Society Participation dengan Metode FGD

TUGAS MATA KULIAH
METODE DAN TEKNIK PERENCANAAN II
(TKP 62006)

SOCIETY PARTICIPATION

DENGAN METODE FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
DALAM PENATAAN RUANG DAN LINGKUNGAN

Dosen Pengampu : Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D

Disusun Oleh :
Hillary Kristarani (16/404423/PTK/10840)
PKD 49

MAGISTER PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
0


I. DESKRIPSI
Proses perencanaan dalam penataan ruang dan lingkungan yang berjalan
dinamis sangat dibutuhkan dalam pembangunan suatu negara. Pembangunan
meliputi dua unsur pokok, yakni materi yang dihasilkan dan dibagi serta manusia
yang menjadi pengambil inisiatif dan manusia pembangun. Dengan demikian
faktor perencanaan di dalam pembangunan adalah manusia/masyarakatnya
(Budiman, 1995). Menurut Post-development Theory juga memberikan alternatif
dengan mentransfer pembangunan kepada tingkatan yang paling lokal di
masyarakat, dan melalui inisiatif dan kegiatan gerakan sosial baru. Pembangunan
yang emansipatoris menyerap berbagai bentuk aspirasi dalam otonomi masyarakat
(Pieterse dan Schuurman dalam Kippler 2010). Berdasarkan kedua sumber
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat melalui FGD
sangat penting dalam proses penataan ruang dan lingkungan di Indonesia sebagai
negara demokrasi.
Model perencanaan di Indonesia dimulai dengan konsep perencanaan
teokrasi dan teknokratis, yang berarti pembangunan dicapai melalui intervensi
oleh penguasa dan para ahli. Politik teokrasi yang sudah sejak zaman kolonial
hinga tahun 1980-an menghasilkan master planning. Produk jenis perencanaan ini
adalah rencana induk kota contohnya. Selanjutnya pada tahun 1980 hingga saat ini
menggunakan politik teknokrasi yang menghasilkan comprehensive planning.

Produk jenis perencanaan ini adalah rencana tata ruang wilayah baik dalam
lingkup nasional (RTRWN) maupun provinsi/kabupaten/kota (RTRWK/RDTRK).
Terakhir, perencanaan yang berbasis pada demokrasi dimulai pada tahun 2000-an
yang menghasilkan strategic planning dan participatory planning. Produk jenis
perencanaan ini adalah rencana jangka panjang dan menengah (RPJP/RPJM)
lingkup nasional maupun provinsi/kabupaten/kota. Kasus participatory planning
oleh masyarakat tersebut yang selanjutnya akan dibahas proses perencanaan
dalam penataan ruang dan lingkungan di Indonesia.
Metode yang akan dibahas adalah Focus Group Discussion (FGD).
Menurut Krueger (1994: 5-10), metode ini merupakan teknik pengumpulan data
untuk mendapatkan persepsi dan pandangan setiap individu mengenai suatu tema
pada kajian area tertentu. FGD dibangun berdasarkan asumsi :
a. Keterbatasan individu selalu tersembunyi pada ketidaktahuan kelemahan
pribadi tersebut;
b. Masing-masing anggota kelompok saling memberi pengetahuan satu dengan
lainnya dalam pergaulan kelompok;
c. Setiap individu dikontrol oleh individu lain, sehingga ia berupaya agar menjadi
yang terbaik;
d. Kelemahan subyektif terletak pada kelemahan individu yang sulit dikontrol
oleh individu yang bersangkutan;

f. Intersubyektif selalu mendekati kebenaran yang terbaik pada saat itu. Selain itu,
pemikiran kelompok lebih sempurna dibanding dengan pemikiran individu. Hal
ini dikarenakan kelebihan pemikiran individu selalu dibatatasi oleh frame of
reference (Bungin, 2003).

