Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif da

Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif
dalam konteks Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia
Oleh: Listiyono Santoso1
Abstrak
Pemahaman manusia terhadap agama memililki pengaruh penting dalam sikap
dan perilaku kehidupannya. Konstruksi pemahaman keagamaan juga erat
kaitannya dengan pilihan ideologis penganut umat beragama. Ada dua sikap
dalam memahami agama, yakni eksklusif (tertutup) dan inklusif (terbuka). Dua
sikap ini membawa pengaruh dalam bagaimana meletakkan agama dalam
konteks kehidupan kongkrit. Dalam konteks, kebangsaan Indonesia yang plural
dan majemuk, pilihan pemahaman keagamaan berkontribusi bagi ada tidaknya
penghargaan umat terhadap berbagai perbedaan yang ada. Nalar agama yang
terbuka (inklusif) banyak menjadi pilihan dalam rangka memberikan makna
agama dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan.
Kata Kunci: agama, konstruksi, keindonesiaan, dan kemanusiaan
Pengantar
Lima tahun lebih negeri ini terperangkap dalam jeratan krisis multidimensi.
Krisis yang telah medegradasikan secara menyeluruh kualitas hidup bangsa, tanpa
ada kepastian kapan akan berakhir. Ironisnya, menurut Musa Asy‟arie 2 jeratan itu
makin kencang, karena ternyata kita tetap didera oleh berbagai konflik kekerasan
antar kelompok dan etnis dan juga „agama‟ (dimensi SARA; Suku, Agama, Ras,

Antar-Golongan), yang meminta korban sangat besar, baik harta, nyawa, harga diri
maupun semangat hidup.
Disadari bahwa konflik-konflik berdimensikan SARA tersebut tidak saja sulit
diredakan secara tuntas. Berbagai upaya penyelesaian konflik yang berdimensikan
SARA selalu saja menyisakan berbagai endapan masalah. Alih-alih dapat
dihentikan, justru semakin memberikan bukti bahwa keragaman yang seharusnya
bermakna sebagai uniting factor (factor pemersatu) ternyata lebih mengedepan
warna deviding factor (factor pemisah). Keragaman kebudayaan bangsa ini dalam
kenyataannya memiliki potensi konflik. Keragaman kebudayaan menjadi ibarat
„bakal janin‟ yang bayinya adalah (fenomena) konfliktual.

1

Penulis adalah Staf Pengajar Etika dan Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

2

Kompas, 4/4/2001
1


Fenomena konfliktual tersebut seolah menjadi realitas dalam kehidupan
berbangsa kita. Tidak saja sulit dihentikan melainkan semakin meluas dan sanggup
meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan kita. Belum selesai
tragedi Ambon, Papua, Aceh serta Sambas, kini telah muncul lagi konflik di Poso
dengan katalisator yang seolah sama, yaitu SARA. Hal ini menunjukkan betapa
peristiwa konflik awal seperti di Ambon, tidak dianggap sebagai pengalaman buram
untuk segera ditinggalkan, tetapi malah menjadi inspirasi lahirnya peristiwaperistiwa serupa di tempat lain.
Kekerasan demi kekerasan tidak kunjung selesai. Ironisnya, kekerasan di
negeri ini penuh dengan keterlibatan-keterlibatan ornamen kebudayaan juga
agama, baik berupa lambang-lambang bahasa untuk menyemangati kobaran
„perang‟, maupun berupa barang-barang fisik seperti pakaian dan atribut khas
kelompok umat beragama ataupun identitas kebudayaan lain. Ornamen-ornamen
itu, yang semula sakral, sejuk, dan mengesankan kedamaian, berubah kesannya
menjadi profan, panas, ganas, dan bernuansa permusuhan 3 (Benny Susetyo,
Kompas, 16/11/2001). Itu baru lambang-lambang. Soal lain, seperti sikap, tingkah
laku nyata dan juga relasi antar agama maupun budaya –tidak terkatakan- juga
telah berkembang menjadi katalisator permusuhan.
Hampir dapat dipastikan, negeri yang terdiri dari ribuan kebudayaan dan
ratusan bahasa ini adalah negeri yang „belum selesai‟ berproses menjadi sebuah
bangsa. Sebuah bangsa yang di dalamnya hidup berbagai kebudayaan, etnisitas,

