desa pedalaman, pinggir hutan dan dataran tinggi memiliki produk
komoditas yang bermacam-macam. Dari desa ini dihasilkan tanaman pangan dan
hortikultura jagung, sayur mayur, buah-buahan dan ternak yang menyuplai
kebutuhan kota dan desa dataran rendah. Dari desa ini dihasilkan cengkih, kakao,
kopi, teh dan vanili yang mengisi pasar ekspor.
Ketika desa dataran rendah dan persawahan sedang merayakan swasembada
beras melalui revolusi hijaunya, desa pedalaman, desa pinggir hutan dan desa dataran
tinggi tetap dengan ketertinggalannya. Ketika jalan raya sudah terhubung antara desa
dataran rendah dan kota dan seluruh fasilitas sudah dirasakan oleh para masyarakat
persawahan, desa dataran tinggi dan pinggir hutan tetap dengan kebersahajaannya.
Saat itu pembangunan hanya baru dapat dirasakan pada desa dataran rendah
dan belum menyentuh desa pinggir hutan dan dataran tinggi. Desa ini malah
mendapat stigma sebagai desa dengan ketidakmoderenan budaya. Desa pedalaman,
pinggir hutan dan dataran tinggi sebenarnya memiliki realitas yang begitu kompleks.
Setidaknya hal ini dapat dilihat dari tipe sistem pertanian yang ada di sana seperti
pengelolaan tebas-bakar yang disertai pembukaan hutan, sistem agroforestry baik
sederhana maupun yang kompleks dan juga peladangan berpindah.
Jika desa dataran rendah dan persawahan mengalami perubahan melalui
revolusi hijau yang diperoleh dari pengetahuan luar seperti dari pemerintah melalui
penyuluh pertanian, lembaga donor dan juga para akademisi, desa pedalaman dan
dataran tinggi juga mengalami perubahan meskipun tidak membahana seperti desa
persawahan. Jika desa persawahan memperoleh inovasi yang didominasi dari luar
(pemerintah, lembaga donor, akademisi), maka inovasi perubahan yang dialami oleh
desa dataran tinggi justru berasal dari masyarakat itu sendiri hasil dari pengalaman
dan interaksi dengan pihak lain.
Jika revolusi hijau pada desa persawahan kental sekali dengan aroma
modernisasi atau liberalisasi karena adanya modernisasi teknologi pengolahan
maupun pemupukan berupa penggunaan pupuk sintetis yang dibawa oleh para
kontributor dari luar masyarakat desa, desa dataran tinggi dan pedalaman justru
meraih perubahan dari akumulasi pengetahuan masyarakatnya sendiri.
Kasus perkembangan kakao dalam bentuk kebun rakyat di Sulawesi adalah
contohnya. Kakao di Sulawesi Selatan dan Indonesia pada umumnya merupakan
inovasi itu sendiri. Dari kakao itulah berbagai inovasi terpresentasikan. Awal adopsi
kakao bukanlah karena proyek besar seperti yang terjadi pada revolusi hijau padi
persawahan, ia lebih merupakan hasil dari proses belajar masyarakat sendiri.
Berdasarkan teori yang termasuk dalam pendukung Teori Marxis, kasus
Kakao di Desa Tampumea ini termasuk dalam Theory of Participatory Approach.
Adapun tahapan dalam pembelajaran sosial (Social Learning) adalah planning,
implementation, reflection dan conceptualization. Sebelum para petani mulai
menanam Kakao, mereka terlebih dahulu telah menanam padi, tembakau dan kedelai.
Mereka sebenarnya telah mengetahui tentang Kakao berdasarkan informasi yang
diperoleh dari pasukan DI/TII. Jika dalam kasus revolusi hijau desa persawahan
didominasi oleh proyek resmi pemerintah seperti Bimas, Inmas dan Insus, pihak
yang terlibat dalam inisiasi penanaman kakao berasal dari multipihak seperti
pedagang, penyelundup, perkebunan besar bahkan pihak militer.
Petani kebun Kakao memperoleh pengetahuannya berdasarkan Experience
Based Learning Proccess yaitu dari hasil interaksi antara petani, pedagang,
penyelundup dan pihak militer saat itu yang dijadikannya sebagai pengalaman
kemudian diterapkannya dalam bentuk penanaman Kakao.