1

Sementara itu, fungsi Focus Group Discussion (FGD) adalah :
1. Untuk merancang kuesioner survey. Hasil FGD sangat mungkin bermanfaat
dalam pembuatan kuesioner survey. Mungkin ada pertanyaan-pertanyaan baru
yang perlu ditambahkan atau dirubah yang tidak terpikirkan sebelumnya.
2. Untuk menggali informasi yang mendalam mengenai pengetahuan, sikap dan
persepsi. Dari suatu studi yang menggunakan FGD biasanya akan dapat
menghasilkan istilah-istilah baru yang bersumber dari pengetahuan dan penafsiran
masyarakat lokal.
3. Untuk mengembangkan hipotesa penelitian.
4. Untuk mengumpulkan data kualitatif dalam studi proses-proses penjajagan,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan. Seiring
perubahan paradigma baru pembangunan yang makin banyak menggunakan
pendekatan partisipatif (Participatory Approach), FGD semakin luas pula

digunakan dalam setiap pengkajian kualitatif selama proses-proses pembangunan
untuk tujuan pemberdayaan masyarakat.
.
Partisipan FGD terdiri oleh individu-individu yang memiliki homogenitas,
misalnya dalam umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. FGD terdiri dari
moderator, notulen, dan peserta (Gambar 1). Partisipan di dalam FGD bervariasi
mulai dari 4-6 partisipan untuk mini-focus groups hingga 6-12 partisipan. Proses
Focus Group Discussion (FGD) melalui berbagai tahap-tahap berikut :
1. Perencanaan FGD
2. Membuat pertanyaan dan mengidentifikasi partisipan.
3. Menghubungi partisipan dan pengalokasian waktu untuk jadwal FGD
4. Pelaksanaan FGD 1, FGD 2, FGD 3
5. Analisis data dan proses FGD
6. Draft Report, Review Draft, Final Draft
Proses FGD diatas melalui perencanaan waktu, biaya, serta tenaga yang
diperlukan (Krueger, 1994: 48-79).

Gambar 1.

2


Berikut penjabaran proses Focus Group Discussion (FGD) secara lebih
rinci, dimulai dari persiapan dalam tim dan persiapan dalam kelompok.
1. Persiapan Dalam Tim
Proyek atau tim fasilitator menyediakan panduan pertanyaan FGD sesuai dengan
masalah

a. Proyek atau tim fasilitator menyediakan panduan pertanyaan FGD sesuai
dengan masalah atau topik yang akan didiskusikan. Panduan pertanyaan wajib
disiapkan dengan baik, didukung pemahaman konsep dan teori yang melatarinya.
FGD tanpa persiapan disain pertanyaan hanya menghasilkan FGD yang buruk,
dan karenanya buang waktu dan biaya saja. FGD yang benar dan baik adalah yang
memiliki panduan pertanyaan terdiri atas serangkaian sistematis dari pertanyaanpertanyaan terbuka yang akan digunakan fasilitator sebagai acuan memandu FGD.
b. Tim Fasilitator FGD biasanya berjumlah 2-3 orang, terdiri dari: pemandu
diskusi (fasilitator-moderator), pencatat (notulen) dan pengamat (observer).
Sekurang-kurangnya tim fasilitator terdiri dari 2 orang, yakni: pemandu diskusi
dan pencatat proses dan hasil diskusi.
c. Pemandu diskusi (fasilitator-moderator) perlu membekali dirinya untuk
memahami dan mampu menjalankan peran. sebagai berikut:
- Menjelaskan topik diskusi. Tugas ini dijalankan oleh pemandu diskusi