suku, bahasa dan agama. Realitas keragaman ini menjadi karakteristik bagi negeri
ini untuk mengukuhkan identitas kulturalnya sebagai negara bangsa. Sebagai
bangsa yang menjadi „ruang‟ bagi hidup dan berkembangnya kebersamaan dalam
keragaman. Inilah kesadaran multicultural. Kesadaran yang tidak cukup hanya
berbekal

pada

multikutural..

pengetahuan
Kesadaran

bahwa

ini

masyarakat

menuntut


kita

pemahaman

memang

masyarakat

mendasar

bahwa

multiculturalisme adalah keniscayaan keindahan peradaban. Kesadaran ini tidak
serta merta dilahirkan, melainkan seharus diciptakan melalui berbagai dialog

3

Benny Susetyo, Kompas, 16/11/2001
2


dalam keterbukaan. Faktor pendidikan tampaknya menjadi salah satu alat
potensial bagi upaya memberikan kesadaran multikultural bagi masyarakat.
Mengelola Multikultural: Dari Konfrontasi ke Dialog
Fenomena konfliktual yang melanda negeri ini, dalam banyak hal sering
mengedepankan berbagai bentuk perbedaan budaya dan agama (baca: SARA)
sebagai salah satu penyebabnya. Konflik yang berdimensikan SARA tersebut, sejak
beberapa tahun belakangan telah cukup mengubah citra negeri ini secara
mendasar. Kebanggaan atas citra sebagai negeri yang sanggup mengelola berbagai
perbedaan; dari soal budaya sampai agama, menjadi faktor utama integrasi
bangsa, kini mulai mengalami pergeseran. Semangat bertanah air satu tanah
Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa
Indonesia, yang sejak tahun 1928 dipancangkan sebagai simcol nasionalisme, satu
persatu dipertanyakan keampuhannya.
Dalam konteks kehidupan kebangsaan, konflik atas nama SARA adalah
representasi dari kegagalan kita untuk mengelola pluralitas menjadi kekuatan
(uniting factor) integrasi bangsa. Apa yang terjadi di beberapa daerah konflik
sesungguhnya mencerminkan betapa pluralitas tidak lagi sebagai uniting factor
melainkan telah menjadi deviding factor (faktor pemisah). Padahal keragaman
kebudayaan dan agama merupakan situasi khas dan unik, yang menambah mozaik

kebangsaan ini menjadi lebih menarik untuk dinikmati.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam ideologi negara merupakan bukti betapa
bangsa ini sangat menghargai tumbuh kembangnya keragaman kebudayaan dan
agama. Indonesia, melalui prinsip tersebut, adalah ruang yang kondusif untuk
hidup berdampingan secara damai dan terjalinnya relasi yang saling menghargai
satu sama lain berbagai bentuk pluralitas. Tapi, konflik-konflik bernuansakan SARA
telah membuat „ruang‟ tersebut menjadi tempat yang menakutkan, karena
dipenuhi dengan berbagai „ancaman‟ dan kebencian satu sama lain. Ia telah
menjadi „ruang‟ untuk slaing mencurigai, memusuhi dan membenci segala sesuatu
yang berbeda dengan „kita‟ (baca: identitas masing-masing).
Realitas ini jelas menakutkan dan mencemaskan kehidupan kebangsaan kita.
Fenomena tersebut menjadi sebuah ancaman serius dalam penguatan identitas

