Kebebasan Pers Dikaitkan Dengan Berita Pemblokiran Situs Islam di Republika Online

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II. 1 Paradigma

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Oleh karena itu, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Paradimgma merupakan serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Paradigma meliputi tiga elemen, yakni epistemologis yaitu untuk mengetahui realitas, ontologis untuk mengetahui hakikat dari realitas itu sendiri, dan metodologi yang memfokuskan diri dari bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari realitas tersebut. Paradigma akan mengarahkan peneliti untuk menggunakan teori-teori seperti apa yang menjadi landasan suatu masalah penelitian (Nasrullah, 2014: 161).

II.1.1 Paradigma Konstrutivisme

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap penalaman mereka (Ardianto, 2007: 154).

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu nemun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Konstruktivisme meyakini bahwa segala sesuatu ada karena konstruksi tertentu. (Ardianto, 2007: 158).


(2)

10

Pendekatan konstruktisionis menegaskan berita sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan ideologi, nilai-nilai dari jurnalis atau media. Menururt pendekatan konstruksionis, hasil kerja jurnalis tidak dapat dinilai dengan standar yang rigid dan kaku. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai juga akan mewarnai pemberitaan, karena hal-hal itu merupakan bagian yang integral dalam diri jurnalis. Dalam pandangan ini, junalis bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta apa adanya (Sudibiyo, 2001: 259).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan objek material. Pengalaman manusia terdiri atas interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan pernyataan wartawan. Konstruksionis memiliki pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Menurut Berger, realitas merupakan sesuatu yang dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2002:15).

Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Namun, subjek tersebutlah yang merupakan faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, 2007: 151).

Dalam hal ini terdapat pesan sederhana yang memiliki satu tujuan dan pesan kompleks yang memiliki banyak tujuan. Pesan kompleks ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan orang lain lain dan komunikasi antarpesona dapat tercipta. Konstruktivisme dengan demikian dapat dikategorikan komunikasi yang berpusat pada orang dan diferensiasi kognitif menunjukkan adanya desain pesan (Ardianto, 2007: 158)

Komunikasi berbasis diri adalah model komunikasi yang memeriksa proses lahirnya pesan berdasarkan orientasi diri. Menururt kalangan


(3)

11

konstruktivis, pesan-pesan berbasis “diri “merefleksikan kewaspadaan dan adaptasi subjektif, afektif, serta aspek relasional dalam konteks komunikasi. Sebuah pesan berbasis “diri” merupakan suatu gagasan yang menyokong kebutuhan pendengarnya, perhatian atas situasi yang mungkin mengarah pada tujuan yang beragam (Ardianto, 2007: 159). Desain pesan didasarkan pada kecendrungan seseorang dalam memanajemen tujuannya untuk kepentingan sampainya tujuan melalui pesan yang dipilihnya.

Berdasarkan epistemologi ilmu komunikasi, cara pengembangan ilmu komunikasi melalui penelitian ilmiah dilakukan ke dalam tiga jenis penelitian, yaitu: 1. Analisis wacana (Discourse Analysis), 2. Analisis Semiotika (Semiotic Analysis), dan 3. Analisis Framing (Framming Analysis).

1. Analisis wacana

Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana (Sobur, 2004: 47-49).

Wacana tidak hanya mencakup percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di tempat umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Secara sederhana, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dan telaah mengenai aneka fungsi pesan dalam komunikasi (Zamroni, 2009: 88-90).

Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).


(4)

12

Foucault, membedakan pengertian wacana menjadi tiga macam, yaitu:

a. Level Konseptual teoritis, wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pertanyaan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.

b. Konteks pengunaannya, wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu.

c. Metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur dengan suatu cara tertentu, misalnya wacana imperialime dan wacana feminisme.

2. Analisis Semiotika

Silvian mengatakan bahwa komunikasi adalah negosiasi dan pertukaran makna dalam mana pesan dibangun oleh masyarakat berdasar budaya dan realitas, yang mampu berinteraksi karena menggunakan makna yang mereka bangun dan mereka pahami bersama untuk menumbuhkan saling pengertian (Zamroni, 2009: 91).

Menurut Preminger (dalam Sobur, 2004: 96), Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Menururt Dan Mimmo Semiotika membahas tentang keragaman bahasa dari tiga prespektif: semantika, yaitu studi tentang makna; sintatika, yang berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain misalnya tata bahasa; dan pragmatika, yaitu analisis penggunaan dan akibat permainan kata (Zamroni, 2009: 93).