Setelah itu kakao berkembang pesat di Sulawesi Selatan, ke seluruh Sulawesi
bahkan ke beberapa pulau lainnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hasilnya
bukan hanya mendorong peningkatan pendapatan petani pedalaman dan dataran
tinggi bahkan ikut juga membangkitkan perdagangan lokal hingga ekspor, ia juga
telah mendorong akumulasi dan reakumulasi kapital di desa dan juga telah
mendorong migrasi besar-besaran penduduk desa dataran rendah menuju pusat-pusat
perkembangan kakao. Akhirnya kakao meraih kajayaannya saat itu, sampai
kemudian hama penyakit menyerang dan petani pada berbagai desa bergulat dengan
berbagai inovasi dalam menghadapi serangan tersebut.
Jika pada masyarakat desa persawahan telah mengenal dan menggunakan
pestisida dalam membasmi hama tanaman padi, tidak demikian dengan masyarakat
desa dataran tinggi dan pedalaman. Mereka menggunakan pengetahuan mereka
untuk menghadapi serangan Perusak Batang Kakao (PBK). Di Halmahera Utara pada
1990-an, para petani menggunakan semut merah, membuat api kecil dari daun
kelapa, membakar rumput atau ban bekas di antara baris tanaman kakao menjelang
matahari terbenam atau mengecat buah kakao dengan minyak. Selain itu metode
perladangan berpindah secara parsial juga merupakan inovasi yang dilakukan para
petani dalam menghadapi PBK. Di Sulawasi Tengah pada 1999, petani
menumpangsarikan kakao dengan kelapa sebagai strategi mengatasi serangan PBK.
Selain sebagai metode untuk menghadapi serangan PBK, kelapa juga dapat dijadikan
sebagai sumber penghasilan jika pendapatan dari kakao menurun.
Para petani di desa sebenarnya memiliki pengetahuan dalam menganalisis
permasalahan yang terjadi meskipun itu secara sederhana. Dalam hal
penanggulangan serangan Perusak Batang Kakao (PBK), para petani memiliki teknik
untuk menghadapi serangan hama tersebut. Pengetahuan yang dimiliki petani inilah
yang biasa kita sebut dengan indigenous knowledge dan juga suatu bentuk kearifan
lokal (local wisdom). Indigenous knowledge dan local wisdom inilah suatu bentuk
pemikiran posmodernisme. Ketika para petani di desa persawahan telah
menggunakan pupuk sintetis dalam mengendalikan hama, para petani kakao di
beberapa daerah seperti Halmahera dan Sulawesi Tengah menggunakan pengetahuan
asli yang dimilikinya untuk mengendalikan serangan Perusak Batang Kakao (PBK).
3. Inovasi Multipihak pada Pengelolaan Hutan di Konawe Selatan
Desa pinggir hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan
sebagai sumber matapencahariannya. Sebagian besar dari warganya meramu rotan
dan damar, mengambil air nira, memenuhi bangunan rumah dan kayu bakar,
menangkap ternak dan burung serta berladang-berpindah di dalam hutan.
Para komunitas di desa pinggir hutan pun menggunakan kearifan lokal yang
dimilikinya untuk menjaga keeksistensian serta keberlanjutan hutan agar sumber
mata pencahariannya tetap ada.
Seiring berjalannya waktu populasi penduduk di desa pinggir hutan
mengalami pertumbuhan. Angka kelahiran yang tinggi dan migrasi penduduk yang
keluar rendah merupakan pemicu pemadatan populasi desa pinggir hutan. Izin HPH
yang terus bermunculan menjadikan hutan semakin mengalami keterancaman. Saat
itulah angka laju deforetasi semakin meningkat. Pengelolaan hutan yang
serampangan dan dilarangnya masyarakat desa hutan untuk mencari pendapatan di
dalam hutan menjadikan konflik antara pengelola HPH dan masyarakat semakin
tajam.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk menjembatani pihakpihak yang saling bertikai tersebut. Paradigma pengelolaan hutan pun berubah dari
State Based Forestry menjadi Community Based Forestry. Perubahan paradigma
pengelolaan hutan tersebut bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan hutan, masyarakat ikut dilibatkan dalam usaha pengelolaan hutan bukan
sebagai pihak yang dikeluarkan atau dipinggirkan dari pengelolaan hutan.
