MAKALAH PROSES PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

MAKALAH
PROSES PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DENGAN INTERPRESTASI
SOSIOLOGIS
RYANDA PUTRA
1220113045
DOSEN PENANGGUNG JAWAB
PROF.DR.YULIA MIRWATI, SH, MH

FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak hubungan hukum tercipta, tanpa
di sadari manusia telah melakukan kegiatan yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum
yang memungkinkan timbulnya beragam konflik di dalam masyarakat yang mana
tentu diharapkan suatu penyelesaian. Hal ini merupakan tantangan bagi sarjana

hukum di bidang hukum untuk mencari hukum yang dapat menyelesaiankan setiap
konflik.
Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas
atau fungsi utama yaitu senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah
hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di
dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan
yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya
sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur
semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat
untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
Selanjutnya bahwa seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan
penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada,
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu
dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh
perkembangan perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa


konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkit.1
Tanggungjawab dalam penemuan hukum ini di wajibkan untuk tidak
menolak setiap perkara yang datang kepadanya, apalagi dengan dalih hukumnya
tidak ada atau kurang jelas. Didalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya”. Jadi pada dasarnya hakim darus menyelesaiakn setiap perkara
yang datang kepadanya (di pengadilan) walaupun tidak ada atau kurang jelasnya
aturan hukum tersebut.
Kejelasan suatu undang-undang sangatlah penting dan oleh karena itu setiap
undang-undang selalu dilengkapi dengan penjelasan. Akan tetapi sekalipun nama
dan maksudnya sebagi penjelasan, namun seringkali terjadi, penjelasan tersebut
tidak juga memberi kejelasan. Karena hanya dinyatakan cukup jelas, padahal teks
undang-undangnya tidak jelas dan masih memerlukan penjelasan.2
Dalam kasus seperti ini hukumnya harus dicari, diketemukan bukan
diciptakan walau tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan
hukum tanpa disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang

untuk menciptakan peraturan yang mengikat secara umum. 3
. Pada Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga dijelaskan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami

nilai-nilai

hukum

dan

rasa

keadilan

yang

hidup

dalam


masyarakat”.Menurut Paul Scholten di dalam perilaku manusia terdapat hukumnya.
Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di dalam peraturan perundang-undangan

1

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001,

hlm.37-38.
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993, hlm. 12.
3
Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
2

saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum
(rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan hukum. 4
Keadaan seperti ini sangat berpengaruh terhadap rasa kenyamanan
masyarakat terhadap hukum. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum dalam
setiap tindakannya, apalagi Indonesia termasuk kedalam Mix Legal System 5 yang

mana memberlakukan banyak sistem hukum.6 Artinya dengan banyak nyasistem
hukum yang berlaku di Indonesia maka akan memudahkan bagi hakim untuk
menggali hukum dari sistem-sistem hukum tersebut, untuk itu seorang hakim harus
menjabarkan terlebih dahulu peristiwa hukum kongkret dan kemudian menggali
hukum di tengah masyarakat yang berlaku dan dapat diterapkan sehingga rasa
keadilan masyarakat yang bersangkutan dapat dipenuhi.
Dengan keberagaman sistem hukum keanekaragaman budaya di Indonesia
tidak jarang terjadi adanya ketidak selarasan aturan-aturan hukum, hal ini terjadi
karena pada setiap daerah memiliki budaya dan hukum adatnya tersendiri sehingga
tidak mungkin meng-generalisir semua aturan hukum adat tersebut. Dapat kita lihat
pada saat RUU Pornografi dan Pornoaksi di bahas, timbul berbagai permasalahan
mengenai definisi dan batasan dari pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Perbedaan
budaya di setiap daerah menjadi latar belakang permasalahan tersebut. Akibatnya
RUU itu pun di ubah dengan sangat ekstrim yaitu dengan menghilangkan unsur
porno aksi dalam RUU tersebut dan kemudian menjadi Undang-undang No.44
Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dapam penerapan UU pornografi ini perlu juga Hakim menggali kaidahkaidah hukum dalam masyarakat supaya penerapanya dapat lebih tepat sasaran.
Misalnya di daerah Sumatera Barat yang merupakan masyarakat adat Minangkabau
yang


