BAB II PENGATURAN KESSELAMATAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional - Aspek Hukum Keselamatan Penerbangan Pesawat Udara (Studi Kasus Bandara Internasional Kuala Namu)

BAB II PENGATURAN KESSELAMATAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil

  (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara ( state aircraft ). Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara (state aircraft) diatur dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1928, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang UNCLOS.

  Menurut Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara ( start aircraft ) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil ( civil aircraft ) adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara ( state aircraft ).

  Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 juga diatur mengenai pesawat udara Negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara Negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara (state aircraft). Pesawat udara Negara tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas Negara-negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas Negara anggota lainnya. Pesawat udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter.

  Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa

18 UNCLOS 1982 , juga terdapat perbedaan antara pesawat udara Negara (state

  

aircraft) dengan pesawat udara sipil ( civil aircraft). Menurut Konvensi Jenewa

  1958 istilah yang digunakan bukan pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara, melainkan pesawat udar militer dan pesawat udara dinas pemerintah (goverment

  services) disatu pihak dengan private aircraft dilain pihak.

  Sedangkan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa UNCLOS 1982, private aircraft tidak mempunyai hak untuk menguasai dan menyita pesawat udara yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft tidak mempunyai kewenangan penegak hukum, kewenangan penegak hukum tersebut hanya dimiliki oleh pesawat udar militer, pesawat udar dinas pemerintah (government services) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Konvensi Jenewa1958.

  B.

  

Peraturan Penerbangan Sipil yang Diatur oleh International Civil

Aviation Orgsnization (ICAO)

  ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Badan ini secara resmi mulai berdiri pada tanggal 4 April 1947, sebagai kelanjutan dari PICAO (Provisional International Civil

  

Aviation Organization), yang mulai berfungsi setelah konvensi Chicago 1944,

                                                               18 Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum ( United Nations Convention on the Law of the Seas), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1985 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319.

  Maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan

  19 perkembangan angkutan udara internasional.

  Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus-menerus diperbarui melalui amandemen-amandemen adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu kebenaran-kebenaran ilmiah yang diperoleh dari berbagai penelitian dan pengembangan (Research and Development) dari berbagai disiplin ilmu yang terkait baik dalam bentuk teori maupun model-model analisis.

  Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang Umum dan Sidang

  

Council, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah yang

20 dapat dipertanggung jawabkan.

  Delapan belas Annex Konvensi Chicago 1944 pada dasarnya merupakan standart kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada penerbangan internasional. Annex ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk membentuk International Standart and

  

Recommended Proctices (ISRPs/SARPs) adapun delapan belas Annex tersebut

21

  adalah Convention On International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization.

                                                               19 Suwardi, Penulisan Karya ilmiah tentang penentuan tanggung jawab pengangkut yang

  terikat dalam kerjasama pengangkutan udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional

  Departemen Kehakiman, Jakarta,1994, hal 4 20   Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia,

  Tanggerang,2012, hal.1 21 AchmadMoegandi, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996

  1. Annex 1 - Personal Licensing : memuat pengaturan tentang izin bagi awak pesawat mengatur lalu lintas udara dan personil pesawat udara.

  2. Annex 2 - Rules of The Air : aturan-aturan yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penerbangan dengan menggunakan instrument.

  3. Annex 3 - Meterological Service for International Air Navigation: memuat ketentuan mengenai layanan meteorological bagi navigasi internasional dan pemberitahuan hasil observasi meteorology dari pesawat udara.

  4. Annex 4 - Aeronautical Charts: pengaturan tentang spesifikasi peta aeronautical yang digunakan dalam penerbangan internasional.

  5. Annex 5 - Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operation: ketentuan mengenai satuan-satuan ukuran yang digunakan dalam penerbangan.

  6. Annex 6 - Operation Aircraft: mengatur tentang spesifikasiyang akan menjamin dalam keadaan yang sama, penerbangan diseluruh dunia berada pada tingkat keamanan diatas tingkat minimum yang telah ditetapkan.

  7. Annex 7 - Aircraft Nationality and Registration Marks : membuat persyaratan-persyaratan umum untuk pendaftaran dan identifikasi pesawat udara.

  8. Annex 8 - Airworthiness of Aircraft: pengaturan tentang standar kelayakan udara dan pemeriksaan pesawat udara berdasarkan prosedur yang seragam.

