BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO)

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah GSO oleh negara-negara dengan tingkat ilmu

  pengetahuan dan teknologi yang maju memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai sarana telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan cuaca. Namun seringkali penempatan satelit di orbit ini tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Penggunaan satelit mata-mata merupakan pemanfaatan satelit untuk tujuan tidak damai, penginderaan jarak jauh tanpa izin dari negara yang diindera atas data sumber-sumber alam dan siaran langsung melalui satelit dengan tujuan untuk propaganda adalah kegiatan-kegiatan dari pemanfaatan satelit yang bisa

  1 melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat.

  Indonesia sebagai negara khatulistiwa dengan jalur geostationer orbit terpanjang di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase) yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit

  

Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang

  lebih 36.000 km, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan tampak statis

1 Diah Apriani Atika Sari, Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian

  Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia) , artikel, Surakarta, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2 Juli 2012, hal 7

  2

  terhadap suatu titik dipermukaan bumi. Dengan karakteristiknya tersebut GSO mempunyai nilai ekonomis dan strategis yang sangat penting bagi semua negara.

  Apalagi mengingat kenyataan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang terbatas (limited natural resources). Sehingga tidak mengherankan bila semua negara di dunia, baik itu negara berkembang atau negara maju berlomba -lomba

  3 untuk memanfaatkan wilayah ini untuk kepentingan nasionalnya.

  Salah satu bagian khusus yang termasuk di dalam wilayah udara dan ruang angkasa Indonesia itu adalah suatu kawasan yang disebut sebagai Geo Stationary

  Orbit (GSO). Adapun GSO ini adalah merupakan suatu kawasan terbatas yang

  terletak di sekitar garis khatulistiwa (Equator ), dan hanya “dimiliki” oleh beberapa negara saja yang wilayah udaranya tepat berada di bawah kawasan GSO.

  Dan hanya di dalam kawasan GSO inilah dapat diletakkan posisi dari satelit-satelit agar dapat tetap pada orbitnya guna melakukan suatu fungsi tertentu.

  Adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi Seluruh

  4

  di dalam Manusia) dan “First Come First Served” (Kebebasan Mengeksploitasi. pemanfaatan ruang angkasa, secara khusus mengenai kawasan GSO, membuat negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi secara berlomba-lomba ingin menguasai pemanfaatan kawasan GSO yang sifatnya terbatas tadi. Hal ini menimbulkan suatu ketidakadilan bagi negara-negara lain yang belum lagi memiliki kemampuan dalam usaha pemanfaatan wilayah udara dan ruang angkasa, khususnya GSO tersebut. 2 Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya

  Orbit Geostationer Dan Kaitannya Dengan Kepentingan Indonesia , Bandung, 1994, hal 1-2 3 4 Ibid Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 Pasal 136.

  Pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus dalam Space

  

Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Letak GSO yang

berada di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya berlaku Space Treaty 1967.

  Dengan demikian setiap negara bisa memanfaatkan wilayah ini tanpa diskriminasi dan penguasaan secara nasional dilarang. Pasal 2

  Space Treaty ”Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means”. Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya,

  bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk dengan penundukan, atau dengan cara lain.

  Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama halnya seperti laut bebas.

  Permasalahan yang kemudian muncul dan dihadapi masyarakat internasional adalah adanya ketidak adilan tentang pemanfaatan GSO tersebut.

  Hal ini disebabkan karena GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa (outer space), sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan.

  Sebagai akibat berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam memanfaatkan GSO, maka berlakulah prinsip first come, first served. Prinsip tersebut menyebabkan Negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih dulu. Suatu konsep Hukum Internasional adalah berlaku apabila telah diterima sebagai suatu ketentuan yang mengatur oleh Masyarakat Internasional itu sendiri. Hal ini dapat berupa suatu Kebiasaan Internasional yang telah lama ada, maupun berdasarkan atas suatu landasan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. Dalam bukunya yang berjudul, “An Introduction to International Law”, J. G. Starke memberikan d efinisi Hukum Internasional sebagai berikut: “Adapun Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-

  5 negara satu sama lain.

