BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi - Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan di SD Negeri 101200 Desa Perkebunan Hapesong dan SD Negeri 101300 Desa Napa Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi

  7 BAB II

  Menurut Widyati (2002) sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.

  Menurut DepKes (2002) sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan rantai penularan penyakit. Pengertian lain dari sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi mata rantai penularan penyakit.

2.1.1. Sanitasi Lingkungan

  Pada dasarnya lingkungan hidup manusia terdiri dari dua bagian, internal dan eksternal. Lingkungan hidup internal merupakan suatu keadaan yang dinamis dan seimbang yang disebut dengan homeostasis, sedangkan lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga:

  1. Lingkungan fisik, bersifat abiotik atau mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peran penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.

  2. Lingkungan biologis, bersifat biotik atau benda hidup, misalnya tumbuh- tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediat. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan diantara hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit.

  3. Lingkungan sosial, berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, satandar dan gaya hidup, pekerjaan kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik (Chandra, 2007). Menurut Entjang (2000) bahwa sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Pada prinsipnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan sumber-sumber makanan (food preferences), tempat perkembangbiakan (breeding places) dan tempat tinggal (resting places) yang sangat dibutuhkan vektor dan binatang pengganggu.

  Sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan atau upaya kesehatan untuk memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya, misalnya menyediakan air bersih untuk mencuci tangan dalam memelihara dan melindungi kebersihan tangan, menyediakan tempat sampah untuk membuang sampah dalam memelihara kebersihan lingkungan, membangun jamban untuk tempat membuang kotoran dalam memelihara kebersihan lingkungan dan menyediakan air yang memenuhi syarat kesehatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

  Sanitasi lingkungan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Oleh karena itu untuk mencapai kemampuan hidup sehat di masyarakat, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

2.1.1.1 Sarana Air Bersih

  Air merupakan kebutuhan manusia, juga manusia selama hidupnya selalu memerlukan air (Slamet, 2009). Manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Di dalam tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60 % berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65 %, dan untuk bayi sekitar 80 % (Chandra, 2007)

  Penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit pada masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat (Chandra, 2007).

  Menurut Entjang (2000) air yang diperlukan untuk minum, memasak, mandi, mencuci, membersihkan dan untuk keperluan lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu: 1.

  Syarat kuantitas Jumlah air untuk keperluan rumah tangga per gari per kapita tidak sama pada tiap negara. Dapat dikatakan di negara-negara maju, jumlah keperluan air lebih besar di banding di negara-negara yang sedang berkembang.

2. Syarat kualitas Air rumah tangga harus memenuhi syarat : fisik, kimia dan bakteriologis.

  a.

  Syarat fisik : jernih, tidak berwarna, tidak berasa, taidak berbau.

  b.

  Syarat kimia: tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan.

  c.

  Syarat bakteriologis : air tidak boleh mengandung bibit penyakit. Penyediaan air yang baik dan aman serta pembuangan kotoran manusia yang menjamin kebersihan dan kesehatan, adalah hal yang utama, meskipun bukan merupakan satu-satunya unsur kehidupan yang sehat dan produktif. Apabila air yang digunakan kurang aman, maka akan dapat menimbulkan Kalbermatten, 1987). penyakit (

  Penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan akan menimbulkan terjadinya gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan yang terjadi berupa penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Penyakit menular yang disebarkan oleh air secara langsung diantara masyarakat seringkali dinyatakan sebagai penyakit bawaan air atau water borne disease. Water borne disease hanya dapat menyebar apabila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Slamet, 2009).

2.1.1.2 Sanitasi Jamban

  Menurut Soeparman (2001) tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan disepanjang sistem saluran pencernaan. Pembuangan tinja merupakan bagian yang terpenting dari kesehatan lingkungan. Pembuangan yang tidak adekuat dan saniter dari tinja manusia yang terinfeksi berperan dalam kontaminasi air tanah dan sumber air bersih.

  Pembuangan tinja yang buruk seringkali berhubungan dengan kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya. Kondisi-kondisi demikian ini akan berakibat terhadap kesehatan serta mempersukar penilaian peran masing- masing komponen dalam transmisi penyakit. Namun demikian sudah diketahui umum bahwa terdapat hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan dari penduduk.

