Tugas 1 Hukum Administrasi Negara

Tugas 1 Hukum Administrasi Negara
Nama : Andree Nugroho
NIM

: 020713128

TUMPANG TINDIH PERATURAN DAERAH DAN PUSAT TERHADAP
PEMUNGUTAN PENERIMAAN NEGARA DARI HASIL TANDAN
BUAH SEGAR KELAPA SAWIT YANG MENGAKIBATKAN
PUNGUTAN GANDA (DOUBLE TAXATION)
SUATU CONTOH KASUS DALAM KAJIAN PERMASALAHAN
HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA
Bagian 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebagai bentuk perjalanan bangsa Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis,
reformasi terhadap otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting. Hal ini dipertegas
dengan disahkannya UU no. 32 tahun 2004 yang mengatur peran pemerintah daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam dasar pertimbangan UU no.
32 tahun 2004, Otonomi daerah intinya adalah suatu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan pembangunan yang berdasarka
wewenang penetapan keputusan permerintah daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan
keistimewaan daerah masing-masing.
Dengan demikian penegasan otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam alinea diatas
tentu membawa implikasi tersendiri bagi sistem hukum administrasi negara di Indonesia.
Implikasi positifnya yaitu harapan adanya perbaikan fungsi regeling pemerintah menuju
arah peraturan-peraturan yang lebih demokratis dan sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Implikasi negatifnya adalah potensi
terjadinya overlapping antara peraturan perundangan produk pemerintah pusat dan
peraturan perundangan produk pemerintah daerah.
Pada kenyataaannya, implikasi negatif kewenangan pengaturan rumah tangga pemerintah
daerah adalah suatu hal yang dewasa ini menjamur dan patut mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah pusat dan daerah. Banyak peraturan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dalam bidang-bidang hukum yang termasuk dalam tatanan keilmuan
hukum administrasi negara yang nyata-nyatanya saling

overlapping dan bahkan

bertentangan. Ketua DPD RI Irman Gusman, sebagaimana dilansir oleh portal berita daring

www.empatpilarmpr.com , menjelaskan bahwa tidak adanya harmoni peraturan perundangundangan terjadi di hampir semua jenis dan tingkat peraturan perundangan-undangan –
ketidak harmonisan ini terjadi baik secara horizontal maupun vertikal, sampai-sampai
peraturan antara pemerintah daerah tingkat I dengan tingkat II saja bisa tidak harmonis.
Perkembangan ini sungguh sangat merisaukan sebab ketidak harmonisan produk hukum
antar lingkungan pemerintah akan mengakibatkan inkonsistensi hukum yang dapat
menghambat efektivitas instrumen wet in regeling sebagai alat negara dalam pelaksanaan
hubungan istimewa negara dengan rakyatnya (fungsi pelayanan publik). Hal yang demikian
tentu secara langsung akan mempengaruhi secara negatif inti dari hubungan istimewa
tersebut, yakni tugas negara untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur dan
sejahtera.
Penulis menyadari bahwa ruang lingkup dari fenomena tumpang-tindihnya produk hukum
adminstrasi negara mencakup berbagai bidang yang luas, dan tidak mungkin semuanya
dibahas didalam makalah singkat ini. Oleh sebab itu penulis memutuskan untuk mengangkat
sebuah permasalah spesifik sebagai suatu contoh kasus faktual, yakni permasalahan
overlapping peraturan pemungutan pendapatan negara yang berasal dari hasil pengolahan
sumber daya alam berupa Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang mengakibatkan
terjadinya pungutan ganda (double taxation) terhadap penjualan TBS.
Penulis merasa bahwa masalah yang diangkat ini adalah cukup representatif dalam
menggambarkan dampak negatif dari fenomena overlapping produk hukum terhadap
kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa industri perkebunan kelapa

sawit adalah salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian rakyat banyak,

sebab

seperti yang kita ketahui, industri perkebunan kelapa sawit adalah industri yang padat karya
dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat; selain itu data
statistik menunjukkan bahwa selain menjadi sasaran usaha bagi pengusaha-pengusaha,
diperkirakan sekitar 80 persen dari total keseluruhan lahan perkebunan sawit adalah
perkebunan rakyat yang menjadi sandaran ekonomi bagi sekitar 15 juta keluarga di
Indonesia – atau kurang lebih hampir 25 persen dari rakyat Indonesia. Hal ini berarti produkproduk hukum yang inkonsisten dan memberatkan industri ini dengan praktek pemungutan
ganda/double taxation sangat berpotensi mempengaruhi kesejahteraan rakyat banyak
secara negatif.
B. Metodologi Penulisan dan Penelitian

Makalah ini disusun dengan metodologi penulisan sebagai berikut :
a. Deskripsi contoh kasus double taxation terhadap objek TBS Kelapa sawit dan
analisis peraturan perundangannya yang melandasinya
b. Analisis implikasi contoh kasus dalam secara yuridis dan sosial ekonomi
c. Analisisis implikasi contoh kasus tersebut berdasarkan teori-teori dasar hukum
administrasi negara

d. Kesimpulan dan Saran
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam memaparkan masalah yang
dituangkan kedalam makalah ini adalah metode penelitian kepustakaan yang bersumber
dari buku-buku mengenai Hukum Administrasi Negara, artikel-artikel daring, dan Perundangundangan yang terkait dengan masalah yang dibahas.