  Seorang sarjana hukum Belanda yang sangat terkenal terutama dalam Hukum Internasional, Grotius (Hugo de Groot: 1583-1645) menulis secara sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya, “De Jure Belli

  ac Pacis

  ” (The Law of War and Peace = Perihal Hukum Perang dan Damai), membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti negara-negara dari zamannya. Ia juga memperkenalkan beberapa doktrin Hukum Internasional, misal doktrin “Hukum Kodrat” (Law of Nature) yang menjadi sumber dari Hukum Internasional itu di samping kebiasaan dan traktat. Dan hubungan dengan karangannya ini, maka Grotius dianggap sebagai “Bapak dari Hukum

  6 Internasional” (Father of The Law of Nations).

  Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa Dan Negara Kolong (GSO)

  5 6 J. G. Starke, An Introduction to International Law , 1999, hal 87 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bonacipta, 2010, hal. 23-24.

I. Perumusan Masalah

  Dari beberapa penjelasan yang telah diberikan sebelumnya di dalam tulisan ini, maka mengangkat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut: 1.

  Bagaimana Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional? 2. Bagaimana Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan

  Negara GSO (Negara Kolong)? 3. Bagaimana sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa?

  J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum

  Internasional b. Untuk mengetahui Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa

  Dan Negara GSO (Negara Kolong) c. Untuk mengetahui sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa

  2. Manfaat Penelitian a.

  Secara teoritis Diharapkan untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang

  Angkasa. Berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.

  b.

  Secara praktis Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.

  K. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO) belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang mirip yang penulis temukan adalah :

  1. Reni Amalia, NIM 96200109 dengan judul Tinjauan Hukum Internasional terhadap Prinsip Common Heritage of Mankind pada Geostasioner Orbit

  2.

  (GSO).

  3. Hisbullah Huda, NIM 990200023 dengan judul Kedudukan GSO (Geostationary Orbit) dan Implikasinya terhadap Kedaulatan Suatu Negara.

4. Johannes R. Ritonga, NIM 990222024 dengan judul Aspek Pemanfaat

  (Geostationary Orbit) Menurut Hukum Internasional

  L. Tinjauan Pustaka

1. Prinsip Lahirnya Pengaturan Ruang Angkasa

  Mengantisipasi perkembangan aktivitas komersialisasi ruang angkasa yang kompleks, berbagai istilah dan prinsip yang dimuat dalam Space Treaty 1967 harus mendapat klarifikasi yang tepat dan akurat. Pengunaan istilah dan penerapan prinsip yang kurang tepat kadang dianggap sebagai hal yang kurang penting bahkan usaha pembahasannya malah akan menimbulkan suatu perdebatan. Tetapi jika dibiarkan berlarut, arti yang sebenarnya akan menjalin semakin samar dan pada akhirnya ketidaktepatan atau kurang akuratnya arti suatu istilah dan prinsip akan menimbulkan kebingungan dalam memahami dan menerapkan ketentuan- ketentuan hukum ruang angkasa internasional.

  Beberapa perjanjian internasional muncul istilah peaceful purpose sebelum adanya Space treaty 1967, dan diartikan sebagai lawan kata dari kata “Militer”.