Roland Barthes, memberikan cara bagaimana mengalisis tanda-tanda komunikasi yang disebut semiologi komunikasi, yaitu mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya. Dengan begitu, seorang peneliti menganalisis teks berdasarkan konteksnya, referensinya dan dapat menggunakan penjelasan sintaksis (ketatabahasaan) dan analisis semantik (makna tanda-tanda) bahkan historical events dan objects, termasuk


(5)

13

teks tertulis. Oleh karena semiologi, analisis teks, berarti menganalisis tentang segala hal yang berhubungan dengan sistem simbolik dan semantik dari peradaban manusia seluruhnya (Zamroni, 2009: 92).

3. Analisis Framing

Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Analisis framing sebagai suatu metode analisis teks banyak mendapat pengaruh dari teori sosiologi dan psikologi (Zamroni, 2009: 94).

Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subek sebagai sesuatu yang legitimatif, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.

Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomena-fenomena media mutakhir (Sudibyo, 2001: 23).

Dalam prespektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis framing ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, dan lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring inteprestasi khalayak sesuai prespektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana prespektif atau cara pandang wartawan untuk menyeleksi suatu isu dan menulis berita (Sobur, 2004: 162).


(6)

14 II.2 Uraian Teoritis

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

II. 2.1 Berita

Berita merupakan aktivitas inti dalam praktik jurnalistik. Menururt Lord Northeclife, (dalam Barus, 2010: 26) seorang raja pers asal Inggris, “News is anything out of ordinary”. Sementara Sumadiria (2005: 65) menjelaskan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media online internet.

Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan memilah-milah dan menentukan peristiwa serta tema-tema tertentu dalam satu kategori tertentu. Seperti yang dikatakan MacDougal (dalam Eriyanto, 2002: 102), setiap hari ada jutaan peristiwa di dunia ini, dan semuanya secara potensial dapat menjadi berita. Dalam pandangan Fishman, berita bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang seakan berada di luar sana. Berita adalah apa yang pemberita buat, penyajian berita merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktik pekerja dalam organisasi yang memproduksi berita (Eriyanto, 2002: 100).

Berita bukanlah representasi dari realitas melainkan konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas sebuah realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya akan menghasilkan realitas yang berbeda pula (Eriyanto, 2002: 21).

Naskah berita ditulis dengan menggunakan pola penulisan piramida terbalik dan mengacu kepada 5W+1H agar berita lengkap, akurat, dan memenuhi standar teknis jurnalistik. Artinya berita mudah disusun dalam pola yang sudah baku dan mudah dipahami oleh pembaca. Naskah berita ditulis


(7)

15

dengan menggunkan rumus 5W+1H, yaitu what (apa), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), when (kapan), dan how (bagaimana).

Tidak semua peristiwa layak dilaporkan kepada publik. Karena sebuah berita yang siap dipublikasikan harus mengandung nilai berita, kalau tidak, maka sebuah peristiwa tidak layak dilaporkan atau dijadikan berita. Ada beberapa unsur atau aspek yang dijadikan acuan untuk menentukan nilai berita suatu kejadian atau fakta. Sumadiria (2005: 80) menjelaskan kriteria umum nilai berita yaitu :

1. Keluarbiasaan (unusualness)

Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam pandangan jurnalistik, berita bukanlah suatu peristiwa biasa melainkan suatu peristiwa yang luar biasa (news is unusual).

2. Kebaruan (newness)

Berita adalah semua apa yang disebut hasil karya terbaru, karena semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita.

3. Akibat (impact)

Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Suatu peristiwa tidak jarang menimbulkan dampak besar dalam kehidupan masyarakat. 4. Aktual (timeliness)

Berita adalah peristiwa yang sedang atau baru terjadi. Secara sederhana, aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau sedang terjadi. 5. Kedekatan (proximity)

Berita adalah kedekatan. Kedekatan mengandung dua arti, kedekatan geografis (suatu peristiwa yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita) dan kedekatan psikologis (keterikatan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan objek peristiwa).

6. Informasi (information)

Berita adalah informasi. Menurut Wilbur Schramm, informasi adalah segala yang bisa menghilangkan ketidakpastian.

7. Konflik (conflict)

Berita adalah konflik atau segala sesuatu yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan. Konflik atau pertentangan


(8)

16

merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak akan pernah habis.

8. Orang Penting (public figure, news maker)

Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik.

9. Kejutan (surprising)

Kejutan adalah sesuatu yang datangnya tiba-tiba, di luar dugaan, tidak direncanakan, di luar perhitungan, dan tidak diketahui sebelumnya. 10. Ketertarikan Manusiawi (human interest)

Cerita human interest lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Para praktisi jurnalistik mengelompokkan kisah-kisah human interest ke dalam berita ringan atau soft news.

11. Seks (sex)

Berita adalah seks, seks adalah berita. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala yang berkaitan dengan perempuan, pasti menarik dan menjadi sumber berita. Segala macam berita tentang perempuan, tentang seks, selalu banyak peminatnya.