Program-program pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat ini
diselenggarakan oleh banyak pihak seperti pihak pemerintah, LSM, Perguruan
Tinggi.
Pelibatan berbagai pihak dalam pengelolaan hutan ini merupakan aplikasi
dari Teori Pembebasan Marxis yaitu antara lain Teori Pengembangan Masyarakat
atau Community Development. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai
suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan
sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
Dalam hal masyarakat pinggir hutan, pemberdayaan masyarakat dapat dilihat
pada kasus pengelolaan hutan di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Konawe Selatan memiliki potensi hutan jati seluas 38.959 ha yang tersebar pada
empat kecamatan dan 46 desa. Masalah utama pengelolaan hutan pada tahun 1990-an
adalah illegal logging yang mengancam kelestarian hutan. Sehingga pada tahun 2002
diperkenalkanlah program Social Forestry (SF) yang intinya adalah melibatkan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan. Social Forestry merupakan suatu alat
pendekatan dalam mengatasi konflik yang terkait dengan pengelolaan hutan yang ada
di daerah.
Kemudian Social Forestry mulai dikenalkan di Kendari yang disosialisasikan
oleh BPDAS Sampara dan Radio Suara Alam Kendari. Setelah itu pada tahun 2003
dilatihlah 20 orang calon fasilitator Social Forestry (SF) dari LSM dan Dinas
Kehutanan. Fasilitator inilah yang nantinya akan mendampingi masyarakat untuk
ikut aktif terlibat dalam pengelolaan hutan jati di Konawe Selatan.
Pelibatan masyarakat ini antara lain dalam hal pembuatan peta partisipatif
menggantikan peta kawasan sebelumnya yang bertujuan untuk mengatasi konflik
dalam hal penentuan batas area kelola. Pemetaan partisipatif ini didukung oleh JICADephut yang kemudian melahirkan peta kelola kawasan untuk setiap kelompok dan
dikompilasi oleh BPDAS Sampara.
Berdasarkan tahapan dalam teori Community Development, kegiatan
pembuatan peta partisipatif ini termasuk dalam tahap Technical Assistance
Approach. Maksudnya adalah para fasilitator yang telah dilatih oleh P3AE-UI ini
mendampingi masyarakat yang tujuannya adalah melakukan peningkatan
kemampuan teknis komunitas. Jika kemampuan teknis telah dimiliki oleh
masyarakat, diharapkan dalam masyarakat tersebut akan tumbuh sifat kemandirian
(Self-Help Approach).
Setelah Kelompok Social Forestry (KSF) terbentuk, kemudian disepakati juga
pembentukan koperasi yang akan mengelola unit usaha KSF, di mana KSF bertindak
sebagai badan pengawas koperasi. Dinas Perdagangan, UKM dan Koperasi
diamanahkan mendorong penguatan kelembagaan koperasi tersebut. Koperasi
tersebut kemudian diberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL).
Pemberdayaan masyarakat terus dilakukan antara lain dengan diikutkannya
para masyarakat yang terlibat dalam KSF tersebut dalam pelatihan-pelatihan
pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti pelatihan inventarisasi hutan, magang
GIS serta kunjungan shared-learning.
Dalam hal keikutsertaan pada berbagai pelatihan pengelolaan hutan
merupakan suatu bentuk aplikasi dari Teori Community Empowerment. Masyarakat
menjadi bertambah pengetahuannya dalam hal pengelolaan hutan.
4. Multi Paradigma Pembangunan pada Desa Pantai dan Pesisir
4.1 Modernisasi Alat Tangkap dan Pembuatan Perahu
Sebagian besar kota di Indonesia merupakan kota pantai, akan tetapi sebagian
besar isi pantai dan pesisir itu adalah desa. Pada tahun 2011 terdapat 10.630 desa
berciri pantai dan pesisir dengan penduduk sekitar 7,8 juta jiwa yang penghasilannya
kurang dari $1/hari. (Bakti News, 2011).