  Space treaty 1967 mengartikan bahwa ruang angkasa di gunakan hanya untuk

  7

  tujuan-tujuan damai dalam art Dalam prakteknya, Uni Soviet dan i ‘non militer’. amerika Serikat bahkan memberikan penjelasan tentang arti ‘damai’ yang berbeda pula. Soviet menyatakan bahwa segala aktivitas ruang angkasanya termasuk pemakaian satelit pengintai militer, bersifat damai dan menyangkal melakukan aktivitas illegal seperti memata-matai dari ruang angkasa. Semua satelitnya dikatakan bagi tujuan riset ilmiah. Amerika mengartikan damai sebagai ‘non- agresif’. Penerbangan di atas wilayah negara lain, walaupun sebenarnya tindakan mata- mata, dinyatakan sebagai ‘pengawasan udara’ dan tujuan-tujan damai dan 7 Space Treaty, 1976, Pasal 4 ayat (2) satelit pengintaian militer berfungsi menjaga keamanan (peace-keeping). Dengan alasan-alasan tersebut, Uni Soviet dan Amerika Serikat menyakinkan dan mempengaruhi dunia bahwa aktivitas ruang angkasa mereka bertujuan damai.

  Space Treaty 1967 tidak menyatakan suatu kewajiban bagi Negara-negara

  pesertanya untuk mempergunakan seluruh ruang angkasanya bagi tujuan-tujuan damai. Peaceful purpose ini dikaitkan dengan ‘eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa’. Dan pada ketentuan yang membatasi penggunaan bagian ruang angkasa semata-mata untuk peaceful purpose, yakni Pasal 4 ayat 2, secara jelas dan eksplisit dikatakan bahwa, “The moon and other celestial bodies shall be used by

  the States Parties to the treaty exclusively for peaceful purpose

  ’ (Bulan dan benda langit lainnya harus digunakan oleh negara pihak pada perjanjian internasional secara eksklusif untuk tujuan damai).

  Retrikei ini tidak berlaku bagi Pasal ayat 4 ayat (1) Space Treaty 1967, yakni bagi ruang kosong yang berada diantara semua benda-benda langit. Space

  Treaty

  1967, dalam permasalahan ‘militer’, menciptakan dua zona di ruang angkasa yang diatur oleh regin hukum yang berbeda; (1) bulan dan benda -benda

  8 langit lainnya secara total didemiliterisasi parsial.

  Berdasarkan kedua ayat (1) dari Pasal 4 Space Treaty 1967 ini, diruang angkasa (open space) negara-negara dapt secara bebas menempatkan objek-objek ruang angkasa militer, apapun jenisnya dan berapapun jumlahnya, termasuk pula satelit pengintai, satelit komunikasi, serta senjata-senjata yang bersifat defensive atau ofensif, sepanjang senjata-senjata tersebut bukanlah senjata nuklir dan senjata 8 Ibid., Pasal 4 ayat (1) perusak missal. Karena aktivitas ini dapat dilakukan secara komersial, maka klarifikasi arti dan lingkungan penerapan

  ‘peaceful purpose’ di ruang angkasa

  melalui suatu persetujuan internasional merupakan suatu hal penting bagi perkembangan komersialisasi ruang angkasa. Bila tidak ada klarifikasi, suatu aktivitas semacam itu dapat secara tiba-tiba dan tanpa dasar yang jelas dianggap sebagai pelanggaran hukum karena dinilai bukan untuk “tujuan-tujuan damai “.

  Dengan demikian yang dimaksud dengan peaceful propose s” adalah proyek- proyek sipil, yaitu non militer.

  Ada beberapa istilah satelit dan satelit artificial, kemudian istilah stasiun, instalasi, konstruksi, perlengkapan, fasilitas dan sebagainya yang dikaitkan dengan bulan dan benda-benda langit. Istilah dan gagasan terkait di atas tidak segera diklarifikasi dan didefenisikan, dan kemudian penggunaannya dinekukan, maka akan timbul kekacauan. Pertambahan intensitas dan kualitas aktivitas ruang angkasa terutama di bidang komersial yang tidak diikuti kejelasan arti objek ruang angkasa, yang merupakan materi fisik primer yang selalu terlibat dalam tiap kegiatan ruang angkasa, akan menimbulkan ketidaksesuaian dan kerenggngan antara peraturan dengan pelaksanaan tersebut.

