T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking di Sulawesi Utara T1 BAB IV

BAB IV
ASEAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN TRAFFICKING
4.1 Globalisasi dan Trafficking
Globalisasi menciptakan arus lalulintas barang dan jasa, serta informasi lebih
mudah dan cepat. Kemudahan akses yang ada memberi dampak baik dan buruk, seperti
dalam hal keamanan. Ancaman keamanan suatu negara saat ini sudah tidak lagi terfokus
pada ancaman dari sisi tradisional saja, namun ada beberapa ancaman yang muncul dari
sisi non-tradisional. Menurut United Nation News Centre , perdagangan manusia
(trafficking) yang merupakan bentuk baru dari perbudakan juga merupakan bentuk
ancaman keamanan non-tradisional bagi suatu negara.
Dalam laporan The Rights on Non-Citizen mengatakan bahwa globalisasi
meyebabkan permasalahan bagi manusia, seperti (1) munculnya kejahatan tansnasional
dengan adanya beberapa inovasi teknologi, (2) bertambahnya kebutuhan pekerja buruh
akibat negara yang membuka perekonomiannya, (3) kemudahan perjalanan atau travel
menyebabkan seseorang dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat, (4) perubahan
pasar dimana sebagian besar negara industri membutuhkan pekerja yang lebih banyak.
Kemudahan-kemudahan yang ada menyebabkan beberapa kejahatan transnasional
(kejahatan yang melintasi batas negara) semakin banyak bentuk dan modusnya, seperti
trafficking. Ditambah dengan banyaknya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi,

seperti kebutuhan sumber daya ketenagakerjaan yang semakin besar, menjadikan

trafficking lebih berkembang.

Perkembangan teknologi ini tidak digunakan secara bertanggungjawab oleh
sebagian orang. Beberapa kelompok kejahatan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk
mengembangkan ruang lingkup kejahatannya untuk mendapat keuntungan sebanyakbanyaknya. Pelaku kejahatan trafficking pun berkembang menjadi kelompok kejahatan
yang terorganisir dan rapi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi,
peralatan yang canggih.

28

4. 2 Trafficking Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Perdagangan manusia (trafficking) terjadi di semua negara di dunia, dan telah
lama berlangsung. Artinya, trafficking bukan menjadi hal yang baru dalam masyarakat
dan negara. Menurut Damone (2010) trafficking telah ada sejak 200 tahun lalu, dan
bahkan pada waktu itu, Inggris dan Amerika Serikat telah secara resmi melarang
trafficking (lebih dikenal dengan perdagangan budak pada saat itu) melalui undang-

undang atau peraturan (yang mengatur mengenai hak asasi manusia) dalam Negara
mereka.
Perkembangan mengenai hak asasi manusia lebih dikenal pembahasannya berasal

dari negara-negara Barat, khususnya di bagian Eropa. Hal ini dikarenakan banyaknya
tulisan dan dokumen-dokumen yang membahas mengenai hak asasi manusia berasal dari
mereka. Namun, bukan berarti bahwa negara-negara selain Eropa tidak membahas
mengenai hak asasi manusia. Hanya saja kurangnya dokumentasi dan cara penyebarannya
yang berupa cerita-cerita yang kemudian sulit untuk diterima atau dibuktikan
kebenarannya. Hak asasi manusia yang dibahas dibedakan dalam beberapa generasi,
dengan generasi pertama pembahasan mengenai hak asasi manusia yaitu mengenai hak
sipil dan politik. Kemudian generasi kedua mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya
yang muncul pada masa Perang Dingin (1945- awal 1870an). Generasi ketiga mengenai
hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan (Budiardjo, 2016).
Konsep hak asasi manusia muncul melalui pemikiran liberalisme klasik seperti
John Lock dan Montesquieu, yang melihat bahwa manusia hidup dalam suatu ‘keadaan
alam’ (state of nature), dimana dalam keadaan alam ini semua manusia martabatnya
sama, yang tunduk kepada hukum alam, dan memiliki hak-hak alam. Hak-hak alam
menurut John Lock adalah hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikan (life, liberty,
property). Kemudian dari sinilah konsep dan peraturan mengenai hak asasi manusia terus

berkembang. Di Inggris, hak asasi dijadikan undang-undang yang dikenal dengan Bill of
Rights tahun 1689. Sedangkan di Amerika, undang-undang hak asasi atau Bill of Rights


disahkan pada tahun 1789, dan dimasukkan dalam undang-undang dasar mereka dalam
29

bentuk 10 amandemen pada tahun 1791. Prancis juga membuat deklarasi hak asasi
manusia dan warga negara yang dikenal dengan Declaration des Droits de I’Homme et
du Citoyen pada tahun 1789 (Budiardjo, 2016: 214). Pada saat itu, pelanggaran-

pelanggaran hak asasi manusia terjadi akibat tindakan penguasa atau pemerintahan (Raja)
pada saat itu yang mengesampingkan kesejahteraan rakyatnya, dan lebih mementingkan
kekuasaan dan kekayaan penguasa (Raja) dan golongannya (Bangsawan). Maka dari itu,
hak asasi manusia mulai dimasukan kedalam undang-undang atau peraturan dalam
negara, dikarenakan pemikiran-pemikiran mengenai hak asasi manusia yang menjadi
inspirasi untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan dikala itu.
Seusai Perang Dunia II (1942-1945), negara-negara Barat menginginkan akan
adanya suatu rumusan mengenai hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal,
sehingga memunculkan beberapa piagam penting dalam sejarah perkembangan hak asasi
manusia, seperti dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Salah satu
permasalahan yang juga menjadi sorotan bagi masyarakat yang mulai sadar akan adanya
hak asasi manusia adalah masalah perbudakan. Perbudakan merupakan tindakan
eksploitasi manusia dengan penghilangan terhadap hak-hak yang dimiliki sebagai