  Hubungan keduanya dapat bersifat langsung maupun tak langsung. Efek langsung misalnya dapat mengurangi insidence dari penyakit-penyakit tertentu yang dapat ditularkan karena kontaminasi dengan tinja misalnya typhus abdominalis, kholera, dysentri baciler dan amuba, ascariasis, hepatitis infeksiosa dan lain-lain. Sedangkan hubungan tidak langsung bermacam-macam, tetapi umumnya berkaitan dengan komponen-komponen lain dalam sanitasi lingkungan (Kusnoputranto, 1986).

  Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi dan perkembangbiakan lalat. Kotoran dari manusia yang sakit atau sebagai carrier dari suatu penyakit dapat menjad sumber infeksi. Kotoran tersebut mengandung agens penyakit yang dapat ditularkan pada pejamu baru dengan perantara lalat (Chandra, 2007).

  Penyebaran penyakit yang bersumber pada tinja dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Hal ini dapat di ilustrasikan sebagai berikut:

  Air Mati Tangan

  Makanan Tinja Minuman Pejamu Lalat Sayuran Tanah

  Sakit

Gambar 2.1. Jalur pemindahan kuman penyakit dari tinja ke pejamu yang baru

  (Wagner & Lanoix, 1958 dalam Soeparman, 2001) Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa proses pemindahan kuman penyakit dari tinja sebagai pusat infeksi sampai pejamu dapat melalui berbagai media perantara, antara lain air, tangan, serangga, tanah, makanan dan minuman. Pembuangan tinja dan limbah cair yang saniter akan memutuskan mata rantai penularan penyakit dengan menghilangkan faktor ke empat dari enam faktor itu dan merupakan penghalang sanitasi kuman penyakit untuk berpindah dari tinja ke pejamu potensial (Soeparman, 2001).

  Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan menurut Ehlers dan Steel (Entjang, 2000) adalah: a.

  Tidak boleh mengotori tanah permukaan. b.

  Tidak boleh mengotori air permukaan.

  c.

  Tidak boleh mengotori air dalam tanah.

  d.

  Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya.

  e.

  Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain.

  f.

  Pembuangannya mudah dan murah.

2.1.1.3 Pengelolaan Sampah

  Menurut defenisi (WHO), sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2007).

  Pengelolaan sampah di pedesaan pada umumnya dilakukan dengan cara membakar, menanam dalam lobang, dan tidak jarang dibuang ke dalam selokan, sungai dan bahkan menumpuk di pekarangan atau kebun (Dainur, 1995)

  1. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah Pengumpulan sampah dimulai dari tempat sumber sampah tersebut dihasilkan.

  Dari lokasi sumbernya sampah tersebut diangkut dengan alat angkut sampah. Sebelum sampah sampai ke tempat pembuangan kadang-kadang perlu adanya suatu tempat penampungan sementara. Dari sini sampah dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar dan lebih efisien, misalnya dari gerobak ke truk atau dari gerobak ke truk pemadat (Mukono, 2006).

  2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah Pemusnahan dan atau cara pengolahan sampah padat ini dapat dilalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut: a.

  Ditanam (Landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuang lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah b.

  Di bakar (Insceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).

  c.

  Dijadikan pupuk (Composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang mudah membusuk (Notoatmodjo, 2003) Pengaruh sampah terhadap kesehatan salah satunya adalah efek tidak langsung berupa penyakit bawaan vektor yang berkembangbiak di dalam sampah.

  Sampah bila dibuang sembarangan dapat menjadi sarang lalat yang merupakan salah satu vektor dari cacing (Soemirat, 2009).

2.1.1.4 Saluran Pembuangan Air Limbah

  Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air limbah dapat berasal dari rumah tangga maupun industri. Air limbah rumah tangga terdiri dari tiga fraksi penting: 1.

  Tinja, (faeces), berpotensi mengandung mikroba patogen 2. Air seni (urine), umumnya mengandung Nitrogen dan Posfor, serta kemungkinan kecil mikroorganisme.

3. Grey water, merupakan air bekas cucian dapur, mesin cuci dan kamar mandi. Grey water sering juga disebut dengan istilah sullage.