  Suatu hal yang selalu terkait dalam suatu obyak adalah masalah hak dan kewajiban objek tersebut. Diruang angkasa, sesuai dengan ketentuan Pasal 2

  Space Treaty 1967, tidak diakui kedaulatan territorial. Akibatnya, yurisdiksi

  territorial, yang biasanya berlaku mutlak dalam wilayah kedaulatan suatu Negara, di ruang angkasa menjadi yurisdiksi kuasi-teritorial. Berdasarkan Pasal 8 Space

  Treaty 1967, yurisdiksi kuasi-teritorial ini nampaknya dilandasakan pada registrsi

  9 atau pendaftaran objek ruang angkasa.

  Istilah objek ruang angkasa atau space object dapat dianggap yang paling komperehensip walau sejauh ini, secara resmi tidak ada defenisi objek ruang angkasa, serta bila mana suatu objek dimulai dan berhenti memenuhi syarat sebagai suatu objek ruang angkasa. Pasal 1 Registration Convention 1975 hanya men yebutkan bahwa istilah ‘objek ruang angkasa’ mencakup pula bagian-bagian komponen suatu objek ruang angkasa dan wahana peluncurnya beserta bagian- bagiannya. Dua elemen lain yang ditambahkan Pasal 2 Registration Convention 1975 bahwa suatu objek ruang angkasa (1)

  ‘launched into earth orbit or beyond’,

  dan (2) wajib didaftarkan; satu-satunya kewajiban yang dipersyaratkan bagi objek ruang angkasa. Objek-objek ruang angkasa yang tidak diluncurkan ke dalam orbit bumi atau melampaui orbit bumi, tidak wajib didaftarkan. Hal ini secara tidak langsung mengangkat kembali masalah delimitasi ruang angkasa.

  Kewajiban pendaftaran bagi objek ruang angkasa mempunyai arti penting karena registrasi, selain memberikan tanda kebangsaan bagi objek ruang angkasa, juga menimbulkan ikatan yurisdiksi dengan negara tempatnya terdaftar dan merupakan titik taut antara tanggung jawab negara dengan objek ruang angkasa.

  Jika suatu objek ruang angkasa, misalnya satelit, telah habis masa fungsinya, maka objek tersebut akan menjadi suatu debris atau puing. Apakah ikatan yuridis tersebut masih dipertahankan ‘atau karena sudah tidak berfungsi lagi maka dianggap sebagai benda tak bertuan (res derelictae) Melalui teknologi maju saat 9 Ibid., Pasal 8 ini suatu debris satelit dapat diperbaiki di ruang angkasa untuk kemudian ditempatkan kembali pada orbitnya dan dioperasikan secara normal. Alternatif ini sangat menguntungkan dan dapat dikomersialkan karena biaya yang diperlukan jauh lebih sedikit dibandingkan mengusahakan satelit baru yang diluncurkan dari bumi. Jika aktivitas komersial semacam ini berkembang, maka perubahan registrasi atas objeknya tersebut sangatmungkin terjadi. Bagi kepentingan semua pihak yang terlibat, objek-objek ruang angkasa ini harus diatur lebih lanjut.

  Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 8 Space Treaty 1967 nampaknya mengaitkan yurisdiksi kepada pendaftaran objek ruang angkasa. Negara tempat objek itu terdaftar (State Registry) memegang yurisdiksi dan kontrol atau objek yang bersangkutan ketika objek itu berada di ruang angkasa atau pada suatu benda langit. Yurisdiksi dan control tersebut tetap ada baik sebelum objek itu memasuki ruang angkasa maupun setelah objek itu kembali ke bumi.

  Jika berpedoman pada faktor peluncuran dimana sebuah objek dianggap belum merupakan objek ruang angkasa, ataupun sekurangnya, siap untuk dilincurkan, maka statusnya sebagai space objek tidak timbul baik dari pendaftaran pada PBB. Meskipun pendaftaran ini suatu kewajiban, tetapi

  Registration Convention 1975 tidak mutlak mensyaratkan bahwa pendaftaran

  suatu objek ruang angkasa harus dilakukan sebelum peluncuran. Dalam praktek, pendaftaran dalam PBB seringkali tertunda lama. Karenanya, yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angkasa, bisa timbul (dan efektif) sebelum objek tersebut didaftarkan.

