T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis terhadap Potensi Masalah dalam Pengelolaan Dana Desa T1 BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

A. Tinjauan Pustaka

  Tinjauan Pustaka dalam skripsi ini berisikan aspek teoritik dan aspek peraturan perundang-undangan mengenai dana desa atau setidaknya yang terkait dengan dana desa, khususnya potensi masalah dalam pengelolaan dana desa.

1. Aspek Teoritik

a. Konsepsi Kebijakan Publik

  1) David Easton: The impact of government activity; 1 (Akibat aktivitas

  pemerintah).

  2) Harold Laswell Abraham Kaplan: A projected program of goals, values and practices; 2 (Suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu,

  nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu).

  3) B. Guy Peters: The sum of government activities, whether acting directly or through agents, as it has an influence on the lives of citizens; 3 (Jumlah kegiatan-

  kegiatan pemerintah, baik bertindak langsung atau melalui agen, karena memiliki pengaruh terhadap kehidupan warga).

  4) Michael Howlett M. Ramesh: Public policy is a complex phenomenon consisting of numerous decisions made by numerous individual and

  1 David Easton; A System Analysis of Political Life; Willey, New York, 1965, p. 212. 2 Harold Laswell Abraham Kaplan; Power and Society; Yale University Press, New Heaven, !970, p. 71.

  3 B. Guy Peters; American Public Policy; 3rd Ed., Chatam House, New Jersey, 1993, p. 4.

  merupakan fenomena kompleks yang terdiri dari banyak keputusan yang dibuat oleh berbagai individu dan organisasi. Hal ini sering dibentuk oleh kebijakan sebelumnya dan sering terkait erat dengan keputusan-keputusan lainnya yang tampaknya tidak berhubungan).

  5) Thomas R. Dye; What government do, why they do it, and what difference it makes; 5 (Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka

  melakukannya, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda).

  6) James E. Anderson: A relative stable, purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern; 6

  (Sesuatu yang relatif stabil, maksud (arah) tindakan tertentu yang diikuti oleh aktor atau kelompok aktor dalam menangani suatu masalah atau keprihatinan).

  7) James P. Lester dan Joseph Steward Jr: A process or a series or pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some public

  problem, either real or imagined; 7 (Sebuah proses atau serangkaian atau pola kegiatan pemerintah atau keputusan yang didesain untuk memperbaiki

  beberapa masalah umum, baik nyata maupun tidak).

  4 Michael Howlett M. Ramesh; Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem; Oxford University Press, Oxford, 1995, p. 7.

  5 Thomas R. Dye; Understanding Public Policy; Prentice Hall, New Jersey, 1995, p. 2. 6 James E. Anderson; Public Policy Making; Houghton Mifflin, Boston, 2000, p. 4.

  7 James P. Lester dan Joseph Steward Jr; Public Policy: An Evolutionary Approach; Wadsworth, Balmont, 2000, p. 18.

  8) Austin Ranney: A selected line of action or declaration of intent; 8

  (Sebuah

  garis tindakan yang dipilih atau deklarasi niat).

  9) Steven A. Peterson: Government action to address some problems; 9 (Tindakan pemerintah untuk mengatasi beberapa masalah).

  10) Riant Nugroho: Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk

  menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. 10

  11) Carl J. Friedrich: Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan

  tertentu. 11

  12) Menurut Budi Winarno, satu hal yang harus diingat dalam memahami kebijakan publik adalah bahwa pendefinisian kebijakan publik tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan publik merupakan suatu proses yang mencakup

  8 Austin Ranney sebagaimana terkutip dalam James P. Lester Joseph Steward Jr.; Public Policy: An Evolutionary Approach; Wadsworth, Balmont, 2000, p. 18.

  9 Steven A. Peterson sebagaimana terkutip dalam Kack Rabin; Encyclopedia of Public Administration and Public Policy; Marcel Dekker, New York Basel, 2003, p. 1030.

  10 Riant Nugroho; Public Policy; Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2008,

  h. 55. 11 Carl J. Friedrich, sebagaimana terkutip dalam Riant Nugroho; Ibid; h. 53-54.

  26

  pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi kebijakan publik yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai. Oleh karena itu, definisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Karena itu, menurut Budi Winarno, definisi Kebijakan Publik yang ditawarkan oleh James Anderson adalah lebih tepat dibandingkan dengan definisi-definisi Kebijakan Publik yang lain. James Anderson: “kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan”. Konsep kebijakan ini dipandang tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang hanya diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada. 12

  13) Bila pendapat Anderson itu dielaborasi, maka Kebijakan Publik terlihat sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Implikasi dari kebijakan itu adalah: (1). Kebijakan Publik selalu mempunyai

  tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2). Kebijakan Publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; (3). Kebijakan Publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; (4). Kebijakan Publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5). Kebijakan Publik pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang

  12 Budi Winarno; Kebijakan Publik: Teori, Proses Studi Kasus; Cetakan Pertama, Penerbit CAPS, Yoogyakarta, 2012, h. 21.

  memaksa. 13

b. Konsepsi Good Governance

  Istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga penyandang dana internasional seperti Bank Dunia (World Bank), UNDP (United Nations Development Programme), dan IMF (International Monetary Fund) dalam rangka menjaga dan menjamin keberlanjutan dana bantuan yang diberikan negara-negara sasaran bantuan. Pada dasarnya badan-badan internasional ini berpandangan bahwa setiap bantuan internasional di negara-negara berbagai belahan dunia, terutama di negara berkembang sulit berhasil tanpa adanya good governance di negara sasaran tersebut. Karena itu, good governance kemudian menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut dengan negara sasaran. 14