manusia (United Nation, 2014), seperti tidak mendapatkan akses kesehatan, pemaksaan
bekerja dengan tidak mendapatkan gaji atau upah yang sesuai, kekerasan fisik dan mental,
dan lain sebagainya. Dampak dari pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah, yang
berimbas pada perlunya ketenagakerjaan, maka budak-budak ini mulai diperjual-belikan.
Seiring dengan berkembangnya konsep dan peraturan mengenai hak asasi manusia,
disertai dengan desakan oleh masyarakat, akhirnya praktek perbudakan mulai
dihapuskan. Namun, permasalahan perbudakan masih belum sepenuhnya hilang, dan
malah permasalahan ini berubah bentuk menjadi tindakan perdagangan manusia
(trafficking in persons). Global Report on Trafficking in Persons (UNODC, 2009)
mengatakan bahwa trafficking merupakan bentuk modern dari perbudakan.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (2016), Hak asasi manusia memiliki
berbagai sifat yaitu hak asasi tidak bisa dibatasi (restriksi), hak asasi bisa dibatasi jika
dalam keadaan darurat, hak asasi yang boleh dibatasi dalam Undang-Undang antara lain
30

Pasal 19 (mempunyai pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22
(berserikat), hak asasi yang tida boleh dibatasi dalam keadaan apapun adalah Pasal 6 (hak
untuk hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (anti perbudakan), Pasal 11 (antipasang badan),
Pasal 15 (sifat kedaluarsa tindakan kriminal atau non-retroaktif), Pasal 16 (pribadi di
hadapan hukum), Pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama). Seiring dengan

perkembangan trafficking ini, maka dibuat adanya berbagai peraturan anti trafficking,
dimana peraturan ini merupakan bentuk dari perkembangan Pasal 8 yang membahas
mengenai peraturan anti perbudakan.
Perbudakan

merupakan

bentuk

eksploitasi

terhadap

manusia

dimana

menghilangkan hak-haknya sebagai manusia. Pada saat itu, perbudakan merupakan suatu
hal yang biasa dan normal. Namun dengan adanya hak asasi manusia, perbudakan
dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perbedaan

perbudakan di waktu lalu dan trafficking di saat ini adalah semua orang dapat menjadi
korban. Perbudakan di masa lalu lebih banyak berasal dari perbedaan etnis, warna kulit,
atau status sosialnya. Sedangkan korban trafficking, tidak hanya berasal dari beberapa
etnis, warna kulit tertentu, dan perbedaan status sosialnya. Dengan kata lain semua orang
dapat menjadi korban trafficking.
Bentuk eksploitasi terkait dengan permasalahan trafficking tidak jauh berbeda
dengan bentuk eksploitasi budak masa lalu, yaitu yang didapatkan mulai dari bekerja
dengan tidak dibayar upah pekerja, bekerja melewati jam kerja yang seharusnya,
eksploitasi seksual, serta bekerja dibawah kondisi ditekan oleh majikan atau pemilik
korban (IOM, 2013).
Praktek trafficking saat ini tidak mengenal batas wilayah. Modus operandi
trafficking bisa dibilang rapi dan tersebar luas, sehingga untuk mengentikannya

diperlukan bantuan dari berbagai pihak dalam masyarakat. Kejahatan ini bersifat
kompleks dan multidimensi, sehingga membutuhkan upaya pencegahan dan
penanggulangan secara menyeluruh dari berbagai pihak yang terorganisir dengan baik
mulai dari pemerintah pusat dan daerah, LSM, organisasi keagamaan, perguruan tinggi,

31


media masa, dan juga partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pelayanan
rehabilitasi bagi korban trafficking.
4.3 Modus Operandi Trafficking
Data yang dimiliki oleh pemerintah daerah mengenai kasus trafficking yang
menimpa warganya yang diperjual-belikan di dalam maupun luar negeri tidaklah banyak.
Angka-angka tersebut juga sama dengan data yang ada di pemerintah pusat, juga dengan
detail data yang terbatas. Permasalahan trafficking di dunia memang memiliki beberapa
faktor umum yang mendorong berkembangnya bentuk kejahatan ini, seperti faktor
ekonomi

dan

pendidikan.

Pembangunan

ekonomi

menyebabkan


kebutuhan

ketenagakerjaan yang banyak sehingga migrasi tenaga kerja menjadi yang rentan akan
trafficking. Maka dari itu kejahatan ini harus mendapatkan perhatian serius bagi

pemerintah dan masyarakat.
Beberapa dari kita masih menyamakan antara trafficking dengan people
smuggling (penyelundupan manusia). Padahal keduanya memiliki arti dan tujuan yang

berbeda. Dalam ASEAN and Trafficking in Persons; Using Data as a Tool to Combat
Trafficking in Persons, perbedaan terletak dimana trafficking terkait dengan beberapa

kejahatan seperti pembunuhan, kekerasan, dan penculikan, dimana kejahatan tersebut
melawan individu seseorang sehingga tergolong sebagai korban. Sedangkan people
smuggling dimana kejahatan tersebut mendapat ijin dari individu tersebut dan individu

itu bukanlah sebagai korban. Terdapat perbedaan dalam kasus trafficking dan people
smuggling yang lebih jelas dengan table dibawah ini.