  Dari segi historis, yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angkasa disebutkan dalam Pasal 8 Space Treaty 1967, sedangkan pendaftaran objek ruang angkasa baru dirumuskan tahun 1975 melalui Registration Convention 1875, antara tahun 1967 sampai dengan 1975 telah disepakati 2 perjanjian internasional lain, yaitu Rescue Agreement tahun 1968 dan Liability Convention tahun 1972, dimana keduanya tidak membuat acuan tentan gpendaftaran. Menyangkut yurisdiksi dan kontrol, kedua perjanjian itu menempatkan kewenangan atau objek ruang angkasa pada launching authority serta launching state, Rescue Agreement 1968 menyatakan

  “launching authority”, yaitu Negara ataupun suatu organisasi

  internasional tentunya yang ‘bertanggung jawab atau peluncuran’ objekruang angkasa. Liability Convention 1972 Pasal 1 butir c eksplisit mendefenisikan

  10 “launching state” sebagai: a.

  

A state launches or procures the launching of a space object (Sebuah negara

  meluncurkan atau pengadaan peluncuran benda antariksa)

b. State from territory of facility a space object is launched (Negara dari

  wilayah fasilitas benda antariksa diluncurkan) Melalui Registration Convention 1975, yang sudah diteriam secara luas, nampaknya State of Registry dapat dijadikan patokan yang paling mudah bahkan satu-satunya faktor penghubung antara objek ruang angkasa dengan yurisdiksi dan kontrol. Namun, pendaftaran dan yurisdiksi tidak selalu dapat diletakkan bersama.

  Hal ini tampak bila mana objek ruang angkasa diluncurkan bersama-sama oleh beberapa Negara, baik secara langsung dan tidak langsung, malalui ataupun 10 Liability Convention 1972 Pasal 1 butir c eksplisit bersama dengan suatu organisasi internasional . Pasal 2 registration Convention 1975 mengatur bahwa objek ruang angkasa itu harus didaftarkan pada sala h satu negara diantara negara-negara yang terlibat. Kemudian Negara-negara tersebut boleh membuat yurisdiksi dan control atau objek ruang angkasa serta personel

  11 yang berada di dalamnya.

  Pasal 2 Registration Convention 1975 memberikan kemudahan dan jalan penyelesaian tentang pendaftaran bila lebih dari satu Negara yang terlibat. Tetapi di pihak lain dan dikaitkan dengan Pasal 8 Space Treaty 1967 timbul keraguan, karena, sepanjang objek tersebut telah didaftarkan maka Negara-negara yang terlibat telah mempunyai keleluasan untuk merubah hubungan antar pendaftaran danyurisdiksi. Dalam praktek, jika dalam Negara-negara tanpa ada aturan yang dapat mencegah diijinkan untuk secara leluasa membuat pengaturan alternative, maka bila terjadi suatu masalah akan timbul ketidakpastian mengenai negara mana yang sebenarnya melaksanakan yurisdiksi dan control atas suatu objek ruang angkasa beserta segala konsekuensinya, seperti misalnya hukum Negara mana yang berlaku dan diterapkan bagi objek ruang angkasa itu. Registration

  Convention 1975 bahkan tidak mengharuskan persetujuan tersebut dilaporkan kepada PBB dan dicatat dalam registrasinya.

  Klasifikasi dan pengaturan mengenai pendaftaran bagi objek ruang angksa masih perlu dijabarkan lebih tegas untuk dapat secara pasti mengaitkan yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angksa pada registrasi. Hal ini bagi para pihak yang terlibat dalam aktivitas komersial ruang angksa merupakan kepentingan praktis, 11 Pasal 2 Registration Convention 1975 karena antara lain, yurisdiksi bertalian langsung dengan penentuan sistem hukum yang berlaku.

