Pengaruh Corporate Governance Terhadap Kinerja Intellectual Capital Pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Corporate Governance

2.1.1

Pengertian Corporate Governance
Corporate governance atau tata kelola perusahaan akan membantu

terciptanya hubungan kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan diantara elemen
dalam perusahaan (dewan komisaris, dewan direksi, dan para pemegang saham)
dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Dalam teori keagenan dijelaskan
bahwa corporate governance merupakan suatu tata kelola perusahaan yang
menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang
menentukan arah dan kinerja perusahaan. Menurut Sutedi (2012: bahwa corporate
governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
perusahaan (pemegang saham/pemilik modal, komisaris/dewan pengawas dan
direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan

guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan

kepentingan

stakeholder

lainnya,

berlandaskan

peraturan

perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Sedangkan menurut Mal An Abdullah (2010: 13) menyatakan bahwa GCG
merujuk pada sistem dan metode dalam mengarahkan, menata dan mengendalikan
perusahaan yang meliputi ketentuan-ketentuan hukum dan kelaziman-kelaziman
yang memengaruhi inefisiensi akibat moral hazard dan adverse selection. Definisi
corporate governance berdasarkan Forum for Corporate Governance in


12
Universitas Sumatera Utara

Indonesia (FGCI) dalam Mal An Abdullah (2010: 13) sebagai seperangkat
peraturan yang menetapkan hubungan pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dikalangan
pebisnis, secara umum GCG diartikan sebagai tata kelola perusahaan atau sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah
(value added) untuk semua stakeholders. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan dua hal yang ditetapkan, yaitu:
1.

Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi
dengan benar dan tepat pada waktunya.

2.

Kedua,


kewajiban

perusahaan

untuk

melakukan

pengungkapan

(disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua
informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
2.1.2

Kode Corporate Governance Indonesia

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa tujuan dari keseluruhan
mekanisme corporate governance adalah untuk mengurangi agency cost yang
muncul akibat pemisahan kepemilikan dan kontrol pada perusahaan publik yang
besar. Untuk itu pemerintah Indonesia melalui Komite Nasional Corporate

Governance telah mendesain sebuah instrumen yang disebut Kode Corporate
Governance. Kode corporate governance versi terakhir yang dipublikasikan oleh
Komite Nasional Corporate Governance, terdiri atas (dalam Kamal, 2011):

13
Universitas Sumatera Utara

2.1.2.1 Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate
Governance
Kode ini mewajibkan pemerintah, komunitas bisnis, dan masyarakat
bekerja secara simultan sebagai governance tripod. Pemerintah sebagai regulator
memiliki tanggung jawab melahirkan hukum dan aturan-aturan yang relevan yang
mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, di samping
menegakkan hukum dan aturan yang dibuat. Komunitas bisnis harus
mengimplementasikan prinsip-prinsip corporate governance sebagai dasar dalam
aktivitas bisnisnya. Kode juga menyatakan bahwa masyarakat diminta
menjalankan kontrol secara objektif dan bertanggung jawab dengan cara
mengkomunikasikan pendapat atau keberatannya kepada komunitas bisnis dan
pemerintah.
2.1.3


Asas Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip umum Kode Corporate Governance Indonesia tidak

berbeda dengan prinsip umum corporate governance OECD, kecuali prinsip
kewajaran (Tjager, 2003: 52-53). Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Transparansi
Transparansi berkaitan dengan keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Kemandirian
Kemandirian yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
professional tanpa benturan kepentingan dan tekanan dari pihak manapun.

14
Universitas Sumatera Utara

c. Akuntabilitas
Akuntabilitas mencakup kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung
jawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana

secara efektif.
d. Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap regulasi pemerintah dan prinsip-prinsip korporasi.
e. Kewajaran
Prinsip kewajaran mencakup keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi
hak-hak pemangku kepentingan yang muncul berdasarkan perjanjian dan
peraturan yang berlaku.
Penerapan dari prinsip-prinsip tersebut tentu akan membawa dampak
positif dari penerapan GCG sendiri. Widyaningrum (2014), menyatakan manfaat
penerapan prinsip-prinsip dari corporate governance adalah:
1.