C. Tujuan
Selain dari pemenuhan syarat dalam proses pembelajaran mata kuliah Hukum Administrasi
Negara, penulis berharap dapat memberikan analisis yang jelas akan masalah tumpang
tindih produk hukum dalam sistem hukum administrasi Indonesia melalui sebuah contoh
kasus, serta memberikan sumbangsih pikiran berupa saran solusi sesuai dengan
pemahaman penulis.
Penulis menyadari bahwa pemahaman penulis mengenai Hukum Administrasi Negara
sebagai sebuah sistem kaidah hukum yang luas serta hukum perpajakan dan hukum lainnya
yang berkaitan dengan pendapatan negara sebagai sebagai subsistem kaidah hukum
adminstrasi negara masih teramat sangat terbatas, oleh sebab itu penulis sangat
menghargai

koreksi

dan


kritik

yang

membangun

sebagai

suatu

sarana

untuk

mengembangkan dan meningkatkan pemahaman penulis akan hal-hal tersebut.

Bagian 2
Pembahasan
A. Deskripsi Contoh Kasus double taxation dan


peraturan perundangan yang

melandasinya
Sektor agrobisnis memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia.
Biro Pusat Statistik dalam laporan tahunannya mengenai Industri Kelapa per Sawit tahun
2015 menjelaskan bahwa sektro agararis memberi kontribusi 13,8 persen dari total PDB
(pendapatan domestik bruto) Indonesia tahun 2014. Ini berarti bahwa industri agrobisnis

adalah kontributor ketiga terbesar ekonomi Indonesia setelah industri pengolahan dan
perdagangan.
Data BPS menunjukkan bahwa kontribusi sektor perkebunan bagi PDB Indonesia pada
tahun 2014 adalah 3,77 persen atau menepati urutan pertama di sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan. Selain daripada itu sektor perkebunan adalah sektor yang
mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi dan menghasilkan Devisa. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sektor perkebunan (perkebunan sawit khususnya) sebagai subsektor
agrobisnis Indonesia, adalah subsektor unggulan dari industri agrobisnis Indonesia.
Beranjak dari beberapa fakta diatas, dapat kita katakan bahwa perkebunan sawit adalah
subsektor potensial yang dapat memberi sumbangsih yang berarti bagi pembangunan
negara melalui pemungutan pendapatan negara berupa pajak pertambahan nilai, pajak

penghasilan dan bea ekspor CPO.
Oleh sebab itu dalam rangka mewujudkan sumbangsih , negara dalam operasional
administratifnya telah menetapkan beberapa peraturan (regeling) sebagai instrumen
pengaturannya yaitu :
a. mengenai perpajakan seperti UU no. 18 Tahun 2000 mengenai pajak
pertambahan nilai secara yang belaku juga bagi komoditas hasil perkebunan
kelapa sawit, yang secara spesifik diatur melalui SE Dirjen Pajak No. SE02/PJK/01 yang memasukkan hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan
sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN.
b. Selanjutnya ada juga peraturan perpajakan umum yakni Pajak Penghasilan (PPh
badan ataupun perorangan) yang dikenakan juga kepada para pelaku industri
perkebunan berbadan hukum ataupun perseorangan, sesuai dengan UU no. 7
tahun 1983 dan perubahan-perubahan terkininya dalam UU no. 36 tahun 2008
mengenai Pajak Penghasilan.
c. Kemudian, pendapatan negara dari komoditas kelapa sawit dan turunannya juga
dikenakan bea ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
136/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012
Selain daripada pungutan-pungutan yang tujuannya adalah membantu pendapatan negara
untuk tujuan pembangunan nasional tersebut, pemerintah juga kemudian menetapkan
pungutan lain yang sifatnya spesifik bagi industri kelapa sawit yakni PP no. 24 Tahun 2015

tentang yang merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 93 UU no.39 Tahun
2014 tentang perkebunan. Semangat daripada diberlakukannya pungutan ini tertuang dalam
pasal 2 PP no. 24 Tahun 2015, yaitu untuk :

a. menyediakan Dana bagi pengembangan Usaha Perkebunan yang berkelanjutan;
b. meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Perkebunan;
c. mendorong pengembangan industri hilir Perkebunan;
d. meningkatkan optimasi penggunaan hasil Perkebunan untuk bahan baku industri,
energi terbarukan, dan ekspor;
e. meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan Usaha Perkebunan dengan
mengoptimalkan harga ditengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan
f.