  Hukum internasional membagi wilayah dunia dalam 3 kategori tradisional, yakni:

1. Wilayah Nasional, dimana wilayah ini negara berwenang menerapkan kedaulatannya secara penuh dan eksklusif.

  2. Teritorium Nullius atau disebut juga sebagai “no-man’s land”, yaitu wilayah yang tidak merupakan milik dari Negara manapun, tetapi dapat diajdikan pemilikan dari Negara –negara menurut aturan hukum internasional.

  3. Territorium Extra Commercium atau “territory outside commerce”, yaitu wilayah yang tidak merupakan milik negara manapun menurut hukum internasional wilayah ini tidak dapat dijadikan objek pemilik (not subject to

  

appropriation) oleh Negara-negara manapun warga negaranya, anamun

  sumber-sumber alamnya boleh dimiliki. Sesuai dengan Pasal 2 Space Treaty 1967, ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya tergolong dalam kategori ini.

  Perkembangan yang ada, treaty telah membentuk category wilayah keempat, yaitu wilayah yang merupakan command heritage of mandkind dimana baik wilayah itu sendiri maupun sumber-sumber alamnya tidak dimiliki secara individual oleh Negara-negara atau warga negaranya bagi kepentingan mereka sendiri moon Treaty 1979 merupakan perjanjian multilateral pertama yang memberikan pengakuan atas kategori wilayah ini dengan menyatakan dalam Pasal

  11 bahwa,

  ”The moon an its natural resources are the commond heritage of mindkind…

  Keabsahan suatu tindakan menurut hukum internasional tidak ditentukan dari sifat (nature) tindakan itu, melainkan pada dimana tindakan tersebut terjadi.

  Dalam wilayah nasional suatu negara, keabsahan suatu tindakan ditentukan oleh hukum Negara yang bersangkutan karena itu sepenuhnya berhak untuk mengatur segala yang terjadi di dalam wilayahnya. Tetapi ini tidak berlaku bagi kategori wilayah lainnya, dimana hak berdaulat semacam itu tidak diakui bagi Negara manapun, kecuali atas warganegara dari Negara tersebut serta atas kapal laut, pesawat udara dan pesawat atau objek ruang angkasa yang terdaftar di dalam Negara yang bersangkutan. Keadaan ini mendukung adanya kebebasan beraktivitas oleh semua negara beserta warga negara, kecuali jika ada ketentuan hukum internasional yang melarangnya.

  Disamping menentukan keabsahan suatu tindakan diperlukan batas antara ruang udara dan ruang angkasa, seperti pandangan kaum spatialis, menunjukkan bahwa Negara nasional, untuk menjamin aktivitas ruang angkasa, dengan berdasarkan asas resiprositas atau asas timbale balik bersedia pada suatu waktu meluluhkan sebagai kedaulatan atas ruang udara nasionalnya untuk kepentingan aktivitas ruang angkasa suatu negara.

  Dilihat dari praktek yang ada, maka kebiasaan internasional mengakui adanya suatu hak lintas (legal right of passage) bagi byek-objek ruang angkasa untuk melintasi ruang udara nasional Negara lain dalam perjalanannya orbit atau kemabli kebumi. Hak lintas ini haus dijamin keamanannya dan tidak dianggap suatu tindakan pelanggaran atau illegal trespass.

  Dalam prakteknya kini, negara-negara yang meluncurkan bwenda-benda keruang angkasa tak pernah minta ijin sebelumnya untuk melakukna usaha-usaha tersebut. Selain it, secara resmi tidak ada negarapun yang wilayahnya udaranya dilintasi mengajukan keberatan. Sehingga kiranya dapat diartikan bahwa sikap berdiam diri itu merupakan persetujuan atau

  “consensus omnium”. Keadaan

  tersebut terus berlangsung sampai sekarang dan telah menjadi suatu kelaziman sebagai suatu kebiasaan internasional.