Meminimalkan agency cost dengan mengontrol konflik kepentingan yang
mungkin terjadi antara principal dan agen.

2.

Meminimalkan cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada
para penyedia modal.


3.

Meningkatkan citra perusahaan.
Meningkatkan nilai perusahaan yang dapat dilihat dari cost of capital yang
rendah.

4.

Peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa
depan perusahaan yang lebih baik.

15
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan Effendi (2009: 2-3) menguraikan dalam bukunya mengenai
prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD yang
mencangkup 5 hal yaitu:
1.


Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the rights of
shareholders).

2.

Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the equitable
treatment of shareholders).

3.

Peranan pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan (the role of
stakeholders).

4.

Pengungkapan dan transparani (disclosure and transparency).

5.

Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the responsibilities of the

board).

2.1.4

Faktor-Faktor Pembentuk Corporate Governance
Steger dan Aman (2008: 17-18) mengemukakan bahwa selain model

bisnis/industri dan perangkat hukum yang berlaku, terdapat dua faktor lain yang
membentuk sistem corporate governance, yaitu personalities (karakteristik)
dewan komisaris dan dewan direksi serta ownership (kepemilikan). Karakteristik
dewan komisaris dan dewan direksi akan memengaruhi setiap pengambilan
keputusan dalam perusahaan, termasuk keputusan pengelolaan intellectual
capital. Karakteristik dewan yang diteliti dapat berupa gender, independensi, latar
belakang pendidikan, dan kebangsaan (Williams dan O’Reilly, 1998).

16
Universitas Sumatera Utara

2.1.4.1 Proporsi Komisaris Independen
Proporsi anggota independen dalam dewan komisaris dapat dikatakan

sebagai indikator independensi dewan dari manajemen. Keputusan Direksi BEJ
Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 menyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan
tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional
sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham
Pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris. Secara lebih
rinci komisaris independen didefinisikan sebagai anggota dewan komisaris yang
tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang
saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang
dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertidak
semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan
Corporate Governance, 2006).
Menurut Surya (2008: 135) komisaris independen adalah komisaris yang
bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas, pejabat atau
dengan cara lain yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi pengelolaan
perusahaan Komisaris independen diharapkan dapat menciptakan keseimbangan
atas berbagai kepentingan para pihak dalam hal pengambilan keputusan bisnis.


17
Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan saham oleh manajemen dapat diartikan sebagai kepemilikan
sejumlah saham suatu perusahaan oleh dewan direksi dan komisarisnya.
Kepemilikan manajerial ini diasumsikan dapat menurunkan potensi agency
problem. Kepemilikan saham manajerial juga dapat menyatukan kepentingan
antara manajer dan pemegang saham, diharapkan manajer akan berhati-hati dalam
mengambil keputusan karena mereka ikut merasakan secara langsung manfaat
dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai
konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Novitasari, 2009). Dewan
direksi dan dewan komisaris yang memiliki saham di dalam perusahaan yang
mereka pimpin akan memiliki rasa kepemilikan yang kuat sehingga akan
menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kekayaan
perusahaan (Makki, 2010: 22).
2.1.3.3 Kepemilikan Insitusional
Kepemilikan institusional mencerminkan proporsi kepemilikan saham
yang dimiliki oleh perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi maupun
lembaga lain seperti perusahaan-perusahaan. Menurut Hanafi (2003) dalam
Lorena (2014), kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham oleh
investor institusional yang dapat dilihat dari proporsi saham yang dimiliki institusi
dalam perusahaan. Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham.

