BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, namun juga

  merupakan suatu tahap rehabilitasi dan re-integrasi sosial bagi warga binaan yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan. Pandangan ini didukung oleh Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana di Indonesia dilakukan dengan sistem Pemasyarakatan,di samping sebagai arah dan tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan

  

  membina. Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu rangkaian penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

   Pemidanaan menurut konsep KUHP pada dasarnya bertujuan untuk : 1.

  Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

  2. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

  3. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

  4. 1 Mebebaskan rasa bersalah pada terpidana.

  Dwidja Priyatno, sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Hlm. 97-98. 2 Andi Hamzah, Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyeresaian KUHAP dan KUHP Baru ,Grafindo, Jakarta, 2000, Hlm. 77.

  1 Setelah sekian lama terjadi perdebatan antara para ahli hukum mengenai sistem yang paling tepat untuk diterapkan dalam sistem pemidanaan Indonesia, antara pandangan pemidanaan yang berifat pembalasan ataukah pandangan baru (modern) yang mengutamakan pemidanaan sebagai tindakan pembinaan dan pembimbingan sesuai dengan yang tercantum dalam pertimbangan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

  Didahului dengan amanat Presiden dalam konfrensi dinas menyampaikan arti penting terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu dengan merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarkatan. Berdasarkan pertimbangan ini, disusunlah amanat Presiden tersebut menjadi suatu pernyataan tentang hari lahir Pemasyarakatan RI pada hari Senin tanggal 27

  Lahirnya sistem

  pemasyarakatan dapat diartikan bahwa sistem pemidanaan Indonesia telah memasuki era baru dalam proses pemidanaan narapidana dan, anak didik.

  Era baru yang dimaksud adalah narapidana dan anak didik mendapat pengayoman dan pembinaan demi pemasyarakatan yang lebih baik.

  Dalam prakteknya banyak lembaga pemasyarakatan di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan harapan, seperti yang terjadi di salah satu Lapas di Sumatera Utara, dimana Lapas Kelas I Medan, hanya dapat menampung sekitar 1054 orang saja, tetapi berdasarkan data yang didapat, jumlah narapidana yang berada di Lapas tersebut menampung hampir 2 x lipat dari yang seharusnya.

3 Dwidja Priyatno, sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Hlm. 98.

  Tabel 1 Jumlah Narapidana Kanwil Sumatera Utara, Lapas Kelas I Medan Tahun 2014

  5 Mei 2092 2092 2092 1054 198

  11 November 2063 2063 2063 1054 196

  10 Oktober 2059 2059 2059 1054 196

  9 September 2058 2058 2058 1054 195

  8 Agustus 2088 2088 2088 1054 198

  7 Juli 2056 2056 2056 1054 195

  6 Juni 2065 2065 2065 1054 195

  4 April 2017 2017 2017 1054 191

  Sumber : Data diolah dari sistem database pemasyarakatan seluruh Indonesia Tahun 2014.(Http://sitemdatabasepemasyarakatan.co.id//)

  3 Maret 2087 2087 2087 1054 198

  2 Februari 2058 2058 2058 1054 195

  1 Januari 2040 2040 2040 1054 194

  NO Periode NARAPIDANA TOTAL Kapasitas % DL DP TD AL AP TA

  Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah salah satu Lembaga yang memliki tanggung jawab untuk mengatasi fakta buruk tersebut. LAPAS

  Mengatasi fakta buruk dari sistem pemidanaan di Indonesia, semua alat Negara atau lembaga yang terkait harus bekerja lebih keras dan efesien.

  Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa permasalahan mengenai overkapasitas atau kelebihan daya tampung bukanlah hanya isu atau pendapat lagi tetapi telah menjadi fakta. Oleh karena itu pemerintah perlu membuat suatu tindakan agar tidak terjadi masalah yang dapat mengakibatkan gangguan secara nyata terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia, seperti perkelahian sesama warga binaan, maupun pemberontakan warga binaan.

  12 Desember 2064 2064 2064 1054 197 harus lebih serius dalam merealisasikan apa yang menjadi tugas pokoknya. Petugas LAPAS harus membina dan membimbing setiap narapidana dengan maksimal agar setelah keluar dari LAPAS, dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dalam tahapan demikian setelah keluar dari LAPAS, narapidana dapat menjadi pribadi yang baik dan menjadi contoh untuk anggota masyarakat lainnya. Disamping itu ada juga usaha-usaha tersebut diperlukan juga kebijakan lainnya, seperti memberikan Remisi, Asimilasi, Cuti Beryarat, Bebas Bersyarat dan lain sebagainya.