  2. Batas wilayah ruang udara dan ruang angkasa Tidak adanya delimitasi vertical antara ruang udara dan ruang angkasa luar ini menimbulkan kesukaran untuk memberikan defenisi terhadap kedua ruang udara tersebut sepanjang menyangkut pemiliknya. Kedaulatan penuh dan eksklusiv suatu negara terhadap udara tanpa batas ketinggian tidak mempunyai dasar seperti juga keinginan negara-negara partai untuk menguasai laut sejauh mungkin tanpa batas. Keinginan untuk menguasai ruang udara atau laut tanpa batas ini mungkin didasarkan atas bentuk fisik udara, yang seperti juga dengan laut, secara materil tidak terpisah dari bumi bahkan melekat sepenuhnya. Alasan sebenarnya mungkin beralasan dari pertimbangan kepentingan keaman nasional. Dalam hal ini soal jarak sama sekali tidak memainkan peran pelindung dalam era teknologi canggih dewasa ini, karena bahaa yang dapat ditimbulkan oleh penerbangan pesawat asing diatas wilayah suatu negara terhadap keamanan nasional Negara adalah sama, lepas dari ketinggian terbangnya pesawat asing tersebut.

  Konvensi-konvensi Paris dan Chicago sama sekali tidak membuat ketentuan mengenai delimitasi horizontal dari ruang udara .Karena tidak ada ketentuan ini, tanpa batas udara hanya dapat ditetapkan enggan merujuk kepada tapel batas darat dan laut . Tapal batas udara harus dengan garis-garis batas darat dan laut tetapi dari segi praktis, nyatalah bahwa dengan kecepatan luar biasa pesawat-pesawat dewasa ini sulit untuk menentukan dimana persisnya batas-batas wilayah tersebut. Alat-alat teknik yang digunakan oleh kapten-kapten pesawat hanya member hasil-hasil yang kurang lengkap. Saat ini sedang dikembangkan terus alat-alat teknik dimaksud, termasuk penditeksinya untuk memperoleh data- data yang lengkap apakah terjadi pelanggaran. Kesalahan atau kehilafan mungkin saja terjadi yang merupakan asal-usul pelanggaran-pelanggaran tapal batas udara secara tidak sengaja. Hal tersebut sering pula digunakan sebagai alasana bagi pelanggar abtas.

  Dewasa ini usul Uni Soviet tantang jarak 100/110 kilometer dari permukaan laut sebagai batas berakhirnya wilayah ruang udara merupakan kenyataan yang dianggap sebagai kebiasaan internasional dalam praktik aktivitas ruang angkasa Negara-negara. Namun, dengan meningkatkan aktivitas ruang angkasa, khususnya aktivitas komersial yang bernilai dan beresiko tinggi, para pihak pelaku aktivitas tersebut membutuhkan jaminankepastian hukum .

  Batas wialyah secara hukum ruang angkasa belum ditemukan kesepakatan. Adanya kepentingan suatu Negara terhadap ruang asing khususnya zona GSO memberi suatu pandangan yang berbeda-beda antara suatu negara tentang batas wilayah udara menurut hukum ruang angkasa. Kepentingan penentu batas wilayah udara menurut hukum ruang angkasa didasarkan kepentingan atas orbit Stasioner yang diperebutkan oleh berbagai Negara yang ingin meluncurkan satelitnya.

  Karena rentang wilayah GSO terbatas, hanya 360 derajat, sementara sejak antara satelit minimal 2 derajat, membuat satelit yang bisa mengorbitkan hanya 180 satelit .

  Kenyataan sedemikian memberikan perbedaan pendapat atas batas wilayah suatu Negara atas ruang angkasanya, sehingga dalam kenyataan ini tidak mencapai kesepakatan tentang batas wilayah suatu Negara atas wilayah ruang angkasanya. Wilayah udara nasional dan berlandaskan kedaulatan, suatu Negara memiliki kontrol yang mutlak. Tetapi kontrol tersebut berakhir bersama dengan berakhirnya ruang udara nasional dan dimulainya ruang angkasa, dimana hak semacam itu tidak diakui. Perbatasan ruang udara yang tegas mempunyai nilai dan arti penting karena berhubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan legal yang harus diambil dalam memutuskan suatu masalah yang terjadi dalam wilayah kelautan negara.