18
Universitas Sumatera Utara

2.1.5

Return on Asset (ROA)

ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari
aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan suatu ukuran untuk menilai seberapa
besar tingkat pengembalian

dari asset yang dimiliki. Menurut Dendrawijaya

(2003:146), semakin besar ROA suatu perusahaan maka semakin baik pula posisi
perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset. Nilai ROA yang semakin
mendekati 1, berarti semakin baik profitabilitas perusahaan karena setiap aktiva
yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan kata lain semakin tinggi nilai ROA
maka semakin baik kinerja keuangan perusahaan tersebut (Munawir, 2002).
2.1.6

Leverage
Leverage merupakan aktivitas pembiayaan oleh utang. Leverage

diproksikan oleh rasio debt to assets ratio (DAR) yang dihitung dari besarnya
total utang terhadap keseluruhan total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan
Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur modalnya
akan menanggung biaya keagenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perusahaan yang proporsi hutangnya kecil. Untuk mengurangi cost agency
tersebut manajemen perusahaan dapat mengungkapkan lebih banyak informasi
yang diharapkan dapat semakin meningkatkan seiring dengan semakin tingginya
tingkat leverage. Leverage menggambarkan sejauh mana modal pemilik dapat
menutupi utang pada pihak di luar perusahaan. Leverage diperkirakan memiliki
efek negatif terhadap kinerja modal intelektual. Perusahaan dengan tingkat utang
yang tinggi akan lebih fokus pada memperbaiki citra perusahaan daripada
menambah investasi jangka panjang perusahaan. Tingkat hutang perusahaan yang

19
Universitas Sumatera Utara

tinggi akan mengurangi aktivitas perusahaan dalam investasi pada research and
development (R & D) dan pengembangan IC (Williams, 2000 dalam Novitasari
2009).
2.2

Intellectual Capital

2.2.1

Pengertian Intellectual Capital
Intellectual Capital umumnya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara

nilai pasar perusahaan dengan nilai buku dari aset perusahaan tersebut. Lebih
lanjut intellectual capital juga diidentifikasikan sebagai nilai yang tersembunyi
dari bisnis, karena aset intelektual atau aset pengetahuan tidak terlihat secara
umum seperti layaknya aset tradisional dan aset semacam itu biasanya tidak
terlihat pula pada laporan keuangan (Edvinsson & Malone, 1997, dalam Ulum,
2009:21)
Klein and Prusak (dalam Brooking, 1997) memberikan definisi awal atas
intellectual capital. Mereka menyatakan bahwa intellectual capital adalah
“material yang telah disusun, ditangkap, dan digunakan untuk menghasilkan nilai
assets yang lebih tinggi. “Stewart (1997), mendefinisikan intellectual capital
sebagai “packaget useful knowledge.” Brooking (1996) menawarkan definisi yang
lebih komperhensif dengan menyatakan bahwa istilah intellectual capital
diberikan untuk kombinasi intangible assets yang dapat membuat perusahaan
untuk berfungsi.”
Setelah satu definisi IC yang banyak digunakan adalah yang ditawarkan
oleh Organitation for Economic Cooperation and Development (OECD, 1999)
yang menjelaskan IC sebagai nilai ekonomi dari dua katagori asset tak berwujud:

20
Universitas Sumatera Utara

(1) organizational (structural); dan (2) human capital. Lebih tepatnya
Organisational (structural) capital mengacu pada hal seperti sistem software,
jaringan distribusi, dan rantai pasokan. Human capital meliputi sumber daya
manusia didalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/karyawan) dan
sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi, seperti konsumen dan
supplier.
Stewart (dalam Tarigan, 2015), pengarang Intellectual Capital, The New
Wealth of Organization mendefinisikan Intellectual Capital sebagai bahan baku
intelektual seperti pengetahuan, informasi, properti intelektual, dan pengalaman
yang bersama-sama digunakan

untuk

menciptakan

kesejahteraan

dalam

perusahaan. Menurut Edvinsson dan Malone (1997) mengidentifikasikan
Intellectual Capital sebagai nila tersembunyi (hidden value) dari bisnis.
Terminologi “tersembunyi” disini digunakan untuk dua hal yang berhubungan.
Pertama IC khususnya asset intelektual atau asset pengetahuan, adalah minat tidak
terlihat secara umum seperti layaknya asset tradisional, dan kedua, asset itu
biasanya tidak terlihat pula pada laporan keuangan.
2.2.2

Komponen Intellectual Capital
Banyak para praktisi yang menyatakan bahwa intellectual capital terdiri

dari tiga elemen utama (Stewart 1998, Sveiby 1997, Saint-Onge 1996, Bontis
2000) dalam Sawarjuwono dan Agustine (2003), yaitu:
1.