  Substansi pembahasan dalam skripsi adalah pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah membebaskan terpidana sebelum masa pidananya habis, dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa antara sistem pemidanaan, sistem pemasyarakatan dan kebijakan pembebasan bersyarat adalah hal yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Sebab substansi yang dibahas adalah bagaimana agar narapidana dapat menyadari kesalahannya dan siap kembali ke masyarakat.

  Lembaga pembebasan bersyarat telah ada sejak diberlakukannya KUHP (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat yang baru dimasukkan dalam KUHP pada tahun 1927. Pada dasarnya lembaga pembebasan bersyarat dibentuk agar klien pemasyarakatan atau narapidana dapat beradaptasi di dalam masyarakat setelah menjalani proses pidana.

  Secara struktur organisasi, lembaga pemasyarakatan berada dibawah sub- ordinasi Kementrian Hukum dan HAM, namun didalam pelaksanaan tuganya Lapas mengadakan hubungan koordinasi dengan lembaga-lembaga

  

diluar kementrian Hukum dan HAM.

  Keputusan pembebasan bersyarat diberikan oleh Menteri Kehakiman sekarang menjadi Metenteri Hukum dan HAM, apabila terpidana telah menjalani masa pidana minimal 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang harus dijalani atau sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan (Pasal 15 ayat 1 KUHP). Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM seseorang karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1 KUHP, untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan

  

  bersyarat juga didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain : 1.

  Sifat tindak pidana yang dilakukan; 2. Pribadi dan riwayat hidup (latar belakang kehidupan) narapidana; 3. Kelakuan narapidana selama pembinaan; 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan ;

5. Penerimaan masyarakat dimana ia akan bertempat tinggal.

  Pembebasan bersyarat merupakan cara yang paling baik untuk membebaskan narapidana. Walaupun banyak pihak yang menganggap pembebasan bersyarat sebagai pemaaf dari suatu tindak pidana, bertujuan memperpendek hukuman dengan tujuan mempercepat waktu pembebasan, bahkan banyak beranggapan bahwa pembebasan bersyarat sebagai suatu 4 5 Tolib Efendi, SH.M.H. Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Surabaya, Hlm.181.

  Andi Hamzah, Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyeresaian KUHAP dan KUHP Baru ,Grafindo, Jakarta, 2000, Hlm. 83 tindakan untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan kepada pelaku kejahatan. Tetapi pada dasarnya tujuan pembebasan bersyarat bukanlah untuk memberi maaf atau menyenangkan pelaku kejahatan (narapidana), melainkan sebagai metode yang kompleks dan bertujuan untuk membebaskan narapidana dari rasa bersalah dan dapat memulai hidup yang

   baru .

  Apabila narapidana langsung diberikan bebas murni di akhir masa proses pidana, hal ini membuat negara melalui lembaga terkait kehilangan fungsi pengawasan terhadap narapidana yang bebas tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat menjadi merasa tidak aman, karena mantan narapidana tersebut dapat melakukan kejahatan lagi, karena tidak ada pengawasan lagi. Berbeda dengan pembebasan bersyarat yang memaksimalkan pengawasan dan pembimbingan terhadap narapidana yang diberi keputusan pembebasan bersyarat, dan sebagai hasilnya akan mengurangi pelanggaran (kejahatan) yang dilakukan oleh narapidana tersebut.

  Pelaksanaan pembebasan bersyarat tidak selalu sempurna, terkadang dalam tahap-tahap yang telah ditetapkan warga binaan dapat melakukan pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah diterima. Kejahatan yang dimaksud memiliki arti yang luas. Ketika warga binaan diberikan pembebasan bersyarat dan melanggar syarat-syarat, hal tersebut dapat diartikan sebagai kejahatan atau dalam pelaksanaannya sering disebut dengan pelanggaran. Berdasarkan peraturan yang ada jika narapidana 6 Ibid. Hlm. 83. melakukan kejahatan tersebut, maka lembaga yang berwajib dapat menangguhkan sementara penetapan pembebasan bersyarat, atau bahkan menarik kembali izin pembebasan bersyarat, dan narapidana dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani sisa pidananya (Pasal 83 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.21 Tahun 2013).