mendukung

upaya

peningkatan

kesejahteraan


dan

keberlanjutan

Pekebun/Perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia.
Sebagaimana telah dipaparkan pada alinea-alinea sebelumnya, penulis berpendapat bahwa
pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat) dalam fungsi administratif penyelengaraan
negara telah menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan ( wet en regeling)
pada sektor industri kelapa sawit dengan tujuan-tujuan utama sebagai berikut :
1. Mengamankan

penerimaan

negara

dari

industri


kelapa

sawit

agar

dapat

dimanfaatkan untuk pembangunan nasional secara menyeluruh
2. Pengumpulan dana dari industri kelapa sawit yang oleh pemerintah akan disalurkan
untuk program-program pembangunan yang secara spesifik berkaitan dengan
penguatan industri kelapa sawit.
Oleh karena besarnya kontribusi industri kelapa sawit bagi ekonomi nasional, penulis
berpendapat bahwa tindakan administratif negara – melalui instrumen perundangan (wet en
regeling)- untuk mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia melalui penerimaan negara
dari

industri

kelapa


sawit

untuk

pembangunan

nasional

dan

upaya

konservasi

kesinambungan industri kelapa sawit sebagai salah satu sektor industri yang berkontribusi
besar terhadap ekonomi negara, adalah suatu tindakan administratif negara dalam
subsistem hukum administrasi negara berupa hukum-hukum yang mengatur pendapatan
negara (salah satunya undang-undang perpajakan). Peraturan perundangan yang demikian
itu tentunya termasuk dalam ranah kebijakan fiskal nasional negara.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan sistem otonomi daerah yang diterapkan oleh
Indonesia, pembagian urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dijabarkan
dalam Pasal 10 ayat 3 poin (e) UU no.32 Tahun 2004 menempatkan kebijakan moneter dan
fiskal nasional sebagai kewenangan pemerintah pusat. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
dalam penerapan peraturan perundangan perihal pungutan penerimaan negara dari objek

hasil industri kelapa sawit oleh pemerintah pusat adalah bagian dari wewenang pemerintah
pusat dalam kebijakan fiskal nasional.
Namun demikian, dalam prakteknya penulis menemukan pungutan dari hasil industri kelapa
sawit tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Reformasi dibidang otonomi daerah
ternyata juga membawa pengaruh terhadap sistem pemungutan pendapatan negara dari
industri kelapa sawit.
Di beberapa daerah, pemerintah daerah melalui kewenangan legislasi yang melekat dengan
kewenangan otonominya, kemudian menafsirkan wewenang pengambilan kebijakan
mengenai pemungutan pendapatan daerah berupa pajak daerah,retribusi-retribusi, dan PAD
lainnya yang diatur didalam UU no 33 Tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan pusat
dan daerah, sebagai suatu landasan hukum untuk mengeluarkan Perda yang menargetkan
hasil industri perkebunan kelapa sawit (TBS Sawit) sebagai objek pajak daerah dan
retribusi-retribusi lainnya.
Beberapa contoh yang dapat penulis temukan adalah :
1. Perda Kabupaten Bangka No. 25 Tahun 2001 tentang Pajak Tandan Buah Segar,
dengan ketentuan tarif pajak sebesar 1,5 %
2. SK Bupati Bangka No. 09 Tahun 2001 tentang Penerimaan Sumbangan dari
Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit, yakni sebesar Rp 100 juta untuk Tahun 2001,
Rp 200 juta untuk Tahun 2002, dan berdasarkan musyawarah kedua pihak
(pengusaha dan pemda) untuk tahun-tahun berikutnya (Pasal 2)
3. Perda Kabupaten Labuan Batu No.35 Thn 2002 tentang Perizinan Usaha
Perkebunan, dimana para pelaku usaha di bidang usaha budidaya perkebunan
(dengan luas lahan minimal 25 ha) maupun usaha industri perkebunan wajib memiliki
Ijin Usaha Perkebunan (IUP), dengan kewajiban membayar retribusi dengan besaran
tarif adalah: usaha budidaya perkebunan Rp 5.000/ha, Daftar ulang izin Rp2.500/ha,
Izin usaha industri perkebunan: untuk pabrik minyak kelapa sawit Rp 1-4,5 juta);
untuk pabrik pengolahan karet (Rp 1-3 juta); dan untuk pabrik pengolahan kakao (Rp
1-2 juta). Pematokan tarifnya berdasarkan bobot kapasitas terpasang per hari. Selain
itu diluar kewajiban membayar retribusi di atas, orang pribadi/badan usaha
dikenakan kewajiban menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi
sekitarnya (community development/CD).
4. Keputusan Bupati Kolaka No.222 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Keputusan
Bupati Kolaka Nomor 74 Tahun 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Retribusi
Pengeluaran Hasil Pertanian. Dalam SK tersebut, besarnya retribusi yang dikenakan