3

kebangsaan masa depan, karena basis utama dari konstruksi kebangsaan ini, justru
dikembangkan dari adanya pluralitas. Menurut Th. Sumartana4, basis paling dasar
dari kehidupan bangsa Indonesia terletak pada SARA. SARA adalah biji (seed) atau
benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Di manapun kita mencari identitas asli
bangsa ini, akan bertemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku,

komunitas agama, kepelbagaian ras dan pluralisme dari golongan-golongan profeso,
ideologi, kelas-kelas ekonomi, dan lain-lain, yang beranekaragam.
Pengelolaan atas keragaman budaya (multikultural) kemudian menjadi
prasyarat

bagi penguatan identitas kebangsaan secara lebih kondusif. Artinya,

apakah identitas kebangsaan dapat dipertahankan atau tidak sangat tergantung
atas pengelolaan keragaman yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Pengelolaan tersebut tidak hanya terletak pada kepentingan negara (state),
melainkan juga harus menjadi tanggungjawab (kepentingan) masyarakat (society).
Hal ini berkaitan dengan suatu kenyataan, betapa konflik-konflik yang berdasarkan
latarbelakang keragaman, seringkali terjadi secara rigid dalam masyarakat yang
majemuk, yang tidak memiliki kesadaran atas pluralitas tersebut. Ketidaksadaran
tersebut menjadikan masyarakat (golongan) yang satu akan menganggap yang lain
sebagai

the

other


(„yang

lain‟);

sebagai

„musuh‟

yang harus

dicurigai.

Ketidasadaran atas keragaman ini memunculkan kebencian satu sama lain, yang
berakibat pada instabilitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Selama ini bangsa ini terjebak pada simbolitas „nasionalisme‟ dengan
Bhineka Tunggal Ika-nya. Simbol ini tentunya berpijak pada realitas keberagaman
kebudayaan yang kalau dibiarkan dan tidak dikelola menjadi kekuatan awal yang
sanggup mencabik-cabik kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Bhineka
Tunggal Ika (seharusnya) adalah semangat untuk hidup berdampingan secara damai

dalam „ruang‟ yang bernama Indonesia. Sayangnya, konsep ini kemudian menjadi
alat efektif bagi kekuatan-kekuatan yang berkuasa untuk mematikan keragaman
melalui semangat penyeragaman. Lahirnya kebudayaan nasional, lahirnya bahasa
nasional dan bahkan lahirnya kepribadian nasional adalah salah satu „proyek‟ yang

4

Th. Sumartana, dkk, 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Interfidei, Yogyakarta, hlm. 89)
4

selalu dihembuskan oleh kekuasaan. Dengan dalih mengedepankan kepentingan
nasional di atas kepentingan multikultural, maka negara mulai menciptakan
homogenitas kebudayaan.
Homogenitas kebudayaan menjadi satu-satunya realitas kebudayaan kita.
Kebudayaan yang heterogen sifatnya menjadi terpasung. Meskipun ia ada, tidak
boleh mereduksi kebudayaan nasional yang „dibentuk‟ oleh kekuasaan. Karena
„dibentuk‟ oleh kekuasaan, maka kebudayaan tidak lagi bermakna. Dalam
terminologi ini Faruk5 mulai menyebut bahwa keanekaan Indonesia kemudian
dikenali, diakui dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berlaku hingga saat
ini. Sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan dan pengukuhan
keanekaan itu, dibangun berbagai program pendokumentasian sebagaimana yang
tampak dalam berbagai program pembangunan di masa Orde Baru. Di lingkungan
perguruan tinggi, terutama studi antropologi, telah dihasilkan sebuah buku
suntingan Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Indonesia. Buku ini berisi
himpunan karangan dan penelitian mengenai aneka budaya Indonesia yang
kemudian menjadi referensi (utama) tentang kebudayaan Indonesia.
Akhirnya, yang muncul adalah keanekaan kebudayaan Indonesia itu
kemudian dibayangkan dari satu komunitas etnis sebagai yang mandiri, utuh dan
karenanya –meminjam istilah Faruk- dianggap statis. Aneka kebudayaan itu tidak
dipahami sebagai dan dilepaskan dari proses kehidupan, baik proses yang
diakibatkan oleh dinamika internal komunitas itu sendiri, maupun persentuhannya
dengan berbagai komunitas dan kebudayaan yang ada di luarnya. Seolah ketika
berbicara tentang (bagian) kebudayaan Indonesia, misalnya kebudayaan Jawa,
selalu dipahami sebagai sesuatu yang seakan telah sempurna dalam dirinya,
mandiri, utuh dan statis6.
Implikasi logisnya menurut Faruk7, adalah ketika kebudayaan setiap
komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh, murni, cutra yang


5

Faruk dalam Sumartana, Th. , 2001. Ibid. hlm.

