KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI DAN KONFLIK (Studi Tentang Formulasi Kebijakan Relokasi Pengungsi Gunung Sinabung Berkaitan dengan Konflik Desa Lingga Kabupaten Karo Tahun 2016)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat, dimana saja
dan kapan saja. Bencana alam merupakan peritiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan menggangu kehidupan manusia yang disebabkan baik oleh faktor
alam, atau faktor nonalam atau faktor tindakan manusia, sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. 1 Hal ini mendorong masyarakat yang tinggal dilokasi daerah kawasan
rawan bencana untuk memahami, mencegah dan menanggulangi bencana alam
agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Selain masyarakat yang tanggap
akan bencana alam diperlukan juga pemerintah yang tanggap akan bencana.
Kabupaten Karo yang terletak di kawasan tinggi Sumatera Utara memiliki potensi
bencana alam yang cukup tinggi. Kabupaten Karo memiliki dua gunung yang
sampai saat ini masih aktif yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Hal
inilah yang menyebabkan Kabupaten Karo sering mengalami bencana alam
gunung meletus.
Gunung Sinabung yang telah tertidur selama 400 tahun, pada tahun 2010
telah aktif kembali dan mengakibatkan terjadinya erupsi di Kabupaten Karo.
Selang tiga tahun kemudian, gunung Sinabung tersebut kembali meletus dan
mengakibatkan terjadinya erupsi yang cukup besar disaerah sekitar Gunung

1

Undang-undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 pasal 1

Universitas Sumatera Utara

Sinabung sehingga menyebabkan banyak memakan korban jiwa. 2 Pada tahun
2013 Gunung Sinabung meletus kembali sampai 17 September 2013 telah terjadi
4 kali letusan. Tanggal 15 September 2013 telah terjadi letusan sebanyak dua kali
yaitu pada dini hari dan pada sore harinya. Pada 17 September 2013 juga terjadi
dua kali letusan pada siang dan sore harinya. Letusan ini melepaskan awan panas
dan abu vulkanik. Akibat peristiwa ini, status Gunung Sinabung dinaikkan ke
level 3 manjadi siaga. Setelah aktivitas cukup tinggi selama beberapa hari, pada
tanggal 29 September 2013 status diturunkan menjadi level 2 yaitu status waspada.
Namun demikian, aktifitas tidak berhenti dan kondisnya fluaktif. Keadaan yang
demikian membuat sorotan bagi pemerintah untuk menjalankan kewajibannya
sebagai pemimpin bangsa. Pemerintah pusat juga memiliki tugas yang telah diatur
dalam konstitusi negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam UUD 1945 tepatnya pada pembukaan alinea IV yang merupakan
tujuan negara telah menjelaskan bahwa negara akan melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, artinya negara memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas
bencana, dalam mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan pancasila.
Selain pada UUD 1945, berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan

bencana,

pemerintah

memiliki

tanggung

jawab

dalam

menanggulangi setiap bencana yang terjadi di Indonesia. Pada Undang-undang ini
telah dijelaskan bagaimana sesungguhnya tanggung jawab dan wewenang

2

http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2014/03/10/buku-sinabung-bangun-dari-tidurpanjang-diterbitkan/diakses pada tanggal 20 oktober 2016 pukul 16.00 wib

Universitas Sumatera Utara

kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan pengendalian pengumpulan
dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional. 4
Selain pemerintah, pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab yang
meliputi: penjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana alam yang sesuai dengan standart pelayanan minimum; perlindungan
masyarakat dari dampak bendana alam; pengurangan resiko bencana alam dan
pemaduan pengurangan resiko bencana alam dengan program pembangunan;
pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang memadai. 5 Wewenang pemerintah daerah diantaranya:
penetapan kebijakan dan penanggulangan bancana pada wilayahnya selaras
dengan

kebijakan


pembangunan

daerah;

pembuatan

perencanaan

dan

pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
pelaksanaan kebijakan kerjasama dalam penanggulangan bencana dengan Provinsi
dan Kabupaten/Kota lain; pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi
sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana; perumusan kebijakan pencegahan
penguasa atas sumber daya alam yang melebihi kemampuan wilayahnya;
pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang bersekala
Provinsi dan Kabupaten/Kota. 6
Dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga terlibat untuk membantu
pemerintah


pusat

dan

daerah.

BNPB

merupakan

lembaga

pemerintah

4

Ibid. Pasal 7
Ibid. Pasal 8
6

Ibid. Pasal 9

5

Universitas Sumatera Utara

nondepartemen setingkat dengan menteri. Sedangkan BPBD merupakan badan
yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan bekerja atas koordinasi dengan BNPB.
Tugas, fungsi dan unsur serta struktur telah diatur dalam UU No.24 Tahun 2007
tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari bencana alam erupsi
Gunung Sinabung tersebut diperlukan perhatian pemerintah melalui kedua
lembaga tersebut yakni BPBD yang bekerjasama dengn BNPB pusat. Walaupun
bencana Gunung Sinabung tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, namun
tetap harus ada program pemerintah melalui BPBD untuk menanggulangi bencana
tersebut. Namun pada kenyataannya, BPBD Kabupaten Karo baru terbantuk
setelah erupsi Gunung Sinabung terjadi beberapa kali dan mulai menimbulkan
korban materi dan korban jiwa. Sebelum terbantuknya BPBD di kabupaten Karo,
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung dilakukan oleh TNI dan juga
BPBD Sumatera Utara. Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) di Kabupaten Karo diharapkan akan dapat membantu penanggulangan
bencana alam erupsi Sinabung yang masih terus aktif sampai saat ini. Mengingat
masih baru dibentuknya BPBD Kabupaten Karo yang belum terlihat kinerja yang
maksimal. Hal ini terbukti karena masih terdapat masalah seperti :
“Syamsul Ma’arif Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) di Posko utama pendopo rumah dinas Bupati Karo
berkomentar