(fasilitator-moderator). Ia tidak perlu ahli tentang masalah atau topik yang
didiskusikan, yang terpenting adalah harus menguasai pertanyaan-pertanyaannya.
Seorang pemandu diskusi juga harus mampu melakukan pendekatan dan mampu
memotivasi peserta FGD agar peserta terdorong dan dapat spontan mengeluarkan
pendapat. Apabila fasilitor memiliki rasa humor dan mampu memanfaatkannya
untuk tujuan tugas memandu diskusi, maka proses dan hasil FGD biasanya akan
menjadi lebih baik.
- Mengarahkan kelompok, bukan diarahkan oleh kelompok. Pemandu diskusi
bertugas mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan harus netral terhadap jawaban
peserta. Jangan memberi penilaian jawaban benar atau salah maupun memberikan
persetujuan atau tidak setuju. Hindari penyampaian pendapat pribadi karena dapat
mempengaruhi pendapat peserta nantinya. Pemandu juga harus mampu
mengendalikan ketertiban peserta dalam menyampaikan penda pat dengan cara
memfasilitasi kesempatan bagi setiap peserta secara adil (tidak pilih-pilih).
-Pemandu diskusi hendaknya mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kendalikan
nada suara dan pilihan kata-kata dalam mengajukan pertanyaan. Pemandu diskusi
juga harus menanamkan sikap sabar. Di lain pihak hindarilah pembicaraan yang
bertele-tele agar waktu tidak lebih banyak digunakan oleh pemandu dikusi sendiri.
Ingatlah waktu yang relatif terbatas harus dimanfaatkan secara efisien dan
optimal.

2. Persiapan dalam Kelompok
Persiapan kelompok dilakukan dengan cara mengundang peserta untuk
berpartisipasi dalam FGD yang akan dilakukan. Berkenaan dengan ini hendaknya
diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(a) Siapkan undangan tertulis tetapi lakukan juga kunjungan tatap muka langsung
untuk mengundang peserta.
3

(b) Jelaskan maksud dan tujuan kegiatan serta lembaga yang mengadakan
kegiatan studi.
(c) Jelaskan rencana FGD dan mintalah peserta untuk berpartisipasi dalam FGD.
Sebutkan juga mereka yang sudah bersedia ikut serta untuk mendorong peserta
lain juga ikut dalam FGD.
(d) Beritahukan tanggal, waktu, tempat dan lamanya pertemuan sesuai dengan
yang tertera pada undangan tertulis.
(e) Apabila seseorang tidak bersedia memenuhi undangan, maka coba tekankan
kembali arti pentingnya keikut sertaannya dalam FGD. Jika tetap menolak juga,
sampaikanlah maaf dan terima kasih. Hubungan baik dan silaturrahim tetap harus
dijaga dan tidak boleh terganggu hanya karena orang yang diundang tidak
berkenan memenuhi undangan.

(f) Jika orang yang diundang menyatakan kesediaannya berpartisipasi, maka
ulanglah sekali lagi tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan FGD untuk
mengingatkan kembali.
II. CONTOH
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Environmental
Impact Assessment (EIA) merupakan salah satu analisis resiko dalam menghadapi
krisis lingkungan di Indonesia. Amdal menggunakan pendekatan partisipatif
dimana melibatkan masyarakat di dalam perencanaan. Amdal merupakan
perlindungan lingkungan dan sosial (environmental and social safeguard ) yang
telah dibangun, diterapkan, dan dikembangkan di dunia. Instrumen ini telah
diterapkan di dunia sejak awal tahun 1970, sementara di Indonesia sejak tahun
1986. Dunia internasional melalui kesepakatan internasional yang dituangkan
dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21 telah menyatakan bahwa Amdal/EIA harus
dikembangkan dan diterapkan setiap negara dalam rangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Sebagai instrumen perlindungan lingkungan dan
sosial, Amdal disusun berdasarkan hasil kajian ilmiah mengenai dampak penting
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Dampak
penting pada dasarnya perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Setiap rencana usaha atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal telah

diatur dalam Permen LH No. 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Secara umum rencana kegiatan yang wajib Amdal merupakan proyek besar
misalnya pembangunan rumah sakit, apartemen, hotel, mall, jalan, jaringan
irigasi, dan sebagainya. Amdal digunakan sebagai basis penerbitan izin
lingkungan dan PPLH. Izin lingkungan beserta dokumen Amdalnya merupakan
persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan dari berbagai sektor.
Amdal diikat secara legal formal dalam izin lingkungan menjadi referensi bagi
pemrakarsa untuk melakukan perlindungan lingkungan dan sosial di setiap
tahapan kegiatan (pra-konstruksi, konstruksi, operasi, pasca operasi),
pengembangan environmental management system (EMS) dan pelaksanaan audit
lingkungan. Selain itu, Amdal juga menjadi referensi bagi menteri, gubernur,
4