  Pemberian pembebasan bersyarat ini memang tidak hanya dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan saja, namun harus memperhatikan kesiapan narapidana atau sering disebut sebagai klien pemasyarakatan serta keamanan masyarakat. Kesiapan Klien dan masyarakat dapat diketahui dari hasil pengamatan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Penelitian oleh Balai Pemasyarakatan. Warga binaan yang telah mendapatkan pemebabasan bersyarat dapat dicabut izinnya oleh Direkrur Jenderal Pemasyarakatan atas usul kepala kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM, apabila

  

  narapidana : a.

  Hidup secara tidak teratur b. Malas bekerja c. Bergaul dengan residivis d. Mengulangi melakukan tindak pidana e. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat

  f. Melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas

7 Andi Hamzah. Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP Dengan KUHP Baru , Jakarta. Hlm. 85.

  Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menguraikan lebih dalam mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat dan selanjutnya mencari dampak yang signifikan terhadap pelanggaran yang sering terjadi baik dalam masa pembebasan bersyarat maupun sesudahnya, singkatnya penulis merasa perlu menelaah lebih dalam lagi mengenai pembebasan bersyarat tersebut melalui judul :

  “ Pembebasan bersyarat dan Tingkat pelanggaran yang dilakukan

  

oleh Klien Pemasyarakatan (Riset BAPAS Kelas I Medan)

B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pemberian Penetapan Pembebasan Bersyarat Bagi Klien

  Pemasyarakatan dalam pembimbingan Bapas Kelas I Medan ? 2. Faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi proses Pembebasan

  Bersyarat ?

C. TUJUAN & MANFAAT PENELITIAN

  Adapun tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui pemberian penetapan Pembebasan Bersyarat di wilayah kewenangan BAPAS Kelas I Medan.

  2. Untuk mengeahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses berjalannya pembebasan bersyarat, baik dari Pembimbing Kemasyarakaan maupun dari Klien Pemasyarakatan.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan teoritis.

  1. : Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat Secara Praktis memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum tentang hal atau materi yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat.

  2. : a. Bagi Peneliti Secara Teoritis

  Penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi media untuk menambah wawasan berpikir dalam hal mendalami ilmu hukum khusus hukum pidana.

  b. Bagi Instansi Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan sumbangan tambahan ilmu tentang cara membangun citra yang baik dalam upaya peningkatan mutu sistem pemidanaan di Indonesia, khususnya dalam pengawasan terhadap pembebasan bersyarat.

D. KEASLIAN PENULISAN

  Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai “Manfaat Pembebasan bersyarat dan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh Klien Pemasyarakatan ( Riset BAPAS Kelas I Medan) ” belum pernah dilakukan penelitian pada topik yang sama.

  Objek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah yang belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian, sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritik bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1.

PENGERTIAN PEMBEBASAN BERSYARAT

  Pembebasan bersyarat adalah suatu cara melepaskan narapidana kepada masyarakat sebelum masa bebas yang ditetapkan dalam putusan pengadilan.

  Narapidana diberikan pembebasan bersyarat karena telah memenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan oleh Perundang-undangan. Artinya, tidak semua narapidana dapat diberikan pembebasan bersyarat karena ada ketentuan yang membatasi pemberian kebijakan tersebut, baik dari segi tingkah laku atau sikap dari narapidana selama menjalani pembinaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) maupun dari hasil penelitian Balai Pemasyarakatan mengenai keadaan masyarakat. Pasal 15a ayat (4) KUHP menyebutkan kemungkinan diadakannya suatu pengawasan yang sifatnya khusus, yang semata-mata dimaksudkan untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada klien Pemasyarakatan dalam hal pembebasan bersyarat, sedangkan pada pasal 15a ayat (5) KUHP telah menyebutkan kemungkinan untuk

   menyerahkan pengawasan seperti itu kepada orang lain.

  Perlu diketahui bahwa istilah Pembebasan bersyarat adalah istilah yang termasuk lama, karena pada masa kini sudah banyak lembaga terkait mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan yang memakai terminologi “Pelepasan Bersyarat” seperti yang dipakai dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan . Dalam skripsi ini istilah yang digunakan adalah istilah lama yakni “Pembebasan Bersyarat” yang telah ada sejak KUHP berlaku pada Tahun 1918, karena menurut penulis istilah itu lebih mudah diterima, disamping itu hal ini juga didukung dengan anjuran dari petugas/pegawai Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Sumatera Utara dan BAPAS Kelas I Medan. Mengenai perbedaan istilah antara Pelepasan dan pembebasan bersyarat, banyak peraturan perundang- undangan mengartikan sendiri arti dari pembebasan/pelepasa bersyarat ini dengan istilah istilah atau terminologi berbeda, sebagai berikut : a.