terkenal

dengan

ungkapan

“Adat

Basandi

Syarak,

Syarak

Basandikitabullah”. Ungkapan tersebut bermakna bahwa masyarakat Minangkabau
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 31.
Mix Legal System merupakan gabungan dari beberapa sistem hukum yang terlihat didalam
penerapannya memberlakukan Perundang-undangan (Eropa Kontinental), Hukum Adat (customary law),
Hukum Islam (Muslim Law System), dan Yurisprudence (Common Law).
6

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori peradilan, Prenada Media Group, Jakarta,
2012, hlm 499.
4
5

dalam memahami dan memaknai eksistensinya sebagai mahluk Allah. Untuk itu
perlu kiranya hakim memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam setiap
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat suatu
tulisan yang akan menggambarkan tentang Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim
dengan metode interprestasi sosiologis.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut maka penulis merumuskan permasalahan
yang akan dibahas dan menjadi batasan bagi penulis dalam penulisan ini. Pada
penulisan ini penulis ingin membahas tentang Proses Penemuan Hukum Oleh
Hakim dengan metode interprestasi sosiologis.

BAB II
PEMBAHASAN
Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim Dengan dengan Interprestasi Sosiologis


1. Metode Penafsiran Hukum7
a. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal)
Suatu cara penafsiran Undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat
pada Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam
bahasa seharihari yang umum., Misalnya Peraturan per Undang-undangan yang
melarang orang menghentikan “Kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kenderaan
bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin,
bagaimana dengan sepeda dan lain-lain. Jadi harus diperjelas dengan kenderaan
yang mana yang dimaksudkan.
b. Metode Interprestasi secara historis
Merupakan suatu metode penafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu Undang-undang. Penafsiran historis ini ada 2 yaitu yang pertama
penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu
cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya.Penafsiran menurut
sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie) yaitu
penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undangundang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud
ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu
pembentukannya.


c. Metode interpretasi secara sistemati
Merupakan suatu metode penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan
apasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan
Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga
Syahrani, Riduan, Seluk – Beluk dan Asas – asas Hukum Perdata, alumni,
Bandung, 2000.
7

kita memahami maksudnya, misalnya dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan
“Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum
dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang
belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata
yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
d. Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis
Merupakan suatu metode penafsiran yang mana makna Undang – undang ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undangundang yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk
memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang
lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada

hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan
kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus
diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah.
e. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi)
Merupakan suatu metode penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat
Undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undang-undang
tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi
(authentik) tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal
97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan”
adalah masa yang lamanya 30 hari, tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini
tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan
pidana diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum
saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan
menmsosialisasikannya kepada masyarakat.
f. Metode interpretasi secara ekstentif
Merupakan metode penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat
dalam Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya.
Contoh : Bahwa Jurisprudensi di Nederland “Menyambung” atau “menyadap”

aliran listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas

pengertian unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.
g. Metode Interpretasi Restriktif
Merupakan metode penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal
dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per
Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata
juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati
sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang
yang dirugikan juga ada kesalahannya)
h. Metode interpretasi Analogi
Merupakan suatu metode penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan
memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas
hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
i. Metode interpretasi argumentus a contrario
Merupakan metode penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undangundang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang
dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per
undang-undangan.
Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan
Undang-undang

secara

analogi

dan

menerapkan

Undang-undang

secara

argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undangundang tersebut
berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan
Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasilyang negatif.
Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak
dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari
sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya)
maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria.

Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai
waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu
100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut
masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa
iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami
berikutnya..
2. Sistem Penemuan Hukum Oleh Hakim Dengan Metode Interprestasi Sosiologis
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.
Dalam setiap kelompok masyarakat tersebut terdapat parameter-parameter tertentu
dalam memutuskan yang benar dan yang salah. Negara tidak dapat mengenegalisasi
setiap kelompok masyarakat di Indonesia hanya karena dilandasi anggapan bahwa
negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan
apajasa terhadap kelompok masyarakat tersebut. Negara perlu menyesuaikan aturan
hukum yang ada dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia. Bahasa perundangundangan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan masyarakat, keberagaman
suku bangsa yang memiliki tradisi dan budaya yang berbeda tidak mungkin disatukan
dalam suatu aturan hukum yang baku, namun suatu aturan hukum hukum harus
disesuaikan dengan keadaan masyarakat tersebut.
Uraian di atas menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali aturan hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Misalnya saja dalam UU Pornografi pada pasal 1 angka (1)
disebutkan bahwa Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.dalam kasus seperti ini hakim dalam memutus perkara
harus terlebih dahulu menentukan apakan definisi pornografi di daerah dimana
putusanya akan dijatuhkan.
Perbedaan budaya di berbagai daerah membentuk suatu pandangan yang
berbeda mengenai pornografi tersebut untuk itu hakim perlu menafsirkan aturan
perundang-undangan yang ada dengan kondisi sosial dan budaya adat setempat.

Interprestasi sosiologis terhadap Undang – undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan disesuaikan dengan hubungan
dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi
disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa
dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini
yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat negara
Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam
tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial
suatu daerah.
Philip Heck, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial,
moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang
berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat
dan berarti tidak mungkin.8 Sistem penafsiran juga dapat dilakukan oleh hakim dalam
rangka penemuan hukum. Penafsiran sosiologis sangat cocok dengan permasalahan,
didalam sistem penafsiran sosiologis bunyi undang-undang tidak dirubah, hanya lebih
memfokuskan terhadap perubahan masyarakat dengan memperhatikan maksud dan
tujuan dari undang-undang tersebut.9
Pada kasus pornografi di Minangkabau, hakim perlu melihat kondisi masyarakat
yang dekat dengan tradisi-tradisi islam seperti ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandikitabullah”, maka untuk memutus perkara tersebut hakim dapat menafsirkan
kata-kata pornografi seperti pandangan orang-orang minangkabau, apabila hal ini tidak
dilakuakan maka rasa keadilan masyarakat minangkabau tidak akan terpenuhi dan
tujuan hukum tidak akan tercapai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN

8
9

www.logikahukum.com, diakses 5 November 2012
www.hukumonline.com, diakses 5 November 2012

Dari uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ada beberapa yang dapat di tarik
sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini, yaitu :
1. Bahwa dalam proses penemuan hukum, hakim harus memperhatikan kondisi sosial
dan budaya masyarakat setempat.
2. Interprestasi sosiologis dilakukan dalam rangka menafsirkan aturan hukum agar
sesuai dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat sekitar.
B. Saran
1. Hakim dalam membuat keputusan haruslah memperhatikan kepentingan umum
dengan melihat budaya dan adat istiadat masyarakat setempat
2. Dalam menafsirkan ketentuan aturan perundang-undangan hendaknya hakim tidak
mengabaikan tujuan aturan tersebut di bentuk oleh pembentuk undang-undang
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
I.

BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori peradilan, Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, hlm 499.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2001
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993
Syahrani, Riduan, Seluk – Beluk dan Asas – asas Hukum Perdata, alumni, Bandung,
2000.
Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

II.

Website
Detiknews, “inilah isi RUU Pornografi dan Pornoaksi”, 16 September 2008, Dalam
Wikipedia.com, di akses 3 November 2012.
www.jarwo.wordpress.com/Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
www.logikahukum.com, diakses 5 November 2012
www.hukumonline.com, diakses 5 November 2012