  Pada dasarnya, konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekankan pada kesetaraan pada lembaga-lembaga negara bak di pusat maupun di daerah sektor swasta maupun masyarakat madani (civil society). Good Governance berdasarkan pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut keseluruhan termasuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat

  13 Lutfi J. Kurniawan Mustafa Lutfi; Perihal Negara, Hukum Kebijakan Publik – Perspektif Politik Kesejahteraan yang Berbasis Kearifan Lokal; Pro Civil Society dan Gender; SETARA Press, Malang,

  Cetakan Ke- 2, April 2012, h. 20 - 21.

  14 Tim ICCE UIN Jakarta, 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: UIN Jakarta dan Prenada Media; Sadu Wasistiono, 2004. “Desentralisasi, Demokratisasi, dan

  Pembentukan Good Governance” dalam Syamsuddin Haris dkk (Editor), 2004 “Desentralisasi dan Otonomi Daerah”; Jakarta: LIPI Press; sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin, dkk.; Hukum Pelayanan Publik; Setara Press, Malang, 2012, h. 38.

  demokratis, akuntabel serta transparan. 15

c. Konsepsi Korupsi

  Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua usianya. Dari bahasa latin itulah diturunkan ke banyak bahasa di Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari

  bahasa Belanda inilah kata tersebut diturunkan ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. 16 Kata korup berarti buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan

  uangbarang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. 17 Korupsi berarti penyelewengan atau

  penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 18

  15 Mas Achmad Santosa; Good Governance Hukum Lingkungan; Jakarta: ICEL, 2001, h. 86 16 Perhatikan misalnya dalam Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi; Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,

  2005, h. 4.

  17 Pengertian ini diambil dari Kamus Hukum (2002) sebagaimana dikutip oleh Arya Maheka (Penulis) Eko Soesamto Tjiptadi, Anatomi Mulyawan Eddy O.S. Hiariej (Editor), Mengenali dan Memberantas

  Korupsi; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia; Jakarta, tanpa tahun terbit, h. 12.

  18 Ibid.

  Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa, H. Lindsey Parris menyebutkan bahwa korupsi berarti memungut uang bagi pelayanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya penggelapan uang) atau di luar organisasi (misalnya pemerasan). Korupsi kadang-kadang membawa dampak positif di bidang kehidupan sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan. 19

2. Aspek Peraturan Perundang-Undangan

a. Konsepsi Dana Desa

  Penegertian Dana Desa antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan Pasal 1 Angka 2i Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017. Kedua ketentuan hukum tersebut mengatur bahwa Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten

  19 Robert Klitgaard (et al), “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”; alih bahasa oleh Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta,

  2002, h. 3, sebagaimana dikutip oleh Yudi Kristiana; Disertasi; Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan

  Melalui Pendekatan Hukum Progresif – Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana

  Korupsi; Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, h. 86 – 87.

b. Konsepsi Pelayanan Publik

  1) Pasal 1 Angka 1 UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengatur bahwa: Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, danatau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

  2) Pasal 1 Angka 2 UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengatur

  bahwa: Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

  3) Pasal 1 Angka 4 UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengatur bahwa: Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

  4) Pasal 1 Angka 5 UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengatur bahwa: Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

  5) Pasal 1 Angka 7 UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengatur

  bahwa: Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

c. Konsepsi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  1) Pasal 1 ayat (3) UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

  Pidana Korupsi (sering disebut Komisi Pemberantasan KorupsiKPK), mengatur bahwa: Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  2) Pasal 1 ayat (3) UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa: Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Hasil Penelitian

  Mengingat data tentang dana desa ini menyebar secara sangat luas dan bervariasi, maka untuk hasil penelitian ini, akan ditampilkan dalam bentuk ringkas berupa slide. 20

  20 Kementerian Keuangan Republik Indonesia; Kebijakan Pengalokasian dan Penyaluran Dana Desa Tahun 2017; Workshop Penyusunan Rancangan Peraturan Kepala Daerah mengenai Tata Cara

  Penghitungan Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa TA 2017 Redtop Hotel and Convention Center, 21-24 November 2016; Lihat: http:www.djpk.depkeu.go.idwp-contentuploads201611Paparan-Kemenkeu.pdf Dikunjungi pada 15 April 2017, pukul 09.53 WIB.

  Dalam kaitan dengan potensi masalah Dana Desa, maka perlu dilihat hasil kajian dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Gambaran tentang hal ini dapat dilihat pada data di bawah ini. 21

  21 Roni Dwi Susanto (Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK RI; Pencegahan Korupsi Pada Pengelolaan Keuangan Desa; Jakarta 28 April 2015; Lihat:

  https:www.kemenkopmk.go.idsitesdefaultfilesfieldfile_pendukungSessi20II20-20KPK20- 20Pencegahan20Korupsi20Pada20Pengelolaan20Keuangan20Desa202820April202015 .pdf Dikunjungi pada Senin 1 Mei 2017, pukul 07.07 WIB.