kinerja

tim

penanggulangan

bencana

Gunung

Sinabung tidak tanggap dan kurang koordinasi. Penanganan
tanggap darurat Gunung Sinabung kurang koordinasi setiap tim

tidak tahu tugas dan fungsinya secara jelas dan berjalan sendirii-

Universitas Sumatera Utara

pemerintah dalam menanggulangi bencana. Selain itu juga menjelaskan tentang
lembaga-lembaga yang terlibat dalam menanggulangi bencana alam yang terjadi
baik dalam bentuk apapun dan terjadi dimana dan saat kapanpun.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab atas
bencana alam yang terjadi. Tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan

bencana

meliputi:

pengurangan

resiko

bencana


alam;

perlindungan masyarakat dari dampak bencana; penjamin pemenuhan hak
masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana alam yang adil dan sesuai
dengan standart pelayanan minimum; pemulihan kondisi dampak bencana alam,
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana alam dalam bentuk siap pakai;
dan pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak
bencana alam. 3 Dalam hal ini pemerintah juga memiliki wewenang yang meliputi:
penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional; pembuatan perencanaan pembangunan yang mamasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; penetapan status dan tingkat
bencana

nasional

dan

daerah;


penentuan

kebijakan

kerjasama

dalam

penanggulangan bencana dengan negara-negara lain, badan-badan, atau pihakpihak internasional lain; perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang
berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana; perumusan kebijakan
mencegah penguasa dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi

3

Undang-undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 pasal 6

Universitas Sumatera Utara

sendiri dan hasil yang dicapai tidak maksimal.Hal ini harus segera
diatasi untuk melindungi puluhan ribu pengungsi, perlunys

kekompakaan tim penanggulangan bencana Gunung Sinabung
dalam penanganan bencana di lapangan”. 7

Saat ini pemerintah pusat telah membuat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 21 Tahun 2015 Tentang satuan tugas percepatan relokasi korban
berdampak bencana erupsi gunung Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi
Sumatera Utara. Satuan tugas percepatan berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada presiden. Satgas percepatan memiliki tugas diantaranya : melakukan
perencanaan dan pelaksanaan relokasi korban terdampak bencana erupsi Gunung
Sinabung; mempercepat hunian sementara bagi pengungsi Gunung Sinabung,
mempercepat hunian tetap di daerah relokasi; mempercepat bangunan sarana dan
prasarana; dan menyediakan lahan pertanian. 8
Setelah setahun lebih terhitung mulai September 2013 masyarakar korban
Gunung Sinabung hidup dalam tenda pengungsian, para korban mendapat
kepastian relokasi. Izin pengguna kawasan hutan lindung buat jalan sudah keluar
dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dua hari setelah kunjungan
Jokowi ke Sinabung. Pasca kedatangan Presiden Jokowi relokasi kembali
langsung berjalan setelah tertunda sekian lama. Beliau salut saat tanggal 29
Oktober 2014 Presiden memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan
untuk mengeluarkan surat izin, Siti Nurbaya langsung mengeluarkan surat izin
7

http://www.waspada.co.id/index.php diakses pada tanggal 21 oktober 2016 pukul 14.00
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 21 Tahun 2015 Tentang satuan tugas percepatan
relokasi korban berdampak bencana erupsi gunung Sinabung
8

Universitas Sumatera Utara

pada 31 Oktober 2014. Pengerjaan pembangunan perdana relokasi ini dipimpin
langsung oleh Kasad, Jendral TNI Gatot Nurmantyo di kawasan Siosar
Kecamatan Merek Karo. Pembangunan tahap awal yang dilakukan pada 5
November 2014 dilakukan dengen proses pengerasan jalan seluas 3,4 km dilanjut
dengan membuka jalan baru seluas 8,5 km dikawasan hutan. 9 Kunjungan pertama
Jokowi sebagai presiden terpilih priode 2014-2019 ke Tanah Karo membuat
Jokowi mengeluarkan keputusan ini dengan tujuan agar tempat layak huni bagi
korban Sinabung di percapat serta mengingat tujuan negara dan tanggung jawab
pemerintah yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tersebut.
Kawasan yang telah disediakan pun berada pada kawasan Siosar
Kecamatan Merek Kabanjahe Kabupaten Karo sekitar 17 km dari Kota Kabanjahe.
Dimana kawasan ini merupakan hutan rimbun yang telah di berikan izin oleh
mentri kehutanan untuk dijadikan kawasan relokasi korban Sinabung.
“Pada kawasan ini terdapat 3 desa diantaranya Desa Bekerah
dengan jumlah KK sebanyak 103 KK dan jumlah jiwa sebanyak 331
jiwa, Desa Simacem dengan KK sebanyak 131 KK dengan jumlah
jiwa sebanyak 445 jiwa, dan Desa Sukameriah dengan KK sebanyak
136 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 436 jiwa, sehingga total KK
keseluruhan sebanyak 370 KK. Seluruh KK tersebut masing-masing
telah mendapatkan rumah yang telah disediakan oleh pemerintah dan
lahan seluas 0,5 ha/KK.” 10
9

http://www.mongobay.co.id/2014/11/10/pembangunan-relokasi-pengungsi-sinabung-mulai-jalankasad-jangan-salahgunakan-izin-kawasan -hutan/diakses pada tanggal 22 Oktober 2016 pukul
22.32 wib
10
Data diperoleh dari narasumber Muhammad Rizky Dermawan selaku anggota pelaksana
pembangunan relokasi pada 15 oktober 2016 pukul 14.45