Human Capital (modal manusia).
Modal manusia juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan,
keterampilan,

dan

kompetensi

dalam

suatu

perusahaan

yang

21
Universitas Sumatera Utara

mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan
solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang
yang ada dalam perusahaan tersebut.
2.

Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi).
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan
dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang
mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang
optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem
operasional perusahaan, proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi
manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki
perusahaan.

3.

Relational Capital atau Costumer Capital (modal pelanggan)
Relational capital merupakan hubungan yang harmonis/ association
network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang
berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari
pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang
bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah
maupun dengan masyarakat sekitar. Relational capital dapat muncul dari
berbagai bagian di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai
bagi perusahaan tersebut.
Dalam Skandia Visualizing Intellectual Capital in Skandia, Supplement to

Skandia’s 1994 (Ahmad dan Mushraf, 2011) intellectual capital merupakan
sekumpulan aset yang bersifat intangible yang terdiri atas:

22
Universitas Sumatera Utara

1. Human capital (HC): kemampuan karyawan dalam pengetahuan dan
kapabilitas
2. Structural capital (SC): segala sesuatu diluar karyawan, seperti databases,
piranti lunak, struktur organisasi, dll.
3. Customer capital (CC): hubungan yang dibangun dengan pelanggan dan
merupakan bagian yang signifikan dari structural capital.
4. Relational capital (RC): menggambarkan reputasi organisasi dan sifat
loyal konsumen.
2.2.3

Pengukuran Intellectual Capital
Roos et al. (1997) (dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) menyatakan

“That what you can measure, you can manage, and what you want to manage, you
have to measure. Measurement has always been important for companies”.
Dengan demikian jika intellectual capital dapat diukur, maka akan dapat diatur
dan hasil pengukurannya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan. Metode
pengukuran intellectual capital dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
intellectual capital yang tidak menggunakan penilaian moneter dan intellectual
capital yang menggunakan penilaian moneter (Silaban, 2010). Daftar ukuran non
moneter dari intellectual capital antara lain:
a. The Balance Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton
(1992)
b. Brooking’s Technology Broker method (1996)
c. The Edvinssion and Malone Skandia Intellectual Capital Report method
(1997)

23
Universitas Sumatera Utara

d. The Intellectual Capital-Index yang dikembangkan oleh Ross, dkk (1997)
e. Sveiby’s Intellectual Capital Monitor Approach (1997)
f. The Heuristic Frame yang dikembangkan oleh Joia (2000)
g. Vanderkaay’s Vital Sign Scorecard (2000)
h. The Ernst and Young model (2000)
Sedangkan daftar ukuran moneter dari intellectual capital antara lain:
a. Model EVA dan MVA (Bontis et al., 1999)
b. Market to Book Value model
c. Tobin’s q method (Luthi, 1998)
d. Pulic VAICTM model (1998, 2000)
e. Calculated intangible value (2000)
f. Knowledge Capital Earnings model (Lev and Feng, 2001)
Dari sekian banyaknya teknik pengukuran intellectual capital harus dipilih
satu pengukuran. Sveiby (2001) melihat bahwa “No single method can fulfill all
purposes; one must select method depending on purpose, situation and audience”.
Teknik pengukuran intellectual capital yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pengukuran model Pulic. Menurut Saleh dan Rahman (2008)
“VAIC™ methodology to measure IC performance because it measures the
efficiency of a company in the value creation activities”. Intellectual capital
dalam model Pulic ini diukur berdasarkan value added yang diciptakan oleh
physical capital/capital employed (VACA), human capital (VAHU), dan
structural capital (STVA). Kombinasi dari ketiga value added tersebut

24
Universitas Sumatera Utara

disimbolkan dengan nama VAIC™ yang dikembangkan oleh Pulic (1998; 1999;
2000).
2.2.4