diperhitungkan sebagai persentase dari harga per unit jual (Kilogram) komoditas
yang dimaksud
Perda-perda tersebut diatas secara langsung berakibat adanya pungutan ganda (double
taxation) bagi pelaku industri kelapa sawit, sebab objek daripada pungutan yang ditargetkan
oleh pemerintah daerah terkait adalah objek yang sama yang telah ditargetkan pemerintah
pusat sebagi objek pemungutan pemerintah pusat melalui PPN, PPh, Bea Ekspor, dan
Penghimpunan dana perkebunan.
Penulis berpendapat bahwa fenomena perda-perda tersebut adalah suatu bentuk terjadinya
overlapping antar peraturan perundangan dalam tatanan hukum administrasi negara
Indonesia. Overlapping ini memiliki dampak yuridis berupa inkonsistensi hukum yang akan
mempersulit efektivitas penyelengaraan administrasi negara dan dampak sosial yaitu
terciderainya hak masyarakat akan kepastian hukum dan pembebanan biaya pembangunan
nasional yang tidak proporsional terhadap sekelompok masyarakat (dalam hal ini pelaku
industri kelapa sawit). Adapun implikasi-implikasi tersebut akan penulis coba jabarkan lebih
lanjut dalam bagian selanjutnya dari makalah ini.
B. Analisis implikasi contoh kasus secara yuridis dan dampak ekonomi bagi pelaku
industri sawit
Penulis berpendapat bahwa secara yuridis, perda-perda pada contoh kasus diatas
sebenarnya bertentangan dengan beberapa undang-undang yang secara hierarki
perundangan di Indonesia lebih tinggi kedudukannya dari Perda. Sebagaimana yang telah
dijabarkan dalam UU no. 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat 1, hirearki perundangan di Indonesia
adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

UUD 1945
Ketetapan MPR
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dengan demikian berdasarkan strata perundangan tersebut, maka sebenarnya Perda yang
menargetkan hasil perkebunan kelapa sawit (TBS Sawit) secara langsung bertentangan
dengan :
a. Pasal 10 ayat 3 poin (3) UU no. 32 Tahun 2004 mengenai wewenang pemerintah
pusat akan kebijakan fiskal nasional (khususnya dalam bidang perpajakan
sebagia bagian dari kebijakan fiskal pemerintah), sebagaimana diatur oleh

pemerintah dalam ketentuan pasal 4A ayat 2 UU No.18 Tahun 2000 (yang
mengatur ihwal Pajak Pertambahan Nilai) serta penegasannya melalui SE Dirjen
Pajak No. SE-02/PJK/01, UU no. 7 tahun 1983 dan perubahan-perubahan
terkininya dalam UU no. 36 tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, dan
Peraturan Menteri Keuangan 136/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 mengenai bea
ekspor CPO (sebagai produk turunan hasil perkebunan kelapa sawit)
b. Pasal 2 ayat (2) UU no. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang
tidak memasukan TBS sebagai bagian dari jenis-jenis pajak kabupaten atau kota.
c. Pasal 2 ayat (2) poin (d), (f) dan (g) UU no.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah yang melarang pemerintah daerah membentuk Perda pajak
daerah yang sudah menjadi objek pajak pemerintah pusat, memberikan dampak
ekonomi negatif dan tidak sesuai dengan aspek keadilan dan kemampuan
masyarakat. Pada intinya Perda-perda tersbut adalah suatu bentuk double
taxation karena membebani objek pajak yang telah dipajak oleh pemerintah
pusat sehingga jelas-jelas bertentangan dengan poin (d), dan mengakibatkan
meningkatnya beban biaya industri kelapa sawit yang berakibat negatif bagi
perekonomian masyarakat pelaku pekebuanan kelapa sawit – sehingga
bertentangan juga dengan poin (f) dan (g).
d. Pasal 7 ayat (1) UU no. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang melarang pemerintah daerah
menetapkan pemerintah daerah menetapkan Perda yang mengakibatkan
ekonomi biaya tinggi. Sedangkan double taxation adalah salah satu elemen dari
ekonomi biaya tinggi.
Selain daripada implikasi yuridis yang telah dijabarkan dalam alinea sebelumnya, praktek
double taxation ini jelas akan berdampak negatif bagi perekonomian pelaku perkebunan
kelapa sawit, terutama bagi para pemodal kecil dan petani sawit swadaya (Perkebunan
Rakyat). Adapun penyebabnya adalah :
a. Sebagai akibat dari praktek Perda yang menjadikan TBS sebagai objek sumber
PAD (Pendapatan Asli Daerah) baik dalam bentuk pajak daerah ataupun retribusi
daerah, para petani sawit adalah pihak yang menanggung beban pungutan
pemerintah yang terlalu beragam. Selain PPN dan PPh yang umumnya telah
dipotong langsung oleh pabrik CPO pada saat terjadinya transaksi penjualan,
pendapatan petani semakin dikecilkan dengan adanya pemungutan sesuai
Perda-Perda tersebut. Perlu dicatat bahwa pemotongan-pemotongan tersebut
sangat membebani petani karena menyasar pendapatan petani dan bukan
keuntungannya. Hal ini sebagai disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :



Pemotongan PPN TBS oleh pihak pabrik CPO sebenarnya sudah sesuai
dengan sistem perpajakan, dimana kemudian petani seharusnya bisa
meng-offset PPN penjualan mereka dengan PPN yang telah mereka
bayarkan pada pembelian material-material pendukung usaha (pupuk,
alat-alat pengolahan lahan, alat perlengkapan perkebunan, dll) pada saat
melaporkan SPT. Namun pada kenyataan dilapangan, banyak petani
sawit plasma dan swadaya (perkebunan rakyat) yang masih belum
mengerti tata cara sistem perpajakan, atau bahkan belum terdaftar
sebagai wajib pajak, sehingga beban PPN yang mereka tanggung



menjadi lebih besar daripada yang seharusnya mereka bayarkan.
Perhitungan pemotongan Perda-Perda tersebut tidak menyasar
persentase dari keuntungan petani, tapi dari volume penjualan total
ataupun harga penjualan per unit. Hal ini berarti Perda-perda ini sangat
memberatkan karena tidak memperhitungkan faktor biaya yang harus

dikeluarkan para petani sawit dalam menjalankan usahanya
b. Belum lengkapnya atau bahkan belum adanya produk hukum yang mengatur tata
niaga sawit, khususnya mekanisme penetapan harga berdasarkan ambang batas
minimum harga TBS kelapa sawit bagi para petani sawit plasma dan swadaya,
berarti para petani sawit adalah pihak yang paling terkspos terhadap
ketidakpastian (volatility) harga komoditas TBS. Penyebab-penyebab utamanya
antara lain adalah volatilitas harga CPO di pasar dunia dan regulasi pemerintah
mengenai bea ekspor CPO dan penghimpunan dana perkebunan yang
dibebankan kepada eksportir CPO, kedua faktor ini akan mengakibatkan para
pelaku industri produksi CPO menekan biaya produksi dengan jalan menekan
harga pembelian bahan baku (TBS Kelapa Sawit). Praktek “efisiensi biaya” yang
dilakukan oleh pabrik CPO yang tidak dibatasi oleh produk hukum tata niaga
sawit yang berpihak kepada para petani sawit mengakibatkan sering terjadinya
pemangkasan harga yang membuat petani sawit merugi. Dengan demikian
pemotongan oleh Perda-Perda yang memotong pendapatan dan bukan
keuntungan, semakin memperparah kondisi petani yang kemungkinan besar
sudah merugi akibat harga jual yang tidak memadai.
c. Perlu dicermati juga bahwa penyaluran pungutan-pungutan pemerintah pusat
dan

daerah

tersebut

belum

pembangunan-pembangunan

dapat

secara

infrastruktur

optimal

pendukung

disalurkan
industri

kepada

perkebunan

kelapa sawit yang dapat mengurangi beban biaya produksi petani sawit. Contoh
yang paling jelas terlihat adalah masih belum memadainya infrastruktur
transportasi pengangkutan hasil bumi yang mengakibatkan tingginya beban

biaya pengangkutan TBS kelapa sawit yang harus ditanggung petani kelapa
sawit
Dari ketiga analisis dampak ekonomi yang telah penulis sampaikan bahwa jelaslah produkproduk peraturan pusat dan daerah yang tumpang tindih telah mengakibatkan double
taxation yang membebani perekonomian masyarakat petani kelapa sawit, pungutan
pemerintah yang beragam dari mulai tingkat pusat sampai dengan daerah telah
menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi bagi para petani sawit. Hal ini sangat
berpotensi menghambat bahkan membahayakan kelangsungan industri perkebunan kelapa
sawit di Indonesia, suatu hal yang sangat disayangkan, mengingat sektor ini adalah salah
satu kontributor terbesar bagi PDB Indonesia.
Dalam bagian selanjutnya, dalam rangka mengkaji permasalahan ini sebagai suatu masalah
administratif akitivitas penyelengaraan negara, penulis akan menganalisa contoh kasus ini
dalam persepektif ilmu hukum administrasi negara. Penulis akan mencoba membahas
permasalahan ini dari perspektif teoritis prinsip-prinsip ilmu hukum administrasi negara yang
harusnya melandasi kegitatan wet en regeling pemerintah dalam contoh kasus yang telah
diuraikan sebelumnya dan kesalahan pelaksanaan kegiatan tersebut secara dari sudut
pandang ilmu hukum admnistrasi negara.
C. Analisis contoh kasus terhadap teori-teori Hukum Administrasi Negara
Setiap negara di dunia ini pasti memiliki tujuan dibentuknya negara. Terlepas dari apapun
tujuannya, suatu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa demi tercapainya tujuan negara
tersebut, maka pemerintah sebagai organ fungsional negara yang oleh masyarakat
diberikan mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan membutuhkan suatu instrumen
yang mengatur segala aktivitas pemerintahan/administrasi negara dalam mencapai tujuan
tersebut – instrumen inilah yang dapat kita sebut sebagai sistem hukum administrasi negara
(bestuurecht). Namun apakah sebenarnya definisi dari instrumen tersebut dan apakah ruang
lingkupnya ?
Untuk lebih jelasnya, Dr. Ridwan HR menjelaskan definisi dari hukum administrasi negara
dengan mengutip pendapat R.J.M Huisman sebagai berikut : “Om tot een goede definitie te
komen van de term “bestuurrecht”, moet allerest vasgesteld worden dat het bestuurecht
deel uitmaakt van he publiekrecht, dat wil zeggen van het recht, dat het optreden van de
operheid en de verhouding tussen overheid en burgeres of tussen overheidsorganen
onderling regelt...Dat het bestuurecht het geheel van regels omvat met betrekking tot de
wijze waarop de bestuurorganen hun taak vervullen” yang apabila diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia berarti “Untuk menemukan definisi yang baik mengenai istilah Hukum