6

Ibid. hlm. 15
ibid

7

14

5

terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama
lain. Cara pandang ini pada gilirannya akan membentuk sebuah pengakuan dan
pengukuhan terhadap keterpisahan antar budaya. Konsep nasionalisme atau
taruhlah kebudayaan nasional –jika menggunakan sudut pandang tersebut- hanya
akan menjadi „proyek‟ penyeragaman (monokultural) yang tidak menghargai
keragaman (multikultural) yang senantiasa berdialog, „bersetubuh‟ secara dinamis
satu sama lainnya.
Memaknai kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan statis
sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses kemanusiaan. Artinya,
sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan dimanapun, kapanpun selalu mengalami
perubahan da perkembangan secara kontinue. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar
„fosil‟ pada saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan
tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak permanen. Karena
yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah menghimpun kebudayaan dalam
satu

simbol

kebudayaan

nasional.

Proyek

penyatuan

yang

sesungguhnya

memisahkan.
Kesadaran multikultural seharusnya dibentuk melalui keterbukaan bersama.
Bahwa keragaman adalah realitas sejarah peradaban. Terminologi „multi‟ pada
dasarnya memberikan aksentuasi keunikan dan keindahan peradaban. Dengan kata
lain, seluruh aspek kehidupan manusia telah dipertimbangkan dan diperlukan untuk
menjadi pernik dalam keindahan peradaban. Minimal menjadi bagian dari keunikan
kebangsaan Indonesia. Dunia dibangun di atas spesialisasi dalam seluruh aspek yang
saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Dunia –meminjam terminologi
Ruslani8 seperti sebuah hutan yang berisi beragam flora dan fauna yang saling
melengkapi.
Mengelola multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa kita tampaknya
harus disandarkan pada kesadaran logis yang didasari pertimbangan-pertimbangan
ilmiah. Pendasaran itu penting, karena masyarakat kita perlu diberikan suatu
pemahaman objektif tentang multikultural sebagai keniscayaan sejarah yang
muncul secara alamiah. Kondisi-kondisi objektif tentang keragaman kebudayaan
8

Ruslani dalam Dahlan, Muhidin. M, 2003, Sosialisme Relijius, Yogyakarta: Jendela. Hlm. 145

6

harus mulai dikenalkan. Bahwa ada kondisi objektif yang memang membedakan,
tetapi semuanya tidak mempertentangngkan. Kebersamaan dibangun karena
memang ada perbedaan. Bukankah perbedaan tidak boleh dimaknai sebagai
pertentangan ? Inilah kesadaran multikultural yang dikembangkan melalui dialog
bukan melalui konfrontasi. Inilah yang dimaknai sebagai keindahan peradaban
sebagai sebuah bangsa.
Ikhwal Kesadaran Multikultural
Keberhasilan pengelolaan tersebut sangat terkait dengan usaha-usaha serius
untuk memunculkan (minimal) kesadaran atas realitas yang plural. Sehingga,
diperlukan berbagai upaya secara komprehensif untuk menumbuh-kankembangkan
perilaku berbangsa yang sadar atas keragaman (pluralitas) sebagai suatu
keniscayaan sejarah. Pluralitas etnik, kultural, keagamaan, dan lain-lain di
manapun di dunia ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari, karena pluralitas
adalah hukum alam. Yang menjadi persoalan –sesungguhnya- bukan pluralitas itu
sendiri, melainkan bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu. Apakah kita
menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembang pluralitas itu ? Apakah
masing-masing kita toleran terhadap dan hidup berdampingan secara damai dan
bersahabat dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik, kultur,
agama dan sebagainya ?
Realitas masyarakat bangsa Indonesia yang diguncang oleh berbagai konflik
berdarah yang dipicu oleh perbedaan etnik dan agama memberikan bukti bahwa
keragaman multikultural belum dikelola secara baik. Rangkaian kerusuhan
berdarah ini memperlihatkan ada persoalan besar antar etnik dan agama di dalam
masyarakat Indonesia yang multikultural. Prinsip penghargaan akan multikultural
yang berkembang dalam masyarakat Indonesia seolah-olah luluh lantak seiring
dengan konflik-konflik rasial dan agama. Konflik tersebut seolah juga semakin
memberikan gambaran bahwa konsep bhineka tunggal ika sesungguhnya adalah
kesatuan kebudayaan yang memisahkan satu sama lain.
Dalam kehidupan negara bangsa ini, masyarakat juga seringkali dihadapkan
pada realitas diskriminasi ras yang mencakup segala bentuk perilaku pembedaan
berdasarkan ras. Diskriminasi ras ini terlihat jelas dalam pemisahan tempat tinggal