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan pengawasan izin
lingkungan dan penegakan hukum lingkungan.
Amdal menggunakan participatory planning dengan menggunakan
metode FGD dimana masyarakat ikut terlibat didalamnya. Pedoman keterlibatan
masyarakat dalam proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin
Lingkungan telah diatur dalam Permen LH No. 17 tahun 2012. Pada proses

Amdal, masyarakat dilibatkan dalam pengikutsertaan dalam penyusunan dokumen
amdal melalui proses pengumuman, penyampaian saran, pendapat dan tanggapan
masyarakat dan konsultasi publik serta pengikutsertaan masyarakat dalam komisi
penilai Amdal, bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal.
Selain itu, masyarakat juga dilibatkan dalam proses pengumuman permohonan
izin lingkungan, penyampaian saran, pendapat dan tanggapan masyarakat serta
pengumuman setelah izin lingkungan diterbitkan. Masyarakat yang terlibat dalam
proses Amdal tidak hanya masyarakat terkena dampak (sekitar lokasi rencana
proyek) saja, melainkan masyarakat pemerhati lingkungan (NGO), dan
masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses Amdal.
Tujuan pertama dimaksudkan bahwa masyarakat telah mendapatkan
informasi yang memadai mengenai usulan rencana usaha/kegiatan dan dapat
berkontribusi dalam proses Amdal. Agar tujuan ini dapat tercapai, maka setiap
penangung jawab rencana usaha/kegiatan (pemrakarsa) sebelum melakukan
penyusunan dokumen Amdal wajib mengumumkan rencana usaha/kegiatan
kepada masyarakat antara lain mengenai deskripsi kegiatan (deskripsi rinci
rencana kegiatan, lokasi proyek), dampak lingkungan hidup potensial mungkin
terjadi sebagai akibat rencana usaha/kegiatan tersebut. Tujuan kedua dimaksudkan
bahwa masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan (SPT)
secara tertulis atau melalui proses konsultasi publik yang dilaksanakan oleh

pemrakasarsa. Melalui penyampaian SPT ini, masyarakat dapat menyampaikan
umpan balik mengenai informasi mengenai kondisi lingkungan hidup dan
berbagai usaha/kegiatan di sekitarnya, aspirasi masyarakat dan penilaiannya
mengenai dampak lingkungan. Tujuan ketiga dimaksudkan masyarakat terkena
dampak melalui wakilnya yang duduk dalam komisi penilai amdal terlibat dalam
proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau
ketidaklayakan atas rencana usaha/kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan. Tujuan keempat adalah terkait dengan proses izin lingkungan, saran,
pendapat dan tanggapan (SPT) masyarakat yang disampaikan pada tahap proses
permohonan izin akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
proses penerbitan izin lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas, masyarakat berperan penting dalam setiap
proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Masyarakat memiliki hak
menyuarakan pendapatnya. Di dalam konsultasi publik maupun sidang komisi
Amdal, melibatkan masyarakat, pemrakarsa, konsultan, mediator, para ahli, dan
tim teknis yang membahas setiap hal dalam dokumen Amdal. Partisipasi dari
berbagai stakeholders menjadi proses demokrasi dalam pengambilan keputusan
berkaitan dengan dampak lingkungan suatu kegiatan. Pengambilan keputusan
tersebut tentunya mempertimbangan aspek sustainable serta integrasi pada ilmu
pengetahuan dan partisipasi masyarakat melalui FGD. Pada Gambar 2 dibawah ini
5

merupakan gambaran pelaksanaan Konsultasi Publik dengan metode FGD dalam
penyusunan AMDAL.