C. Analisa

  Berdasarkan Latar Belakang, Tinjauan Pustaka dan Hasil Penelitian, maka dapat dilakukan telaah dan uraian tertentu. Potensi masalah dalam Sub Bab analisa ini terbagi ke dalam 4 (empat) bagian yakni potensi masalah dalam regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan dan sumber daya manusia.

  Untuk menghubungkan pemahaman secara lebih muda maka penulis membuat tampilan khusus dengan cara memperlihatkan keterhubungan antara

1. Potensi Masalah dalam Regulasi dan Kelembagaan

  Potensi masalah dalam regulasi dan kelembagaan ini adalah salah satu potensi masalah yang langsung berhubungan dengan aspek hukum.

a. Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa

  UU No. 6 tahun 2014, disahkan pada 15 Januari 2014, untuk diimplementasikan di 2015. Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah segera menyiapkan peraturan pelaksananya. Terdapat 2 (dua) Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana yang mengatur UU No. 6 tahun 2015 yakni:

  1) PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang disahkan pada 30 Mei 2014.

  2) PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang disahkan pada 21 Juli 2014. PP ini kemudian dirubah kembali melalui PP No. 22 tahun 2015 yang ditetapkan pada

  29 April 2015.

  Untuk pedoman teknis pelaksanaan kedua PP tersebut, Kementerian teknis terkait dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa PDTT, menyusun Peraturan Menteri yang menjadi acuan bagi pengelolaan dana di desa. Peraturan tersebut antara lain :

  1) Peraturan Kementerian Dalam Negeri:

  a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, yang disahkan pada 31 Desember 2014.

  b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa, yang disahkan pada 31 Desember 2014.

  c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, yang disahkan pada

  31 Desember 2014.

  d) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa, yang disahkan pada 31 Desember 2014.

  2) Peraturan Kementerian Desa, Transmigrasi dan Desa Tertinggal:

  a) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, yang disahkan pada 25 Januari 2015.

  c) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa yang disahkan pada 28 Januari 2015.

  d) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa yang disahkan pada 13 Februari 2015.

  e) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2015 yang disahkan pada 13 Februari 2015.

  Peraturan pelaksana yang disusun sudah cukup lengkap, namun berdasarkan hasil observasi, terdapat beberapa petunjuk teknis lainnya yang perlu segera ditetapkan antara lain:

  1) Pertanggungjawaban dana bergulir PNPM Bersamaan dengan diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014, maka Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dihentikan karena seluruh dana dan sumber daya dipindahkan untuk mengelola dana desa.

  Penghentian program PNPM berdampak pada beberapa hal:

  a) Serah terima program dan asset PNPM belum tuntas dilakukan. Meski umumnya telah dilakukan Musyawarah Desa dalam menutup dan mempertanggungjawabkan kegiatan PNPM sesuai Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM 2014, namun setelah musyawarah tersebut, pemerintah daerah belum menetapkan langkah selanjutnya.

  b) Pemerintah daerah menunggu petunjuk teknis mekanisme serah terima dari Pemerintah Pusat. Bagi program pembangunan fisik yang sudah selesai, mekanisme serah terimanya tentunya lebih sederhana, namun tidak bagi PNPM dana bergulir. Dana dari kegiatan simpan pinjam dalam PNPM dana bergulir ini masih berlangsung, untuk itu perlu diperjelas petunjuk teknis dalam mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban, pembinaan dan pengawasannya. Saat ini Pemda masih menunggu petunjuk teknis dari Pusat untuk menetapkan pihak-pihak mana yang terlibat, termasuk dana dan regulasi yang perlu disiapkan daerah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan.

  c) Kelembagaan dana bergulir. Dana bergulir masyarakat program PNPM ini dikenal dengan istilah Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM) yang dikelola Unit Pengelola Keuangan (UPK) dana bergulir PNPM Pentingnya DAPM untuk memiliki legalitas yang jelas sudah disampaikan oleh Pemerintah melalui Surat dari Menko Kesra dengan Nomor B27MenkoKesraI2014 tertanggal 31 Januari 2014. Dalam surat tersebut

  

  Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, pemerintah daerah belum memutuskan perubahan kelembagaan tersebut. Pemda masih menunggu pedoman umum, petunjuk teknis dan operasional mengenai hal ini. Petunjuk ini menjadi penting mengingat secara agregat jumlah aset dan dana bergulir PNPM cukup besar. Pada Akhir desember 2014 asset DAPM yang dikelola oleh UPK berjumlah Rp10.325.924.747.179,- 22 . Di Kab. Magelang saja, per April 2015

  berjumlah Rp91,5 miliar. Mengingat jumlah kelolaan dana yang cukup besar tersebut, vakumnya regulasi dan pengawasan tentunya rentan untuk disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Peluang terjadinya fraud terutama dalam pemindahan dan penghapusan aset menjadi semakin besar.