7

ras tertentu yang terdapat didaerah perkotaan. Kenyataan ini mendorong
timbulnya prasangka. Sebagai gejala psikologis yang ditandai dengan sikap penuh
emosi yang tak disertai bukti-bukti terlebih dahulu berdasarkan pengalaman.
Faktor yang mendorong munculnya prasangka dalam pergaulan antar ras adalah :
sugesti, kepercayaan, keyakinan dan emulasi(persaingan, perlombaan). Seorang
Antropolog, A.L.Kroeber mengemukakan ada 6 faktor penyebab prasangka ras dan
aksi rasialisme,yaitu : faktor ekonomi, politis, sosio kultural, psikologis, religius,
dan biologis. Munculnya prasangka ras bertalian dengan pendidikan orang tua di
rumah maupun melalui buku-buku pelajaran di sekolah . Karena itu upaya
mencegahnya harus dimulai di bidang pendidikan baik formal maupun informal 9.
Fenomena konfliktual yang melanda masyarakat Indonesia disertai dengan
„kebencian‟ rasis misalnya dapat menjadi bom waktu yang setiap saat bisa
meledak. Bangunan identitas negara bangsa dapat porak poranda tatkala
masyarakat kita memberikan citra yang tidak baik terhadap kondisi keunikan dan
kekhasan negara Indonesia dengan keragaman kebudayaan, agama dan rasnya.
Peradaban bangsa yang luhur, yang mengedepankan harmonisasi sosial, ketiadaan
konflik, dsb, hanya akan menjadi –meminjam istilah Ben Anderson- sebagai Imagine
Community atau komunitas bayang-bayang belaka. Negara bangsa Indonesia hanya
menjadi mimpi; karena sesungguhnya negara bangsa adalah sebuah kemauan serius
untuk hidup dalam satu negara, meski harus dengan varian identitas kulturalnya.
Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan Th. Sumartana 10 bahwa di basis
paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antar-Golongan). SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan
Indonesia. Dimanapun kita mencari identitas asli bangsa ini, akan ketemu dengan
kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras, dan
pluralisme dari golongan-golongan profesi, ideologi, kelas-kelas sosial ekonomi dan
lain-lain, yang berwarna-warni. Tidak ada yang salah dengan SARA. SARA
seungguhnya mengisyarakat betapa masyarakat hidup tidak dalam homogenitas
(kesamaan), melainkan heterogenitas (keanekaragaman). Kalau toh terjadi konflik