Dahulu sejarah tentang kemaritiman Indonesia begitu membahana, akan
tetapi semua itu telah berubah. Desa pesisir dan pantai semakin termarjinalkan.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belum dapat menyentuh desa pesisir
dan pantai. Kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui kementerian dan juga
perencanaan belum dapat merubah kondisi masyarakat desa pesisir dan pantai ke
arah yang lebih baik.
Di saat pembangunan di daratan sudah semakin maju, desa pantai dan pesisir
semakin jauh mengalami ketertinggalan. Daerah-daerah yang dahulu terkenal akan
kejayaan kemaritimannya kini telah memudar. Banjarmasin yang peradaban
sungainya telah dikenal luas kini mengalami kemunduran akibat pelaksanaan
pembangunan yang berorientasi pada daratan.
Desa pantai dan pesisir tengah berada dalam kerentanan akan bencana, di
mana rumah-rumah mereka rawan akan tiupan angin kencang dan ombak yang
begitu kencang. Komunitas nelayan yang memiliki formasi sosial komersial semi
kapitalis yang telah menggunakan teknologi modern dan perahu bermesin yang
bekerjasama dengan para pemilik modal telah terjadi kesenjangan yang begitu besar
dalam hal pendapatan antara pemilik modal dan pekerja.
Keterpencilan desa pantai dan pesisir yang menjadikan fasilitas-fasilitas
umum serasa begitu jauh seperti keberadaan guru, paramedis baik suster maupun
dokter.
Tetapi dibalik cerita sedih mengenai desa pantai dan pesisir ini, masih ada
cerita menarik mengenai desa ini. Desa yang semakin mengalami ketertinggalan ini
ternyata terdapat geliat perubahan meskipun perubahan tersebut tidak begitu
membahana. Banyak paradigma yang sebenarnya tersimpan di desa pantai dan
pesisir ini yang menunjukkan kekompleksitasannya.
Jika revolusi hijau pada desa persawahan terasa begitu jelas terlihat,
sebenarnya desa pantai dan pesisir juga pernah mengalami hal yang serupa yaitu
yang disebut dengan revolusi biru meskipun tidak segegap gempita desa persawahan.
Jika desa persawahan mengalami modernisasi dalam pengelolaan pertanian seperti
penggunaan pupuk sintetis dan pestisida, begitu juga yang terjadi dengan desa pantai
dan pesisir. Modernisasi alat tangkap dan juga perahu telah dialami oleh para
penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Modernisasi pada desa pantai dan pesisir terjadi pada tahun 1980-an.
Transformasi yang ingin dijalankan dari nelayan tradisional-subsisten menjadi
nelayan modern-komersial adalah salah satu bentuk modernisasi. Perubahan alat
tangkap yang sederhana menjadi yang lebih canggih sehingga dapat menjangkau laut
dalam. Begitu juga dengan penggunaan perahu layar bertonase kecil yang hendak
bertransformasi menjadi kapal bertonase besar dengan menggunakan mesin.
Kelembagaan yang bersifat patron-klien yang hendak ditransformasikan menjadi
kelembagaan formal dalam ikatan ekonomi-rasional.
Contoh inovasi yang terjadi pada desa pantai dan pesisir adalah yang terjadi
pada nelayan di Kelurahan Tanah Jaya, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan. Sampai dengan tahun 1970-an, alat tangkap yang digunakan oleh
para nelayan adalah berupa panah, tombak, pancing, jala dan sero. Perahu yang
digunakan adalah sampan kecil, perahu bercadik atau perahu layar kecil yang
dioperasionalkan secara individual dalam keadaan ikan bergerak.
Perubahan terjadi saat teknologi bagan mulai dipergunakan. Bagan ini
merupakan teknologi yang dimiliki oleh nelayan dari Pulau Sembilan (Sinjai).
Prinsip kerja bagan adalah menjinakkan ikan sebelum ditangkap. Tidak hanya
perubahan teknolgi alat tangkap yaitu bagan, kelembagaan juga akhirnya terbentuk
yang disebut dengan pungkaha-sahi (yang memimpin-anggota) yaitu antara si
pemilik modal pemilik bagan yang juga memiliki kemampuan manajerial dengan
pekerja.