  2) Mekanisme pengangkatan Pendamping PNPM Dengan selesainya program PNPM per 31 Desember 2014, maka kontrak dari sekitar 16.000 fasilitator pendamping berakhir pula. Sementara itu, mengingat kompetensi dan kesiapan aparat desa di Indonesia yang belum sepenuhnya mencukupi dalam mengelola keuangan desa, tentunya membutuhkan pendampingan dan fasilitasi. Terkait kebutuhan akan tenaga pendamping,

  22 Faizal Izham; 2015, Perlindungan dan Peraturan Aset hasil PNPM Mandiri Perdesaan, Disampaikan dalam Sosialisasi UU 62014 di Hotel RedTop Jakarta, 28-30 April 2015; Sebagaimana ada dalam: Laporan

  Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi dana Desa dan dana Desa; Komisi Pemberantasan Korupsi RI; Lihat uraiannya dalam: https:acch.kpk.go.ididcomponentbdthemes_shortcodes?view=downloadid=bd20cd6416656c2a4416 59f4bb77ab ; Dikunjungi pada 24 Juni 2016, pukul 05.43 WIB. h. 28. Dengan penyesuaian tertentu, Laporan KPK ini menjadi acuan utama dalam pembuatan Analisa Skripsi ini.

  65

  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Teringgal dan Transmigrasi telah mengeluarkan Permendes No. 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Pada pasal 4 Permendes No. 3 tahun 2015 disebutkan bahwa Pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: a. tenaga pendamping profesional; b. Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa; danatau c. pihak ketiga. Mengacu pada hal tersebut proses perekrutan pendamping untuk pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah di tahun 2015 ini. Sayangnya hingga kajian ini selesai dilakukan belum ada langkah kongkrit yang diambil pemerintah untuk menindaklanjuti proses rekrutmen ini. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Desa menginformasikan kepada tim kajian bahwa telah menyiapkan anggaran bagi pengangkatan kurang lebih 4.000 pendamping dan akan menggunakan mekanisme dekonsentrasi untuk membiayainya. Pemerintah daerah membutuhkan petunjuk teknis bagaimana mekanisme rekrutmen yang digunakan dalam proses merekrut pendamping ini. Pasal 23 Permendes No. 3 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa “(1) Rekrutmen Pendamping Desa, Pendamping Teknis dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat dilakukan secara terbuka. (2) Rekrutmen dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di daerah dan ditetapkan oleh Menteri”; namun pasal ini belum cukup menjelaskan bagaimana mekanisme rekrutmen pendamping dilakukan.

  Dari sisi pendanaan, Pasal 32 Permendes No. 3 tahun 2015 belum menjelaskan secara teknis, seberapa besar porsi anggaran yang berasal dari pemerintah

  1) Bagi desa, kebutuhan pendamping dibutuhkan terutama pada awal proses penganggaran dan perencanaan. Efektifitas fungsi pendamping berpotensi berkurang, jika pendamping datang pada saat pertengahan atau akhir pelaksanaan APBDesa. Terlebih di tahun 2015, sebagian besar desa sedang menyusun RPJMDesa 2016-2020.

  2) Daerah membutuhkan informasi dari Pemerintah Pusat terkait porsi pembiayaan pendamping yang menjadi tugas daerah, dan standar biaya pendampingan yang diperlukan sehingga daerah dapat mengalokasikan anggaranya untuk kebutuhan tersebut. Karena proses pengusulan anggaran dalam APBDP mulai berjalan bulan Juni, maka informasi ini dibutuhkan segera terlebih bagi daerah-daerah yang belum menganggarkan dalam APBDnya.

  Fungsi strategis pendamping dalam pengelolaan keuangan desa menuntut pendamping yang direkrut adalah personil yang berkualitas dan berintegritas. Untuk itu dibutuhkan proses rekrutmen pendamping yang berkualitas pula. Proses rekrutmen yang berkualitas tidak dilakukan seadanya, hal ini membutuhkan persiapan dan sumberdaya yang cukup. Oleh sebab itu,

b. Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri

  Berdasarkan Perpres 112015 tentang Kemdagri dan 122015 tentang Kemendes, dijumpai adanya potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri terutama Dirjen Bina Pemerintahan Desa, terutama terkait:

  1) Urusan Pembinaan dan Pembangunan Desa

  Meski dalam Perpres No. 11 tahun 2015 dan Perpres No. 12 tahun 2015 terlihat bahwa Kementerian Desa diarahkan untuk pembinaan pembangunan desa dan kawasan desa, sementara Kementerian Dalam Negeri lebih menitikberatkan pada fasilitasi kebijakan penataan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa, namun potensi “overlap” dalam pelaksanaannya sangat mungkin terjadi, seperti yang terlihat dalam matriks berikut:

  Peraturan

  Presiden Peraturan Presiden Republik

  Republik Indonesia No. 11 Indonesia No. 12 tahun 2015

  tentang Kementerian Desa,

  tentang Pembangunan

  Daerah

  Kementerian Dalam Negeri

  Tertinggal dan Transmigrasi

  Pasal 3 : .....Kementerian Pasal 2 : Kementerian Desa, Dalam

  Negeri Pembangunan Daerah Tertinggal,

  menyelenggarakan fungsi: a. dan Transmigrasi mempunyai perumusan, penetapan, dan tugas menyelenggarakan urusan pelaksanaan kebijakan di pemerintahan

  di bidang

  bidang

  politik

  dan pembangunan desa dan kawasan

  pemerintahan umum, otonomi perdesaan,

  pemberdayaan

  daerah,

  pembinaan masyarakat desa, percepatan

  administrasi

  kewilayahan, pembangunan daerah tertinggal,

  pembinaan pemerintahan desa, dan transmigrasi untuk membantu pembinaan

  urusan Presiden

  dalam

  pemerintahan

  dan menyelenggarakan pemerintahan

  pembangunan

  daerah, negara

  pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan

  dan

  pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan

  peraturan

  perundang-undangan Pasal 21: .... Direktorat Pasal 3 : ...... Kementerian Desa, Jenderal Bina Pemerintahan Pembangunan Daerah Tertinggal, Desa sesuai dengan ketentuan dan