Universitas Sumatera Utara

Pasca keluarnya Kepress Nomor 21 tahun 2015 tentang penempatan
relokasi korban Gunung Sinabung, ternyata masih banyak korban yang belum
mendapatkan tempat layak huni dan lahan untuk dijasikan mata pencaharian. Hal
ini dikarenakan Kepress tersebut hanya berlaku sampai akhir tahun 2015 11 .
Banyaknya jumlah pengungsi yang belum mendapatkan tempat tinggal dan
kehidupan yang layak memberi tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Karo
untuk mempercepat relokasi tahap kedua untuk pengungsi Gunung Sinabung.
DPD juga mendesak pemerintah untuk mempercepat penanganan korban Gunung
Sinabung, sebab masih banyak korban yang belum ditangani secara tuntas.
Kemudian setelah mendapat tuntutan dari masyarakat pengungsi Gunung
Sinabung, dan berdasarkan tugas pemerintah daerah sesuai kemendagri No. 131
tahun 2003 tentang pedoman penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi
di daerah, maka pada tanggal 13 Juni Bupati Karo Terkelin Brahmana membuat
sebuah kebijakan untuk menangani sisa korban pengungsi dan menyepakati desa
lingga sebagai lahan relokasi mandiri tahap II. Dengan adanya keputusan dari
Bupati Karo, malah memunculkan persoalan baru. Sebab keputusan ini membuat
masyarakat desa Lingga keberatan desanya dijadikan sebagai lokasi relokasi tahap
II yang dinamakan sebagai Relokasi Mandiri.

Berdasarkan laporan Komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
penolakan masyarakat Lingga didasari oleh kebijakan relokasi mandiri nantinya
11

http://m.suarakarya.id/2016/11/08/dpd-desak-percepatan-penanganan-pengungsi-korban-erupsisinabung.html diakses pada 25 November 2016 pukul 13.55

Universitas Sumatera Utara

akan menggangu keutuhan dan kesatuan komunitas masyarakat Lingga yang
diketahui merupakan desa adat di Kabupaten Karo, dan berdampak pada
pergeseran budaya. Kemudian alasan lainnya yaitu dari aspek ekonomi, di mana
mata pencaharian masyarakat Lingga berasal dari lahan pertanian 12. Ditambahkan
lagi menurut juru bicara warga desa Lingga Arya Sinulingga mengungkapkan
alasan menolak relokasi warga pengungsi Gunung Sinabung karena Desa Lingga
sudah tidak memungkinkan menampung seluruh pengungsi. Mengingat sempitnya
lahan pertanian yang menjadi sumber utama pencaharian warga Desa
Lingga."Luas wilayah 1.600 hektare, jumlah penduduknya 1000 Kepala Keluarga.
Artinya 1.600 hektare dibagi 1.000 hanya 1,6 hektare. Jika ditambah 1600 KK
akan menjadikan luas lahan pertanian masyarakat Lingga akan berkurang,
sehingga berpotensi terjadinya rebutan lahan dan memicu konflik sosial. 13

Pelaksanaan relokasi terkesan dipaksakan meskipun dalam beberapa
kesempatan mendapat penolakan seperti yang dilakukan warga Desa Lingga.
Ketidakpastian fungsi penggunaan lahan yang ada pada Desa Lingga juga menjadi
penyebab permasalahan yang terjadi pada Desa Lingga tersebut. Selain penolakan
kerusuhan pun memuncak dengan pristiwa kerusuhan antar warga Desa Lingga
dengan Personil Kaporles Karo dilahan Relokasi Mandiri tahap II Desa Lingga.
Badan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) menilai bahwa

12

Komnas HAM. 2016. Keterangan Pers Komnas HAM tentang Pemantauan dan Penyelidikan
Peristiwa BentrokMasyarakat Desa Lingga Dengan Kepolisian Resor Tanah Karo.Pdf. diakses
pada 11 Agustus 2016. Hal. 2
13
http://news.okezone.com/read/2016/08/01/340/1452250/ini-alasan-warga-desa-lingga-tolakrelokasi diakses tanggal 6 Desember 2016 pada pukul 23.47 Wib