  Berdasarkan Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”.

  “Pembebasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan”

8 P.A. F. Lamintang ,S.H. Hukum Panitensier Indonesia. Armico. Bandung. Hlm. 262.

  b.

  Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995, tentang pemasyarakatan istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang- kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k c. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No.

  M.2. PK.04.10 Tahun 2010 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pemebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (Pasal 1 butir 2) istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”.

  “Pembebasan Bersyarat adalah proses Pembinaan Narapidana dan anak didik pidana di luar LAPAS stelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (Sembilan) bulan.” d. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesi, istilah yang dipakai adalah “Pelepasan Bersyarat”.

2. PENGERTIAN PELANGGARAN

  Hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang- orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di

  

  dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat memiliki kepentingan dan hak masing-masing, yang sangat beraneka ragam dan dapat menimbulkan bentrokan satu sama lain, jika antara masyarakat melakukan atau menunutut apa yang menjadi haknya tanpa memperhatikan hak dari orang lain. Untuk hal seperti ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu di dalam masyarakat.

  Hubungan ini ada diantara orang-orang perseorangan, atau berbagai kelompok orang, atau antara suatu kelompok dengan seorang oknum tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak dan orang-orang perseorangan atau kelompok orang lain di lain pihak. Dalam pembahasan skripsi ini, hubungan yang dimaksud adalah bagaimana hukum atau peraturan yang berlaku mengatur hubungan antara klien dengan kewajibannya dalam mewujudkan kesuksesan program pembebasan bersyarat yang diterimanya.

  Dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu perbandingan diantara berbagai kepentingan. Perbandingan yang dimaksud adalah bagaimana agar setiap kepentingan tidak bertabrakan dan menimbulkan konflik yang lebih sulit untuk diperbaiki. Dan hubungan yang diadakan oleh hukum tersebut merupakan langkah untuk menghindari atau mengurangi pelanggaran atas hukum atau aturan yang berlaku.

  Maka, pelanggaran dapat diartikan sebagai akibat dari perealisasian kepentingan atau hak dari saetiap anggota atau kelompok masyarakat dalam 9 Wirjono Projodikoro. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta. Refika Aditama.

  Hlm. 15. hal ini klien pemasyarakatan atau warga binaan, yang menimbulkan kepentingan atau hak pihak lain menjadi terganggu dan dirugikan. Oleh karena itu, hukum dengan sanksinya perlu untuk membatasi setiap perealisasian dari setiap hak atau kepentingan yang ada.

  Klien pemasyarakat memiliki hak dan kepentingan masing-masing, tetapi hak dan kepentingan tersebut telah dibatasi dengan kewajiban yang diterimanya sebelum beralih dari warga binaan menjadi klien pemasyarakatan. Oleh karena itu ketika klien melakukan tindakan yang mengakibatkan kewajibannya tidak terlaksana, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ini dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat ada 2 (dua), yaitu ; pelanggaran ringan yang dapat ditolerir seperti terlambat melapor, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang dijadwalkan; dan pelanggaran yang tidak dapat di tolerir, seperti mengulangi

   tindak pidana sebelumnya atau melakukan tindak pidana yang baru.

  Terminologi pelanggaran merupakan salah satu hasil dari penelitian di BAPAS Kelas I Medan, dimana jika dibandingkan dengan pemaknaan yang terletak di dalam KUHP, isitilah yang seharusnya digunakan adalah “Kejahatan”. Tetapi dalam proses penelitian penulis menemukan bahwa istilah yang dipakai dengan makna yang sama adalah pelanggaran, jadi pada kesimpulannya, istilah tersebut tidak dapat dirubah karena akan memperngaruhi isi dan hasil penelitian secara keseluruhan.

10 Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan.

  Terkait dengan pelanggaran ringan, dapat ditolerir bukan berarti menjadi pelanggaran yang dapat di ulangi, tetapi ada batasan sebagaimana teknis prosedur yang berlaku, dalam arti bahwa jika sudah diperingati dalam waktu tertentu dan diulangi maka pelanggaran ringan tersebut dapat mengakibatkan penangguhan izin bebas bersyarat dari klien yang bersangkutan.