  Transmigrasi

  peraturan

  perundang- menyelenggarakan fungsi: a.

  undangan menyelenggarakan perumusan,

  penetapan, dan

  fungsi:

  a. perumusan pelaksanaan kebijakan di bidang

  kebijakan di bidang fasilitasi pembangunan desa dan kawasan penataan

  desa, perdesaan,

  pemberdayaan

  penyelenggaraan administrasi masyarakat desa, pengembangan pemerintahan

  desa, daerah tertentu, pembangunan

  pengelolaan keuangan dan aset daerah tertinggal, penyiapan,

  kepala

  desa, pengembangan

  kawasan

  perangkat desa, pelaksanaan transmigrasi. penugasan

  urusan

  pemerintahan, kelembagaan desa,

  kerja

  sama

  pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa...

  Berdasarkan hasil observasi di lapangan, perangkat desa dan aparat pemerintah daerah masih belum dapat membedakan mana yang merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Desa dan mana yang menjadi kewenangan tupoksi Kementerian Dalam Negeri. Secara sederhana, aparat Pemerintah Daerah membagi kewenangan Kemdes, hanya yang terkait dengan dana desa, sementara sisanya adalah kewenangan Kemdagri. Namun, pada saat penetapan prioritas pembangunan dalam menetapkan rencanan penggunaan dana desa, aparat Pemda tidak semata-mata hanya mengacu pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2015 namun juga mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Risiko yang dapat terjadi akibat tumpang tindih kewenangan ini antara lain:

  a) Lambatnya pengambilan keputusan di lapangan.

  b) Risiko tumpang tindih anggaran program pembinaan di tingkat pusat.

  c) Risiko minimnya efektifitas dan efisiensi kegiatan yang dilakukan KL di

  tingkat pusat.

  Kementerian.

  e) Kebingungan di tingkat daerah ketika mengimplementasikan kebijakan,

  melakukan koordinasi dan konsultasi dengan pusat. Keseluruhan risiko tersebut tentunya berdampak pada tidak tercapainya UU No. 6 tahun 2014 yang bertujuan mensejahterakan dan memberdayakan desa. Untuk itu koordinasi yang erat dan pembagian tugas yang jelas antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa perlu dilakukan sejak awal.

  Mekanisme koordinasi dalam pelaksanaan UU desa di tingkat pusat tidak terbatas hanya pada dua kementerian saja, namun juga pelibatan kementerian keuangan sebagai KPA dari dana desa ini. Peran kementerian keuangan juga penting terkait penerapan sanksi.

  2) Monitoring dan Evaluasi

  Terdapat mekanisme sanksi bagi daerah dan desa yang tidak mengelola dana desa dengan baik. Dalam PP No. 22 tahun 2015, kriteria yang digunakan adalah adanya SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) lebih dari 30. Sanksi yang diterapkan adalah sanksi administratif berupa penundaan pencairan dana desa tahap berikutnya dan atau pemotongan dana desa tahun berikutnya. Selain itu Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan dapat menunda penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi hasil jika BupatiWalikota tidak segera menyalurkan dana desa ke rekening desa (lebih dari 15 hari) setelah desa memenuhi kewajibannya. Untuk menerapkan mekanisme sanksi tersebut, Pemerintah Pusat perlu melakukan pemantauan dan evaluasi. Matriks berikut menggambarkan adanya tugas terkait

  Peraturan

  Pemerintah Peraturan

  Presiden Peraturan

  Presiden

  Nomor 60 Tahun 2014 Republik

  Indonesia Republik

  Indonesia

  tentang Dana Desa yang Nomor 12 Tahun 2015 Nomor 11 Tahun 2015 Bersumber dari Anggaran tentang

  Kementerian tentang

  Kementerian

  Pendapatan dan Belanja Desa,

  Pembangunan Dalam Negeri

  Negara

  Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

  Pasal

  Pemerintah Pasal 10 butir (e) : Pasal 22 : Dalam

  melakukan pemantauan dan pelaksanaan evaluasi dan melaksanakan

  tugas

  evaluasi atas pengalokasian, pelaporan

  di

  bidang sebagaimana dimaksud

  penyaluran dan penggunaan perencanaan

  dalam Pasal 21, Direktorat

  dana desa.

  pembangunan

  kawasan Jenderal

  Bina

  Selanjutnya dalam Pasal 28 perdesaan, pembangunan Pemerintahan Desa sesuai PP No. 60 tahun 2014 saranaprasarana kawasan dengan

  ketentuan

  disebutkan bahwa ketentuan perdesaan,

  dan peraturan perundang-

  tata cara pemantauan dan pembangunan

  ekonomi undangan

  evaluasi Dana Desa diatur kawasan perdesaan

  menyelenggarakan fungsi:

  dalam Peraturan Menteri.