Value Added Intellectual Coeficient (VAIC™)
Pulic (1998; 1999; 2000, 2003) menciptakan suatu ukuran untuk menilai

efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil dari kemampuan intelektual perusahaan
(Value Added Intellectual Coefficient – VAIC™). VAIC ™ tidak ditujukan untuk

mengukur nilai modal intelektual yang dimiliki oleh perusahaan, VAIC™ adalah
alat akuntansi untuk mengukur dan memantau kinerja aktiva berwujud (physical
capital) perusahaan dan kinerja aset intelektual (intellectual capital) perusahaan
yang ditunjukkan oleh human capital dan efisiensi modal struktural (Pulic, 2000).
VAIC™ menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital
dan intellectual potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan.
Pulic (1998) menganggap metodologi ini sebagai indikator universal yang
menunjukkan kemampuan intelektual dari kemampuan penciptaan nilai unit bisnis
dan merupakan ukuran efisiensi bisnis dalam ekonomi berbasis pengetahuan.
Beberapa alasan yang mendukung digunakannya VAIC sebagai indikator
dari intellectual capital ( Pulic dan Bornemann, 1999 dalam Firer dan William,
2003).
1. VAIC menyediakan dasar yang terstandarisasi dan konsisten dalam
pengukuran sehingga angka VAIC dapat dibandingkan antar perusahaan
karena menyediakan standar dan konsistensi berdasarkan ukuran kinerja
intellectual capital.

25
Universitas Sumatera Utara

2. Data yang digunakan dalam pengukuran VAIC berdasarkan data yang
dapat ditemukan dalam laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit
dan bersifat obyektif serta dapat diandalkan.
3. Pelaksanaan metode ini sederhana dan hasilnya dapat dengan mudah
ditafsirkan. Metode ini paling sesuai dengan pemahaman kognitif
stakeholder internal maupun eksternal.

2.2.4.1 Value added of Capital Employed (VACA)
Pulic (2000) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari Capital Employed
(CE) menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka
berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CEnya. Value Added
Capital Employed merupakan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya
berupa capital asset yang jika dikelola dengan baik dapat meningkatkan kinerja
keuangan perusahaan (Ulum, 2009: 87)

2.2.4.2 Value Added Human Capital (VAHU)
Value Added Human Capital (VAHU) menunjukkan berapa banyak nilai
tambah dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan
antara value added dan human capital mengindikasikan kemampuan dari human
capital untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan, et al., 2007: 80). Stewart
(dalam Ningrum, 2012) menjelaskan bahwa human capital adalah kemampuan
karyawan untuk mengolah produk dengan baik sehingga dapat menjaring konsumen
dan konsumen tidak akan beralih kepada pesaing. Berdasarkan konsep resourcebased theory, supaya dapat bertahan dalam suatu persaingan, perusahaan

26
Universitas Sumatera Utara

membutuhkan sumber daya manusia yang unggul dan pengelolaan yang baik atas
sumber daya manusianya. Sumber daya manusia atau karyawan merupakan asset
strategic perusahaan yang dapat meningkatkan kualitas perusahaan.

2.2.4.3 Structural Capital Value Added (STVA)
STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1
rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam
penciptaan nilai. SC bukanlah ukuran yang independent sebagaimana HC, SC
dependen terhadap value creation (Pulic 1999). Artinya semakin besar konstribusi
HC dalam value creation, maka akan semakin kecil konstribusi SC dalam hal
tersebut. Lebih lanjut Pulic menyatakan bahwa SC adalah VA dikurangi HC, yang
hal ini telah diversifikasi melalui penelitian empiris pada sektor industri
tradisional (Pulic, 2000).
2.3

Agency Theory
Teori keagenan mengemukakan hubungan kontrak kerja antara pemegang

saham (principal) dengan pengelola perusahaan yang diwakili oleh direksi (agent)
(Sutedi, 2012:13). Agent sendiri ditunjuk oleh pemegang saham untuk mengelola
perusahaan demi kepentingan para pemegang saham.
Agency problem muncul akibat adanya asimetri informasi dan konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen sebagai pengelola
perusahaan (Sutedi, 2012: 14). Pemegang saham menginginkan pengelolaan yang
menghasilkan pendapatan maksimal atas dana yang telah diinvestasikan, namun
tidak memiliki informasi dan kekuasaan yang luas untuk memonitor dan
mengontrol kegiatan manajemen. Di pihak lain, manajemen berkepentingan