Universitas Sumatera Utara

kerusuhan tersebut merupakan puncak dari ketidakpastian dalam penanganan
korban erupsi Sinabung. Dinilai bahwa pemerintah Pusat dan pemerintah daerah
belum serius dalam menanggapi dampak bencana sinabung sejak 2013 hingga
sekarang. 14 Sehingga berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk
melihat dan meneliti tentang bagaimana proses kebijakan relokasi yang berhujung
kepada konflik dengan judul “Kebijakan Relokasi Pengungsi dan Konflik
(Studi Tentang Formulasi Kebijakan Relokasi Pengungsi Gunung Sinabung
Berkaitan dengan Konflik Desa Lingga Kabupaten Karo Tahun 2016)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah
dalam penelitian ini :
a. Bagaimana proses formulasi kebijakan terhadap relokasi pengungsi
Gunung Sinabung di Desa Lingga Kabupaten Karo Tahun 2016 ?
b. Kenapa timbul kerusuhan setelah adanya relokasi pengungsi di Desa
Lingga Kabupaten Karo Tahun 2016 ?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah berfungsi agar suatu penelitian lebih fokus dan terarah
dalam pembahasan yang sedang diteliti sehingga dapat menghasilkan suatu karya
ilmiah yang dapat memberikan informasi terhadap pembaca. Adapun batasan
masalah yang ada pada penelitian ini adalah : proses formulasi kebijakan relokasi
di Desa Lingga serta penyebab kerusuhan yang ada di Desa Lingga tersebut.
14

http://beritasumut.com/peristiwa/Kerusuhan-di-Desa-Lingga--Cermin-Kegagalan-KebijakanRelokasi-Mandiri diakses pada 25 november 2016 pukul 15.02 WIB

Universitas Sumatera Utara

D. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memiliki beberapa tujuan diantaranya :
1. Untuk mengetahui bagaimana proses formulasi kebijakan relokasi di
Desa Lingga Kabupaten karo.
2. Untuk mengetahui penyebab kerusuhan yang ada di Desa Lingga
Kabupaten karo.
E. Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang dilakukan
oleh peneliti diantaranya :
1. Pribadi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu memberi pengetahuan
dan pengalaman dalam penelitian ke lokasi sesuai dengan kajian yang
dikaji.
2. Secara

akademis,

penelitian

ini

diharapkan

mampu

menambah

pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program studi Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Secara Teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang sungguh
diharapkan mampu memberikan sebuah sumbangsih mengenai kebijakan
penanggulangan korban bencana alam
4. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta
rekomendasi bagi lembaga yang terkait.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori
F.1. Teori Kebijakan Publik
F.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya
pemerintah

sebagai

strategi

untuk

merealisasikan

tujuan

negara

yang

bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk pada masyarakat
yang dicita-citakan. 15
Carl Fredich memandang kebijakan publik adalah satu arah tindakan yang
diusulkan oleh seorang kelompok atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu,
yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dalam rangka mencapai suatu
tujuan merealisasikan suatu maksud tertentu. 16 Secara umum, saat ini kebijakan
lebih

dikenal

sebagai

keputusan

yang

dibuat

oleh

pemerintah

untuk

menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada masyarakat.
Setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi dapat
menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan didalam menguji argumennya.
Analisis dalam kerangka kebijakan publik secara tidak langsung menunjukkan
pengguna institusi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian
kebijakan dengan pemecahan kedalam komponen-komponennya, tetapi juga
15
16

Riant Nugroho, 2008. Public policy. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal.55
Budi Winarno, 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jogjakarta: Media Persindo. Hal.16

Universitas Sumatera Utara

merencanakan dan mencari sintesis atas alternatif-alternatif yang memungkinkan.
Kegiatan ini mencakup penyelidikan untuk menjelaskan atau memberikan
wawasan terhadap problem atau isu yang muncul atau untuk mengevaluasi
program yang sudah berjala. Menurut Charles O. Jones kebijakan terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut : 17


Goal atau tujuan yang diinginkan,



Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan,



Program yaitu upaya yang berwewenang untuk mencapai tujuan,



Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program,



Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder).
Jadi pada dasarnya studi kebijakan publik berorientasi pada pemecahan

masalah riil yang terjadi ditengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa
dalam hubungannya tindakan pemerintan untuk mengatasi masalah-masalah
masyarakat, maka kebijakan adalah keputusan pemerintah untuk memecahkan
masalah yang telah diutarakan.

17

Hesel Nogi S. Tangkilisan, 2005. Kebijakan Publik yang Membumi.yogyakarta : yayasan
pembaruan Administrasi publik Indonesia & Lukman Offset. Hal. 3

Universitas Sumatera Utara

F.1.2. Tahapan Analisis Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja yang
meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling terkait dan dilakukan
secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis kebijakan 18 seperti
bagan berikut :
Bagan 1.1
Proses Analisis Kebijakan Publik
MASALAH
KEBIJAKAN
PERUMUSAN
MASALAH

MASALAH
KEBIJAKAN
PENYIMPULAN
PRAKTIS

HASIL
KEBIJAKAN

HASIL GUNA
KEBIJAKAN

ALTERNATIF
KEBIJAKAN

EVALUASI
PELIPUTAN

REKOMENDASI

TINDAKAN
KEBIJAKAN

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Wiliam
Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan
dalam kebijakan publik, yaitu : agenda setting (penetapan agenda kebijakan);
policy formulation (formulasi kebijakan); policy adoption (adopsi kebijakan);

18

Ibid. hal. 7

Universitas Sumatera Utara

policy implementation (implementasi kebijakan); dan policy asessment (evaluasi
kebijakan). 19
1. Agenda setting
Tahap penetapan agenda kebijakan, yang harus dilakukan pertama kali
adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya
permasalahan ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn
problem structuring memiliki 4 fase yaitu : problem search (pencarian masalah),
problem defenition (pendefenisian masalah), problem specification (spesifikasi
masalah), dan problem setting (pengenalan masalah).
2. Policy formulation
Berkaitan dengan formulasi kebijakan, Woll berpendapat bahwa formulasi
kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan
masalah publik, dimana pada tahap para analisis kebijakan publik mulai
menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan
kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam
menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya
manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi
tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas.
Pada tahap formulasi kebijakan ini, para nalisis harus mengidentifikasikan
kemungkinan