Inovasi teknologi bagan dan juga kelembagaan pungkaha-sahi inilah yang
menjadikan produktivitas tangkapan nelayan kecamatan Kajang mulai meningkat.
Inovasi alat tangkap terjadi kembali pada tahun 1977 dari hasil interaksi
dengan nelayan dari Kajang yang bekerja pada kelompok nelayan panja Bone yaitu
adanya teknologi rompong dan panja (gill-net). Peningkatan produksi pun terjadi
sehingga mendorong lahirnya kelompok pedagang ikan serta usaha ikan asap dan
ikan pindang.
Ada juga teknologi gae (purse seine) yang diadopsi oleh nelayan Tanah Jaya
dari Bone pada tahun 1980. Selain inovasi teknologi alat tangkap, juga terdapat
inovasi kelembagaan yang merupakan bagian dari proyek pemerintah saat itu yakni
dengan pembentukan KUD-Mina yang merupakan wadah nelayan dalam
mengorganisir diri dan memperoleh pinjaman permodalan meskipun pada akhirnya
KUD Mina tidak mengalami kelanjutan akibat krisis kepengurusan dan kurangnya
fasilitasi oleh pemerintah. Akan tetapi ada beberapa pungkaha yang sukses dengan
pengelolaan usaha gae dengan memanfaatkan pinjaman modal dari KUD Mina.
Pada tahun 1995 pemancing tuna dari Bone memperkenalkan rompong
Taiwan yang memang merupakan buatan perusahaan asing Taiwan. Perahu pun
didesain untuk merepon penggunaan rompong Taiwan ini yang menyediakan ruang
penyimpanan es balok agar ikan tetap segar.
Modernisasi juga terjadi pada proses pembuatan perahu, salah satu contohnya
adalah komunitas pembuat perahu pinisi di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan yang berasal dari Desa Ara dan Kelurahan Tanalemo.
Dahulu desa ini masyhur akan pandai perahunya. Perahu yang mereka buat banyak
digunakan oleh saudagar Konjo, Makassar dan Bugis hingga tahun 1970-an.
Kemunduran terjadi saat pemerintah menerapkan regulasi modernisasi pelayaran dan
saudagar Tionghoa mengambil alih bisnis perkapalan dengan menggunakan kapal
bermesin.
Inovasi peralatan, bahan produksi dan cara kerja yang tradisional mulai
dilakukan oleh para komunitas pandai perahu dari Desa Ara dan Tanaberu saat
peralihan pasar dari perahu pinisi tradisional menjadi pasar kapal bermesin.
Perkembangan terutama terjadi antara sebelum dan sesudah pertengahan tahun 1970an. Saat itu terjadi perubahan pasar dari saudagar pelayaran lokal ke pengusaha
Tionghoa dan pembeli dari luar negeri. Inovasi teknologi yang dilakukan merupakan
suatu bentuk strategi dalam merespons peningkatan volume kerja, baik karena
ukuran perahu yang makin besar, bertambahnya komponen perahu maupun adanya
peningkatan permintaan.
Perkembangan teknologi tersebut mendorong adanya peningkatan
kemampuan kerja sehingga volume kerja yang lebih besar dapat terselesaikan.
Peralatan yang digunakan oleh para pandai perahu sebelum pertengahan 1970-an
merupakan peralatan yang sederhana, manual dan diproduksi dengan memanfaatkan
pengetahuan lokal asli seperti gergaji bantam, gergaji pemotong, gergaji dorong,
gergaji kecil, kampak dan cangkul kayu.
Selain peralatan yang sederhana, bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan perahu juga menggunakan bahan yang tradisional seperti pasak dari kayu.
Lem yang digunakan sebagai perekat pun berasal dari alam yaitu berasal dari kulit
kayu yang ditumbuk bersama air. Ada juga perekat yang menggunakan bahan dasar
kerak pelepah enau yang dikeringkan kemudian ditumbuk, dempul yang berasal dari
kapur dan minyak yang kemudian dikentalkan.