27
Universitas Sumatera Utara

terhadap insentif atas pengelolaan dana pemegang saham dan harus bertanggung
jawab atas keputusan bisnis yang dilaksanakan yang disebabkan oleh
wewenangnya atas pengelolaan perusahaan. Teori keagenan (agency theory)
berusaha menjelaskan tentang penentuan kontrak yang paling efisien yang bisa
membatasi konflik atau masalah keagenan (Jensen dan Meckling, 1976 dan
Eisenhardt, 1989) dalam Ningrum (2012).
Konflik kepentingan tersebut secara alamiah akan terjadi dalam struktur
kepemilikan perusahaan yang tersebar (dispersed ownership) dan struktur
kepemilikan dengan pengendalian pada beberapa pemegang saham saja
(concentrated ownership). Untuk menekan potensi konflik kepentingan,
perusahaan perlu menerapkan praktik corporate governance (Surya, 2008:28).
Perusahaan dengan struktur kepemilikan yang tersebar kepada pemegang
saham publik, perlu menerapkan corporate governance untuk meningkatkan
kewenangan yang dimiliki para pemegang saham publik sebagai penyeimbang
pihak manajemen. Sedangkan perusahaan yang memiliki beberapa pemegang
saham pengendali, struktur kepemilikannya terkonsentrasi, perlu menerapkan
corporate governance untuk meminimalkan potensi konflik kepentingan yang
timbul antara pengendali perusahaan dan pemegang saham publik (Surya,
2008:6).

28
Universitas Sumatera Utara

2.4

Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

No
1

Peneliti
Muhammad
Abdul Majid
Makki
Dan
Suleman
Aziz Lodhi
(2014)

Judul Penelitian
Impact of
Corporate
Governance on
Intellectual
Capital Efficiency
and Financial
Performance

Variabel
Penelitian
Variabel
Dependen :
Intellektual
capital
Variabel
Independen :
Corporate
Governance
1. Proporsi
dewan
direksi
2. Proporsi
dewan
direksi
eksekutif
3. Jumlah
rapat komite
audit
4. CEO duality
5. Managerial
remuneratio
n
Kinerja
Perusahaan
1. ROI
2. ROE
3. NPAT

Metode
Analisis
Partial
Least
Square
(PLS)

Hasil
1. Corporate
governance tidak
berpengaruh
secara langsung
terhadap kinerja
perusahaan
2. Corporate
governance
berpengaruh
positif signifikan
terhadap kinerja
intellectual
capital
3. Kinerja
intellectual
capital
berpengaruh
positif signifikan
terhadap kinerja
perusahaan

29
Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1
No
2

Peneliti
Isfenti
Sadalia dan
Nisrul
Irawati
(2014)

Judul Penelitian
Intellectual Capital
dan Pertumbuhan
Laba
Sektor
Perbankan
di
Indonesia

Variabel
Penelitian
Variabel
Dependen:
1. ROA
2. BOPO
3. ATO
4. GR(Growth)

Metode
Analisis
Analisis
regresi
sederhan
a

Variabel
Independen:
1. VACA
2. VAHU
3. STVA

3

4

Indrianita
Anis,
(2013)

Agus
Purwanto
(2011)

Corporate
Governance-Driven
to Intellectual
Capital and
Corporate
Performance
(Empirical Study in
Indonesian Banking
Industry)

Pengaruh Struktur
Kepemilikan
Perusahaan
Terhadap Kinerja
Intellectual Capital

Variabel
Dependen :
Value Added
Intellectual
capital (VAIC)
Variabel
Independen :
1. proksi ukuran
komisaris
independen,
2. audit komite,
3. kepemilikan
institusional,
4. audit
eksternal
Variabel
Dependen:
Intellectual
Capital
Variabel
Independen:
1. Kepemilikan
keluarga
2. Kepemilikan
insitusional
3. Kepemilikan
manajerial