19

kebijakan

yang

dapat

digunakan

memalui

prosedur

Ibid, hal. 7-10

Universitas Sumatera Utara

forecastinguntuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi
dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.
3. Policy Adoption
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan
kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini
dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang
dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang
diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai
tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.
2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai
alternatif yang akan direkomendasi.
3) Mengevaluasi

alteratif-alternatif

tersebut

dengan

menggunakan

kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif
kebijakan tersebut lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.
4. Policy implementation
Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor
(birokrasi pemerintahan) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan
sumber daya lainya (teknologi manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat
dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada

Universitas Sumatera Utara

posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisisr, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisisr
seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unitunit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan
interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat
diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Jadi tahapan implementasi ini merupakan pristiwa yang berhubungan
dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur. Tugas implementasi sebagai suatu penghubung yang
memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau
kegiatan dari program pemerintah.
5. Policy assesment
Tahap akhir dari proses kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan
yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi
dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam
program kebijakan tersebut sesuain dengan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria
yang telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh lembaga
independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk
mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuan
atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki
kelemahan, maka pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan atau

Universitas Sumatera Utara

kelemahan tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terulang dimasa yang
akan datang.
Menurut Dunn evaluasi kebijakan publik mengandung arti yang
berhubungan dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan dan
program yang telah dilakukan. Jadi termologi evaluasin dapat disamakan dengan
penaksiran (apprasial), pemberian angka (ratting), dan penilaian (asessment).
Dalam arti yang lebih spesifik lagi, evaluasi kebijakan berhubungan dengan
produk informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Maka dapat
diketahui sifat evaluasi sebagai berikut:
1) Fokus nilai, dimana evaluasi dipusatkan pada penilaian yang
menyangkut keperluan atau nilai dari satu kebijakan dan program.
2) Interpedensi fakta dan nilai, dimana tuntutan evaluasi tergantung pada
fakta dan nilai untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program
tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi atau terendah.
3) Orientasi masa kini dan masa lampau, dimana evaluasi bersifat
retrospektif dilakukan setelah aksi-aksi yang dilakukan, sekaligus
bersifat prospektif untuk kegunaan masa mendatang.
4) Dualitas nilai, dimana nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi
mempunyai kualitas ganda karena dipandang mempunyai tujuan
sekaligus cara.
Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupanya sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat

Universitas Sumatera Utara

kebijakan dalam membuat keputusan 20. Didalam menganalisis sebuah kebijakan
publik dapat diproses melalui sebuah proses untuk menguraikan dan mengkaji
unsur-unsur penting dalam sebuah kebijakan. Selain itu analisis kebijakan publik
juga untuk melahirkan sebuah alternatif baru yang dapat memberikan sebuah
solusi atas persoalan persoalan yang belum diselesaikan dari kebijakan
tersebut.Tindakan tindakan yang diambil dalam analisis kebijakan mungkin dapat
dimulai dengan menguraikan isu-isu seputar permasalahan yang ada sampai
dengan melakukan evaluasi terhadap suatu program kebijakan publik secara
lengkap.Kebijakan publik diharapkam dapat menghasilkan informasi dan
argumen-argumen yang memiliki dasar logika yang jelas dan mengandung 3
macam tolak ukur utama yaitu :
1.

Nilai yang pencapainya mertupakan tolak ukur utama untuk melihat
apakah masalah telah teratasi

2.

fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai

3.

tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. 21

Berikutnya terdapat 5 unsur yang ada pada kebijakan publik, diantaranya :
a. Masalah publik (Public Issue); merupakan isu sentral yang akan
diselesaikan dengan sebuah kebijakan. Seperti disampaikan di depan,
kebijakan selalu diformulasikan untuk mengatasi ataupun mencegah
20

William.N.Dunn. 2003.Analisis Kebijakan Publik I. Yogyakarta .Gadjah Mada University
Press.hal.95.
21
Ibid, Hal 97

Universitas Sumatera Utara

timbulnya masalah, khususnya masalah yang bersifat isu publik. Masalah
disebut sebagai isu publik manakala masalah itu menjadi keprihatinan
(Concern) masyarakat luas dan mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas.
b. Nilai Kebijakan (Value); setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu
dan juga bertujuan untuk menciptakan tatanilai baru atau norma baru
dalam organisasi. Seringkali nilai yang ada di masyarakat atau anggota
organisasi berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu
perlu partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat merumuskan
kebijakan.
c. Siklus Kebijakan; proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah
proses yang siklis dan bersifat kontinum, yang terdiri atas tiga tahap: (1)
perumusan kebijakan (Policy Formulation), (2) penerapan kebijakan
(Policy Implementation), dan (3) evaluasi kebijakan (Policy Review).
Ketiga tahap atau proses dalam siklus tersebut saling berhubungan dan
saling tergantung, kompleks serta tidak linear, yang ketiganya disebut
sebagai Policy Analysis.
d. Pendekatan dalam Kebijakan; pada setiap tahap siklus kebijakan perlu
disertai dengan penerapan pendekatan (Approaches) yang sesuai. Pada
tahap formulasi, pendekatan yang banyak dipergunakan adalah pendekatan
normatif, valuatif, prediktif ataupun empirik. Pada tahap implementasi
banyak menggunakan pendekatan struktural (organisasional) ataupun
pendekatan

manajerial.