  Campuran faeces dan urine disebut sebagai excreta, sedangkan campuran excreta dengan air bilasan toilet disebut sebagai black water. Mikroba patogen banyak terdapat pada excreta. Excreta ini merupakan cara transport utama bagi penyakit bawaan air (Mulia, 2005) Menurut Chandra (2007) secara garis besar karakteristik air limbah ini digolongkan menjadi sebagai berikut:

  1. Karakteristik fisik Sebagian terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan padat dan tersuspensi. Terutama air limbah rumah tangga, biasanya berwarna suram seperti larutan sabun, sedikit berbau. Kadang-kadang mengandung sisa- sisa kertas, berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinja dan sebagainya.

  2. Karakteristik kimiawi Air limbah biasanya bercampur dengan zat kimia anorganik yang berasal dari air bersih dan zat organik yang berasal dari limbah itu sendiri, saaat keluar dari sumber, air limbah bersifat basa. Namun, air limbah yang sudah lama membusuk akan bersifat asam karena sudah mengalami proses dekomposisi yang dapat menimbulkan bau yang tidak menyenangkan.

  3. Karakteristik bakteriologis Bakteri patogen yang terdapat dalam air limbah biasanya termasuk golongan E. coli.

  Menurut Chandra (2007) ada 5 cara pembuangan air limbah rumah tangga, yaitu: 1.

  Pembuangan umum, yaitu melalui tempat penampungan air limbah yang terletak dihalaman

  2. Digunakan untuk menyiram tanaman dikebun

3. Dibuang ke lapangan peresapan 4.

  Dialirkan ke saluran terbuka 5. Dialirkan ke saluran tertutup atau selokan.

  Halaman sering dijadikan arena bermain anak-anak, bahkan tidak jarang digunakan untuk tempat buang air besar yang memungkinkan telur cacing untuk tidak cepat matang sehingga potensi untuk menularkan tetap besar.

  Air limbah yang mengandung mikroorganisme patogen dan berasal dari pembersihan kamar mandi mungkin dapat menginfeksi anak-anak yang sedang bermain di halaman. Di daerah yang volume air limbah dan angka kepadatan rumahnya masih rendah, pembuangan air limbah di luar rumah dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Jika kondisi tanah kurang dapat di tembus air, sementara penggunan air atau kepadatan rumah tinggi, metode pembuangan air limbah yang memenuhi syarat mutlak diperlukan (Chandra, 2007).

2.1.2 Sanitasi Lingkungan Rumah

  Perumahan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Rumah atau tempat tinggal, dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di gua-gua, kemudian berkembang dengan mendirikan rumah di hutan-hutan dan di bawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun rumah bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang serba modern.

  Persyaratan rumah sehat yang dirumuskan oleh APHA di Amerika adalah rumah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus memenuhi kebutuhan fisiologis 2.

  Memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis 3. Dapat terhindar dari penyakit menular 4. Terhindar dari kecelakaan-kecelakaan (Mubarak, 2008)

  Kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain: 1.

  Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun.

  2. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah dan air limbah yang baik.

  3. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk, lalat tikus dan sebagainya.

  4. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran (mis, kawasan industri) dengan jarak minimal sekitar 5 km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hjau (green belt) dan bebas banjir (Chandra, 2007).

  Menurut Mubarak (2008) sebuah rumah sehat harus memiliki fasilitas- fasilitas sanitasi yang baik atau memadai, seperti pembuangan kotoran (jamban) , sarana pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah dan penyediaan air keperluan rumah tangga. Jika air yang tersedia tidak memenuhi syarat kesehatan, maka rumah tersebut dinilai tidak sehat. Begitu juga dengan saluran pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah dan jamban keluarga.

  Syarat sanitasi lingkungan rumah sehat: a.

  Sarana air bersih Menurut Entjang (2000) air yang diperlukan untuk minum, memasak, mandi, mencuci, membersihkan dan untuk keperluan lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu:

  1. Syarat kuantitas Jumlah air untuk keperluan rumah tangga per gari per kapita tidak sama pada tiap negara. Dapat dikatakan di negara-negara maju, jumlah keperluan air lebih besar di banding di negara-negara yang sedang berkembang.