32


Tabel 4.1 Perbedaan antara Trafficking dan Smuggling
Trafficking

Smuggling

Adanya unsur kekerasan, penipuan, atau Orang

yang

diselundupkan

pada

pemaksaan secara nyata terhadap korban umumnya kooperatif bekerjasama dengan
yang biasanya ditunjukan untuk kerja pelaku penyelundupan orang, tidak ada
paksa atau pekerja seks komersial.
Orang

yang


diperdagangkan

kekerasan.
adalah Orang yang diselundupkan adalah pelaku

korban.

pelanggaran hukum bukan korban.

Pergerakan korban dibatasi bahkan sering Pelaku

bebas

pergi

atau

berganti


diisolasi.

pekerjaan.

Tidak harus lintas batas negara.

Penyelundupan harus sudah lewat batas
negara.

Korban perdagangan orang dipekerjakan Orang yang diselundupkan berusaha
di labor/service atau commercial sex acts, masuk secara illegal di tempat tujuan.
dan harus bekerja namun kebanyakan
tidak mendapat bayaran/upah.
Sumber: Sefrani, 2016:290
Perekrutan calon korban oleh pelaku trafficking juga terdiri dari berbagai jenis,
cara, modus, tujuan, yang dilakukan, dengan beberapa karakteristik dari calon korban
yang dimanfaatkan oleh para pelaku trafficking. Unsur-unsur trafficking in persons
menurut Buku Saku Kepala Desa (2011:8) meliputi cara, proses serta tujuan bagi pelaku
terhadap kejahatan trafficking dapat dilihat dari table dibawah.

33

Tabel 4.2 Proses, Cara, dan Tujuan Trafficking
Proses
Pelaku
korban

memindahkan Pelaku
menjauh

komunitasnya
merekrut,

Cara

Tujuan

menggunakan Pelaku

dari ancaman

kekerasan, atau menyebabkan korban

dengan penculikan,

penyekapan, tereksploitasi

mengangkut, pemalsuan,

keuntungan

mengirim, memindahkan penyalahgunaan
atau

menerima

(calon korban)

mengeksploitasi

mereka kekuasaan/posisi

pelaku
rentan eksploitasi

untuk
finansial
kejahatan,
disini

bisa

atau jeratan hutang untuk berupa perlakuan apapun
mendapat kendali atas diri yang tidak sesuai dengan
korban

sehingga

memaksa mereka.

dapat kehendak

korban

dan

korban menderita karena
perlakuan tersebut seperti
bekerja sebagai pelacur,
kerja paksa atau erbudakan
termasuk

juga

pengambilan organ tubuh.
Sumber: Buku Saku Kepala Desa (2011), diolah
Banyak korban yang terjerumus dalam lingkungan trafficking, misalnya anak
gadis dan perempuan yang dipekerjakan dalam sektor domestik, seperti pekerja rumah
tangga atau pengasuh (bukan perawat profesional). Memang kebanyakan korban
trafficking yang dicari oleh pelaku memiliki keterampilan yang terbatas dan

berpendidikan rendah. Korban kebanyakan bekerja di dalam rumah, sehingga mereka
tidak dapat diawasi, menyebabkan banyak yang tidak terdeteksi oleh pihak aparat
berwenang terkait dengan kejahatan trafficking.
Pelaku kejahatan trafficking sangatlah beragam, terdiri dari perseorangan
(individu) ataupun yang telah terorganisir (kelompok). Para pelaku trafficking biasanya

34

memiliki nama panggilan atau sebutan (samaran) germo/mucikari/’mami’atau’papi’.
Pelaku trafficking bisa dari orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali sampai pada
orang yang dekat dengan kita, seperti, orangtua, paman, bibi, tante, tetangga atau kenalan
di kampung, sponsor/calo, pegawai atau pemilik perusahaan, oknum aparat pemerintah,
oknum guru, sampai sindikat trafficking lainnya.
Modus yang dipakai oleh pelaku pun sangat beragam. Menurut Buku Saku Kepala
Desa yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2011), modus
pelaku antara lain mulai dari pengiriman jasa ketenagakerjaan; duta seni budaya;
perkawinan pesanan (kawin kontrak); pengangkatan atau adopsi anak; pemalsuan
dokumen seperti kartu keluarga; kartu tanda penduduk (KTP/identitas) dan surat-surat
lainnya; menggunakan perusahaan Non Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS); menggunakan visa pelajar ke Negara tertentu; melaksanakan pelatihan
di tempat kerja; memindahkan dari satu wilayah ke wilayah lainnya secara illegal;
penjeratan hutang; kerja paksa; penculikan; dan masih banyak lagi. Ada juga kondisi
kejahatan baru dimana anak-anak atau orang dewasa, serta penjualan organ tubuh dijual
secara online (deep web dan dark web1). Ada situasi yang dilakukan oleh pelaku
trafficking, dengan cara pemaksaan dimana walaupun calon korban menolak janji-janji

atau promosi palsu oleh sang pelaku, namun mereka masih bisa memaksa calon korban
tersebut untuk ikut bersama mereka, sehingga calon korban itu pun terjebak didalam
lingkungan trafficking.
Terdapat juga korban atau calon korban yang memiliki karakteristik yang pas bagi
pelaku trafficking, seperti orang miskin, orang yang dengan pola hidup konsumtif, orang
yang tidak memiliki keterampilan, orang yang berpendidikan rendah, orang buta aksara,
orang yang memimpikan gaji tinggi dengan bekerja di luar daerah/negeri tanpa informasi
yang jelas, korban kekerasan dalam rumah tangga, orang yang kehilangan anggota

1

Merupakan kumpulam konten/website yang tidak bisa terdeteksi oleh search engine seperti Google, dan
biasanya berisikan mengenai kegiatan-kegiatan illegal dan terlarang seperti pornografi dan lain
sebagainya.