3. PENGERTIAN KLIEN PEMASYARAKATAN (Klien)

  Klien Pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS yang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Setiap klien yang masuk didalam BAPAS wajib didaftar tetapi bukan dalam rangka merubah status tetapi untuk memenuhi tertib administrasi. Klien sebagai mana dimaksud adalah terdiri dari

   1.

  Terpidana bersyarat;

  Narapidana, anak pidana, dan anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat (bebasnya narapidana setelah menjalani

  pidananya sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidk kurang dari 9 bulan) atau cuti menjelang

  bebas (cuti yang diberikan kepada narapidana yang telah menjalani

  hukuman sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 bulan)

11 MODUL PEMBIMBING KEMASYARAKATAN. Modul III Bab II, tentang Unsur- unsur Pembimbingan. Hlm. 106.

  2. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

  3. Anak Negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat dilingkungan Direktorat jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social; 4. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya;

5. Anak yang diputus menjalani pidana pengawasan.

  Dalam hal bimbingan anak Negara dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, maka orang tua asuh atau badan sosial tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.

  Upaya pembinaan dan bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem

pemasyarakatan, merupakan suatu sarana perlakuan yang baru terhadap warga

binaan dan klien untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara

agar mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan warga binaan dan klien untuk dapat kembali menjadi anggota masyarakat.

  Bimbingan klien adalah suatu pelaksanaan dalam rangka penegakan hukum, sama halnya dengan pembinaan yang dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi sebagai salah satu pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang dilakukan di luar Lembaga pemasyarakatan. Jadi dalam hal ini kegiatan yang dilakukan dalam rangka pembinaannya hampir sama tetapi hanya berbeda lokasinya saja.

  Bimbingan klien pemasyarakatan pada hakekatnya adalah pembinaan klien di luar Lembaga sebagai salah satu sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Untuk membimbing klien tidak lepas dari Undang-Undang

  Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang bertujuan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.

  Secara singkat bimbingan klien adalah daya upaya yang bertujuan untuk memperbaiki klien dengan maksud secara langsung dapat menghindarkan diri atas terjadinya pengulangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar norma atau hukum yang berlaku. Bimbingan klien ini dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat, di dalam keluarga tidak di dalam Lapas. Bimbingan yang diberikan harus dapat mendorong dan memantapkan hasrat klien untuk sembuh dan memiliki kedudukan sosial serta dapat

   melaksanakan peran sosialnya secara wajar dalam masyarakat.

4. Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

  BAPAS adalah singkatan dari Balai Pemasyarakatan, yang menjadi salah satu lembaga yang memabantu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dalam membina narapidana/warga binaan dalam hal ini untuk menerima laporan perkembangan dari tiap klien pembebasan bersyarat yang diawasi dan yang dibantu juga oleh kejaksaan.

  Balai Pemasyarakatan (BAPAS) mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan sebagian dari tugas pokok Direktoral Jendral Pemasyarakatan dalam menyelenggarakan pembimbingan klien 12 Di kutip dari Skripsi PICTA DHODY PUTRANTO, Universitas Negeri Sebelas Maret

  Surakarta (CM Marianti Soewandi, 2003:31) pemasyarakatan didaerah. Bentuk dari bimbingan yang diberikan macam- macam, mulai dari pemberian pembinaan tentang agama, keterampilan, sampai pada pembinaan kepribadian. Bimbingan ini diberikan dengan tujuan agar klien dapat hidup dengan baik didalam masyarakat sebagai warga negara serta bertanggung jawab, untuk memberikan motivasi, agar dapat memperbaiki diri sendiri, dan tidak mengulangi kejahatan (residive). Pada dasarnya peran BAPAS ini tidak hanya berlaku pada narapidana yang dibina di luar LAPAS, tetapi juga memiliki kewenangan atau bahkan kewajiban untuk membina warga binaan atau narpidana didalam LAPAS.