Peralatan elektronik mulai dikenal pada pertengahan tahun 1970-an yaitu
penggunaan mesin bor, ketam listrik, chain saw, amplas listrik yang kesemuanya
menggantikan alat-alat tradisional. Pasak kayu yang dahulu digunakan kemudian
berganti dengan bahan-bahan sintetis seperti baut atau mur besi. Perekat alami telah
berganti dengan lem sintetis yang dapat dibeli di toko.
Ketergantungan terhadap peralatan modern dan bahan sintetis terjadi ketika
para pandai perahu tersebut semakin sering berinteraksi dengan pasar di luar
komunitasnya. Indigenous knowledge pun semakin terabaikan berganti dengan
penggunaan teknologi modern.
Modernisasi yang dialami masyarakat desa penangkap ikan dan pembuat
perahu telah mentransformasikan pengetahuan mereka. Produktivitas dan
efektifitaspun terjadi di kedua desa tersebut. Revolusi biru pun terjadi, akan tetapi
transformasi tersebut belum dapat menggerakkan masyarakat nelayan menjadi
masyarakat industri pengolahan ikan. Begitu juga dengan masyarakat pembuat kapal,
revolusi yang terjadi berupa perubahan penggunaan peralatan dan bahan pembuat
kapal belum cukup menjadikan masyarakat tersebut menjadi masyarakat industri
perkapalan.
4.2 Program Pemberdayaan Masyarakat Desa pantai dan Pesisir
Selain modernisasi yang terjadi pada komunitas desa pengkap ikan dan
pembuat kapal yang erat dengan pembangunan paradigma ala Liberalisme, desa
pantai dan pesisir juga ternyata mengimplementasikan paradigma pembangunan
marxis yaitu adanya program pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan
masyarakat pantai dan pesisir ini dapat dilihat pada adanya 2 (dua) kegiatan besar
yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Coral Reef
Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
PEMP merupakan satu bentuk program pemberdayaan masyarakat yang
memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui
pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas SDM dan penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan
perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Penerima manfaat PEMP adalah
masyarakat pesisir yang berusaha sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pedagang
hasil perikanan, pengolah ikan, pengusaha jasa perikanan, pengelola pariwisata
bahari serta usaha/kegiatan lainnya yang terkait dengan kelautan dan perikanan
seperti pengadaan bahan dan alat perikanan serta bahan bakar minyak (solar packed
dealer) atau depot BBM yang tergolong skala usaha mikro dan kecil.
Dalam Teori Community Development terdiri dari bebrapa bagian yaitu
Technical Assistance Approach, Self-Help Approach dan Conflict Approach. Pada
tahap Technical Assistance Approach, program PEMP ini merupakan program
multipihak yang melibatkan beberapa elemen seperti pemerintah pusat dalam hal ini
Departemen Perikanan dan Kelautan, pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi/Kabupaten) dan konsultan manajemen yang bertugas pada
konsolidasi kelembagaan ekonomi yang ada di sana yaitu Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) juga berperan sebagai Tenaga
Pendamping Desa (TPD) yang mendampingi dan memfasilitasi secara teknis dan
manajerial kelompok usaha ekonomi produktif. Pendampingan yang dilakukan para
lembaga multipihak ini tujuannya adalah meningkatkan kemampuan teknis
komunitas baik kemampuan manajerial dan juga pengembangan jaringan usaha
antara masyarakat pesisir dengan kelompok lain, LSM, swasta dan pemerintah.
Sehingga diharapkan dari hasil peningkatan kemampuan teknis tersebut, masyarakat
pesisir dapat tumbuh rasa kemandiriannya yang kemudian pada akhirnya masyarakat
diharapkan dapat mengatasi jika ada permasalahan yang terjadi di kemudian hari.
Dalam Teori Pendidikan Pembebasan yang dicetuskan oleh Paulo Freire,
pendidikan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan kesadaran kritis individu
tentang situasi lingkungannya dalam hal ini pendidikan harus dapat menyentuh
kesadaran masyarakat. COREMAP merupakan program pemberdayaan masyarakat
yang tujuannya adalah melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan terumbu karang.