Gambar 2.Pelaksanaan Konsultasi Publik AMDAL
6

Selain Amdal, terdapat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang
juga mengkaji lingkungan dengan partisipasi masyarakat melalui FGD.
Perencanaan di luar konteks lingkungan, seperti RTRW, RPJP, RPJM, dan
Rencana Strategis juga melibatkan masyarakat di dalamnya. Terdapat Focus
Group Discussion (FGD) di dalam merumuskan setiap rencana. Hal ini penting
untuk dilakukan karena bagaimanapun masyarakat lokal memegang kunci untuk
setiap lokasi/daerah/wilayah yang akan direncanakan. Selain itu, penelitianpenelitian ilmiah di Indonesia saat ini banyak yang melibatkan masyarakat dalam
FGD. Sebagai contoh, penelitian penurunan tanah ( Land Subsidence) di pesisir
Semarang menggunakan data geologi, citra satelit, dan data kuantitatif lainnya.
Namun, terlepas dari itu semua, informasi dari masyarakat setempatlah yang bisa
menunjukkan zonasi penurunan tanah di pesisir Semarang.
III. KOMENTAR
Partisipasi masyarakat melalui FGD dalam proses perencanaan dalam
penataan ruang dan lingkungan dapat ditelaah melalui teori “Risk Assestment and
Environmental Crissis: Toward Integration of Science and Participation ” oleh
Frank. Analisis resiko (risk assestment) disini bertujuan untuk menyajikan
informasi secara objektif mengenai kelayakan dari suatu teknologi, baik dari sisi
teknis maupun lingkungan. Analisis resiko juga mencerminkan perpaduan antara
permasalahan manajerial dan metode rekayasa serta dengan mengintegrasikan
faktor fisik dan manusia yang dapat didefinisikan dengan konsep kesatuan
rasionalitas teknis. Berdasarkan skema Risk Assestment, diketahui bahwa
kegagalan sistem membuat adanyanya analisis resiko. Analisis ini memberikan
solusi baik untuk sosial maupun politik. Analisis resiko dikemas dalam suatu
pendekatan partisipatif (Schwarz dan Thompson 1990: 102-122).
Pada mulanya pendekatan partisipatif diawali dengan pendekatan
“Constructive Technology Assessment ” (CTA) dikembangkan oleh Organisasi
Teknologi Belanda. Format analisis dampak lebih demokratis dan
mempertimbangkan masalah politik. Metode penyelesaian sengketa adalah
dengan teknik mediasi, negosiasi dan membangun konsensus untuk
menyelesaikan perselisihan. Negoisasi melibatkan mediator netral untuk
mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa, seperti anggota
masyarakat, pengusaha, aktivis lingkungan, dan pejabat pemerintah dalam rangka
membentuk sebuah kesepakatan di antara peserta. Mediatorlah yang memainkan
peran penting dalam menentukan keberhasilan dari metode ini. Partisipasi para
ahli juga diperlukan untuk “mendemokratisasikan” proses pengambilan keputusan
berkaitan dengan dampak suatu kegiatan. Persyaratan terpenting yang harus
dilakukan yaitu komitmen secara profesionalitas, khususnya pada permasalahan
sosial, dengan partisipasi demokratis terhadap kemajuan dan pemberdayaan
masyarakat. Metode ini memberikan wewenang untuk mengorganisir suatu forum
antara para ahli dengan masyarakat yang respek terhadap permasalahan
lingkungan, sehingga bisa menjadi sebuah penelitian partisipatif (Schwarz dan
Thompson 1990: 102-122).
Teori ini menjelaskan bagaimana penelitian partisipatif dapat digunakan
untuk memulai langkah alternatif terhadap suatu kegiatan sosial, termasuk
7