  Berdasarkan sistem hukum pidana Indonesia maka, BAPAS berperan dalam menangani tiap narapidana maupun mantan narpidana yang baru dibebaskan, agar tiap orang yang dibina tersebut dapat diyakinkan tidak melakukan kejahatan lagi. Karena selain yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan, tujuan pemidanaan yang sekarang dipergunakan dalam praktek hukum adalah melakukan pengayoman dan pembinaan. Seperti yang diutarakan oleh para ahli seperti; Protagoras, Seneca dan Jeremy Bentham, dimana jika disimpulkan dari pemahaman mereka, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan jika sudah terjadi untuk menangani agar tidak tercipta dendam dalam tiap pidak yang bermasalah.walaupun dalam

   kenyataanya selalu ada pertentangan juga.

  Selain BAPAS, dikenal juga suatu lembaga yang berfungsi hampir sama yakni BISPA. Istilah BISPA merupakan singkatan dari bimbingan kemasyarakatan dan Pengentasan anak, yang pertama sekali dicetuskan oleh 13 Ibid. Hlm. 23.

14 R. Waliman Hendrasusilo. Tujuan dari pendirian badan ini adalah untuk

  pembinaan diluar penjara atau LAPAS yang menangani anak sebagai klien pemasyarakatannya.

  Bapas Kelas I Medan mempunyai wilayah kerja yang meliputi kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Tanah Karo, Dairi, Kota Rantau Parapat.

  Sasaran garapan Bapas Kelas I Medan Meliputi :

  a. Klien Pembebasan Bersyarat (PB)

  b. Klien Asimilasi

  c. Klien Cuti Menjelang Bebas (CMB)

  d. Klien Cuti Bersyarat (CB) Bapas Kelas I Medan terdiri dari 2 bangunan lantai dengan beberapa ruangan.

  Bangunan lantai I terdiri dari 4 ruangan yaitu : 1. Ruangan Kepala Bagian Tata Usaha.

  2. Ruangan Urusan Umum.

  3. Ruangan Kepegawaian.

  4. Ruangan Aula. Bangunan lantai II terdiri dari 8 ruangan yaitu : 1. Mushola.

  2. Ruang Rapat.

  3. Ruang Kasi. Bimbingan Klien Dewasa. 14 MODUL PEMBIMBING KEMASYARAKATAN, MODUL II. BAB II. Sejarah

  Perkembangan Pembimbingan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemnetrian Hukum dan Ham Republik Indonesia .Hlm. 49.

  4. Ruangan Kasi. Bimbingan Klien Anak.

  5. Ruangan Keuangan.

  6. Ruangan PK I

  7. Ruangan PK II

  8. Ruangan PK I Jumla Petugas/Pegawai Bapas Medan ada 53 Orang yang terdiri dari : Laki-laki :34 Orang Perempuan`:19 Orang

F. METODOLOGI PENELITIAN

  Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

  1. Jenis Penelitian

  Dalam tulisan skripsi ini penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif (penelitian hukum doktriner) dan bersifat yuridis empiris (studi lapangan). Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan. Penelitian yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber (informan) secara langsung yang disertai dengan penyebaran angket untuk menambah kepastian data hasil penelitian yang lebih akurat, dan hal tersebut dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah BAPAS dan klien pemasyarakatan (narapidana) Pembebasan Bersyarat.

  2. Jenis Data

  Jenis data penelitian ini adalah bersumber dari data primer dan data sekunder. Sumber data Primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari responden atau sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan

  

  hasil pengujian. Maka dari itu data Primer dalam penulisan ini diperoleh dari penelitian lapangan (riset) yaitu melalui wawancara dengan Petugas yang berwenang di dalam BAPAS kelas I Medan, dan di tambahi juga dengan penyebaran kuisoner kepada narapidana yang telah diberikan izin bebas bersyarat.

  Adapun jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah bersumber dari data sekunder sebagai berikut : a.

  Bahan Hukum Primer, dalam Penelitian ini dipakai : 1.

  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

  2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

  3. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

  4. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.2. PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pemebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

  5. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti 15 Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Dan Cuti Bersyarat.

  

Burhan Ashofa, SH., Metode Penelitian Hukum, 2010, Jakarta, Rineka Cipta, hal.123.

  6. PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

  7. PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang sedang diteliti.

  c.

  Bahan Hukum Tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus umum dalam hal ini yang dipergunakan adalah KBBI, dan ditambahi dari website yang dianggap penulis baik dan benar untuk disajikan dalam tulisan skripsi ini.