Komponen pertama dari tujuan program ini adalah peningkatan kesadaran publik
(public awareness) mengenai pentingnya kepedulian atas pelestarian terumbu karang.
Cara-cara yang dilakukan untuk dapat menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya keberadaan dan kelestarian terumbu karang antara lain dengan
melalui berbagai instrumen seperti : penyebaran buku, brosur, leaflet, seminar,
pelatihan dan workshop, pembuatan pondok dan papan informasi, pengembangan
kurikulum muatan lokal, pemberitaan, diskusi dan iklan radio dan TV lokal, lomba
tulis, foto dan cerdas cermat, penyebaran poster-baju-topi, penguatan jurnalis
lingkungan, pameran, pemilihan duta karang dan sebagainya. Publikasi tentang
penyelamatan terumbu karang juga merupakan bagian dari upaya untuk merubah
pengetahuan masyarakat tentang arti pentingnya terumbu karang dan ini merupakan
bagian dari teori Community Empowerment (Penguatan Masyarakat).
Pengelolaan bersama masyarakat atau Community Based Management juga
diterapkan pada proyek COREMAP ini yaitu dengan dibentuknya Lembaga
Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM). Selain itu, dibentuk juga kelompok masyarakat (pokmas) dan kelompok
gender serta kelompok masyarakat pengawas. (pokmaswas).
Dalam teori Participatory Approach, pendampingan yang dilakukan oleh
institusi atau lembaga haruslah mengadopsi pengalaman masyarakat setempat.
Begitupun yang terjadi pada program COREMAP ini, melalui LPSTK desa pesisir
membuat Rencana Pengelolaan Terumbu Karang secara partisipatif. Di dalamnya
mereka menentukan daerah perlindungan laut bagi wilayahnya yang kemudian
disepakati lokasi terumbu karang yang harus dipelihara bersama.
4.3 Representasi Identitas Masyarakat Desa Pantai dan Pesisir (Aplikasi Teori
Post-Srukturalisme)
Secara terminologi Post-Strukturalisme berasal dari terminologi
Strukturalisme yang diberi prefiks ‘post’, yang berarti bahwa Post-strukturalisme
merupakan dekonstruksi dari konsep Strukturalisme. Strukturalisme sendiri adalah
sebuah perspektif yang mengkaji mengenai konstruksi sosial budaya struktur-struktur
yang dapat memberi makna terhadap kehidupan kita serta membentuk perilaku kita.
Sedangkan Post-Strukturalisme menganalisa struktur yang membentuk maknamakna sosial. Artinya, konsep mengenai identitas yang memberi makna terhadap
suatu objek merupakan suatu aspek penting bagi Post-Strukturalisme (Campbell,
2007).
Dalam hal definisi wacana pembangunan, dunia baratlah yang memenangkan
kontestasi wacana tersebut sehingga saat ini indikator pembangunan yang kita kenal
antara lain seperti Growth, GDP, Human Poverty Index (HPI), Human Development
Index (HDI) dan sebagainya yang merupakan wacana yang dilemparkan oleh dunia
barat dan negara-negara berkembang pun mengakuinya. Pemenangan wacana oleh
dunia barat ini didukung oleh adanya faktor kuatnya pengetahuan mereka sehingga
mereka (dunia barat) berani untuk memproduksi wacana dalam hal ini wacana
tentang pembangunan.
Hal yang seharusnya dilakukan oleh negara-negara berkembang adalah
dengan melakukan penguatan pengetahuan (empowering knowledge) sehingga suatu
saat akan ikut dalam kontestasi wacana.
Pandangan poststrukturalis dalam ruang lingkup yang lebih kecil dapat dilihat
pada fenomena adanya pemekaran daerah di beberapa daerah di Indonesia. Perspektif
poststrukturalis yang fokusnya adalah representasi diri dan perjuangan identitas
merupakan keberkahan tersendiri dari adanya pemekaran daerah.
Representasi identitas setidaknya kita dapat lihat pada sekumpulan desa
pantai dan pesisir pada pulau kecil seperti Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan
Binongko yang kita kenal dengan dengan Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Wakatobi menunjukkan identitasnya sebagai kawasan yang memiliki potensi
keanekaragaman hayati yang ada di bawah laut. Representasi identitas itu dinyatakan
dalam visi daerahnya yaitu “Mewujudkan Surga Nyata Bawah Laut di Simpang Tiga
Karang Dunia” yang kemudian dicanangkanlah visi jangka panjangnya untuk
menjadi “Pusat Biodiversitas Dunia”.