9

Sandra Kartika dan M.Mahendra, ed., 1999

10

Op.cit. hlm. 89

8

atas SARA, maka kesalahan terletak pada kemampuan negara dan masyarakatnya
mengelola SARA secara baik dan benar.
Realitas keberagaman tersebut di atas merupakan nature keindonesiaan.
Keberagaman menjadi fakta yang tidak bisa ditolak oleh siapapun dan kapanpun.
Dia hadir menjadi pembentuk dari identitas keindonesiaan kita. Persoalan yang
kemudian

muncul adalah

bagaimana

sikap

dan

perspektif kita

terhadap

keindonesiaan yang plural tersebut. Bagaimana kita mengembangkan suatu sikap
inklusif yang menerima realitas perbedaan sebagai keniscayaan sejarah yang tidak
bisa ditolak. Lebih spesifik adalah bagaimana konstruksi beragama kita –jika
kemudian

diletakkan

dalam

konteks

keberagamaan-

yang

mengokomodir

keindonesiaan tersebut. Nalar beragama seperti apakah yang harus diapresiasi
kehadirannya agar mampu menerjemahkan pluralitas tersebut?
Wacana ’Agama’ dan Ke-Indonesia-an
Prolog panjang di atas diletakkan dalam rangka mengawali perbincangan
kita bahwa realitas kebangsaan kita adalah kebangsaan dengan kemajemukan dan
keberagaman. Artinya, kita tidak hidup sendiri dalam kerangka ke-Indonesia-an.
Ada beberapa elemen dan komponen bangsa ini yang secara faktual ada dan tidak
bisa dinafikan kehadirannya. Dalam konteks demikian, harusnya pemaknaan
keagamaan kita juga diletakkan dalam konteks kehidupan berbangsa yang
demikian. Dan ini tantangan berat. Meminjam terminologi Budhy MunawarRachman

11

, tantangan teologi paling besar dalam kehidupan beragama sekarang

ini adalah: bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah
agama-agama lain. Istilahnya, bagaimana umat beragama bisa berteologi dalam
konteks agama-agama, tanpa harus mendegradasikan keyakinan ajarannya. Setiap
umat beragama –pasti dengan keyakinan- meyakini kebenaran mutlak setiap
doktrin agamanya. Doktrin agama menjadi suatu nilai yang memperteguh
keyakinan umat beragama untuk beragama. Namun demikian, tetap diperlukan
suatu konstruksi beragama yang bersifat dogmatis, meski kemudian tidak
kontraproduktif terhadap keteguhan keyakinan beragama tersebut.

11

Rachman, Budhy Munawar, 2004, Islam Pluralis,Jakarta : Grafindo Persda. Hlm. v-viii

9

Realitas yang demikian melahirkan suatu keinginan mengkonstruksikan nalar
agama yang bersifat terbuka (inklusif) yang menghargai setiap perbedaan,
termasuk perbedaan keyakinan ideologi keagamaan. Pemahaman keagamaan ini
yang diletakkan dalam konteks keindonesiaan menjadi penting. Hal ini karena
agama dalam konteks keberagaman bisa berfungsi paradoks, bisa menjadi faktyor
pemersatu (uniting factor) tetapi bisa juga berfungsi sebagai faktor pemisah
(deviding factor). Dalam bukunya Mukadimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup untuk menciptakan perasaan
memiliki kelompok (group belonging) atau kesatuan sosial, karena ia masih
membutuhkan faktor lain untuk memperkuatnya.
Membaca terminoloci dua fungsi agama dalam kemajemukan tersebut, tidak
salah jika seharusnya kita bangga bahwa dalam keragaman manusia Indonesia –
meminjam istilah Soetjipto Wirosradjono12 (1991)- dimana agama tidak pernah
menjadi faktor pemecah belah. Salah satu spekulasi untuk kehidupan beragama
yang relatif harmonis ini adalah bahwa semua agama yang kini dipeluk oleh warga
negara Indonesia datang melalui cara damai. Tidak pernah ada insiden ‟militer‟
atau millitary conquest yang mengawali proses pengenalan agama di negeri ini,
semuanya datang melalui pendekatan persuasif. Maka sejauah yang disadari oleh
penganut agama, tak satupun dari mereka dalam rentang sejarah merasa
mengalami menjadi pihak yang kalah maupun pihak yang menang. Artinya, warga
bangsa Indonesia sesungguhnya tidak pernah memiliki pengalaman buruk dalam
konteks relasi antar umat beragama satu sama lain. Perbedaan agama justru
menjadi suatu mozaik yang memperindah keindonesiaan.
Realitas ini memberi bukti bahwa negeri ini telah cukup nyaman bagi
kehidupan keberagamaan yang beragam. Tafsiran agama yang dihadirkan pun
selama ini adalah tafsiran dengan teologi kearifan yang seringkali mengakomodir
lokalitas. Satu sama lain terajut dalam sebuah common platform yang sama demi
kebangsaan Indonesia yang multikultural ini. Negeri ini hampir tidak pernah ada
memori yang jelek tentang hubungan antar umat beragama. Karenanya, menjadi
aneh rasanya ketika tiap ada kekerasan maupun teror bom (apapun namanya)
12