  2. Syarat kualitas Air rumah tangga harus memenuhi syarat : fisik, kimia dan bakteriologis.

  a.

  Syarat fisik : jernih, tidak berwarna, tidak berasa, taidak berbau.

  b.

  Syarat kimia : tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral- mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan.

  c.

  Syarat bakteriologis : air tidak boleh mengandung bibit penyakit. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Adapun faktor lingkungan rumah seperti penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah yang kurang memenuhi syarat kesehatan yang telah ditetapkan sangat mudah untuk menimbulkan penyakit seperti infeksi kecacingan.

  b.

  Sanitasi jamban Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan menurut Ehlers dan Steel (Entjang, 2000) adalah: 1.

  Tidak boleh mengotori tanah permukaan.

2. Tidak boleh mengotori air permukaan.

  3. Tidak boleh mengotori air dalam tanah.

  4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya.

  5. Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain.

  6. Pembuangannya mudah dan murah.

  c.

  Saluran Pembuangan Air Limbah Menurut Chandra (2007) persyaratan sistem pembuangan air limbah yang diterapkan adala sebagai berikut:

  1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum.

  2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.

  3. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup di air di dalam penggunaannya sehari-hari.

  4. Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan penyakit.

  5. Tidak terbuka dan harus tertutup.

  6. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.

  d.

  Pengelolaan Sampah Menurut defenisi (WHO), sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2007).

  Pengelolaan sampah di pedesaan pada umumnya dilakukan dengan cara membakar, menanam dalam lobang, dan tidak jarang dibuang ke dalam selokan, sungai dan bahkan menumpuk di pekarangan atau kebun (Dainur, 1995)

  1. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah Pengumpulan sampah dimulai dari tempat sumber sampah tersebut dihasilkan.

  Dari lokasi sumbernya sampah tersebut diangkut dengan alat angkut sampah. Sebelum sampah sampai ke tempat pembuangan kadang-kadang perlu adanya suatu tempat penampungan sementara. Dari sini sampah dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar dan lebih efisien, misalnya dari gerobak ke truk atau dari gerobak ke truk pemadat (Mukono, 2006).

  2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah Pemusnahan dan atau cara pengolahan sampah padat ini dapat dilalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut: d.

  Ditanam (Landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuang lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah e.

  Di bakar (Insceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).

  f.

  Dijadikan pupuk (Composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang mudah membusuk (Notoatmodjo, 2003) Menurut Soemirat (2009) pengaruh sampah terhadap kesehatan salah satunya adalah efek tidak langsung berupa penyakit bawaan vektor yang berkembangbiak di dalam sampah. Sampah bila dibuang sembarangan dapat menjadi sarang lalat yang merupakan salah satu vektor dari cacing. Sampah juga menjadi tempat berkembangbiaknya cacing-cacing tertentu yang dapat membahayakan kesehatan seperti cacing cambuk dan tambang.

2.1.3 Sanitasi Lingkungan Sekolah

  Sekolah dasar (SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (sederajat).

  Menurut Potter dan Perry (2009) penyakit infeksi merupakan penyakit terbanyak pada anak. Sekolah akan memperluas dunia anak dimana ia akan mengalami perubahan kehiduan dari permainan bebas menjadi kehidupan dengan permainan, pelajaran, dan pekerjaan yang berstruktur. Sekolah dan rumah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.

  Prestasi belajar di sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana anak- anak giat belajar dan dapat memahami pelajaran di sekolah, tapi juga kondisi lingkungan sekolahnya yang mendukung. Lingkungan sekolah yang nyaman dan bersih dapat mendukung tumbuh kembang anak secara optimal, anak-anak menjadi lebih sehat dan dapat berpikir secara jernih, sehingga dapat menjadi anak- anak yang cerdas dan kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

  Lingkungan sekolah secara tidak langsung memberikan konstribusi terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain dirumah maupun disekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensi untuk terjangkit infeksi cacingan.

  Lingkungan fisik sekolah yang baik sebaiknya gedung sekolah dengan keadaan lantai kering, langit-langit yang kurang bersih dan ventilasi yang baik.

  Adapun faktor lingkungan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan adalah tersedianya air bersih, tempat pembuangan tinja (jamban) dan sumber air minum yang memenuhi syarat kesehatan, kebersihan halaman sekolah, ketersediaan warung atau tempat jajan, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan limbah.