35

keluarganya, korban konflik, korban bencana, sampai pada pengangguran. Ciri-ciri orang
yang kurang waspada adalah sasaran yang baik bagi para pelaku trafficking. Kemudian
terdapat bentuk-bentuk eksploitasi kepada korban didalam situasi trafficking, antara lain
dilacurkan (dijadikan pekerja seks komersial), pengedar narkoba atau obat-obatan
terlarang, bekerja tidak sesuai dengan pekerjaan yang dijanjikan, bekerja tanpa batas
waktu, gaji tidak pernah dibayarkan, penyelundupan bayi, adopsi illegal, penjualan bayi
atau anak, dijadikan ABK (Anak Buah Kapal) untuk kapal ikan atau serupa, transplantasi
organ tubuh (Buku Saku Kepala Desa, 2011).
Kemungkinan pekerjaan dalam sektor domestik masih menjadi primadona bagi
masyarakat Indonesia karena tidak memerlukan keahlian yang khusus untuk melakukan
suatu pekerjaan seperti menjadi pembantu rumah tangga, dengan mendapatkan upah yang
dapat membiayai kehidupannya dan keluarga sehari-hari. Selain itu ada juga cerita-cerita
kesusksesan Tenaga Kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga yang sudah terlebih
dahulu bekerja di luar negeri menambah keinginan bagi mereka yang belum memiliki
pekerjaan untuk mencoba peruntungan mereka dalam bidang pekerjaan tersebut.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, trafficking yang
terjadi khususnya pada perempuan dan anak bertujuan sebagai:
(1) Pekerja domestik atau pekerjaan rumah tangga, dengan korban yang diimingimingi janji-janji, kemudian dipekerjaan sebagai pembentu rumah tangga.
(2) Sebagai pengemis di lampu merah atau tempat-tempat tertentu dan
kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan, biasanya dipekerjakan sebagai
pengemis di beberapa daerah di Indonesia.
(3) Pengedar narkoba, yaitu memanfaatkan korban sebagai perantara untuk
mengedarkan narkoba.
(4) Pekerja seks, dimana pekerjaan golongan ini masih sangat tinggi dilakukan.
(5) Pedofil, dimana anak-anak diesploitasi secara seksual.
(6) Perkawinan kontrak, terutama perkawinan transnasional memiliki keuntungn
yang besar.

36

Mereka yang pada awalnya secara legal bekerja di luar negeri juga memiliki
potensi menjadi korban trafficking karena tergiur dengan gaji atau upah yang diterima,
tidak atau belum mengerti aturan atau birokrasi pelaporan kepada kedutaan atau konsul
jendral Indonesia, tidak melaporkan kedatangan atau perpanjangan jika habis masa
berlaku untuk menetap di luar negeri, tertipu dengan pemalsuan dokumen.
Adapun dampak yang ditimbulkan dalam kejahatan trafficking ini, yang dirasakan
baik oleh individu, keluarga, serta sosial, yang tentunya sangat merugikan semua orang,
seperti dalam tabel dibawah ini.
Tabel 4.3 Dampak Bagi Individu, Keluarga dan Sosial
Individu

Keluarga

Terkuculkan

Beban psikososial (malu, Timbulnya

Depresi (gangguan jiwa).

rendah diri, dll).

Terjadi

cacat

fisik

Sosial

negative oleh masyarakat.

bila Keluarga gagal.

mengalami penyiksaan.
Putus asa dan hilang harapan
Terganggunya

fungsi

reproduksi’kehamilan yang
tidak diinginkan.
Bila

dilacurkan,

akan

terinfeksi IMS/HIV/AIDS
Kematian.
Sumber: Buku Saku Kepala Desa (2011), diolah

37

pandangan

4.4 Peran ASEAN dalam Stabilitas Kawasan
ASEAN pada awalnya merupakan organisasi regional yang memfokuskan kerja
sama dalam bidang non politik seperti dalam sektor ekonomi, teknik, keilmuan, sosial
dan kebudayaan (Sefrani, 2016:212). Hal ini sangat dimaklumi ketika negara-negara
anggota ASEAN memiliki pengalaman yang buruk terkait dengan penjajahan yang
menggangu bidang politik masing-masing negara. Para pendiri ASEAN mempercayai
bahwa persekutuan militer atau fakta pertahanan keamanan hanya akan menarik oposisi
dan menimbulkan situasi dimana dunia dibagi dalam kelompok kawan dan lawan yang
berpotensi menimbulkan ketegangan dan mengganggu keamanan diri sendiri maupun
kawasan dan internasional, dan hal ini tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967.
Adapun misi ASEAN yang dituliskan dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967, untuk
menciptakan kawasan Asia Tenggara dalam suasana penuh rasa persahabatan, kedamaian
dan kemakmuran. Pada tahun 1976, bidang kerjasama ASEAN diperluas sampai
menyentuh bidang politik. Dalam kerjasama bidang politik ini memiliki poin penting
dalam perjanjiannya dimana segala sengketa dalam ASEAN penyelesaiannya diusahakan
dengan cara damai. ASEAN Way merupakan istilah dimana sengketa yang terjadi dalam
ASEAN diselesaikan secara damai, dengan prinsip non intervensi.
Dalam Piagam ASEAN, terdapat prinsip-prinsip utama ASEAN yaitu:
1. Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan
identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN.
2. Tidak ikut campur urusan dalam negeri negara anggota ASEAN.
3. Penghormatan terhadap hak setiap negara anggota untuk menjaga eksistensi
nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan paksaan.
4. Menghormati kebebasan fundamental pemajuan dan perlindungan HAM, dan
pemajuan keadilan sosial.
5. Menjunjung tinggi piagam PBB dan hukum internasional termasuk hukum
humaniter yang telah disetujui oleh negara anggota ASEAN.