  9. Annex 9 – Facilitation: ketentuan mengenai standar fasilitas-fasilitas Bandar udara yang akan menunjang kelancaran dan masuknya pesawat udara, penumpang dan cargo di Bandar Udara.

  10. Annex 10 - Aeranutical Communications : mengatur tentang prosedur standar, sistem, dan peralatan komunikasi.

  11. Annex 11 - Air Traffic Service : memuat tentang pengadaan dan pengawasan terhadap lalu lintas udara, informasi penerbangan dan layanan pemberitahuan serta peringatan mengenai keadaan bahaya.

  12. Annex 12 - Search and Rescuce : memuat ketentuan tentang pengorganisiran dan pemberdayaan fasilitas dalam mendukung pencarian pesawat yang hilang.

  13. Annex 13 - Aircraft Accident Investigation : ketentuan tentang keseragaman dan pemberitahuan investigasi, dan laporan mengenai kecelakaan pesawat.

  14. Annex 14 - Aerodrome: ketentuan tentang spesifikasi dan desain dan kegiatan dibandar udara.

  15. Annex 15 - Aeronautical Information : metode untuk mengumpulkan cara penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam operasional dalam penerbangan.

  16. Annex 16 - Enviromental Protectum : memuat ketentuan mengenai sertifikat ramah lingkungan, pengawasan terhadap kebisingan yang ditimbulkan oleh emisi dari mesin udara.

  17. Annex 17 - Enviromental Protectum : ketentuan mengenai perlindungan keamanan penerbangan sipil internasional dari tindakan melawan hukum.

  18. Annex 18 - The Safe Transport of Dangerous Godds by Air : mengatur tentang tanda, cara mengepak, dan pengangkutan cargo yang berbahaya.

  Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu Negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma- paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya.

  ICAO tidak pernah membuat target zero accident. Zero accident adalah sasaran yang tidak pernah akan tercapai (unachievable goal). Dalam Global Aviation Safety Plan (GASP) target yang ingin dicapai ICAO adalah mengurangi jumlah kecelakaanfatal diseluruh Negara, mengurangi secara signifikan angka kecelakaan (accident rates) terutama dikawasan yang angka kecelakaannya tinggi, berupaya agar pada akhir tahun 2011 tidak ada satu kawasanpun yang angka kecelakaannya dua kali angka kecelakaan seluruh dunia. Yang harus dibuat dan ditetapkan Negara dan dilakukan upaya-upaya pencapaiannya adalah an acceptable level of safety, jumalah kecelakaan yang bias 22 diterima dalam sekian ribu atau juta kali penerbangan.

  Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan penerbangan sipil diindonesia, teritama dibidang bantuan teknik. Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 april 1950 juga telah menikmati baebagai bantuan dari organisasi tersebut, walaupun Indonesia juga harus membayar iuran tahunan sebagai anggota. Dalam bidang pendidikan penerbangan, Indonesia telah memperoleh bantuan teknis sejak 20 Agustus 1950 pada saat Menteri Perhubungan Ir.H.Juanda meresmikan pendidikan penerbangan yang pada saat itu bernama Akademi Penerbangan Indonesia (API) di curug, Tangerang. Bantuan tersebut berupa tenaga ahli dibidang penerbangan, peralatan pendidikan penerbangan maupun peralatan navigasi penerbangan. Dengan bantuan tersebut Indonesia telah mampu mencetak tenaga terdidik dengan instruktur dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, dan Swedia, disamping tenaga Indonesia

  23 sendiri yang dikirim ke luar negeri.

  Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagai organisasi internasional merupakan badan khusus (special agency) PBB tidak hanya                                                              22 23 Ibid hal 2

  H.K.Martono,S.H.,LLM Dkk, Hukum udara Nasional dan Internasional Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.335. berperan dalam adviser maupun pegawasan pembangunan Bandar udara, pengadaan sistem komunikasi, navigasi penerbangan, desain pesawat udara, modernisasi peralatan penerbangan, menciptakan standar peraturan penerbangan dan berbagai peraturan penerbangan yang ditugaskan kepada Komisi Navigasi

  24 Penerbangan ( Air Navigation Commision ) data tata cara operasi penerbangan.

  Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundmental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standar yang tercantum dalam Annex 1-8 ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular). Bila suatu Negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO maka berarti Negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO.