Kabupaten Raja Ampat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong,
saat ini telah menunjukkan identitas dirinya melalui keunikan etnisnya dan
keindahan perairan serta kekayaan lautnya yang kita dapat lihat di media-media baik
cetak maupun elektronik.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa desa yang
selama ini kita anggap hanya sebuah realitas yang statis ternyata tersimpan begitu
banyak kompleksitas. Banyak paradigma yang terhimpun di dalamnya, karena begitu
banyak kontributor yang terlibat dalam dinamika perubahan pada tiap-tiap desa
tersebut.
Paradigma pembangunan baik Liberal, Marxis maupun Post-Strukturalis
ternyata telah terepresentasikan pada tiap-tiap desa. Revolusi pun terjadi baik yang
membahana maupun yang gerilya. Inovasi yang dilakukan oleh masyarakat tiap-tiap
tipe desa ikut membawa perubahan. Desa persawahan mengalami perubahan dengan
Revolusi Hijaunya yang kemudian terkenal dengan Swasembada beras, desa dataran
tinggi yang mengaplikasikan penanaman Kakao dari hasil interaksi dengan berbagai
pihak, desa pinggir hutan yang mengimplementasikan teori Community Development
dalam pengelolaan hutan jati bahkan paradigma post-strukturalis yang mulai
digemakan oleh masyarakat Wakatobi dan Raja Ampat.
Kesemua paradigma yang diterapkan pada berbagai tipe desa tersebut
merupakan hasil dari pertarungan wacana pengetahuan yang dibawa oleh berbagai
pihak.
Keseluruhan dari fenomena dinamika perubahan dan kompleksitas yang
mengiri perkembangan sebuah desa dapat disimpulkan dalam sebuah tabel di bawah
ini :
Isu
Desa
Dataran Rendah dan
Persawahan
Dataran Tinggi dan
Pedalaman
Pinggir Hutan
Pantai dan Pesisir
Liberal/Modernisme
Marxis2 dan Post-strukturalis3
Marxis
Liberal1, Marxis2 dan Poststrukturalis3
Teori Pendukung
Teori Kebutuhan Dasar,
Modernisme
Theory of Participatory
Approach2
Community Development2
Modernisme1, Community
Development2, Pendidikan
Pembebasan2
Narasi Perubahan
Revolusi Hijau
(Swasembada Beras)
1. Experience Based Learning
Proccess2
2. Aplikasi Pengetahuan Lokal3
Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat
Bentuk / Contoh
Inovasi
Penggunaan pupuk sintetis,
penggunaan pestisida
1.Penanaman Kakao2
2.Teknik penanggulangan PBK3
Kelompok Social Forestry
Kontributor
Perubahan
Pemerintah, Penyuluh,
Akademisi, Peneliti
- Militer, penyelundup,
pedagang2
- Masyarakat Lokal3
1. Revolusi Biru1
2. Pemberdayaan
masyarakat pesisir2
3. Representasi Desa3
1. Pembuatan alat tangkap
dan bahan pembuat
perahu yang modern1
2. Program PEMP dan
COREMAP2
3. Visi daerah sesuai
karakteristik unik yang
dimiliki (Wakatobi dan
Raja Ampat3
1. Nelayan luar komunitas1
2. Lembaga donor,
pemerintah, masyarakat
3. Masyarakat lokal
Paradigma
Multipihak (pemerintah,
LSM, peneliti, lembaga
donor, masyarakat)
Tabel Perbandingan Penerapan Paradigma Pembangunan pada tiap Tipe Desa
Daftar Pustaka
Campbell, David., 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve
Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp.
203-228.
Salman, D., 1995. Arah Perubahan Sosial di Pedesaan Pasca Revolusi Hijau,
Analisis, Januari-Februari. Jakarta : CSIS
Salman, D., 2012. Sosiologi Desa, Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas.
Makassar: Inninawa.