II. 2.2 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial

Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu berasal. Manusia, melalui proses sosial dipandang sebagai pencipta realitas sosial.

Realitas sosial memiliki makna, apabila realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain hingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu yang mengkonstruksi realitas sosial, merekonstruksinya dalam dunia realitas, lalu memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008: 189).

Dalam kehidupan sosial, manusia melakukan aktivitasnya dengan cara berinteraksi. Namun, dalam realitas sosial interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa


(9)

17

lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan seseorang atau sekelompok orang tertentu (Eriyanto, 2001: 113).

Menururt Hacking dalam Kukla, kenyataan dalam kelompok konstruksi bukan saja banyak jumlahnya, tetapi juga sangat heterogen. Diantaranya manusia (people), objek tidak hidup, situasi dan kondisi, peristiwa, praktik, tindakan, pengalaman, relasi, zat, konsep, dan beberapa item yang diistilahkan Hacking sebagai “kata pengangkat” karena mampu mengangkatnya sampai ke tingkat wacana, baik secara retoris maupun semantik yaitu realitas, kebenaran, fakta, dan pengetahuan (Kukla, 2003:1).

Konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas tidak terbentuk sendiri, namun dibentuk dan dikonstruksi. Realitas berwajah ganda atau plural, setiap orang dapat memiliki konstruksi berbeda atas sebuah realitas, selain itu realitas juga bersifat dinamis dan statis karena ada relativitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan. Berger dan Lukman juga beranggapan bahwa realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi (Bungin, 2008: 192).

Peter L Berger dan Luckmann kemudian merevisi konstruksi sosial dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:


(10)

18 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi

Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas

Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.

4. Tahap Konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.

Gambar II.1

Proses Konstruksi Sosial Media Massa


(11)

19

Pendekatan konstruktivisme juga menilai aspek etika moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat. Etika, moral, atau keyakinan pada kelompok tertentu adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan bukan hanya sebagai pelapor, disadari atau tidak ia menjadi partisan dari keragaman penafsiran dan subjektifitas dalam publik. Atas dasar hal tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, melainkan ia mengkonstruksi peristiwa dari drinya sendiri dengan realitas yang diamati (Sudibyo, 2001: 55).

Eriyanto melihat pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu:

a. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat objektif. Realitas dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai panadangan berbeda.

b. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bisa dan pemihakannya.

c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya kontruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah buku jurnalistik.

d. Berita bersifat subjektif/ konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

e. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. f. Etika, pilihan, moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang

integral dari produksi berita. Etika dan moral termasuk keberpihakan satu kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.


(12)

20

dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009: 95).

II. 2.3 Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media: Individu; Rutinitas media; Organisasi; Ekstra media; dan ideolgi.

Gambar II.2

Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media

(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 64)

II. 4. 1 Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan


(13)

21

ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.

Terdapat tiga faktor intrinsik pada pekerja media yang dapat mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja. Kedua ialah sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keberpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita (Soemaker dan Reese, 1996: 64).

Gambar II.3

Cara Kerja Faktor Intrinsik Pekerja Media Mempengaruhi Isi Media


(14)

22

Gambar di atas menunjukkan hubungan di antara faktor-faktor intrinsik jurnalis yang melatabelakangi isi media. Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempengaruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya. Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakteristik pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempengaruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi media. Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 65).

II. 4. 2 Rutinitas Media

Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.

Karl Manheim, seorang sosiolog Jerman mengatakan bahwa tiap individu tidak berpikir dengan sendirinya. Seorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan lebih jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berpikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa.

Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga


(15)

23

media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan Reese, 1996: 105-108).

Gambar II.4

Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi Rutinitas Media

(Sumber: Soemakerdan Reese, 1996: 109).

II. 4. 3 Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan,


(16)

24

tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mepekerjakan pekerja media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan saling ketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan Bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144).

Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan Reese, 1996: 151).

II. 4. 4 Ekstra media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini


(17)

25

sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:

1. Sumber berita

Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.

2. Sumber penghasilan media

Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.

3. Pihak eksternal

Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur


(18)

26

tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

II. 4. 5 Ideologi

Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersepsikan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar dalam model hierarki pengarus isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222).

Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.

Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.

1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu.

Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.


(19)

27

2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah.

Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.

3. Proses umum produksi makna dan ide.

Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

II. 2. 4 Media Massa Sebagai Institusi Sosial

Menururt Mcquail, media sebagai institusi sosial merujuk pada efek media dan tanggungjawab media terhadap masyarakat. Media secara terpisah maupun bersama-sama cenderung membentuk lembaga yang diakui dan tertanam dalam masyarakat yang lebih luas. Pers sebagai lembaga sosial memiliki tanggungjawab publik, disisi lain pers mendapatkan hak dan keutamaan terutama jaminan kebebasan (Mcquail, 2011: 65).