38

6. Tidak turut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun termasuk penggunaan
wilayahnya, yang dilakukan negara anggota atau non anggota ASEAN atau
subjek negara maupun yang mengancam kedaulatan, integritas wilayah, atau
stabilitas politik dan ekonomi negra-negara anggota ASEAN.
ASEAN kemudian merangkum semua bidang kerjasamanya dengan membentuk
suatu kawasan yang terintegrasi sembari melakukan berbagai pembenahan di berbagai
bidang. Pembentukan komunitas kawasan ASEAN (Association of Southeast Asian
Nation) dilakukan dengan berlandaskan 3 (tiga) pilar yaitu Pilar Politik-Keamanan

ASEAN, Pilar Ekonomi ASEAN, dan Pilar Sosial Budaya ASEAN.
Komunitas Politik Keamanan ASEAN merupakan satu dari tiga pilar Komunitas
ASEAN dengan tujuan untuk mempercepat kerja sama politik dan keamanan di ASEAN
dalam mewujudkan perdamaian di kawasan regional dan global. Masyarakat PolitikKeamanan ASEAN memiliki tiga karakteristik (Kemlu, 2015) yaitu:
1. Masyarakat yang mengacu pada peraturan dengan kesamaan nilai dan norma
(a rules based community with shared values and norms).

2. Kawasan yang kohesif, damai dan berdaya tahan tinggi dengan tanggung
jawab

bersama

untuk

menciptakan

keamanan

komprehensif

(a

comprehensive, peaceful and resilient region with shared responsibility for
comprehensive security).
3. Kawasan yang dinamis dan berpandangan keluar (a dynamic and outward
looking region).

Keberadaan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN didasarkan pada berbagai
instrument politik ASEAN seperti dalam Piagam ASEAN, Deklarasi Kawasan Damai,
Bebas, dan Netral (ZOPFAN), Traktak persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara
ASEAN, Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara dan beberapa lainnya yang terdapat
dalam Piagam PBB.

39

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering terjadi di negara-negara anggota
ASEAN dan jelas mengganggu stabilitas keamanan kawasan ASEAN. Untuk menunjang
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, ASEAN membentuk Komisi Hak Asasi
Manusia Antar Pemerintah ASEAN pada 23 Oktober 2009 di Thailand. Banyak bentuk
pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi oleh ASEAN salah satunya adalah praktek
trafficking. Negara-negara ASEAN tidak lagi hanya menjadi tempat persinggahan saja,

melainkan juga pengirim dan tujuan trafficking. Maka dari itu diperlukan adanya sebuah
kerja sama dalam memerangi permasalahan pelanggaran hak asasi manusia, salah satunya
adalah permasalahan trafficking, dimana bentuk kejahatan trafficking berakibat pada
ketidakstabilitas keamanan individu dan negara.
Permasalahan trafficking sendiri tergolong kedalam tindakan kejahatan
transnasional, dimana kejahatannya tidak hanya terjadi di dalam suatu negara, serta
pelakunya merupakan kelompok kriminal yang terorganisir. Menurut klasifikasi yang
terdapat dalam ASEAN Convention Against Trafficking in Persons tahun 2015, yang
dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan transnasional ( Article 2 huruf ‘h’) ketika:
1. It is committed in more one State;
2. It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning,
direction or control takes place in another State;
3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that
engages in criminal activities in more than one State; or
4. It is committed in one State but has substantial effects in another States.

4.4.1 ASEAN dan Traffciking
ASEAN yang membentuk masyarakat yang terintegrasi, dengan
membuat pergerakan barang dan jasa yang lebih mudah, diharapkan
negara-negara ASEAN dapat saling membantu satu dengan yang lainnya
agar menciptakan organisasi regional yang kuat dangan kawasan yang
40

aman dan kesejahteraan masyarakatnya yang merata. Untuk mencapai
tujuan-tujuan yang ada, maka diperlukan suatu keseragaman dan
komitmen dari anggota ASEAN.
Dalam cetak biru Masyarakat Politik-Keaman ASEAN, terdapat
beberapa roadmap dan timetable dengan 147 action line yang harus
dilaksanakan dalam pelaksaan Masyarakat ASEAN 2015. Dalam cetak
biru ini beberapa diantaranya membahas mengenai perlindungan hak asasi
manusia, pemberantasan kejahatan lintas negara, dan perlindungan
terhadap perdagangan dan penyelundupan manusia. ASEAN mewujudkan
komitmennya dalam peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia
terlihat

