Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO)

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Negara Kolong Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit

  geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi

  tersebut terdapat di khatulistiwa bumi pada ketinggian sekitar 36.000 km, dengan ketebalan sekitar 75 km. dengan ciri-ciri alamiahnya yang khusus, GSO mempnyai keunggulan tertentu bila dibanding dengan bagian lainnya dari antariksa. Keunggulan tersebut antara lain ialah satelit ataupun benda-benda antariksa lainnya yang ditempatkan di GSO kelihatan stasioner bila dilihat dari permukaan bumi karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar

  17 bumi.

  Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang di dunia mempunyai jalur geostasioner yang terpanjang pula dan karena itu ingin memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan nasional. Kepentingan Indonesia atas orbit geostasioner tersebut cukup mendasar dan strategis apalagi karena orbit tersebut merupakan berguna bagi telekomunikasi, pemantauan lingkungan dan cuaca. Mengingat manfaat yang diberikan orbit tersebut, Indonesia bersama -sama dengan Negara-negara khatulistiwa lainnya yaitu Brazil, Colombia, Congo, Equador, Kenya, Uganda dan Zaire, sejak semula telah mengambil langkah- 17 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

  Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, hal 447-448

  31 langkah dan secara aktif memperjuangkan dibuatnya suatu razim hukum khusus sui generis mengenai orbit geostasioner. Razim hukum khusus ini terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada negara-negara khatulistiwa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dengan negara-negara lainnya

  18 dalam memanfaatkan sumber-sumber antariksa.

  Mengingat manfaat GSO tersebut bagi seluruh umat manusia, maka PBB melalui Badan Khusus ITU dan terutama Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar (Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) selalu berupaya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan internasional sehubungan pemanfaatan

  GSO tersebut. GSO buat pertama kali dibahas dalam Pertemuan Internasional

Astronautical Federation (IAF), International Institut of Space Law di

  Amsterdam Tahun 1974. Kemudian pembahasan GSO ini dilanjutkan dalam pertemuan Negara-negara ktahulistiwa yang menghasilkan Deklarasi Bogota Tahun 1976, yang juga ditanda tangani Indonesia, berisikan tuntutan kedaulatan terhadap jalur GSO yang berada di atas Negara-negara khatulistiwa. Deklarasi Bogota ini kemudian dikembangkan lagi dalam pertemuan di Quito, Equador pada tahun 1982 tetapi tidak mengeluarkan deklarasi karena terdapatnya perbedaan pandangan tentang strategi yang akan ditempuh.

  Aspek hukum penggunaan GSO juga dibicarakan di sidang-sidang Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar. Persoalan pokok dalam sidang-sidang yang diselenggarakan ialah apakah perlu dibuat suatu rezim khusus sul generis tentang GSO. Dari semula terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Negara 18 Ibid., hal 48 atau kelompok Negara mengenai status hukum GSO tersebut. Ada yang menggangap bahwa secara fisik GSO merupakan bagian dari antariksa dank arena itu pengaturannya sudah ada dalam Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967, di samping terdapatnya pandangan bahwa diperlukan suatu rezim hukum untuk GSO mengingat letak dan karakteristiknya yang khusus. Karena terdapatnya tantangan dari banyak Negara terutama Negara-negara barat mulai tahun 1982 negara- negara khatulistiwa mulai mengubah posisi dari tuntutan kedaulatan menjadi righ

19 Selanjutnya tuntutan kedaulatan atas GSO sulit untuk of preservation.

  dipertahankan dan mulai tahun 1993 negara-negara khatulistiwa lebih menekankan pada penggunaan GSO yang adil dan merata bagi semua Negara dan bukan lagi tuntutan mengenai kedaulatan.

  Deklarasi Bogota 1976 diadakan pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus mengenai Geostationary Orbit (GSO) diadakan di Bogota. Tujuh negara yang wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaired kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka.

  Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim), namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam

19 Ibid., hal 49

  pemanfaatan GSO yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk

  20

  memanfaatkan bagi semua negara (first come first served) Sebagai akibatnya pemanfaatan GSO hanya didominasi oleh negara- negara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan GSO itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya.

  Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.