mengembangkan teknologi alternatif dan gerakan-gerakan ekologis. Metode
partisipatif membuat masyarakat lebih paham akan resiko yang akan dihadapi dan
mampu menghadapinya. Selain itu, masyarakat juga mau melaksanakan berbagai
upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko dari perkembangan
teknologi dan pengetahuan (Fischer 1991).
Teori tentang analisis resiko dan krisis lingkungan ke arah integrasi ilmu
pengetahuan serta partisipasi masyarakat melalui FGD menjadi sangat penting
untuk diterapkan saat ini. Perencanaan yang menuntut sustainable development
dibutuhkan saat ini ketika krisis lingkungan melanda di berbagai belahan bumi,
termasuk Indonesia. Perencanaan ini dapat digunakan ke berbagai kajian dengan
melibatkan partisipasi masyarakat melalui FGD didalamnya. Masyarakat sebagai
penghuni suatu wilayah tentunya memiliki peran yang penting untuk turut serta di
dalam proses perencanaan. Hal ini sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai
negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Perencanaan tidak hanya dilaksanakan
oleh kalangan tertentu saja, misal penguasa atau para ahli. Proses perencanaan
dengan partisipasi masyarakat mencermikan suatu negara menjunjung tinggi
demokrasi.
Pertama, partisipasi masyarakat melalui FGD dalam proses perencanaan
ruang merupakan bagian dari prosedur penyusunan RTRW kabupaten misalnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, peran
masyarakat ada pada tahap persiapan hingga penyusunan Raperda. Pada tahap
persiapan, masyarakat terlibat pasif dalam menerima informasi penataan ruang.
Kemudian pada tahap pengumpulan data dan informasi, masyarakat dapat
memberikan data dan infromasi, aspirasi dan opini, serta mengidentifikasi
masalah penataan ruang. Selanjutnya, masyarakat juga menyampaikan opini dan
spirasi terkait kebijakan dan strategi penataan ruang ketika tahap perumusan
konsep pengembangan. Sedangkan pada saat perumusan konsep rencana,
msyarakat dapat menyampaikan keberatan/sanggahan terhadap konsep RTRW
kabupaten. Terakhir pada tahap penyusunan Raperda, masyarakat juga dapat
menyampaikan keberatan/sanggahan terhadap konsep raperda RTRW kabupaten.
Dengan penjabaran diatas, maka partisipasi masyarakat melalui FGD tertuang
pada seluruh proses penyusunan RTRW terkecuali saat tahap analisis.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Environmental
Impact Assessment (EIA) merupakan salah satu analisis resiko dalam menghadapi
krisis lingkungan di Indonesia. Amdal menggunakan pendekatan partisipatif
dimana melibatkan masyarakat di dalam perencanaan. Amdal merupakan
perlindungan lingkungan dan sosial (environmental and social safeguard) yang
telah dibangun, diterapkan, dan dikembangkan di dunia. Instrumen ini telah
diterapkan di dunia sejak awal tahun 1970, sementara di Indonesia sejak tahun
1986. Dunia internasional melalui kesepakatan internasional yang dituangkan
dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21 telah menyatakan bahwa Amdal/EIA harus
dikembangkan dan diterapkan setiap negara dalam rangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Amdal menggunakan participatory planning dimana
masyarakat ikut terlibat didalamnya. Pedoman keterlibatan masyarakat dalam
proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan telah diatur
8