  a. perumusan kebijakan di

  Dalam PP No. 60 tahun 2014,

  bidang fasilitasi penataan

  Menteri yang dimaksud

  desa,

  penyelenggaraan

  adalah Menteri Keuangan.

  administrasi pemerintahan desa,

  pengelolaan keuangan dan aset desa, produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat

  desa, pelaksanaan penugasan urusan

  pemerintahan,

  Pada 5 Mei 2015, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93PMK.072015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa. Dalam PMK 93PMK.072015 disebutkan bahwa Bupatiwalikota menyampaikan Peraturan BupatiWalikota tentang tata cara penghitungan dan penetapan rincian dana desa dan juga laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan dana desa tidak hanya ke Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan namun juga ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa PDTT dan Gubernur. Atas dasar kewenangan 3 KementerianLembaga dalam melaksanakan monitoring evaluasi dan agar laporan rencana penyaluran dan realisasi dana desa dari daerah termonitor dengan baik di tingkat pusat, maka Pemerintah Pusat perlu segera melakukan koordinasi untuk menetapkan pembagian tugas monitoring evaluasi yang efektif dalam mengawasi dana desa, sehingga mekanisme sanksi bisa ditegakkan, terlebih dana desa sudah dicairkan per 13 April 2015, sebelum PMK 932015 ditetapkan.

c. Formula pembagian Dana Desa dalam Perpres 362015 mengacu pada aturan yang belum ditetapkan dan hanya didasarkan pada aspek pemerataan.

  Pencairan dana desa dari Pusat ke RKUD tahap I ditargetkan dilaksanakan pada bulan april 2015, dengan mengacu pada perhitungan formula dana desa per kabupaten sesuai PP 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang disahkan pada 21 Juli 2014. Pada saat APBNP 2015, terdapat perubahan besaran pagu untuk dana desa.

  Berdasarkan Perpres 362015 tentang Rincian Anggaran dan Pendapatan Belanja

  tahun anggaran 2015 yang ditetapkan pada 17 Maret 2015, pagu dana desa berubah dari awalnya Rp9,066 Triliun menjadi Rp20,766 Triliun. Pada lampiran XI Perpres 362015, pemerintah pusat telah membagi dana desa tiap kabupatennya, namun formula pembagian dana desa tersebut tidak mengacu pada PP 602014 yang berlaku, tetapi mengacu pada PP 222015 yang baru ditetapkan pada 29 April 2015 dan PMK 932015 yang baru ditetapkan pada 5 Mei 2015.

  Perubahan paling mendasar dari PP No. 22 tahun 2015 terhadap PP No. 60 tahun

  2014 adalah pada penetapan formula pembagian dana desa. Pada PP No. 60 tahun 2014 formulasi penentuan besaran dana desa per kabupatenkota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel (Pasal 11), sementara pada PP No. 22 tahun 2015 Pasal 11, pencatuman bobot variabel dihilangkan, seperti yang terlihat dalam matriks berikut:

  PP No. 60 tahun 2014 (Pasal 11)

  PP No. 22 tahun 2015 (Pasal 11)

  Ayat 6 huruf (a): Pagu dana desa Ayat 1: Dana desa setiap kabkota nasional yang ditetapkan dalam APBN dihitung berdasarkan jumlah desa.

  

  setiap kabkota.

  Penjelasan mengenai detil pengalokasian dana desa baru dijelaskan dalam

  Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93PMK.072015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa yang ditetapkan pada 5 Mei 2015. Dalam PMK 93PMK.072015 dijelaskan bahwa dalam pengalokasian dana desa, 90 adalah bobot alokasi dasar, 10 bobot sisanya dibagi berdasarkan formula : 25 jumlah penduduk, 35 jumlah penduduk miskin desa, 10 luas wilayah desa dan 30 indeks kesulitan konstruksiindeks kesulitan geografis. Adanya perubahan formula ini memberikan “keuntungan” bagi pemerintah kotakabupaten yang memiliki desa berjumlah banyak. Semakin banyak jumlah desa yang dimiliki kotakabupaten, semakin besar peluang kotakabupaten tersebut untuk menikmati proporsi dana desa Semakin banyak jumlah desa pada kabupaten, semakin banyak pula proporsi dana desa yang diperoleh kabupaten tersebut, hal ini berpotensi menimbulkan kecendurungan kabkota membentuk desa-desa baru yang tidak semestinya.

  75

  Perubahan pagu dana desa dalam APBNP yang dituangkan dalam Perpres No. 36 tahun 2015 tentang rincian APBN 2015, secara drastis merubah jumlah dana desa yang didistribusikan Pusat ke Kabupaten. Adanya peningkatan pagu dana desa sebesar 2,2 kali lipat dari yang sebelumnya berjumlah Rp9,066 triliun menjadi Rp20,76 triliun, tentunya menyebabkan dana desa yang diterima setiap kabkota bertambah. Namun dengan adanya perubahan formula pada PP No. 22 tahun 2015 mengakibatkan tidak semua kabkota menerima prosentase kenaikan yang sama. PP No. 22 tahun 2015 lebih menekankan pada asas pemerataan, dimana setiap desa memiliki jumlah dana desa yang relatif sama. Dengan pagu sebesar Rp20,7 triliun, maka Rp18,68 triliun akan dibagi rata ke 74.093 desa, sehingga tiap desa minimal menikmati dana desa sebesar Rp252,2 juta. Tidak ada gap atau perbedaan yang berarti antara desa dengan luas dan jumlah penduduk yang besar dengan desa dengan luas dan jumlah penduduk yang kecil.

d. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan.