dengan

pembentukan

organisasi

AICHR

( ASEAN

Intergovermental Commision on Human Rights) pada KTT ASEAN ke-

15 di Thailand tahun 2009. ASEAN juga meningkatkan kerja sama dalam
pemberantasan kejahatan transnasional, dimana aktivitas kejahatan ini
semakin meningkat sehingga dapat mengganggu keamanan ASEAN.
Beberapa organisasi dibuat dalam mengatasi permasalahan yang
tergolong kedalam kejahatan transnasional seperti ASEAN Ministerial
Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Senior Officials on
Drugs Matters (ASOD), ASEAN Chiefs of National Police (ASEANPOL),
ASEAN Directors-General of Customs, dan ASEAN Directors-General of
Immigration and Heads of Consular Division, Ministry of Foreign Affairs

(DGCIM). Selain itu, dibuat juga perlindungan terhadap perdagangan dan
penyelundupan manusia yang juga merupakan kejahatan transnasional
yang konvensinya terlah mencapai kesepakatan dari semua anggota
ASEAN.
Negara-negara ASEAN menghadapi permasalahan trafficking
yang tidak pernah ada habisnya. ASEAN tidak lagi hanya sebatas negara
transit kejahatan trafficking saja, namun telah berubah menjadi negara

41

tujuan trafficking. Beberapa bulan terakhir, trafficking di Asia Tenggara
menjadi sorotan dunia dimana krisis pengungsi di Rohingya, gelombang
migran dari Bangladesh, penemuan kuburan masal di Malaysia dan
Thailand, serta kasus perbudakan pekerja industri makanan laut di
Thailand (The Diplomat, 2016). Banyak diantaranya merupakan bagian
dari kasus trafficking yang telah terjadi lama sebelumnya. Dalam laporan
Trafficking in Persons oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat

(2011), mengatakan bahwa Brunei Darrussalam tergolong kedalam watch
list Tier 22, begitu juga dengan anggota ASEAN lainnya. Permasalahan-

permasalahan seperti ini bukanlah permasalahan yang baru bagi negaranegara anggota ASEAN.
Dalam Laporan ASEAN and Trafficking in Persons, Kamboja
merupakan tempat pengirim dan penerima, serta tempat transit trafficking.
Sejak tahun 2005, pemerintah Kamboja beserta LSM non-pemerintahan
bekerja

sama

dengan

institusi

internasional

seperti

UNICEF

memberantasi trafficking terhadap anak. Korban trafficking asal Kamboja
kebanyakan dipekerjakan di Malaysia, Vietnam, dan Thailand, sebagai
pekerja seks atau pekerja rumah tangga (bagi wanita) dan buruh paksa
(bagi pria). Lemahnya perekonomian masyarakat Kamboja, kurangnya
pendidikan, serta kurangnya hukum dan penegakan hukum serta
globalisasi merupakan pemicu trafficking di negara ini (Ambarita, 2014).

2

Merupakan salah satu dari 3 (tiga) golongan dalam penanganan tindakan trafficking oleh pemerintah
negara. Yang termasuk dalam kriteria Watch List Tier 2 adalah Pemerintah Negara tidak sepenuhnya
mematuhi standar minimum Peraturan Perlindungan Terhadap Korban Trafficking, namun melakukan
upaya yang signifikan untuk pemenuhan standar yang ada, serta:
a. Jumlah korban trafficking yang meningkat secara signifikan;
b. Terdapat kegagalan dalam memberikan bukti peningkatan upaya untuk melawan trafficking dari
tahun sebelumnya; atau
c. Usaha suatu negara membuat upaya yang signifikan kedalam pemenuhan standar minimum
dengan komitmen yang dilakukan oleh negara sebagai langkah selanjutnya ditahun mendatang.
(U.S Department of State. The Placements. Retrieved from
www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2015/243366.htm, diakses Desember 2016)

42

UNICEF menyebutkan pada tahun 1994, trafficking perempuan mencapai
60.000 korban yang dieksploitasi secara seksual. Sedangkan di Filippina,
permasalahan trafficking menjadi suatu permasalahan dalam negeri.
Filipina tergolong kedalam negara pengirim trafficking.
Di Thailand, pemerintah Thailand telah aktif memerangi
permasalahan trafficking pada tahin 1984 pada saat dimana trafficking
dijadikan sebagai agenda publik. Pada saat itu korban trafficking terbakar
hingga tewas di suatu tempat penahanan bagi mereka yang akan
dipekerjakan menjadi pekerja seks komersial (ASEAN and Trafficking in
Persons). Namun, permasalahan ini masih terjadi, diperparah dengan

Thailand

yang

dengan

terang-terangan

mengembangkan

bidang

pariwisatanya yang salah satu menjadi daya tarik adalah kehidupan seks
komersial mereka.
Di Vietnam pada tahun 2015 tercatat ada sebanyak 470 korban
trafficking, yang diantaranya dipekerjakan sebagai pekerja seks, buruh

paksa, dan penjualan organ tubuh. Korban diselundupkan melalui
perbatasan langsung dengan Vietnam, seperti China, Kamboja, Laos, dan
beberapa negara lainnya. Trafficking yang terjadi di Vietnam diperkirakan
disebabkan oleh faktor ekonomi (Tempo, 2016).
Banyak diantara kasus trafficking yang terjadi di negara-negara
anggota ASEAN diakibatkan oleh belum meratanya perekonomian
masyarakat. Dengan masih banyaknya pengangguran yang ada,
menyebabkan beberapa diantaranya rentan terhadap ajakan pelaku
trafficking yang mengaku sebagai penyalur tenaga kerja. Tentunya
trafficking terjadi tidak hanya dari wilayah ke wilayah lain dengan negara

yang berbeda, namun juga dari wilayah ke wilayah lain di negara yang
sama.