dalam Permen LH No. 17 tahun 2012. Pada proses Amdal, masyarakat dilibatkan
dalam pengikutsertaan dalam penyusunan dokumen amdal melalui proses
pengumuman, penyampaian saran, pendapat dan tanggapan masyarakat dan
konsultasi publik serta pengikutsertaan masyarakat dalam komisi penilai Amdal,
bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal. Selain itu,
masyarakat juga dilibatkan dalam proses pengumuman permohonan izin
lingkungan, penyampaian saran, pendapat dan tanggapan (SPT) masyarakat serta
pengumuman setelah izin lingkungan diterbitkan. Masyarakat yang terlibat dalam
proses Amdal tidak hanya masyarakat terkena dampak (sekitar lokasi rencana
proyek) saja, melainkan masyarakat pemerhati lingkungan (NGO), dan
masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses Amdal.
Proses perencanaan yang sudah melibatkan society participation di
Indonesia pada akhirnya diimplementasikan di setiap lokasi dan daerah. Suatu
rencana harapannya implementatif sehingga tujuan yang diinginkan dapat
tercapai. Namun, terdapat banyak kasus yang mana perencanaan kurang atau tidak
dapat terimplementasi dengan baik karena berbagai hal. Sebagai contoh, kasus
implementasi RTRW di Nusa Ceningan, Klungkung, Bali dirasa tidak melibatkan
masyarakat lokal baik wakil maupun lembaga. Masyarakat hanya menerima hasil
kebijakan pemerintah, karena tidak melalui proses partisipasi oleh masyarakat
adat. Masyarakat memiliki pandangan tata ruang wilayah yang dilatarbelakangi
oleh konsep budaya tradisional. Konsep ini yang yang membuat masyarakat di
Nusa Ceningan merasa adanya ketidakadilan pada pemanfaatan ruang dan
pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi ini yang membuat adanya perlawanan
masyarakat, misalnya pada kasus pembebasan lahan untuk pariwasata oleh
pemerintah yang digagalkan masyarakat tahun 1999, kemudian dilakukan
pemetaan partisipatif tahun 2000. Selain itu terdapat kasus perubahan
pemanfaatan lahan dimana lahan rumput laut akan dijadikan wisata tirta dan
permukiman menjadi hotel, masyarakat menolak dan membuat program
ekowisata (IGM. Konsukartha 2003).
Pelaksanaan RTRW yang masih terhambat dipengaruhi oleh kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundangan yang mengatur tata
ruang. Selain kesadaran melaksanakan hukum masih rendah, sanksi untuk
pelanggarannya juga belum tegas. Koordinasi antar lembaga dinas masih belum
terkait. Dalam kasus ini, pemerintah terus melakukan berbagai usaha agar
pelaksanaan RTRW berjalan dengan baik, misalnya dengan sosialisasi terpadu
antar dinas, disinsentif untuk perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi nonpertanian, dan penegakan hukum (Iswanto 2005).
Meskipun implementasi perencanaan ruang dan lingkungan di Indonesia
masih menemukan berbagai kendala seperti kasus-kasus yang telah disebutkan,
partisipasi masyarakat melalui FGD masih sangat perlu dibutuhkan. Society
participation dalam perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
terhadap efektivitas implementasi kebijakan tata ruang dan lingkungan suatu
wilayah memiliki pengaruh langsung. Sementara itu, peningkatan society
participation juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan
pengawasan dan pengendalian. Manfaat yang diperoleh dari partisipasi
masyarakat melalui FGD tentunya akan memudahkan pemerintah dalam
9

melaksanakan setiap kebijakan yang telah dibuat. Oleh karena itu, diharapkan
society participation terus dilibatkan dalam proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan hingga pengendalian penataan ruang dan lingkungan di setiap
wilayah. Proses komunikasi yang baik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat
pada setiap tahap kegiatan penataan wilayah menjadi kunci keberhasilan
implementasi kebijakan (Najmulmunir 2013). Berikut dijelaskan lebih rinci
kelebihan dan kekurangan metode FGD kaitannya dengan partisipasi masyarakat.
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Metode FGD
Kekuatan
Kekurangan
Sinergisme : Suatu kelompok mampu Karena dapat dilakukan secara cepat
menghasilkan informasi, ide dan dan murah, FGD sering digunakan oleh
pandangan yang lebih luas
pembuat keputusan untuk mendukung
dugaan/pendapat
pembuat
keputusannya. Persoalannya adalah,
seberapa jauh FGD dilakukan sesuai
prinsip dan prosedur yang benar.
Manfaat bola salju. Komentar yang FGD terbatas untuk dapat memperoleh
didapat secara acak dari peserta dapat informasi yang lebih mendalam dari
memacu reaksi berantai respons yang seorang individu yang mungkin
beragam
dan
sangat
mungkin dibutuhkan. Hal ini disebabkan FGD
menghasilkan ide-ide baru.
terbatas
waktu
dan
memberi
kesempatan secara adil bagi semua
peserta
untuk
menyampaikan
pendapatnya. Untuk ini FGD tidak
boleh dipertentangkan dengan metode
lainnya, tetapi justru harus dilihat
sebagai saling melengkapi.
Stimulan.
Pengalaman
diskusi Teknik FGD mudah dilaksanakan,
kelompok sebagai sesuatu yang tetapi sulit melakukan interpretasi
menyenangkan dan lebih mendorong datanya.
orang berpartisipasi mengeluarkan
pendapat.
Keamanan. Individu biasanya merasa FGD
memerlukan
fasilitator
lebih aman, bebas dan leluasa moderator (pemandu diskusi) yang
mengekspresikan
perasaan
dan memiliki ketrampilan tinggi. Hal ini
pikirannya dibandingkan kalau secara amat berpengaruh terhadap hasil.
perseorangan yang mungkin ia akan
merasa khawatir.
Spontan. Individu dalam kelompk lebih
dapat
diharapkan
menyampaikan
pendapat atau sikap secara spontan
dalam merenspons pertanyaan, hal yang
belum tentu mudah terjadi dalam
wawancara perseorangan.
10