  Berdasarkan norma UU Desa, seluruh penghasilan dan tunjangan pemerintah desa dicatatkan dalam APBDesa. Lebih lanjut penghasilan dan tunjangan kepala desa ini diatur dalam PP No. 43 tahun 2014. Terdapat 3 (tiga) pasal yang terkait dengan penghasilan dan tunjangan pemerintah desa dalam PP No. 43 tahun 2014, yakni pasal 81, 82 dan 100. Pada pasal 81 ayat (2) PP No. 43 tahun 2014, norma pengalokasian ADD untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa menggunakan penghitungan sebagai berikut:

  1) ADD yang

  2) ADD yang berjumlah Rp500.000.000-Rp700.000.000 digunakan maksimal 50;

  3) ADD yang berjumlah Rp700.000.001-Rp900.000.000 digunakan maksimal 40; dan

  4) ADD yang berjumlah >Rp900.000.000 digunakan maksimal 30. Implementasi dari aturan tersebut dapat menciptakan ketidakadilan antar desa dalam menerima alokasi dana untuk penghasilan tetap. Seperti terlihat pada grafik dan

  tabel

  berikut:

  Dari grafik terlihat bahwa peningkatan alokasi untuk penghasilan tetap perangkat desa tidak linear dengan jumlah ADD yang diperoleh desa. Dengan norma tersebut di atas, desa dengan ADD Rp1 miliar mendapat porsi alokasi penghasilan tetap sama dengan desa yang mendapat ADD Rp750 juta dan Rp600 juta. Namun, desa dengan ADD Rp1 miliar mendapatkan alokasi penghasilan tetap lebih rendah dari desa yang mendapatkan ADD antara Rp751 juta hingga Rp900 juta, bahkan lebih rendah dari desa mendapatkan ADD antara Rp601 juta hingga Rp700 juta.

  Implementasi norma perhitungan alokasi penghasilan tetap bagi perangkat desa seperti di atas akan berdampak psikologis yang negatif bagi perangkat desa dalam mengelola keuangan desa terutama bagi desa yang mendapatkan ADD besar namun mendapatkan alokasi penghasilan tetap lebih kecil. Perangkat desa akan mencari rasionalisasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang ilegal dari APBDesa atau dengan kata lain melakukan korupsi.

e. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien.

  Dalam PP No. 43 tahun 2014 pasal 103-104 mengatur tata cara pelaporan yang wajib dilakukan oleh Kepala Desa. Kepala Desa diwajibkan menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada BupatiWalikota setiap semester tahun berjalan (laporan semesteran). Selain itu, Kepala Desa juga diwajibkan menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa kepada BupatiWalikota setiap akhir tahun anggaran (laporan tahunan). Lebih detail, Permendagri No. 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa mengatur pula standar dan format pelaporan pertanggungjawaban yang harus disusun oleh Kepala Desa. Seperti ketentuan lampiran yang perlu dipenuhi dalam laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa, yaitu:

  1) Format laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa tahun anggaran berkenaan.

  2) Format laporan kekayaan milik desa per 31 Desember tahun anggaran berkenaan.

  3) Format laporan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk ke desa.

  Dari PP No. 43 tahun 2014 dan Permendagri No. 113 tahun 2014 terlihat bahwa

  laporan pertanggungjawaban yang harus dibuat oleh Kepala Desa harus terintegrasi secara utuh, tidak melihat sumber dana yang diperoleh desa. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang mewajibkan desa untuk menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan dana berdasarkan sumber dananya. Misalnya, penggunaan ADD maka dibuat laporan realisasi penggunaan ADD terpisah dengan penggunaan Dana Bantuan Provinsi atau KabupatenKota yang perlu juga dibuat laporan realisasi penggunaannya. Hal ini tentu perlu diapresiasi karena akan memperingan beban administrasi perangkat desa, namun substansi pertanggungjawaban tetap terlaksana. Namun khusus untuk dana desa berdasarkan PP 602014 kepala desa tetap diminta untuk menyusun pertanggungjawaban yang bersumber dari dana desa saja. Laporan dana desa ini disampaikan setiap semester dan ditujukan kepada BupatiWalikota melalui camat, sama dengan mekanisme seperti yang tercantum dalam PP 432014. Hal ini tentu menjadi tidak efektif dan efisien bagi desa dalam memenuhi kewajiban administratif. Dana desa yang sudah masuk ke dalam bagian APBDesa tentu sudah termasuk ke dalam laporan pertanggungjawaban APBDesa seperti yang tercantum dalam PP 432014.

2. Potensi Masalah dalam Tata Laksana

  Potensi masalah dalam tata laksana ini tidak semata-mata berkaitan dengan aspek non- hukum seperti manajemen, tetapi juga aspek hukum administrasi negara seperti, pentingnya mengetahui dan mengerjakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

a. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa.