43

Dengan adanya peningkatan aktivitas trafficking di ASEAN, maka
permasalahan ini menjadi permasalahan regional ASEAN yang harus
ditangani secara serius. Pada tahun 2011, dalam KTT ASEAN ke-18,
kerjasama dalam memerangi perdagangan manusia semakin ditingkatkan.
ASEAN mulai fokusnya dalam memerangi kejahatan trafficking dimulai
pada 24 Februari 1976 dalam Declaration of ASEAN Concord3 di Bali,
dengan inisiatif negara-negara anggota untuk memerangi perdagangan
narkoba dan obat bius. Kemudian dari situlah berkembang kerjasama yang
tergolong kedalam kejahatan transnasional dengan mengeluarkan ASEAN
Declaration on Transational Crimes tahun 1997 pada pertemuan di

Manila.

Dengan

semakin

berkembang

bentuk-bentuk

kejahatan

transnasional, maka dibuatlah Hanoi Plan of Action (HPA) dalam
pertemuan ASEAN Summit ke-6 tahun 1998 di Hanoi, Vietnam, untuk
memberantas kejahatan transnasional. Kemudian pada tahun 2002
dilakukan kembali pertemuan dimana menghasilkan ASEAN Plan of
Action to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACT) yang

menggolongkan perdagangan manusia menjadi salah satu dari jenis
kejahatan transnasional.
Pada tahun 2011, KTT ASEAN ke-18 yang dilaksanakan di
Jakarta, Indonesia, pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat
pembuatan Konvensi ASEAN tentang pemberantasan trafficking. Ada
juga beberapa poin yang dibahas dalam KTT ini, yaitu konektivitas
ASEAN, ketahanan pangan dan energi, manajemen dan resolusi konflik,
regional architecture, partisipasi organisasi masyarakat, peanganan
bencana alam, kerjasama subkawasan ASEAN, penyelenggaraan the 1st

3

Sebuah kesepakatan kerjasama dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan informasi, dan
keamanan ASEAN.

44

East Asia Summit, keanggotaan Timor Leste, dan Pertukaran Myanmar

dan Laos sebagai ketua ASEAN.
ASEAN juga membentuk badan-badan yang fokus dalam
permasalahan trafficking seperti ASEAN Ministerial Meeting on
Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Finance Ministers Meeting

(AFMM), ASEAN Senior Officials on Drugs Meters (ASOD).
Pembahasan permasalahan trafficking pertama kali dibicarakan melalui
forum ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime
(SOMTC) yang didalamnya juga dilaksanakan Working Group on
Trafficking In Persons dan Experts Working Group on ASEAN
Convention on Trafficking in Persons (ACTIP) dan Regional Plan of
Action (RPoA) dengan Filipina yang bertindak sebagai lead shepherd

(ketua).
Permasalahan trafficking menjadi permasalahan sosial yang baru,
yang terjadi dalam masyarakat dunia, dengan membawa dampak yang
buruk bagi keberlangsungan hidup manusia. Permasalahan ini membawa
permasalahan keamanan dalam maupun luar negeri, juga membawa
permasalahan keamanan regional seperti di ASEAN. Dengan adanya
permasalahan ini tentunya ASEAN mengupayakan kerjasama untuk
menangani permasalahan transnasional yang mengancam keamanan
mereka.

45

4.4.2 ASEAN Convention Against Trafficking in Persons Expecially Woman
and Children (ACTIP)

ASEAN Convention Against Trafficking in Persons Expecially
Woman and Children (ACTIP) ini sebagai sebuah instrument yang

mengikat serta menjadi landasan dalam pemberantasan trafficking di
ASEAN, juga dengan mitra wicara. Konvensi ini disetujui di Kuala
Lumpur, Malaysia pada tahun 2015. Sejauh ini, mereka yang telah
meratifikasi perjanjian ini adalah Singapura, Thailand, dan Kamboja
(meratifikasi pada tahun 2015) dan Vietnam, Myanmar (meratifikasi pada
awal tahun 2017). ACTIP ini berperan sebagai:
1. Sebagai bentuk kerjasama antar negara-negara ASEAN untuk
memerangi permasalahan trafficking.
2. Sebagai pedoman ASEAN dalam menghadapi

permasalahan

trafficking yang terjadi di ASEAN.

ASEAN mengetahui akan pentingnya instrumen regional untuk
memerangi permasalahan trafficking mengenai strategi dan prioritas yang
bersifat legally binding, yang dapat membantu negara anggota ASEAN
sebagai daerah atau tempat asal, transit, dan tujuan trafficking. Tentunya
ASEAN juga akan berhadapan dengan kepentingan nasional negara yang
berbeda-beda terkait permasalahan trafficking.
ACTIP dibuat dengan pertimbangan dalam prinsip hak asasi
manusia yang tertuang dalam Charter of the United Nations, the Universal
Declaration on Human Rights, ASEAN Charter, the ASEAN Human
Rights Declaration, the United Nation Convention against Transnational
Organized Crime, dan the Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons, Especially Woman and Children, serta menindak

lanjuti komitmen ASEAN dalam ASEAN Declaration Against Trafficking

46

in Persons Particularly Women and Children pada tahun 2004, the
Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons, ASEAN
Practitioner Guidelines, the ASEAN Leaders’ Joint Statement in
Enchancing Coorperation against Trafficking in Persons in South East
Asia tahun 2011, dan ASEAN Human Rights Declaration tahun 2012.