Partial
Least
Square
(PLS)

Analisis
regresi
linier
berganda

Hasil

VAHU,VACA
dan STVA
berpengaruh
terhadap terhadap
ROA, ATO, BOPO
dan GR pada setiap
sektor bank di
Indonesia.
Pengaruh berbeda
untuk masingmasing struktur
kepemilikan bank
di Indonesia baik
pada Bank
Pemerintah,Bank
Regional, Bank
Asing maupun
Bank Campuran.
Mekanisme
corporate
governance
(Proporsi ukuran
komisaris, komite
audit, kepemilikan
institusional dan
audit
eksternal)berpengar
uh positif terhadap
VAIC

1. Kepemilikan
keluarga dan
kepemilikan
manajerial
tidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
kinerja IC
2. Kepemilikan
instituional
berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap
kinerja IC

30
Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1
No

Peneliti

Judul Penelitian

5

Zanjirdar
dan
Kabiribalaj
adeh
(2011)

Examining
Relationship
Between
Ownership
Structure and
Performance of
Intellectual
Capital in the
Stock Market of
Iran

6

Tera
Novitasari
dan
Indira
Januarti
(2009)

Pengaruh Struktur
Kepemilikan
Terhadap Kinerja
Intellectual Capital
(Studi Pada
Perusahaan
Perbankan yang
Terdaftar di BEI
Tahun 2005-2007)

Variabel
Penelitian
Variabel
Dependen :
Intellectual
Capital
Variabel
Independen:
1. Kepemilikan
institusional
2. Kepemilikan
manajerial

Variabel
Dependen :
Intellectual
Capital
Variabel
Independen:
1. Kepemilikan
manajerial
2. Kepemilikan
institusional
Variabel Kontrol:
1. Ukuran
perusahaan
2. Leverage
3. ROA

Metode
Analisis
Analisis 1.
regresi
linier
berganda

2.

Hasil
Investor
institusional dan
investor
manajerial
menurunkan
kinerja intellectual
capital,
Investor korporat
meningkatkan
kinerja intellectual
capital

Analisis 1.
regresi
linier
berganda

Kepemilikan
manajerial
berpengaruh
positif dan tidak
signifikan
terhadap kinerja
IC
2. Kepemilikan
instituional
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap kinerja
IC
3. Ukuran,
perusahaan dan
leverage
berpengaruh
negatif dan tidak
signifikan
terhadap kinerja
IC
4. ROA berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap kinerja
IC

31
Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1
No

7

2.5

Peneliti

Judul Penelitian

Norman
Mohd.
Saleh,
Mara
Ridhuan
Che Abdul
Rahman,
dan
Mohamat
Sabri
Hasan
(2008)

Ownership
Structure and
Intellectual
Capital
Performance in
Malaysia Companies
Listed in MESDAQ

Variabel
Penelitian
Variabel
Dependen : Value
Added Intellectual
capital
(VAICTM)
Variabel
Independen
1. Kepemilikan
manajerial,
2. Kepemilikan
keluarga,
3. Kepemilikan
asing
4. Kepemilikan
pemerintah.

Metode
Analisis
Analisis
regresi
linier
berganda

Hasil
1. Kepemilikan
keluarga
memiliki
pengaruh
negatif
terhadap
kinerja
intellectual
capital,
2. kepemilikan
asing dan
kepemilikan
manajerial
memiliki
dampak yang
positif
terhadap
intellectual
capital

Kerangka Konseptual
Efektivitas fungsi pengawasan dewan tercermin dari komposisinya.