Wirosardjono, Soetjipto, 1991, Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta: P3M. hlm.vii-ix

10

seolah-olah berhubungan dengan konflik agama. Atau jika kemudian ada kekerasan
yang mengatasnamakan agama di negeri ini.
Dalam hal kemajemukan, hampir semua agama mengajarkan untuk saling
berhubungan dalam kedamaian dan kemanusiaan. Bukankah setiap agama
diturunkan dan ada dalam rangka membangun peradaban damai di muka buni ini?
Hanya

tafsiran

agamalah

yang

menjadikan

seolah-olah

agama

itu

anti

kemajemukan. Seolah-olah agama itu untuk menjadikan yang majemuk itu menjadi
homogen. Implikasinya, hadirlah tafsiran agama yang cenderung membenarkan diri
dengan menegasikan yang lain. Akibat parahnya, meminjam terminologi Erich
Fromm13- dalam kondisi psikologis demikian seorang yang kian taat beragama (jika
tafsirannya cenderung binnary opposition) akan cenderung menganggap orang lain
itu syaithon dan berlumuran kemungkaran.
Menurut Nurcholis Madjid, Islam sebagai agama yang saya yakini
kebenarannya, sejauh keyakinan saya adalah agama yang diturunkan untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak terkecuali. Muhammad SAW pun
diturunkan dalam kerangka untuk menyelamatkan peradaban dunia yang jahiliyah
menuju peradaban yang di ridhoi Allah SWT. Sebuah peradaban yang dalam
sepanjang sejarahnya ‟nyaman‟ untuk hidup berkembangnya kemajemukan.
Bukankah Alloh SWT sendiri menjamin, ”wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila
li-ta’arufu’: Dan (Kami) jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal14.
Dalam Islam, homogenitas agama tidak dijadikan platformnya. Islam secara
tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama
dan keberagamaan. Al-Qur‟an juga menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam
agama.”15 Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan
siapa saja yang

mau beriman atau kufur terhadap-Nya.16

Menurut Nurcholis

Madjid selanjutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada.
Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai
13
14

Fromm, Eric. 1989. Masyarakat yang Sehat, Jakarta: Yayasan Obor. hlm. 86
(QS Al-Hujurat (49): 13).

15Q.S.
16Q.S.

Al-Baqarah (2) : 156.
Al-Kahfi (18) : 29.

11

ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan
orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang
penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan
beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain
dianggap sebagai bagian dari kemusliman17 .
Merujuk pada Kitab Suci al-Qur‟an, Nurcholish Madjid18 menegaskan bahwa
setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang
utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan
saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Madjid
selanjutnya mengutip Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu
Nurcholis Madjid dikatakan bahwa:
“... semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat
adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan
perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani
adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Qur‟an,
kalimatun-sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”
Dalam konteks yang demikian, umat beragama yang berbeda tidak dilarang untuk
berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan penganut agama yang
sama yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya,
seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang
lain.19 Inilah sesungguhnya pemaknaan beragama untuk kemanusiaan. Agama
diturunkan untuk kepentingan membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik
dari sebelumnya. Artinya, hampir tidak ada agama yang diturunkan yang berisi
ajaran-ajaran yang kontraproduktif bagi kemanusiaan yang kebih baik.
Dalam rangka kepentingan tersebut di atas, upaya membangun dialog antar
umat beragama menjadi suatu keharusan. Dialog diajalankan dengan cara yang
netral satu sama lain. Dialog bukanlah dalam rangka mempertentangkan keyakinan
17

Djohan Efendi dalam Th. Sumartana, op.cit. 2001: 54-55).