  Indonesia termasuk Negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO.

  ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam Pasal-pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di masa lalu

  ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu Negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil Internasional.

  Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran.

  ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan standar-                                                              24 Ibid hal 336

  standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta segera Negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak

  25 dipatuhi. ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body.

  Untuk mengetahui kepatuhan Negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat program Universal Safety Oversigh Safety Audit (ASOAP) . Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk memaksa Negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan

  26 keselamatan penerbangan.

  Tujuan ICAO; 1. Menjamin perkembangan penerbangan sipil internasional yang aman dan teratur di seluruh dunia.

  2. Mendorong seni-seni rancangan dan pengoperasian pesawat untuk tujuan- tujuan damai.

  3. Mendorong pembangunan usaha penerbangan, bandara, dan fasilitas- fasilitas navigasi udara bagi penerbangan internasional.

  4. Memenuhi kebutuhan masyarakat dunia akan tersedianya transportasi udara yang aman, teratur, efisien, dan ekonomis.

  5. Mencegah pemborosan ekonomi yang disebabkan oleh persaingan tidak sehat.

  6. Menghindari diskriminasi antara negara-negara yang ambil bagian.

  7. Meningkatkan keamanan penerbangan dalam navigasi udara internasional.

                                                               25 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012,hal.6 26   http:www.icao.int/ diunduh pada hari kamis, 23 januari 2014.

   

8. Meningkatkan secara umum perkembangan seluruh aspek aeromatika sipil internasional.

C. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang Penerbangan

  Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah

  27

  dituangkan dalam berbagai SARPs (Standart and Recommended Practicengas) keamanan dan keselamatan transportasi.

  Untuk itu Konvensi Chicago Tahun 1944 yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi

28 Chicago Tahun 1944.

  Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi Paris 1919, demikian juga konvensi Inter Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang

  29 ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

  Konvesi Chicago 1944 adalah instrument hukum internasional khususnya

  30

  hukum internasional Publik . Konvensi Chicago 1944 termasuk sebagai instrument hukum internasional serta hubungan antar lembaga dan lembaga yang dibentuk oleh Konvensi Chicago 1944. Selain itu Konvensi Chicago merupakan                                                              27 Kebijalan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus menerus diperbarui oleh ICAO 28 29 Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago 7 December 1944 http://eezcyank.blogspot.com Diunduh Pada Tanggal 3 Februari 2014 30

    Mochtar Kusumaadmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung 1996 hal 1 sumber hukum untuk Penerbangan Sipil internasional maupun penerbanagan Sipil Nasional.

  Menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua (PD II), Presiden Amerika Serikat Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya pada Perang Dunia Kedua untuk mengadakan konferensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago Pada tahun 1944. Hadir dalam konferensi tersebut lima puluh empat delegasi, kedua delegasi dalam kapasitasnya sebagai pribadi sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili Negara masing-masing. Namun Saudi Arabia dan Uni Soviet tidak hadir dalam

  31 konferensi penerbangan Sipil Internasional tersebut.

  Spekulasi Uni Soviet tidak hadir dalam konferensi Penerbangan Sipil Internasional dengan alas an keamanan nasional (national security), sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara asing terbang diatas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan. Hal ini dibuktikan bahwa setiap perjanjian angkutan udara internasional timbal balik, posisi Uni Soviet selalu tidak menukarkan hak- hak penerbangan pertama (first freedom of the air) yang member hak pesawat udara terbang diatas Negara yang bersangkutan tanpa pendaratan (over flaying), pada umumnya sebelum mempertukarkan hak-hak penerbangan (traffic right),

  rd

  ketiga ( 3 freedom pf the air) dan hak-hak penerbangan (traffic right), keempat ( 4th freedom of the air), selalu didahului dengan pertukaran hak-hak penerbangan                                                              31 H.K.Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional public,

  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 hal 55   kesatu ( 1st freedom of the air) dan kebebasan udara kedua ( 2nd freedom of the

  32 air).

  Spesikulasi pendapat yang menyatakan Uni Soviet lebih mengutamakan pertahanan keamanan tersebut mungkin ada benarnya karena perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Unii Soviet walaupun ditandatangani pada tahun 1961 tetapi tidsk menukarkan kebebasan udara kesatu ( first freedom of the air)

  33

  seperti layaknya perjanjian angkutan udara lainnya. (bab I perkmbgn perjanjian angkutan udara bilateral).

  Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan Konvensi Chicago 1944 (Chicago Convention).

  Dalam Pasal 37 dengan jelas dikatakan, bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbnagan dan lain-lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standart yang dibuat International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui standar and

  

recommended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18 dengan

  berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh Negara

  34 peserta Konvensi Chicago.

                                                               32 33 Ibid hal 56 K.Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar

  Maju, Jakarta, 1996 34 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012, hal.5

  Konvensi Penerbangan Sipil Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 43 sampai pasal 63 Konvensi Chicago 1944. Organisasi yang terdiri dari sidang umum (general assembly), dewan harian (council), dan badab-badan lain yang dipandang perlu

  35

  tersebut bertujuan untuk

  

36

  : Konvensi Chicago 1944 membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu; 1.

  Konsep internasionalisasi yang disarankan Australi dan Selandia Baru.

  2. Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise.

  3. Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan.

  Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima 3 (tiga) instrumen yaitu;

  • Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional
  • Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional

  37 Tujuan konferensi Penerbangan Sipil Internasional tampak dengan jelas pada

  • Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.

  pembukaan konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun 1944.

38 Dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan,

  memelihara perdamaian dan saling mengerti antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat                                                              35 Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 36 Pasal 44 Konvensi Chicago 1944 37 http://eezcyank.blogspot.com/Diunduh Pada Tanggal 3 Februari 2014

    38 Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago 7 December 1944   mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia.

  Oleh karena itu, Negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip- prinsip dasar Penerbangan Sipil Internasional, menumbuh kembangkan Penerbangan Sipil yang aman, lancer, teratur dan member kesempatan yang sama kepada Negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan Udara Internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.

  Pasal 1 konvensi Chicago mengakui bahwa setiap Negara berdaulat

  39 mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang diatas wilayahnya.

  Kosekuensi prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang terbang di atau kea tau melalui ruang udara nasional Negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu betapa tinggi atau rendahnya pesawat udara melakukan penerbangan

  Berdasarkan prinsip kedaulatan diudara tersebut, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya tetap harus mematuhi hukum dan regulasi nasional Negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. Konsekuensi kedaulatan diudara tersebut tampak dari ketentuan-ketentuan mengenai cabotace, pengawasan pesawat udara tanpa awak pesawat udara, kewenangan menetapkan daerah terlarang (prohibited area), penetapan Bandar udara (airport) yang boleh didarati oleh penerbangan internasional, izin masuk Negara anggota-anggota, pencarian dan pertolongan serta pendaratan dan tinggal                                                              39 The contracting Parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its teritory

    landas, bantuan dalam hal pesawat udara menghadapi bahaya, investigasi

  40 menghadapi bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara.

  Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan bahwa;

  

Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the hiedghest

practicable degree of uniformity in regulation, standards, procedures, and

Organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in

  41 all matters in which such uniformity will facilitate and improve navigation.

  Apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia yaitu bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta Konvensi Chicago 1944 Apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia yaitu

                                                               40 41 Ibid hal 17

  Chapter VI International Standard and Recommended Practices Article 37: To This end the International Civil Aviation Organization Shall adopt and amend from time to time, as may be necessary, international standards and recommended practices and procedure dealing with: a.

  Communications systems and air navigation aids, including ground making; b.

  Characteristics of airports and landings area; c. Rules of The air and air traffic control practices; d.

  Licensing of operating and mechanical personnel; e. Airworthinness of aircraft; f. Registration and identification of of aircraft; g.

  Collection and exchange of meteorological information; h. Log book; i. Aeronautical Maps; j. Customs and immigration procedures; k.

  Aircraft in distress and investigation of accident;   bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta Konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan dan laim-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar International

  Civil Aviation Organization (ICAO).

Dokumen yang terkait

Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum Internasional Yang Melintasi Antar Negara

2 66 94

Aspek Hukum Keselamatan Penerbangan Pesawat Udara (Studi Kasus Bandara Internasional Kuala Namu)

8 69 80

Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Internasional

2 116 109

Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional

1 58 96

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 11

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 26

BAB II PENGATURAN ANAK SEBAGAI PEKERJA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL A. Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Internasional - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 20

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum Internasional Yang Melintasi Antar Negara

0 1 21