Sedangkan

tahap

evaluasi

menggunakan

Universitas Sumatera Utara

pendekatan yang sama dengan tahap formulasi. Pemilihan pendekatan
yang digunakan sangat menentukan tingkat efektivitas dan keberhasilan
sebuah kebijakan.
e. Konsekuensi Kebijakan; pada setiap penerapan kebijakan perlu dicermati
akibat yang dapat ditimbulkan. Dalam memantau hasil kebijakan kita
harus membedakan dua jenis akibat; luaran (Output) dan dampak (Impact).
Apapun bentuk dan isi kebijakan pada umumnya akan memberikan
dampak

atau

konsekuensi

yang

ditimbulkan.

Tingkat

intensitas

konsekuensi akan berbeda antara satu kebijakan dengan yang lain, juga
dapat berbeda berdasar dimensi tempat dan waktu. Konsekuensi lain yang
juga perlu diperhatikan adalah timbulnya resistensi (penolakan) dan
perilaku negatif. 22
Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan sesorang dalam
menganalisis sehingga memiliki dasar logika yang kuat yaitu pendekatan
empiris,valuatif dan normative.

22

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.1
Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik
Pendekatan

Pertanyan Utama

Empiris

Adakah

dan

Tipe Informasi
adakah Deskriptif dan prediktif

(fakta)
Valuatif

Apa manfaatnya (nilai)

Valuatif

Normatif

Apakah yang harus di Preskriptif
perbuat (aksi)

Sumber : Analisis Kebijakan Publik. Wiliam N. Dunn Hal 98
Tabel diatas menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis

sebuah

kebijakan

publik.Pendekatan

empirisi

menekankan

penjelasan berbagai sebab dan akibat dari sebuah kebijakan publik.Pertanyaan
utama di dalam pendekatan empiris bersifat faktual dan informasi yang dihasilkan
bersifat deskriptif.Contohnya meramalkan, menjelaskan pengeluaran publik untuk
kesehatan, pendidikan atau jalan raya 23 .Sebaliknya, pendekatan valuatif lebih
menekankan terhadap penentuan bobot atau nilai yang terkandung didalam
kebijakan.Adapun pertanyaan dalam analisisnya adalah berapa nilai dan bobot
yang terkandung di dalam kebijakan tersebut, sehingga informasi yang dihasilkan
bersifat valuatif. Sebagai contoh, setelah memberikan informasi deskriptif
mengenai berbagai macam kebijakan perpajakan, analisi dapat mengevaluasi
berbagai cara yang berbeda dalam mendistribusikan beban pajak menurut
23

Thomas Dye. 1976. Police Analysis: What Governments Do Why They do it, and what Diffrence
Makes.Univesrity AL. The University of Alabama Press.

Universitas Sumatera Utara

konsekuensi etis dan moral mereka. Dan yang terakhir adalah pendekatan
normatif yang menekankan terhadap rekomendasi serangkaian tindakan-tindakan
yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, pertanyaan dalam
pendekatan ini adalah yang berkenaan dengan tindakan yang diapilkasikan dari
kebijakan publik tersebut.
F.1.3. Faktor yang Mempengaruhi dalam Pembuatan Kebijakan
Dalam perumusan kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam
factor strategis yang biasanya mempengaruhi, factor-faktor tersebut meliputi :
1.

Faktor Politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan
suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan
diperlukan dukungan dari berbagai actor kebijakan (policy actors),
baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan
pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lainlain).

2.

Faktor ekonomi/financial. Faktro ini pun perlu dipertimbangkan
terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap
dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi
dalam suatu daerah.

3.

Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu
pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu
apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung

Universitas Sumatera Utara

oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakan sudah ada
organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4.

Faktor

teknologi.

Dalam

perumusan

kebijakan

publik

perlu

mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat
mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5.

Faktor

sosial,

dipertimbangkan,

budaya

dan

misalnya

agama.
apakah

Faktor
kebijakan

ini

pun

perlu

tersebut

tidak

menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering
disebut masalah SARA.
Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun
akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang
akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.
F.1.4. Kategori Kebijakan Publik
Joynt mengatakan bahwa kebijakan itu dapat berarti yang berbeda-beda
untuk orang-orang yang berbeda-beda. Usaha untuk mengadakan klasifkasi/
tingkat-tingkatan kebijakan itu adalah seperti halnya membai tingkatan suhu udara.
Menanggapi hal tersebut maka, simon dalam buku soenarko kemudian kemudian
dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi 3 macam policy yaitu: 24
a. Legislatif policy, yaitu kebijakan yang dibuat landasan dan pegangan
bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau
kebijakan yang banyak mengandung norma-norma yang harus
24

Soenarko SD, h. 2003. Publik policy, Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Menganalisa
kebijakan Publik. Surabaya : Airlangga University Press. Hal: 63

Universitas Sumatera Utara

diselenggarakan oleh pimpinan tersebut.Oleh karena itu, kebijakan ini
lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung
pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusankeharusan yang lebih banyak dibuat oleh legislatif.
b. Management policy, merupakan-merupakan peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat
teras
c. Working policy, yaitu kebijakan lainnya yang dibuat untuk
pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir
yang tersimpul dari kebijakan itu.
Berbeda dengan simon, hudson menyoroti klasifikasi kebijakan publik
dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi
golongan,yaitu
a. Over–all policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau
presiden dengan berdasarkan UUD (constution). Oleh karena itu, sifatnya
adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara.
b. Top management policies, (kebijaksanaan pelaksanaan), yaitu merupakan
kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau
dinas-dinas pelaksanaan “over-all policies” dengan menentukan cara-cara,
prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis.