Administrasi Negara, pertama-tama harus ditetapkan bahwa Hukum Administrasi Negara
merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan
mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan antar organ
pemerintahan...Hukum administrasi negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan
dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya (Ridwan, 2014).
Berdasarkan kutipan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa hukum administrasi negara
adalah

suatu

kumpulan

menyelenggarakan

administrasi

Selanjutnya, dalam konteks
kalimat

peraturan

“keseluruhan

yang

mengatur

negara demi

tindakan

tercapainya

pemerintah

dalam

tujuan negara tersebut.

ruang lingkup hukum administrasi, kutipan diatas memuat

peraturan

yang

berkenaan

dengan

cara

bagaimana

organ

pemerintahan melaksanakan tugasnya”, penulis menyimpulkan bahwa dengan demikian
ruang lingkup dari hukum administrasi negara bisa saja luas namun bisa saja sangat
terbatas, tergantung kepada tugas dan peran negara yang telah digariskan dalam tujuan
pendirian suatu negara.
Dengan demikian jika kita kaitkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kegiatan
administrasi negara pemerintah ditentukan oleh tugas apakah yang diemban oleh
Pemerintah Indonesia ? Secara umum tugas pemerintah Indonesia dapat dijabarkan
sebagai tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea keempat konstitusi negara republik Indonesia (UUD 1945) khususnya pada kalimat
“memajukan kesejahteraan umum”. Dengan demikian peran dan tugas pemerintah
Indonesia adalah mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurzorg) melalui kegiatan
administrasi pemerintahan. Selanjutnya konstitusi Indonesia (UUD 1945) dalam pasal 1 ayat
(3) mengatur bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat), ini berimplikasi
bahwa setiap penyelengaraan kegiatan administrasi pemerintahan Indonesia selain
bertujuan untuk mengupayakan kesejahteraan umum namun juga haruslah berdasarkan
pada hukum yang berlaku (wetmahtige van bestuur). Hukum

yang mengatur kegiatan

adminstrasi pemerintah Indonesia inilah yang kita kenal sebagai Hukum Administrasi Negara
Indonesia.
Hukum Administrasi Negara Indonesia pada hakikatnya memiliki ruang lingkup peraturan
yang cukup luas. Hal ini sesuai dengan bentuk negara Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang materiil, yang sosial, dan yang dibentuk untuk kesejahteraan umum,
atau yang secara singkat di sebut oleh Bung Hatta sebagai Verzorgingstaat atau negara
pengurus.
Oleh karena perannya sebagai “pengurus” maka sudah sewajarnya hubungan pemerintah
Indonesia dengan warga negaranya mencakup berbagai sendi kehidupan masyarakat. Hal

ini dimaksudkan sebagai bentuk peran pemerintah untuk memastikan tujuan “Memajukan
kesejahteraan umum” dapat tercapai. Sehingga dengan demikian Hukum Administrasi
Negara Indonesia pada perkembangannya, selain mencakup Hukum Administrasi Negara
Umum (algemeen deel) yang merupakan peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip umum
tata administrasi negara yang tidak terikat kepada bidang tertentu, juga mencakup Hukum
Administrasi Khusus (bijzonder deel) yang secara spesifik mengatur bidang-bidang tertentu
seperti tata ruang, pertanahan, kepegawaian, perpajakan, pendidikan, pertambangan dan
sebagainya (Ridwan, 2014).
Melihat banyaknya ruang lingkup dari Hukum Administrasi Negara di Indonesia, penulis
berpendapat bahwa sesungguhnya Hukum Administrasi Negara di Indonesia adalah suatu
tatanan dari kaidah-kaidah hukum dari berbagai bidang yang terkait dengan pencapaian
tujuan negara, sehingga sangat pantas disebut sebagai suatu sistem. Suatu sistem memiliki
sembilan sifat yang integral sebagaimana dijabarkan oleh Yos Johan Utama sebagai berikut
(Y.J. Utama,2014):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mempunyai tujuan
Mempunyai batas-batas sistem
Bersifat terbuka, walau dalam beberapa hal dapat bersifat tertutup
Terdiri dari beberapa bagian/subsistem
Mempunya sifat wholism atau terpadu
Saling terhubung
Melakukan kegiatan transformasi
Terdapat mekanisme kontrol
Mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri

Dari kesembilan sifat sistem tersebut, dalam kaitannya dengan asumsi Hukum Administrasi
Negara sebagai sebuah sistem dan contoh kasus pada makalah ini, penulis menggaris
hendak menggaris bawahi sifat sistem poin ke-5 dan ke-8.
Penulis berpendapat bahwa agar sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia dapat
berhasil dalam fungsinya sebagai instrumen pencapaian tujuan negara oleh pemerintah,
maka sudah semestinya subsistem-subsistem hukum yang merupakan produk dari kegiatan
pembuatan peraturan negara (regeling) haruslah berfungsi secara terpadu. Untuk menjamin
keterpaduan produk-produk peraturan ini maka diperlukan suatu sistem kontrol yang
melandasi tata cara pembuatan peraturan-peraturan tersebut, khususnya dibidang hirearkhi
peraturan. Penulis berpendapat bahwa hal ini sangat krusial, sebab keterpaduan berarti
adanya konsistensi, dan konsistensi berarti adanya suatu peraturan dasar yang menjadi
sumber bagi pembentukan peraturan-peraturan yang dibawahinya, jika peraturan-peraturan
yang dibawahinya kemudian bertentangan dengan peraturan dasar maka dapat dipastikan

sistem tersebut tidak akan menjadi kacau balau dan akan gagal dalam fungsinya untuk
memenuhi tujuan negara.
Secara teoritis, mekanisme kontrol hirearki sistem dikemukakan oleh Hans Nawiasky dalam
4 kategori utama, dengan urutan sebagai berikut :
1. Staatsfundamentalnorm yang adalah sumber dan dasar bagi pembentukan konstitusi
atau undang-undang dasar, yaitu bagi NKRI adalah Pembukaan UUD 1945 dan
Pancasila
2. Staatsgrundgesetz yang adalah aturan dasar negara atau konstitusi, yaitu bagi NKRI
adalah batang tubuh UUD 1945
3. Formell Gesetz yang adalah norma hukum negara yang dibentuk oleh kekuasaan
legislatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. Verordnung dan Autonome Satzung : Verordnung adalah peraturan pelaksanaan
yang dibentuk oleh organ pemerintahan dalam konteks pelaksanaan Formell Gesetz,
sementara Autonome Satzung adalah peraturan daerah yang bersumber kepada
wewenang otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah
Penulis Inti daripada teori Hans Nawiasky tersebut adalah menjamin uniformitas dan
konsistensi norma hukum agar pengejewantahan semangat pembentukan negara tidak
hilang dalam pelaksanaan kegiatan administrasi negara berupa regeling oleh
pemerintah, sehingga mekanisme kontrol sistem hukum ini sangat penting diterapkan
dalam kegiatan regeling pemerintah dalam konteks sistem hukum Administrasi Negara.
Pendapat penulis ini diperkuat oleh fakta bahwa teori ini dipositifkan sebagai
perundangan oleh pemerintah dalam UU no. 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat 1 yang
mengatur hirearki perundangan di Indonesia.
Jika kita telaah kembali contoh kasus yang penulis angkat pada makalah ini, maka
fenomena double taxation dan implikasi-implikasi yuridisnya (sebagaimana telah penulis
jabarkan dalam bagian sebelumnya) adalah suatu bentuk gamblang permasalahan
hukum administrasi negara yang serius, dimana telah tercipta suatu kondisi dimana
terdapat peraturan perundangan yang saling berlawanan antara hirearki yang lebih
rendah kepada hirearki yang lebih tinggi.
Fenomena ini juga jelas-jelas telah menyalahi Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AUPB) di Indonesia sebagai panduan dasar pelaksanaan sistem Hukum Administrasi
Negara di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU no. 28 tahun 1999. Dalam pasal 3
UU no.28 tahun 2009 menyebutkan asas kepastian hukum sebagi salah satu asas
umum penyelengaraan negara. Asas kepastian hukum dalam suatu negara hukum
(rechstaat) dapat dikatakan sebagai asas yang utama dalam kegiatan administrasi