  Sejalan dengan upaya hidup sehat, di lingkungan sekolah terdapat program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan kesehatan sekolah. Salah satu program dari UKS ini adalah kegiatan penanggulangan cacingan. Program pemberantasan dan pencegahan infeksi kecacingan misalnya melalui penyuluhan dan promosi kesehatan secara otomatis telah dimasukkan dalam kegiatan UKS tersebut ( Depkes RI, 2004 ). Persyaratan kesehatan sanitasi lingkungan sekolah berdasarkan Kepmenkes No. 1429/ MENKES/SK/XII/2006 : a.

  Air Bersih 1.

  Tersedia air bersih 15 liter/orang/hari 2. Kualitas air bersih memenuhi syarat kesehatan yang sesuai dengan

  Kep.Men.Kes No. 416 tahun 1990, tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air

  3. Jarak sumur/sarana air bersih dengan sumber pencemaran (sarana pembuangan air limbah, septic tank, tempat pembuangan sampah akhir, dll) minimal 10 m. b.

  Toilet (kamar mandi, WC, dan urinoir) 1.

  Letak toilet harus terpisah dari ruang kelas, ruang UKS, ruang guru, perpustakaan, ruang bimbingan dan konseling.

  2. Tersedia toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.

  3. Proporsi jumlah WC/urinoir adalah 1 WC/urunoir untuk 40 siswa dan 1 WC untuk 25 orang siswi.

  4. Toilet harus dalam keadan bersih 5.

  Lantai toilet tidak ada genangan air 6. Tersedia lubang penghawaan yang langsung berhubungan dengan udara luar

  7. Bak penampung air harus tidak menjadi tempat perindukan nyamuk c. Sarana Pembuangan Air Limbah 1.

  Tersedia saluran pembuangan air limbah yang terpisah dengan saluran penuntasan air hujan.

  2. Saluran pembuangan air limbah harus terbuat dari bahan yang kedap air dan tertutup

  3. Keberadaan SPAL tidak mencemari lingkungan 4.

  Tersedia saluran pembuangan air limbah yang memenuhi syarat kesehatan kedap air, tertutup dan airnya dapat mengalir dengan lancer.

  5. Air limbah dibuang melalui tangki septic dan kemudian diresap kedalam tanah

  6. Pembuangan air limbah dari laboratorium, dapur, dan WC harus memenuhi syarat kesehatan kedap air, tertutup, dan diberi bak kontrol pada jarak tertentu supaya mudah dibersihkan bila terjadi penyumbatan sehingga dapat mengalir dengan lancar.

  e.

  Sarana pembuangan sampah 1.

  Di setiap ruangan harus tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan tutup

  2. Tersedia tempat pengumpulan sampah sementara (TPS) dari seluruh ruangan untuk memudahkan pengangkutan atau pemusnahan sampah

3. Peletakan tempat pembuangan/ pengumpulan sampah sementara dengan ruang kelas berjarak minimal 10 m.

2.2. Higiene Perorangan

  Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa-masa perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan. Menurut Azwar (1996) Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat menimbulkan infeksi kecacingan.

  Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter, 2005). Kebersihan diri meliputi kebersihan tangan, kaki, dan kuku. Pemeliharaan kesehatan dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, memotong kuku secara teratur, membersihkan lingkungan, mencuci kaki sebelum tidur.

  Tanah merupakan media yang diperlukan cacing untuk melalukan proses perkembangbiakannya. Larva filariform dalam tanah dapat menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki yang kontak langsung dengan tanah. Untuk menghindari hal tersebut, maka ketika bermain hendaklah memakai alas kaki.

  Tangan adalah salah satu jalur utama masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Sebab, tangan merupakan alat tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan mulut dan hidung. Tangan yang kotor sangat beresiko terhadap masuknya mikroorganisme. Cuci tangan berfungsi untuk menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang menempel di tangan.

  Cuci tangan harus dilakukan dengan menggunakan air bersih dan sabun. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman akan berpindah dan akan masuk ke dalam tubuh ketika makan. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman yang ada pada tangan. Mencuci tangan dengan air dan sabun lebih efektif membersihkan kotoran dan dan telur cacing yang menempel pada permukaan kulit, jari-jari dan kuku pada kedua tangan (Proverawati & Rahmawati, 2012).