A. KESIMPULAN
Society participation menggunakan teknik Focus Group Discussion
(FGD) berperan penting dalam penataan ruang dan lingkungan. Masyarakat
memiliki hak menyuarakan pendapatnya mulai dari perencanaan pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian suatu rencana. Society participation sudah diatur
di dalam setiap perencanaan ruang dan lingkungan di Indonesia. Masyarakat
sebagai kunci keberhasilan rencana di setiap wilayah di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat yang bukan hanya sebagai objek, melainkan subjek
suatu perencanaan. Namun pada kenyataannya, masih terjadi berbagai kendala di
setiap penataan ruang dan lingkungan. Kendala itu disebabkan oleh berbagai
pihak, baik dari sisi masyarakat sendiri maupun pemerintah. Oleh karena itu,
dengan partisipasi dari berbagai stakeholders akan menjadi proses demokrasi
dalam pengambilan keputusan untuk mewujudkan penataan ruang dan lingkungan
Indonesia yang lebih baik.
B. SARAN DAN REKOMENDASI
Penataan ruang dan lingkungan di berbagai wilayah di Indonesia untuk
kedepannya akan baik apabila terus melibatkan society participation. Partisipasi
masyarakat melalui FGD di dalam setiap perencanaan tata ruang dan lingkungan
diharapkan bukan menjadi suatu formalitas, melainkan sebagai kunci bagi setiap
rencana untuk melangkah menuju implementasi. Tidak hanya itu, society
participation juga memiliki bagian di dalam pengawasan dan pengendalian
penataan ruang serta lingkungan di Indonesia yang sustainable.

11

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2015). Pendidikan dan Pelatihan AMDAL. Yogyakarta: Institut
Teknologi Yogyakarta.
Budiman, Arief. (2000). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Fischer, F. (1991). "Risk Assestment and Environmental Crissis: Toward
Integration of Science and Participation." Elsevier 5(Industrial Crisis
Quarterly): 113-132.
IGM. Konsukartha, T. G. d. I. B. M. (2003). "The Indigenous Society Perception
Towards the Regional Spatial Planning Implementation in Nusa Ceningan,
Klungkung, Bali." Manusia dan Lingkungan 10(3): 141-147.
Iswanto, H. (2005). "Peran Serta masyarakat dalam Pelaksanaan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kaitannya dengan Otonomi Daerah di Kabupaten
Sleman." Mimbar Hukum: 147-156.
Najmulmunir, N. (2013). "The Influence of Social Participation Toward the
Effectiveness of Impelemtation in Spatial Planning at Bekasi Regency."
Manusia dan Lingkungan 20(2): 213-220.
Schwarz, M. And Thompson, M. (1990). “Divided We Stand: Redefining
Politics, Technology and Social Choice. Harvester&Wheatsheaf.
Hertfordshire

Peraturan Perundangan
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2012 tentang Pedoman
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan
Izin Lingkungan

12