Universitas Sumatera Utara

c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan
langsung bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam
kegiatan operasionalnya.
F.1.5. Bentuk dan Tahapan Kebijakan Publik
Terdapat tiga kelompok rententan kebijakan publik yang dirangkum secara
sederhana yakni sebagai berikut: 25
1. Kebijakan publik makro
Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga
dikatakan sebagai kebijakan yang berdasar. Contohnya: 26 (a). Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; (b). Undang-undang atau
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang; (c). Peraturan Pemeritah;
(d).

Peraturan

Presiden;

pengimplementasikannya,

(e).

kebijakan

Peraturan
publik

makro

Daerah.Dalam
dpat

langsung

diimplementasikan.
2. Kebijakan Publik Meso
Kebijakan yang bersifat meso atau bersifat menengah atau yang lebih
dikenal dengan penjelasan pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa
Peraturan Menteri, surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan

25

Riant, Nugroho. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang (Model-model
Perumusan Implementasi dan Evaluasi). Jakarta : PT. Elex Media komputindo. Hal. 31
26
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

Walikota, Peraturan Bupati, Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri,
Gubernur dan Bupati atau Walikota.
3. Kebijakan Publik Mikro
Kebijakan yang bersifat Mikro, mengatur pelaksanaan atau implementasi
dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya
Peraturan yang dikeluarkan oleh aparat –aparat publik tertentu yang berada
dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.
F.1.6. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni: 27
1. Analisis Kebijakan Prospektif
Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan di mualai dan di implementasi
cendrung mengidentifikasi cara beroperasinya para ekonom, analisis
sistem dan analisis operasi dengan lain merupakan suatu alat untuk
merealisasikan informasi untuk dipakai dalam merumuskan suatu
alternative dan preferensi kebijakan yang digunakan secara komperatif,
diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan
atau penuntun dalam pengambilan keputusan.
2. Analisis kebijakan restropektif

27

William N, Dunn. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gadja Mada
University Press Hal : 117

Universitas Sumatera Utara

Analisis kebijakan restropektif dalam banyak hal sesuai dengan
deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya.
Analisis kebijakan restropektif dijelaskan sebagai penciptaan dan
transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup
berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok
analisis :
a. Analisis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar dari
para ilmuan politik dan sosiologi terutama berusaha untuk
mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan
menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan.
Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuantujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak
melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan
yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan,
dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.
b. Analisis yang berorientasi pad masalah, sebagian besar terdiri dari
para ilmuan politik dan sosiologi yang berusaha menerangkan
sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian,
para analisis yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh
perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang
dianggap penting dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh
perhatianpada

identifikasi

variabel-variabel

yang

dapat

Universitas Sumatera Utara

dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasai
masalah.
c. Analisis berorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analisis yang
mencakup ilmuan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang
datang dari bidang studi profesional pekerja sosial dan administrasi
publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi.
Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan kosekuensi
kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh
perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar.
Lebih jauh kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada
variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan indentifikasi
tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan
pelaku kebijakan.
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktif yang menaruh perhatian
pada penciptaan dan transformasi dan informasi sebelum dan sesudah
kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya
mengharuskan para analisis untuk mengaitkan tahap penyelidikan
restropektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analisis untuk
terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap
saat. Analisis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus,

Universitas Sumatera Utara

berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis
dapat memulai penciptaan dan tranformasi informasi pada setiap titik
dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis
kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki
metodologi analisis prospektif dan restropektif, tetapi tidak satupun
dari kelebihan mereka. Analisis kebijakan yang terintegrasi melakukan
pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang
waktu. Tidak demikian halnya analisis prospektif dan restropektif yang
menyediakan lebih sedikit informasi.
F.2. Teori Konflik James Scott (Patron-Clien)
Istilah “patron” berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti
“seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang, dan pengaruh”,
sedangkan “klien” berarti “bawahan atau orang yang diperintah atau disuruh”.
Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa didalam sebuah interaksi sosial masingmasing aktor melakukan hubungan timbal balik. Hubungan ini dilakukan baik
secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal
(masing-masing aktor kedudukannya sama). 28
Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok
komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan,
maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih
28

As, Kausar.2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayangan- Bayangan
Budaya Patron-Klien.Bandung: P.T. Alumni. Hal. 132