  Dalam PP No. 43 tahun 2014 telah diatur siklus anggaran desa yang mirip dengan siklus anggaran pada APBN maupun APBD, sebagai berikut:

  1) Musyawarah Desa dilaksanakan paling lambat bulan Juni (pasal 114).

  2) RKPDesa harus mulai dibahas pada bulan Juli dan ditetapkan paling lambat pada bulan September (pasal 118).

  3) Rancangan Peraturan Desa mengenai APBDesa disepakati paling lambat Oktober (pasal 101).

  4) Penetapan APBDesa dilakukan paling lambat pada 31 Desember (pasal 101). Pada kenyataannya, tidak ada satupun desa yang disampling oleh tim kajian dapat mengikuti siklus anggaran yang ditetapkan dalam regulasi. Bahkan dengan adanya perubahan PP No. 60 tahun 2014, desa menunda penyusunan APBDesanya. Hingga pertengahan Mei 2015, belum ada desa di Kab. Magelang yang telah menetapkan APBDesanya, meski dana desa untuk kabupaten tersebut sudah dicairkan oleh Pemerintah Pusat. Keterlambatan pengesahan APBDesa ini tentunya berdampak pada kinerja pembangunan di desa. Dari hasil pendalaman kepada perangkat desa dan kecamatan, hal ini lebih disebabkan karena informasi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait rencana pembangunan di desa tersebut dan terutama besaran anggaran yang akan diperoleh desa telat diperoleh atau keputusannya berubah-ubah.

  Berbagai informasi yang dibutuhkan desa untuk memulai proses perencanaan baru diperoleh pada bulan Januari s.d. April tahun berikutnya. Akibatnya, pelaksanaan siklus anggaran di desa jauh melenceng dari waktu yang ditetapkan dalam regulasi.

b. Belum adanya satuan harga baku barangjasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa.

  Dalam proses penyusunan APBDesa, pemerintah desa perlu menghitung anggaran dengan menggunakan satuan harga baku. Berdasarkan hasil observasi di lapangan belum ditemukan adanya desa yang penyusunan APBDesanya menggunakan satuan harga baku yang terstandar. Dalam menentukan satuan biaya, desa hanya mengandalkan pada informasi yang dimiliki oleh tim penyusun RKP. Ditemui dalam kecamatan yang sama, untuk desa yang berdekatan satuan harga yang digunakan dalam menyusun RKP berbeda Sementara di tingkat kabupatenkota dalam penyusunan Rencana Kegiatan Anggaran (RKA), daerah telah menggunakan Standar Satuan Harga (SSH). Penyusunan SSH ini merupakan implementasi dari Pasal 93 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

  21 Tahun 2011. Pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 93 ayat (4) dan (5) disebutkan bahwa: (4) Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.

  81

  (5) Standar satuan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan harga satuan setiap unit barangjasa yang berlaku disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Atas dasar Permendagri No. 13 tahun 2006 tersebut maka masing-masing daerah memiliki keputusan kepala daerah yang menetapkan standar satuan harga yang berlaku selama 1 (satu) tahun untuk digunakan sebagai pedoman yang digunakan SKPD dalam menyusun RKA tiap tahunnya. Pemahaman desa dalam menyusun format APBDesa dan juga RKA yang benar masih sangat minim, terutama dalam menetapkan standar harga satuannya. Dikenalkannya penggunaan SSH, yang mengatur standar unit dan harga dalam menyusun RKA dan APBDesa, tentunya akan mempermudah desa, sekaligus mengurangi potensi fraud yang dilakukan dengan menetapkan satuan biaya di atas kewajaran.

c. APBDesa yang disusun tidak menggambarkan kebutuhan desa.

  Dengan menggunakan mekanisme penyusunan APBDesa yang partisipatif, diharapkan hasil penyusunan APBDesa tersebut mewakili kebutuhan seluruh lapisan masyarakat yang akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun meski secara administratif urutan pelaksanaan perencanaan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi desa tersebut; dalam observasi ditemukan fakta berikut;

  1) Desa Pabuaran, Bogor yang merupakan desa dengan kondisi tertinggal dengan

  infrastruktur minim dan proporsi jumlah penduduk miskinnya besar justru

  2) Desa Bontoloe, Kabupaten Gowa memiliki infrastruktur yang minim, namun

  desa ini merencanakan memprioritaskan mendirikan BUMDesa perdagangan cengkeh untuk membagikan cengkeh kepada penduduknya.

  Dalam proses Musrenbangnas diperlukan mekanisme yang transparan dan akuntabel sehingga keputusan sesuai kebutuhan dan bebas konflik kepentingan sekelompok orang. Misal kasus di dua desa tersebut, perlu ada kontrol dari masyarakat apakah prioritas pendirian BUMDes cengkeh dikarenakan oleh kepentingan aparat desa yang memiliki perkebunan cengkeh atau atas dasar kepentingan seluruh penduduk.

d. Rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa kurang transparan.

  Dalam regulasi pengelolaan keuangan desa yang baru yaitu Permendagri No. 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa pasal 40 menyatakan:

  Laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat.

  Media informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain papan pengumuman, radio komunitas, dan media informasi lainnya.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

IbM Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Menuju Desa Mandiri Energi

25 108 26

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22