Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional

4

ABSTRAK
*Muhammad Thesya P
** Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M. Hum
*** Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum
Hercules adalah pesawat militer yang paling banyak melaksanakan misi
udara. Pesawat tersebut bukan sekedar digunakan untuk latihan saja, melainkan
untuk menjalankan misi yang sesungguhnya, baik itu berupa operasi militer
maupun operasi militer non-tempur, serta operasi kemanusiaan. Setiap saat atau
setiap hari dapat dipastikan ada saja Hercules yang terbang di seluruh pelosok
dunia.
Adapun yang diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil. Penerbangan militer
diatur dalam hukum internasional dan perlindungan hukum terhadap penumpang
pesawat militer jika terjadi kecelakaan dalam perspektif Hukum Internasional
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan.
Pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil Dasar
ketentuan yang mengatur moda angkutan udara adalah Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana Penerbangan
didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah
udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan,
keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan
fasilitas umum lainnya. Moda Udara yang dinyatakan sebagai pesawat udara
didefinikan sebagai setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena
gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap
permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Penerbangan militer diatur
dalam hukum internasional diatur dalam Konvensi Chicago 1944, Konvensi
Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS.
Prinsip presumption of liability menyatakan bahwa “pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau
pengirim/penerima barang, dengan tekanan kata dianggap”. Pada keadaan normal
pihak penumpang atau pengirim/penerima barang yang menderita kerugian tidak
perlu membuktikan haknya atas ganti rugi, asalkan dipenuhi dengan syarat-syarat
tertentu, yaitu untuk penumpang apabila “kecelakaan yang menimbulkan kerugian
itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat udara
atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik dan turun
dari pesawat udara”.
Kata Kunci : Penggunaan Pesawat Militer, Transportasi Penduduk Sipil

*Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II