3. Sumber dan Metode Pengumpulan Data a.

  Sumber Data Didalam penulisan skripsi ini, sumber data yang dipakai, adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari penelitian lapangan yaitu melalui hasil wawancara dengan pegawai BAPAS dalam hal Pengawasan terhadap klien (narapidana) Pembebasan Bersyarat, dan ditambahi dengan hasil angket yang disebarkan kepada Klien (narapidana) pembebasan bersyarat, sabagai tambahan data yang akurat. Sedangkan data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang diuaraikan sebelumnya, data ini didapatkan melalui studi pustaka dengan melakukan pencarian berbagai konsep, teori-teori, asas-asas, doktrin-doktrin dan hal lain yang dapat mendukung kelengkapan

  • - -
  • - -
  • - -

  • - -
  • - -
  • - -
  • - -
  • - - -
  • -
  • - - - -
  • -

  Hal ini dapat dikatakan menggunakan analisa kualitatif karena pada tulisan ini dilakukan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, yang mengakibatkan dari teori-teori tersbut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan akhir untuk kepentingan pembahasan tulisan skripsi ini.

  Dalam Pengolahan data yang didapat dari pencarian data kepustakaan, maka dapat dikatakan hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif.

  Sumber : Data diolah dari angket yang disebarkan terhadap klien pemasyarakatan di BAPAS Kelas I Medan, Tanggal 9 April 2015. (terlampir)

  √

  6 Yosi -

  5 Rahmad √ - - - - - -

  √

  √

  4 Pujianto √

  √

  √

  √

  3 Indra √

  2 Fernando √ - - - - - -

  √

  √

  √

  1 Ervan √

  Respon Masyarakat Pelanggaran Kelurga Lapas Jaksa Ya Tidak Baik Kurang biasa Ada Tidak

  

Tabel 2

Tabulasi data angket klien pemasyarakatan PB BAPAS Kelas I Medan 2015

NO NAMA Pihak Mengajukan PB Wajib

Lapor

  Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini data yang dipakai adalah data yang didapatkan melalui wawancara dengan Pegawai BAPAS Kelas I Medan, serta penyebaran angket kepada klien (narapidana) pembebasan bersyarat. Langkah tersebut diatas dilakukan untuk mendapat data yang akurat dan mendukung untuk pemecahan masalah dalam penyelesaian penelitian ini.

  b.

  data untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan mengutamakan untuk memecahkan permasalahan yang ada.

4. Analisis Data

G. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sitematika pennulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dalam bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian :

  Bab I. Pendahuluan Dalam bab ini akan diuraikan tentang penjelasan umum, seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan keputakaan, Metode Penulisan serta sistematika Penulisan.

  Bab II Pemberian Penetapan Pembebasan Bersyarat dalam Pengawasan BAPAS Kelas I Medan. Dalam bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai pembebasan bersyarat mulai dari tahap pengajuan pemberian pembebasan bersyarat hingga hal-hal yang menjadi prosedur pemeberian penetapan pembebasan bersyarat. Dan juga disajikan hasil sebaran angket terhadap klien (narapidana) pembebasan bersyarat.

  Bab III Faktor – faktor yang mempengaruhi kegagalan Pembebasan Bersyarat . Dalam bab ini, akan dijelaskan hal-hal yang menjadi penyebab kegagalan pemberian penetapan pembebasan bersyarat, serta akibat yang terjadi atas kegagalan tersebut.

  Bab IV Kesimpulan dan Saran.

  Bab ini adalah penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan disajikan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan sertai saran atas permasalahn yang menjadi pokok pembahasan

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Return On Asset, Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan Dan Status Kepemilikan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 12

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 1 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 44

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 9

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 13

BAB II PENDELEGASIAN WEWENANG DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA A. Pengertian Pendelegasian Wewenang - Prosedur Pendelegasian Wewenang Ditinjau dari Persepektif Hukum Administrasi Negara (Studi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Me

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Pendelegasian Wewenang Ditinjau dari Persepektif Hukum Administrasi Negara (Studi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Medan)

0 0 20

BAB 2 LANDASAN TEORI - Penentuan Nilai Motorik Halus Anak Dengan Game Magic Maze Menggunakan Metode Mamdani

0 5 19

BAB 1 PENDAHULUAN - Penentuan Nilai Motorik Halus Anak Dengan Game Magic Maze Menggunakan Metode Mamdani

0 0 6

BAB II PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN BAPAS (Balai Pemasyarakatan) KELAS I MEDAN. A. Pembebasan Bersyarat - Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

0 0 46