Universitas Sumatera Utara

rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau,
dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk
membantu klien-kliennya 29 .Menurutnya seorang patron berposisi dan berfungsi
sebagai pemberi terhadap kliennya, sedangkan klien berposisi sebagai penerima
segala sesuatu yang diberikan oleh patronnya.
Lebih lanjut mengenai hal ini, sebagaimana yang dikemukakanoleh Scott
bahwa ada ketidakseimbangan dalam pertukaran antara dua mitra yang
mengekspresikan dan reflets perbedaan dalam kekayaan relatif mereka, kekuasaan
dan status. Seorang klien dalam pengertian ini adalah seseorang yang telah
memasuki hubungan pertukaran yang tidak seimbang di mana ia tidak dapat
membalasnya

sepenuhnya.Sebuah

utang

kewajiban

mengikat

dia

untuk

pelindung. 30
Scott memang tidak secara langsung memasukkan hubungan patron-klien
ke dalam teori pertukaran. Meskipun demikian, jika memperhatikan uraianuraiannya mengenai gejala patronase, maka akan terlihat di dalamnya unsur
pertukaran yang merupakan bagian terpenting dari pola hubungan semacam ini.
Menurut pakar ilmu politik Universitas Yale Amerika Serikat ini, hubungan
patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa yang dapat dalam
berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, bagi

29

Jamesscott C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S. Cetakan Kedua. Hal. 14
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor. Edisi Pertama. Hal. 9294

30

Universitas Sumatera Utara

pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas
pemberian tersebut. 31
Scott menjabarkan makna hubungan patron-klien adalah suatu kasus
khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan
instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk
memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang
lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian
tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasajasa pribadi kepada patro. Dalam hubungan ini, pertukaran tersebut merupakan
jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka
panjang. Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa meteri melainkan
dalam bentuk lainnya 32. Scott menyebutkan tiga faktor yang menjadi penyebab
tumbuh dan berkembangnya relasi patronase dalam suatu komunitas, yaitu:
a. ketimpangan pasar yang kuat dalam penguasaan kekayaan,
b. status dan kekuasaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang
sah,

31

Ibid. hal. 91-92
Putra, Hedi, Sri Ahimsa. 1988. Minawang: Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan.
Yogyakrta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2

32

Universitas Sumatera Utara

c. ketiadaan jaminan fisik, status dan kedudukan yang kuat dan
bersifat personal serta ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai
wahana yang efektif bagi keamanan dan pengembangan diri. 33
Scott memberi defenisi bahwa ikatan patron-klien didasarkan dan berfokus
pada pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antar kedua belah pihak, serta
tidak didasarkan pada kriteria askripsi.
Disatu sisi Scott mengatakan bahwa dalam hubungan patron-klien dapat
menimbulkan hubungan yang bersifat eksploitasi, walaupun terdapat situasi
ketergantungan antara penyewa/penggarap (klien) dengan tuan tanah (patron),
sehingga berimplikasi terhadap minculnya konflik atau pertentangan seperti kasus
di Luzon tengah Filipina. Disamping itu salah satu penyebab konflik adalah
karena reaksi yang diberikan oleh dua orang/kelompok atau lebih dalam situasi
yang sama berbeda-beda disogreement/ketidaksetujuannya. Eksploitasi menurut
Scott adalah bahwa ada individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau
secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang
lain.Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi.
Pertama, harus dilihat sebagai suatu hubungan antara perorangan, dan ada pihak
yang mengeksploitasi dan dieksploitasi.Kedua, merupakan distribusi tidak wajar

33

Scott, James C. 1977. ‘Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia’
dalam Friends, Followers and Factions a Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schimidt,
James C. Scott (eds.), Berkeley: University of California Press.James C. Scott. Hal. 132

Universitas Sumatera Utara

dari usaha dan hasilnya.Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan
patron klien. 34
Dalam hubungan ini sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental
dimana terdapat seseorang dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) yang
pada gilirannya memberi balasan, dukungan dan bantuan kepada seseorang yang
status ekonominya lebih rendah (clien). Scott juga mengatakan bahwa hubungan
patron-klien memeiliki hubungan pertukaran antara dua peran yang berbeda.
Ikatan tersebut dapat berupa hubungan persahabatan instrumental dimana
sebagian besar individu atau kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi statusnya
(patron)

menggunakan

pengaruh

dan

sumberdaya

untuk

memberikan

perlindungan atau manfaat kepada kelompok yang lebih rendah statusnya
(clien). 35
G. Metodologi Penelitian
G.1. Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada
berdasarkan fakta dan data-data yang ada. penelitian ini untuk memberikan
gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. 36

34

Scott, JC. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta
[ID]: LP3ES. Hal. 239
35
Ibid. hal 92
36
Bambang Prasetyo dkk, “Metode Penelitian Kuantitatif : teori dan aplikasi”, Jakarta, Raja
Grafindo persada, 2005. Hal. 42

Universitas Sumatera Utara

Tujuan dasar penelitian ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki. Metode penelitian ini tidak sampai
mempersoalkan jalinan hubungan antara variabel yang ada, tidak dimaksudkan
untuk

menarik

generalisasi

yang

menjelaskan

variabel-variabel

yang

menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Sebab pada metode deskriptif
tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang
dilakukan pada metode eksplanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun
dan mengembangkan perbendaharaan teori. 37 Metode penelitian yang digunakan
untuk menjawab penelitian adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Hadari
Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek
atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. 38
Pada penelitian kali ini penulis akan melakukan penggambaran proses
kebijakan relokasi yang ada di Desa Lingga kabupaten karo tahun 2016.
G.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif. Dimana menurut peneliti penelitian ini termasuk kedalam

37

Sanafiah Faisal, “Format Penelitian Sosial Da