B. Pengertian Negara Kolong (GSO)

  Orbit Geostasioner merupakan anggota keluarga orbit geosinkron. Istilah

  geosinkron mengacu kepada semua orbit yang mempunyai periode sama dengan

  21

  rotasi bumi. GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi tidak perlu dipindah- pindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit satelit lainnya, yakni 20 E. Saefullah Wiradipradja, dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan

  Perkembangannya , Jakarta Remadja Karya, 1988 hal. 152 21 Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya Orbit Geostationer dan Kaitannya dengan Kepentingan Indonesia , Bandung, 1994, hal 1-3

  Middle Earth Orbit (MEO) , dan Low Earth Orbit (LEO), GSO merupakan tempat

  yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput

  22 permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.

  Orbit Geostasioner merupakan suatu orbit geosinkron di atas khatulistiwa

  pada ketinggian kurang lebih 36.000 kilometer, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan seolah-olah stationer terhadap suatu titik dipermukaan bumi.

  Ada beberapa keuntungan dari pemanfaatan GSO, antara lain : 1.

  Beberapa bagian dari bumi dari permukaan bumi dapat diamati secara terus- menerus dari suatu titik yang tetap;

2. Karena sebuah satelit yang ditempatkan di GSO dapat meliputi sekitar 1/3 dari permukaan bumi, maka hanya diperlukan satelit yang lebih sedikit jumlahnya.

  Pasal 33 menyatakan bahwa:

  ” ……… the geostationer satellite orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically so that countries or groups of countries may have equitable access to both in conformity with the provisions of the Radio Regulations according to their needs and the technical facilit ies at their disposal ”. Pasal ini secara tegas menyatakan

  bahwa GSO itu merupakan sumber daya alam terbatas (limited natural resources), yaitu karena hanya dapat ditempati oleh benda-benda angkasa dalam jumlah yang terbatas, sehingga apabila penempatan tersebut.

  Pengertian geostationer obrit dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia: 22 Akbar Kurnia. Pemanfaatan segmen Geostationary. di http://akbarkurnia.blogspot.

  com/2011/06/ pemanfaatan-segmen-geostationary-orbit.html, diakses tanggal 1 Oktober 2014

  1. Batasan Geostationer Orbit dalam Space Treaty 1967. Batasan GSO dalam

  

Space Treaty tidak diatur lebih rinci. Space Treaty hanya mengatur mengenai

  prinsip-prinsip dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Namun dengan melihat kondisi fisik dari GSO yang merupakan bagian dari ruang angkasa maka pengaturan GSO menginduk pada Space Treaty, 1967;

  2. Pengertian GSO dalam Deklarasi Bogota, 1976. Batasan GSO sebagai ”natural resource” dalam Deklarasi Bogota, 1976 : “The geostationer orbit is

  

a circular orbit in the Equotorial plane in which the period of sidereal

revolution of satellite is equal to the period of sidereal rotation of the Earth

and the satellite moves in the same direction as the earth ‘s rotation. When a

satellite describes this particular orbit, it is said to be geostationary such a

satellite appears to be geostationary in the sky when viewed from earth, and is

fixed at the zenith of given point on the equator whose longitude is by

definition that of satellite. This orbit is located at an approximates distance of

35,877 km above the earth‘s Equator“; (terjemahan geostationer orbit adalah

  orbit melingkar pada bidang Equotorial di mana masa revolusi sidereal satelit sama dengan periode rotasi sidereal Bumi dan bergerak satelit dalam arah yang sama dengan rotasi bumi. Ketika satelit menggambarkan orbit tertentu, itu dikatakan geostasioner satelit tersebut tampaknya geostasioner di langit bila dilihat dari bumi, dan tetap di puncak diberikan titik pada khatulistiwa yang bujur adalah dengan definisi bahwa satelit. Orbit ini terletak pada jarak mendekati dari 35.877 km di atas bumi Khatulistiwa)

  3. Pengertian GSO dalam International Telecommunication Union (ITU) 1973 dilakukan sedemikian rupa sehingga melebihi daya tampungnya, akan dapat

  

23

menimbulkan kejenuhan (saturated).

C. Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional

  Negara kolong adalah negara-negara yang tepat berada di bawah garis khatulistiwa yang wilayahnya juga merupakan wilayah negara yang berada tepat di bawah kawasan GSO. Kawasan orbit geostationer adalah merupakan suatu kawasan yang termasuk di dalam wilayah ruang angkasa, dan prinsip Hukum Internasional yang berlaku bagi wilayah ruang angkasa tidak ada menetapkan suatu ketentuan yang mengatur mengenai kedaulatan bagi negara-negara atas wilayah ruang angkasa.

  Dalam perkembangan Hukum Ruang Angkasa dewasa ini, yang dikaitkan dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan negara-negara/pihak-pihak dalam pemanfaatan GSO, telah disadari tentang diperlukannya status hukum yang tegas dan berlaku secara internasional bagi objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan. Hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan negara-negara yang dilintasi oleh objek-objek ruang angkasa, pada saat objek-objek ruang angkasa tersebut sedang berada di ruang udaar negara yang sedang dilintasinya, baik dalam perjalanan menuju orbit atau ketika sedang kembali kebumi.

23 Tobing, R.L, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum

  Dirgantara , Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999, hal 53-54.

  Wilayah negara-negara kolong dapat saja tertimpa satelit atau benda-benda buatan manusia lainnya yang diluncurkan keluar angkasa pada waktu yang tidak diduga/ditentukan sebelumnya. Bila dipandang dari sudut akibatnya, sebagaimana diketahui benda angkasa buatan manusia yang diluncurkan keruang angkasa ada yang mempergunakan sumber tenaga nuklir, maka jika benda tersebut jatuh dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan/ keselamatan umat manusia, makhluk lain dan lingkungan disekitar jatuhnya benda tersebut.

  Efek yang dapat timbul oleh jatuhnya benda angkasa yang masih mengandung bahan radioaktif yang jatuh dipermukaan bumi daapat dikemukakan sebagai berikut:

  24 1.

  Efek jangka pendek, terbagi atas dua tipe yaitu tipe ringan dan tipe berat.

  Gejala-gejala yang nampak pada tipe ringan adalah: sakit tenggorokan, demam malaise, kelelahan, purpura dan haemoglobin serta leukosit berkurang secara drastis. Tipe berat akan ditandai dengan gejala-gejala seperti : timbulnya penyakit tertentu (kanker kulit, paru-paru, tulang dan lain-lain) yang biasanya terjadi lebih awal dan sulit pengobatannya.

  2. Efek jangka panjang, yaitu terjadinya kerusakan terhadap bahan genetik yang dapat mengakibatkan adanya kelainan pada genesis keturunan, manusia yang terkena efek jangka panjang ini akan mengakibatkan keturunannya yang lahir dalam keadaan cacat

24 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996, hal. 60

  3. Efek lambat, yaitu radiasi yang mengenai tubuh akan merusak organ-organ tubuh secara pelan-pelan dan baru akan menimbulkan bahaya yang fatal setelah bertahun-tahun.

  4. Terjadinya kontaminasi terhadap objek-objek lain di sekitar jatuhnya benda angkasa tesebut, antara lain pada udara, air, makanan dan objek lainnya

  Dalam suatu pertemuan yang diadakan di Bogota (Kolombia) pada tahun 1976) beberapa negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara khatulistiwa yaitu Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Zaire, dan Indonesia telah menuangkan kesepakatan-kesepakatan mereka dalam deklarasinya yang menyatakan suatu tuntutan atas orbit geostationer yang berada tepat diatas wilayah mereka. Adapun yang menjadi tuntutan negara-negara tersebut bukanlah merupakan suatu tuntutan yang berdasarkan pada aspek kewilayahan (teritorial

  claim), akan tetapi lebih merupakan reaksi terhadap ketidakadilan dalam

  pemanfaatan orbit geostationer yang pengaturannya selama ini lebih bertumpu pada doktrin

  “ first come first served”. Akibat dari penerapan doktrin ini, maka

  telah sebagian besar kemampuan jalur GSO didominasi oleh negara-negara maju, sebaliknya bagi negara-negara berkembang masih belum dapat memanfaatkannya disebabkan oleh banyaknya keterbatasan-keterbatasan yang ada.

  Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa, serta kedudukannya sebagai wilayah penghubung yang terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang, secara geografis adalah merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di

  25 atas wilayah Indonesia.

  Memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit untuk berbagai kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka kelangsungan dan kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO

  26 yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.

  Kepentingan Nasional Indonesia sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

  Khusus menyangkut pemanfaatan GSO, maka terkait erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi untuk kepentingan Indonesia.

  Dalam kaitan ini kepentingan nasional mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah:

  1. Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datiang dari luar maupun dari dalam;

  2. Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia selanjutnya; dan

  25 pan-2/diakses tanggal 1 Oktober 2014 26 Ibid

3. Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

  27 yang abadi serta keadilan sosial.

  Untuk mewujudkan Kepentingan Indonesia tersebut di atas, salah satu cara adalah melalui penggunaan GSO, yaitu dengan memanfaatkan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan potensi GSO seoptimal mungkin untuk mendukung pembangunan nasional, di dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

  Putusan Indonesia untuk memiliki sendiri satelit komunikasi merupakan suatu putusan yang sangat strategis, karena telah bersama-sama dirasakan bukan saja man- faatnya sebagai alat pemersatu bangsa dan negara, tetapi juga dapat memacu kemampuan teknologi telekomunikasi antariksa Indonesia pada khususnya, dan teknologi antariksa pada umumnya. Selain penggunaan GSO melalui pemanfaatan satelit-satelit yang memiliki dan dioperasikan sendiri, Indonesia juga memanfaatkan satelit-satelit negara lain atau organisasi internasional yang ditempatkan di GSO untuk keperluan pengamatan cuaca, pemantauan lingkungan serta navigasi lalu lintas udara dan lautan. Menyadari bahwa GSO juga potensial untuk digunakan bagi keperluan-keperluan lainnya, maka tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang Indonesia akan ikut memanfaatkan GSO untuk keperluan diluar bidang-bidang aplikasi tersebut di atas. Dengan kondisi dan status pemanfaatan

  GSO untuk berbagai keperluan tersebut, maka GSO telah menjadi kawasan 27 Agus Pramono. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor: Ghalia Indonesia, 2000 hal125

  

28

kepentingan Indonesia yang sangat vital.

  Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat ini maupun di masa mendatang adalah: a.

  Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan bidang lainnya; b. Terjaminnya satelit-satelit Indonesia dari segala macam ancaman dan gangguan pihak-pihak lain yang dapat merugikan Indoesia; (c).

  Terjaminnya GSO dari penggunaan yang dapat membawa dampak negatif baik terhadap lingkungan GSO itu sendiri mau- pun bumi, khususnya terhadap wilayah In- donesia; c. Adannya peluang bagi Indone- sia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit dan spektrum frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia bagi kepentingan nasionalnya;

  d. Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang

  29 bukan untuk maksud damai dan kemanusiaan.

  28 29 Ibid Ibid

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi - Evaluasi Pelaksanaan Program Pensiun Iuran Pasti Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Negara Indonesia (PPIP DPLK BNI) bagi Karyawan PT.Perkebunan Nusantara III di Medan

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Evaluasi Pelaksanaan Program Pensiun Iuran Pasti Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Negara Indonesia (PPIP DPLK BNI) bagi Karyawan PT.Perkebunan Nusantara III di Medan

0 1 10

Evaluasi Pelaksanaan Program Pensiun Iuran Pasti Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Negara Indonesia (PPIP DPLK BNI) bagi Karyawan PT.Perkebunan Nusantara III di Medan

0 0 15

BAB II URAIAN TEORITIS A. Kerangka Teori - Iklan di Televisi dan Keputusan Membeli

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Iklan di Televisi dan Keputusan Membeli

0 0 7

Iklan di Televisi dan Keputusan Membeli

0 0 12

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian dan Tujuan Kriptografi - Implementasi Kombinasi Tiny Encryption Algorithm (TEA) Dan Algoritma Least Significant Bit(LSB)Untuk Keamanan File Text

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perbankan Syariah - Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 18

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 8

Analisis Perbandingan Tingkat Efisiensi antara BPR Syariah dengan BPR Konvensional di Indonesia dengan Menggunankan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

0 0 13