Semakin besar proporsi anggota dari luar perusahaan akan menjadikan peranan
dewan komisaris semakin efektif dalam melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap pengelolaan perusahaan karena dianggap semakin independen sehingga
semakin besar proporsi komisaris independen dalam perusahaan, maka semakin
tinggi kinerja intellectual capital-nya (Andari, 2015)
Kepemilikan manajerial mencerminkan proporsi kepemilikan saham yang
dimilikin oleh manajer, dewan direksi dan dewan komisaris. Sesuai dengan teori
ini, Demsetz dan Lehn; Abor dan Biekpe (dalam Saleh, et al., 2008) menemukan
hubungan positif antara kinerja perusahaan dan tingkat kepemilikan manajemen di
perusahaan. Dalam kepemilikan manajerial, manajer cenderung terlibat dalam
aktivitas penciptaan nilai yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif jangka

32
Universitas Sumatera Utara

panjang bagi perusahaan (Saleh, et. al. 2008), salah satu diantaranya yaitu dengan
meningkatkan investasi pada intellectual capital perusahaan. Semakin tinggi
kepemilikan manajerial maka semakin efisien pemanfaatan aset perusahaan. Hal
ini mengindikasikan bahwa dengan adanya keterlibatan dan dukungan dari
manajer maka IC yang dimiliki oleh perusahaan akan dikelola dan dimanfaatkan
secara efisien sehingga kinerja IC perusahaan akan meningkat.
Kepemilikan institusional juga diindikasikan dapat meningkatkan kinerja
intellectual capital dalam suatu perusahaan. Adanya pengawasan terhadap
manajerial perusahaan memungkinkan untuk mengurangi perilaku oportunistik
para manajer pada perusahaan. Implikasi dari pengawasan ini ialah meningkatnya
efisiensi atas pengelolahan intellectual capital. Investor institusional akan lebih
memilih dan mendukung kebijakan yang dapat meningkatkan insentif jangka
panjang bagi perusahaan, salah satu diantaranya adalah kebijakan pengelolaan IC.
Dengan adanya dukungan penuh dan pengawasan yang optimal dari pemegang
saham institusional maka efisiensi pengelolaan dan pemanfaatan IC akan semakin
meningkat .Dengan kata lain, kepemilikan institusional berhubungan positif
terhadap kinerja intellectual capital (Novitasi, 2009).
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba dari
aktivitas bisnisnya. Profitabilitas perusahaan dapat dilihat dari rasio Return On
Asset yang menunjukkan bagaimana sebuah perusahaan mungkin untuk
memperoleh pendapatan dari investasi asetnya. Menurut Williams (2000), tingkat
ROA memiliki hubungan positif dengan keputusan manajemen tentang kinerja IC.
Jika ROA tinggi, maka manajemen tidak lagi dituntut untuk mencapai tujuan

33
Universitas Sumatera Utara

jangka pendek. Usaha manajemen akan ditujukan kepada penciptaan dan
pemeliharaan IC (Williams, 2000 dalam Novitasari 2009) sehingga kinerja IC
meningkat.
Kebijakan

hutang

atau

leverage

dari

sebuah

perusahaan

akan

mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Leverage dinyatakan dalam rasio total
hutang terhadap total aset pada neraca akhir tahun. Pengukuran ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan Novitasari dan Januarti (2007). Leverage dapat
meningkatkan nilai perusahaan bila leverage mengurangi arus kas bebas yang
telah diinvestasikan. Akan tetapi, jumlah utang yang terlalu besar akan
meningkatkan kemungkinan kebangkrutan dan besarnya risiko gagal bayar,
sehingga investor kurang berminat untuk berinvestasi dan menurunkan nilai
perusahaan.Tingkat hutang perusahaan yang tinggi akan mengurangi aktivitas
perusahaan dalam investasi pada research and development (R & D) dan
pengembangan IC (Williams, 2000).

34
Universitas Sumatera Utara

Variabel Independen
Proporsi Komisaris
Independen

Jumlah Rapat Komite
Audit

Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan
Institusional

Kinerja Intellectual
Capital (VAIC)

Variabel Kontrol
Return on Assets
(ROA)
Leverage

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

35
Universitas Sumatera Utara

2.6

Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, kerangka konseptual, dan penelitian

terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut : “proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, return on assets (roa) dan leverage berpengaruh
signifikan terhadap kinerja intellectual capital pada perusahaan perbankan di
Bursa Efek Indonesia?

36
Universitas Sumatera Utara