18

Madjid, Nurcholis, 2001, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing Over: Melintasi Batas
Agama , Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina. Hlm. 98

19Q.S.

Al-Mumtahanah (60)

12

keagamaan, tetapi dalam rangka pemberian kesadaran atas perbedaan yang harus
dihargai satu sama lain. Nalar agama yang inklusif selalu menyediakan diri untuk
menerima perbedaan yang lain. Nalar agama ini lebih menyukai mengedepankan
dialog

demi

kepentingan

bersama

atas

dasar

kemanusiaan,

bukan

demi

kepentingan pembenaran keyakinannya masing-masing.
Alwi Shihab20 menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh
dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk
menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan
pluralisme menurtu Alwi Shihab adalah , pertama, tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah
bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan
dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana
aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun,
interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal,
kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan
relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin
agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh
karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu
kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.
Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur
tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi
memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis
akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap
pihak lain. Dan keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian

20

Shihab, Alwi , 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama Bandung : Mizan, hlm.
41-44

13

komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama
baru tersebut.
Sikap toleran dan penghargaan atas pluralitas merupakan suatu cerminan
betapa keyakinan beragama tidaklah bisa dipaksakan kebenarannya. Setiap masingmasing agama memiliki kebenaran yang diyakini pemeluknya. Dalam rangka
membangun sikap toleran dan penghargaan atas pluralitas itulah, maka pola
relasional antar masing-masing agama harus dalam ruang publik keindonesiaan
harus dituntun oleh suatu etika publik sebagai common value dalam kehidupan
keindonesiaan. Common value sebagai etika publik dalam rangka membangun
dialog peradaban tersebut didasarkan atas nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Dalam bahasa yang lebih tegas etika
publik dalam membangun kehidupan beragama yang inklusif itu adalah Pancasila.
Penutup
Keyakinan keagamaan itu sakral dan sensitif. Karenanya, keyakinan
keagamaan seseorang haruslah dihormati dan dilindungi. Realitas keindonesiaan
kita yang majemuk jelas tidak memberikan „ruang‟ bagi tumbuh kembangkan
tafsiran keagamaan yang tidak toleran yang hadir hanya untuk mengeliminasi
wajah keIndonesiaan kita saat ini. Ajaran keagamaan (manapun) tidaklah anti
terhadap keberagaman, justru darisanalah benih-benih untuk saling bersapa dalam
kedamaian dan kemanusiaan bisa dijalankan. Mari selamatakan peradaban
kebangsaan ini dengan agama yang mencintai kemanusiaan.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, 2001, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas
Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press.
Dahlan, Muhidin M. 2003, Sosialisme Relijius, Yogyakarta: Jendela
Effendy, Bachtiar, “Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan:
Dapatkah Sektor Pendidikan Diharapkan”., dalam Th. Sumartana (ed). 2001,
Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Yogyakarta:
Interfidei.
Faruk, “Menyingkap dan Membangun Multikulturalisme‟ dalam Th. Sumartana (ed).
2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta:
Interfidei.

14

Madjid, Nurcholis, 2001, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing
Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan
Paramadina
Noer, Kautsar Azhari, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat
Ketidakberdayaan Sistem pendidikan Agama”, dalam Th. Sumartana (ed).
2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta:
Interfidei.
Shihab, Alwi , 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Bandung : Mizan,
Wirosardjono, Soetjipto, 1991, Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta: P3M
Sumartana, Th. (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia, Interfidei, Yogyakarta.
Suseno, Frans Magnis, “Pluralisme Agama, Dialog dan Konflik di Indonesia” dalam
Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.
Rachman, Budhy Munawar, 2004, Islam Pluralis,Jakarta : Grafindo Persda

15