Namun, konvensi trafficking tidak sama dengan perjanjian hak asasi
manusia, walaupun didalamnya memang dipengaruhi oleh elemen-elemen
yang ada dalam hak asasi manusia, seperti objeknya adalah untuk
melindungi hak asasi manusia. Akibat dari banyaknya bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi manusia seperti permasalahan trafficking, juga akibat
dari dorongan masyarakat internasional

serta berkaitan dengan

kepentingan politik dalam menghapus perbudakan (Budiardjo, 2016),
maka dibuatlah beberapa instrumen hukum dalam mengatur permasalahan
trafficking.

ACTIP berfungsi sebagai instrumen regional dalam penanganan
permasalahan trafficking di ASEAN. Konvensi yang telah disepakati
bersama diperlukan proses ratifikasi oleh Negara-Negara yang telah
menyetujuinya. Selanjutnya, fungsi dari hukum pidana internasional
menurut Sefrani (2016) adalah mengharmonisasikan antara hukum pidana
nasional negara satu dengan negara lainnya. Hukum pidana internasional
merupakan solusi yang baik untuk penanggulangan masalah terkait
kejahatan transnasional. Untuk itulah ACTIP ini dibuat dalam
menanggulangi permasalahan trafficking di ASEAN, mengingat bahwa
penanggulangan dalam permasalahan trafficking memerlukan kerjasama
regional.
Dalam konvensi ini prinsip hukum diserahkan kepada negara yang
memiliki perjanjian ekstradiksi yaitu diserahkan ke negara yang telah
melakukan perjanjian ekstradiksi untuk mengadili pelaku trafficking.

47

Prinsip hukum internasional berlaku terhadap kejahatan transnasional
adalah Au Dedere Au Punire atau pelaku tindak pidana dapat dipidana oleh
negara locus delicti atau diserahkan/ekstradiksi ke negara peminta yang
mempunyai yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut (Sefrani, 2016).
Di dalam konvensi juga menawarkan perlindungan terhadap
korban trafficking dan saksi. Seperti dalam Pasal 14, Negara anggota
membuat prosedur terkait identifikasi korban trafficking dan melakukan
kerjasama dengan swasta untuk menciptakan perlindungan yang
maksimal terhadap korban trafficking, Negara asal harus diberitahu
secepatnya dari Negara penerima akan adanya korban atau saksi
trafficking, Negara harus melindungi identitas dan privasi korban, tidak

menghukum atau menahan korban trafficking dari tindakan melawan
hukum domestik yang dilakukan oleh korban terhadap Negara penerima
jika tindakan tersebut berhubungan dengan situasi trafficking yang
dihadapi

korban,

Negara

harus

saling

berkomunikasi

untuk

mengidentifikasi korban trafficking, memberikan informasi untuk proses
perlindungan dan bantuan terhadap korban, menyediakan fasilitas
perlindungan korban seperti tempat tinggal, konseling dan informasi
bantuan hukum dengan bahasa yang dimengerti

oleh korban,

mendapatkan bantuan medis fisik dan psikis, serta kesempatan
mendapatkan pelatihan, pemberdayaan, pendidikan ketenagakerjaan.
Dalam konvensi ini tidak menspesifikasi praktek trafficking jika
melewati batas negara baru tergolong dalam kejahatan trafficking (dalam
keadaan diperdagangkan), juga tidak dispesifikasikan mengenai situasi
korban diperdagangkan didalamnya, sehingga konvensi ini tidak
memberikan celah bagi pelaku dimana trafficking dalam negara
diperbolehkan atau dengan situasi tertentu. Jika kerjasama ini berhasil,
diharapkan adanya penurunan tingkat praktek trafficking di kawasan,

48

adanya penanganan yang tepat untuk para korban trafficking, hukuman
yang tepat bagi pelaku trafficking, serta kesetaraan hukum di ASEAN.
Dalam tataran nasional Indonesia dan daerah, terlebih Sulawesi
Utara, peranan ACTIP ini masih bersifat normatif dimana sebagai
instrument hukum yang mengikat untuk membantu menyelesaikan
permasalahan trafficking yang ada, seperti mengkriminalisasikan segala
bentuk kejahatan trafficking dan memberikan perlindungan bagi korban,
saksi, maupun keluarga korban. Konvensi ini mengatur mengenai
ketentuan-ketentuan

menghadapi

permasalahan

trafficking,

baik

pencegahan maupun penanganan yang merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dengan pembentukan
berbagai gugus tugas dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan
trafficking yang terjadi (Yuniftasari, 2013). Selain itu ACTIP dapat

membantu Indonesia untuk saling bertukar informasi dengan negara lain
dan pelatihan-pelatihan kepada aparat berwenang serta sosialisasi terkait
dengan praktek pencegahan dan penanggulangan trafficking, serta
rehabilitasi korban trafficking. Peran praktis dari ACTIP memang masih
belum banyak menimbang konvensi ini masih dalam tahapan
implementasi dan sosialisasi terutama bagi instansi-instansi di luar
pemerintahan terkait (LSM) serta masyarakat.

49