negara sebuah negara, sebab Bagaimanakah sebuah negara dapat dikatakan sebagai
negara hukum, apabila asas kepastian hukum tidak dapat ditegakkan didalamnya ?
Bagian 3
Kesimpulan dan Saran
Dengan adanya tumpang tindih peraturan perundangan yang jelas menginjak asas
kepastian hukum seperti yang terjadi pada contoh kasus yang telah penulis jabarkan
diatas, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem Hukum Administrasi Negara untuk
mencapai cita-cita konsitusi, yaitu Negara Indonesia sebagai Negara Hukum telah
dihambat oleh adanya Perda-Perda yang tidak sesuai dengan asas kepastian hukum.
Kemudian, kejadian tumpang tindih peraturan tersebut, sebagaimana yang telah penulis
jabarkan pada bagian yang terdahulu, juga membawa dampak yang ekonomi yang
negatif bagi masyarakat luas; sehingga pada prinsipnya juga menggagalkan fungsi
sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia sebagai instrumen pemerintahan
Indonesia untuk mencapai tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan ekonomi.
Hal-hal tersebut adalah permasalahan Hukum Administratif Negara Indonesia yang
sifatnya sistemik dan perlu segera ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai
organ-organ utama penyelenggara kegiatan administrasi negara.
Penulis berpendapat ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya
tumpang tindih peraturan seperti yang terjadi dalam contoh kasus diatas, penulis dalam
kesimpulan dan saran mengompilasi faktor-faktor tersebut dan saran solusi bagi
penyelesaian faktor permasalahan sebagai berikut :
1. Reformasi kebijakan terhadap otonomi daerah yang diatur dalam UU no.32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 33 tahun 2004 mengenai
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah masih belum secara
lengkap dan jelas mengatur kewenangan pemungutan penerimaan daerah
beberapa bidang (khususnya sektor agribisnis), sehingga menimbulkan grey
area

yang berpotensi menyebabkan tumpang tindihnya peraturan pusat dan

daerah. Oleh sebab itu jika perlu maka Undang-Undang tersebut perlu ditambah
dan dirubah agar menghilangkan celah-celah yang memungkinkan terjadinya
tumpang tindih peraturan perundangan.
2. Masih kurangnya penghargaan pemerintah terhadap asas kepastian hukum dan
prinsip keadilan, dalam contoh kasus ini khususnya dalam hukum perpajakan
dan hukum keuangan negara. Penekanan yang terlalu berat kepada peningkatan

pendapatan negara baik di pusat maupun di daerah, menyebabkan beragamnya
pungutan yang dibebankan kepada sektor-sektor ekonomi unggulan. Penulis
menyadari bahwa pungutan negara merupakan salah satu pilar pembangunan
nasional, namun pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengawasi dan
memperhitungkan distribusi pembebanan biaya pembangunan sehingga jangan
sampai pembebanan biaya pembangunan yang berlebihan pada satu sektor
yang kemudian berpotensi menghambat pertumbuhan bahkan mematikan sektorsektor ekonomi yang sebenarnya berpotensi memberikan kontribusi besar bagi
kesejahteraan masyarakat banyak.
3. Masih lemahnya pengaplikasian intstrumen yuridis pemerintah dalam konteks
perencanaan (hetplan) yang berkaitan pembetukan peraturan perundangundangan yang harmonis antar hirearki perundangan. Penetapan Rencana
Pembangunan Daerah oleh Pemerintah Daerah seringkali masih belum sinkron
dengan Rencana Pembangunan Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat, hal ini tentu saja membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya
tumpang tindih peraturan. Dalam hal ini, kerjasama antara DPD, sebagai
perwakilan daerah

ditingkat pemerintah pusat, dengan Kepala Daerah dan

DPRD harus lebih diefektifkan dan diintensifkan, dengan harapan bisa
disinkronkannya rencana pembangunan nasional dan daerah
4. Masih kurang efektifnya fungsi pengawasan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah, dalam hal ini terhadap Perda-Perda jelas-jelas bertentangan
dengan Undang-Undang, pemerintah pusat (dalam hal ini kementrian dalam
negeri sebagai pemangku ortoritas) harus lebih giat lagi menjalankan
kewenangan pengawasan represifnya untuk merevisi atau membatalkan PerdaPerda yang terbukti tumpang tindih dengan Undang-Undang.
Demikianlah, kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan sesuai dengan
pengetahuan dan pemahaman penulis yang masih sangat terbatas mengenai ilmu Hukum
Administrasi Negara dan subsistem-subsistem hukum yang berada dalam ruang lingkupnya.
Penulis mohon bimbingan dan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang pasti terdapat dalam
penulisan makalah ini, dan akhirnya penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
bagi dosen pengampu yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis makalah
ini sebagai sarana pembelajaran dan peningkatan pengetahuan penulis dalam mata kuliah
Hukum Administrasi Negara.

Daftar Referensi

Yos Johan Utama, Hukum Administrasi Negara. Penerbit UT, 2014
Dr. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pres, 2014
Dr. A. Rosyid Al Atok., MH, Konsep Pembentukan Peraturan Perudangan, Setara
Press,2015
KPPOD, Potret Permasalahan Perda Perkebunan, www.kppod.org
Portal berita daring www.empatpilarmpr.com
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia no. 32 Tahun 2004
Undang-Undang Republik Indonesia no. 33 Tahun 2004
Undang-Undang Republik Indonesia no. 12 Tahun 2011
Undang-Undang Republik Indonesia no. 34 Tahun 2000
Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 Tahun 2009
Undang-Undang Republik Indonesia no. 18 Tahun 2000
Undang-Undang Republik Indonesia no. 36 Tahun 2008