  Menurut Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih merupakan cerminan keperibadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing.

2.3. Kecacingan

  Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda tersebut menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah disebut Soil Transmitted Helminths. Cacing yang terpenting bagi manusia adalah

  Ascaris lumbricoides , Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura , Strongyloides stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongylus

  (Utama, 2009).

  Penyakit cacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia Sekolah Dasar. Dari penelitian didapatkan prevalensi penyakit cacingan sebesar 60-70%.

  Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 60-90%, cacing tambang (Necator dan Ancylostoma duodenale) 30-50% dan cacing cambuk (Trichuris

  americanus trichiura ) 65-75%. Risiko tertinggi terutama kelompok anak yang mempunyai

  kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, dan bermain di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki (Utama, 2009).

  Penyakit kecacingan terkadang tidak memperlihatkan gejala, ini tergantung pada jenis cacing yang menginfeksi. Adapun tanda dan gejala umum kecacingan adalah: 1.

  Nafsu makan menurun 2. Kadang diare

  3. Tubuhnya semakin hari semakin kurus 4.

  Mual 5. Muntah cacing 6. Sakit, kram atau kembung perut 7. Wajah pucat 8. Daya tahan tubuhnya lemah 9. Semangat belajar menurun 10.

  Mudah terkena infeksi bakteri atau virus 11. Pusing 12. Rasa sangat gatal disekitar dubur atau genital 13. Adanya darah pada kotoran dan kadang-kadang sebagian rektum menonjol keluar pada dubur

  14. Radang di vagina atau di kandung kemih 15.

  Anemia (Kasdu, 2002)

2.3.1 Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)

  Ascaris lumbricoides adalah penyebab penyakit askariasis yang tergolong

  nematoda intestinal berukuran terbesar pada manusia. Distribusi penyebarannya paling luas dibanding infeksi cacing yang lain, hal ini terkait dengan kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam jumlah banyak (Ideham, 2007). merupakan parasit yang penting baik di daerah

  Ascaris lumbricoides

  dengan iklim dingin maupun di daerah tropik, tetapi cacing ini lebih umum di negeri panas dengan sanitasi buruk (Brown, 1979). Infeksi Ascaris lumbricoides diderita oleh lebih dari 1 milyar orang dengan angka kematian sekitar 20 ribu jiwa di seluruh dunia. Prevalensi askariasis bervariasi antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides lebih dari 60% dari penduduk yang diperiksa tinjanya (Soedarto, 2009).

  Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Menurut Brown (1979) ascariasis ditemukan pada semua umur, tetapi tersering ditemukan pada anak-anak golongan umur 5 sampai 9 tahun yang belum sekolah dan anak- anak muda yang sudah sekolah, yaitu yang lebih sering berhubungan dengan tanah yang terkontaminasi daripada orang dewasa. Menurut Benenson( 1970) telur yang infektif terutama dipindahkan dari tangan oleh anak-anak yang berhubungan dengan tanah yang terkontaminasi secara langsung, melalui mainan ,makanan kotor atau makanan yang tidak dimasak.

  Ascaris adalah nematoda usus terbesar. Panjang cacing betina dewasa berukuran 20-45 cm, cacing jantan dewasa berukuran sekitar tiga perempat ukuran cacing betina. Cacing betina dapat bertelur sebanyak 200.000 butir per hari. Telur cacing dikeluarkan bersamaan dengan kotoran manusia yang terinfeksi. Telur cacing akan mati bila terkena sinar matahari secara langsung dan suhu di atas 45°

  C, tetapi akan dapat bertahan beberapa tahun di tanah yang tepat dan kondisi iklim yang layak (Cecil, 1985).

  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk yang infektif dalam waktu kurang dari 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menuju rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa, dan jika bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Utama, 2009).

  Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, deman dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

  Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan nenurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewsa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadan-kadang perlu tindakan operatif.

  Cara menegakkan diagnosis askariasis adalah dengan pemeriksaan makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa. Menemukan telur cacing pada tinja atau cairan empedu dilakukan dalam pemeriksaan mikroskopis (Soedarto, 2008).

  Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan ataupun secara massal. Untuk pengobatan perorangan dapat dengan menggunakan beberapa jenis obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mabendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. Infeksi campuran Ascaris lumbricoides dan T. trichiura dapat menggunakan Oksantel-pirantel pamoat.

  Pengobatan masal dilakukan pada anak Sekolah Dasar dengan pemberian albendazol 400 mg 2 kali setahun oleh pemerintah (Utama, 2009).

  Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk (Utama, 2009).

2.3.2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)

  Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.

  Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan.

  Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan sekitar 40% (Utama, 2009).

  Cara terjadinya polusi tinja di tanah, lingkungan yang sesuai bagi perkembangan telur dan larva cacing, adanya kontak manusia dengan tanah yang tercemar parasit merupakan tiga faktor penentu penyebaran infeksi cacing tambang (Soedarto, 2009).

  Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari mengeluarkan telur 5.000-10.000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000- 25.000 butir. Cacing berukuran panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk badan N.americanus biasanuya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.

  Telurnya yang di keluarkan dengan tinja, cepat menjadi matangvdan mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 sampai 2 hari pada keadaan menguntungkan serta pada suhu optimum 23° sampai 33°C. Telur A.duodenale mati dalam beberapa jam pada suhu 45°C dan dalam 7 hari pada 0°C (Brown, 1979).

  Telur cacing tambang yang besarnya ± 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyi dinding tipis. Di dinding terdapat beberapa sel. Larva rabditiform panjangnya ± 250 mikron, sedangkan filariform panjangnya ± 600 mikron. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga dapat terjadi dengan menelan larva filariform. Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis : 1.

  Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Infeksi filariform A.duodenale secara oral bisa menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak.

2. Stadium dewasa

  Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein). Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun.

  Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies

  

N.americanus dan A.duodenale dapat dilakukan biakan misalnya dengan cara

Harada-Mori.

  Pengobatan dilakukan dengan pemberian Pirantel pamoat, dengan dosis tunggal 11 mg/kg berat badan (maksimal, 1 gram). Mebendazol, 100 mg dua kali sehari dalam tiga hari, cukup efektif. Tidak dianjurkan digunakan ibu hamil dan penggunaan dengan hati-hati pada anak dibawah dua tahun (Cecil, 1985).

  Insidens tertinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung berhubungn dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Menurut Cecil (1985) prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah.

  Menurut Brown (1979) faktor-faktor berikut menguntungkan pemeliharaan dan penyebaran cacing tambang:

  1. Orang-orang yang mengandung parasit yang defekasi di tanah di daerah yang sering dikunjungi oleh orang lain, bertumpuknya tinja di tempat-tempat terpencil dekat rumah, kembalinya anggota keluarga ke tempat yang terbatas ini, menyebabkan infeksi keluarga. Sekolah yang terdiri dari satu ruangan tanpa fasilitas menuntut ilmu kesehatan adalah sumber infeksi yang sangat baik.

  2. Tanah pasir atau campuran tanah liat dan pasir yang merupakan tempat pembiakan yang baik untuk larva cacing tambang. Tanah liat yang padat sekali tidak cocok untuk larva.

  3. Iklim panas menguntungkan perkembangan telur dan larva dan devekasi di sembrang tempat. Iklim dingin disertai salju memaksa orang untuk berlindung , maka di daerah-daerah tersebut dimana-mana dipakai kakus.

4. Kelembaban, 30-50 inici air hujan, terutama selama musim panas bilamana ada kemungkinan untuk perkembangan telur dan larva.

  5. Penduduk miskin dan orang yang tidak memakai sepatu. Setengah dari penduduk dunia tidak memakai sepatu, tidak dapat membelinya atau tidak memerlukannya.

2.3.3 Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)

  Penyakit yang disebabkan Trichuris trichiura disebut trikuriasis. Manusia adalah hospes utama Trichuris trichiura, akan tetapi cacing tersebut juga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi (Brown, 1979). Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan didaerah panas dan lembab, seperti di Indonesia ( Utama, 2009) Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan jantan kira-kira 4 cm.

  Bagan anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir.

  Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Lalu keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur ± 30-90 hari (Brown, 1979).

  Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.

  Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan usus. Di tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

  Menurut Brown (1979) anak-anak lebih sering terkena infeksi dari pada orang dewasa. Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang diselingi sindrom disenti, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

  Trichuriasis dengan gejala-gejala kliniknya tidak dapat dibedakan dari infeksi nematoda intestinal lainnya, meskipun eosinofili lebih sering ditemukan.

  Diagnosis dilakukan dengan ditemukan telur yang khas berbentuk seperti tempayan dalam tinja. Pengobatan dilakukan dengan pemberian Albendazol 400 mg (dosis tunggal) (Utama, 2009). Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama tiga hari tanpa memandang berat badan. Tetapi, pemakaian mabendazole sebaiknya berhati-hati pada anak dibawah 2 tahun dan tidak diperbolehkan untuk ibu hamil (Cecil, 1985).

  Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30° C. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi, di beberapa daerah pedesaan frekuensinya 30-90%.

  Pencegahan Trichuriasis seperti dengan nematoda yang ditularkan melalui tanah lainnya, parasit ini terkait dengan kemiskinan di daerah pedesaan.

  Penyediaan sarana sanitasi pembuangan kotoran manuisa, dipadukan dengan pendidikan kepada masyarakat mengenai penularan kecacingan penting untuk dicegah (Cecil, 1985).

  Menurut Brown (1979) infeksi yang sangat endemik dapat dicegah dengan:

1. Pengobatan orang-orang yang terkena infeksi 2.

  Pembuangan tinja manusia secara baik 3. Mencuci tangan sebelum makan 4. Mendidik anak-anak tentang sanitasi dan higiene perorangan 5. Mencuci dengan baik dan menyiram dengan air panas sayuran yang tidak dimasak, teristimewa penting di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk.

2.3.4 Dampak Kecacingan

  Kecacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan dan metabolisme makanan. Secara kumulatif , kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunka ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya ( KepMenKes 424, 2006).

  Seekor cacing tambang dapat menghisap darah rata-rata 0,02 ml per harinya. Akibatnya, dapat terjadi aanemia. Keadaan ini akan mempengaruhi dan menurunkan daya tahan tubuh anak terhadap berbagai penyakit.

  Jika jumlah cacing gelang terlalu banyak dan bergumpal, dapat menyumbat saluran usus. Jika menyumbat saluran empedu, dapat menimbulkan gejala ikterus. Sedangkan bila cacing menggembara dan tersesat ke dalam usus buntu dapat menimbulkan penyakit usus buntu. Juga bila banyak larva cacing masuk ke saluran napas, dapat menyebabkan perdarahan kecil. Akibatnya, anak bisa batuk hebat disertai dahak yang mengandung larva, sesak napas atau tersedak cacing.

2.3.5 Pengendalian

  Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

  Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah sebagai berikut (Nadesul, 1997):

  1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

  2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

  3. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.

  4. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.

  5. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran di jamban.

Dokumen yang terkait

2. REVIEW OF RELATED LITERATURE 2.1 What’s Gerund - The Analysis Of Gerund Used In The Tempo Magazine

0 1 17

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN 2.1 Kota Medan - RADIO STREAMING ETNIK ( Studi Etnografi mengenai Siaran Radio Streaming Berbasis Etnik di Kota Medan )

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - RADIO STREAMING ETNIK ( Studi Etnografi mengenai Siaran Radio Streaming Berbasis Etnik di Kota Medan )

0 0 29

RADIO STREAMING ETNIK (Studi Etnografi mengenai Siaran Radio Streaming Berbasis Etnik di Kota Medan) SKRIPSI

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Dividen - Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio Saham LQ45 Di Bursa Efek Indonesia

0 2 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio Saham LQ45 Di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1. Definisi - Pengaruh Perilaku Ibu dan Kondisi Fisik Rumah Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 201

0 1 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Etika Periklanan Kartu XL Terhadap Persepsi Konsumen Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara

1 1 30

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Etika Periklanan Kartu XL Terhadap Persepsi Konsumen Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara

0 0 7

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA SISWA SDN 101200 DESA PERKEBUNAN HAPESONG DAN SDN 101300 DESA NAPA KECAMATAN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2015

0 0 36