  3. Pengaturan hukum mengenai GSO Pada dasarnya pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus dalam Space Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Namun, karena letak GSO yang berada di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya berlaku Space Treaty 1967. Dengan demikian setiap negara bisa memanfaatkan wilayah ini tanpa diskriminasi, tetapi penguasaan secara nasional dilarang.

  Pasal 2 Space Treaty

  ”Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means”. Ruang angkasa termasuk

  bulan dan benda-benda langit lainnya, bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk dengan penundukan, atau dengan cara lain. Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama

  12 halnya seperti laut bebas.

  Pengaturan mengenai aspek teknis penggunaan GSO dibahas dan dikeluarkan oleh ITU. Pengaturan aspek teknis ini selalu dimutakhirkan sejalan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan kebutuhan negara-negara, dengan maksud untuk dapat mengakomodasikan kepentingan semua negara

  13 penyelenggara dan penggunaan jasa telekomunikasi.

  M. Metode Penelitian

  1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

  14

  undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO). 12 13 Diah Apriani Atika Sari., Op.cit Agus Pramono. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor: Ghalia

  Indonesia: 2001, hlm 125 14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal 14.

  Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto.

  Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in

  

abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan

  fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum

  15 in concreto, yang dimaksud. Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif

  analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

2. Pengumpulan data

  Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan internasional dan nasional antara lain :

  Konvensi Chicago Tahun 1944, Konvensi Geutemala Tahun 1971 Konvensi Guadalaraja Tahun 1961, Konvensi Paris Tahun 1919, Konvensi Roma tahun 1952, Konvensi Tokyo Tahun 1963, Konvesi Warsawa Tahun 1929, terkait undang-undang Nasional antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Undang

  • –Undang Republik
  • 15 Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Republik Indonesia

      Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006, hal 91-92 Nomor 6 Tahun 1996 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil- hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

      c.

      Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

      16 seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

    3. Analisis data

      Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

      N. Sistematika Penulisan

      Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika 16 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31-32. penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

      BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL Bab ini berisikan mengenai sejarah negara kolong, pengertian Negara Kolong (GSO) dan Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional

      BAB III SISTEM HUKUM DI RUANG ANGKASA DAN PERBATASAN WILAYAH RUANG ANGKASA Bab ini berisikan mengenai Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa Sistem Hukum Udara dan Ruang Angkasa, secara nasional dan internasional. BAB IV KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA GSO (NEGARA KOLONG). Pada bab ini akan membahas tentang Sistem Hukum Ruang Angkasa dan Perbatasan Wilayah Ruang Angkasa dan Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong serta Tanggung jawab Indonesia selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong dalam Hukum Internasional

      BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya guna.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Peran Serta Petugas Puskesmas Tentang Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2014

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Puskesmas - Analisis Pelaksanaan Program Kesehatan Lingkungan Periode Januari – Desember 2013 Di Puskesmas Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2014

1 1 36

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian dan Tujuan Kriptografi - Implementasi Kombinasi Tiny Encryption Algorithm (TEA) Dan Algoritma Least Significant Bit(LSB)Untuk Keamanan File Text

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Mandi 2.1.1 Definisi Sabun Mandi - Penetapan kadar air pada sediaan sabun mandi sere padat secara gravimetri

0 0 14

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Ginjal Manusia 2.1.1. Anatomi ginjal - Karakteristik Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2013

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Perencanaan Transportasi Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang - Bangkitan Perjalanan pada Perumahan Nasional (PERUMNAS) Helvetia

0 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perbankan Syariah - Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 18

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 8

Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 13

Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO)

0 2 12