Menururt Littlejohn (1996), institusi sosial berperan sebagai media kontrol dan sosial. Pada prinsipnya, media merupakan institusi yang difungsikan untuk mengembangkan kebebasan pendapat dan menyebarkan informasike segala arah, yakni kepada publik dan institusi lainnya, termasuk pemerintah. Sebagai institusi, suatu media harus memiliki tenaga profesional, manajemen, dan infrastruktur –informasi–bagi–kehidupan-masyarakat).


(20)

28

Bungin (2006) menyebutkan, media massa merupakan institusi yang berperan sebagai agent of change yang menjadi lembaga pelopor perubahan. Ini merupakan paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigma tersebut, media massa berperan sebagai berikut:

a. Institui percerahan masyarakat, melalui perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, pikirannya terbuka dan menjadi masyarakat yang maju.

b. Media massa juga menjadi media informasi kepada msyarakat dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar yang disampaikan media massa kepada msyarakat, akan menjadikan masyarakat kaya terhadap informasi, masyarakat terbuka terhadap informasi, dan sebaliknya.

c. Media massa sebagai hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, merupakan institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan dan katalisator perkembangan budaya msyarakat. Media massa berperan mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakat.

Media pers sebagai institusi sosial, memiliki fungsi untuk menyediakan informasi bagi orang-orang yang berada dalam berbagai institusi sosial yang sesuai dengan tatanan sistem sosial. Keberadaan dalam sistem sosial ini menjadikan pengelola media menjadi aktor sosial yang harus menjalankan fungsinya sesuai dengan harapan dari masyarakat, baik dapat berupa dorongan psikologis maupun dorongan sosiologis. Harapan inilah yang menjadi pendorong dalam memformat fungsi yang harus dijalankan oleh media massa sebagai institusi sosial. Jika dorongan pertama membawa seseorang ke dunia dalam (inner world) yang bersifat subjektif, maka doronga kedua membawa seseorang ke dunia luar (outer world) yang bersifat empiris objektif. Media massa akan mensuplai masyarakatnya untuk memasuki dunia yang dipilihnya. (Siregar, 2004: 109).

Siebert et al. (1956) juga menjelaskan bahwa sebagai lembaga sosial, pers merupakan bagian integral dari masyarakat sehingga ia dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial yang terdapat dalam satu sistem sosial. Pers selalu tergantung dan


(21)

29

berkaitan erat dengan masyarakat ditempat pers itu berada. Salah satu implikasinya adalah pers harus beroperasi sesuai dengan kehendak masyarakat di tempat pers itu berada. Kehendak masyarakat yaitu mengenai keyakinan mereka tentang hakekat manusia, hakekat masyarakat dengan negara, hubungan manusia dengan negara, serta hakekat pengetahuan dan kebenaran (Abrar, 1997: 160)

II. 2. 5 Teori New Media

Konsep media baru pada awalnya diperkenalkan dalam novel science-fiction, True Name oleh Vernor, seorang novelis dan juga ahli matematika pada 1981. Straubhaar dan LaRose mencatat bahwa adanya perubahan terminologi menyangkut media. Perubahan itu berkaitan dengan perkembangan teknologi, cakupan area, produksi massal, distribusi massal, sampai pada efek apa yang berbeda dengan apa yang ada di media massa (Nasrullah, 2014: 13).

Dari segi perangkat media, media baru ditandai dengan apa yang disebut konvergensi media. Secara struktural, konvergensi media berarti integrasi dari tiga aspek, yakni telekomunikasi, data komunikasi dan komunikasi massa dalam satu medium. Selain konvergensi media, kemunculan media interaktif merupakan karakteristik kedua dalam media baru. Khalayak di era media interaktif bisa menjadi konsumen dan saat itu juga bisa menjadi produsen dari informasi (Nasrullah, 2014: 16).

Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi menjelaskan bahwa perkembangan media baru tidak saja hanya menyangkut basis-basis ekonomi yang perlu disiapkan akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana konstruksi sosial media massa memberi konstribusi terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan (Bungin, 2008: 362). Internet memang memiliki dampak negatif dan positif. Disis lain internet membuka kesempatan kepada kita untuk menjaga eksistensi kehidupan bangsa dan negara kita. Disini perlu landasan agama disamping landasan nasionalisme untuk menghadapi global.

Mc Nimus mengatakan bahwa salah satu ciri dari media baru, yaitu bisa dilihat dari munculnya media siber atau jaringan yang memiliki koneksi antarjaringan melalui komputer dan interne. Internet sebagai media baru telah memberikan peluang bagi pers dan masyarakat. Melalui internet, pers dapat


(22)

30

menyajikan berita secara online yang dikonsumsi terutama oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini khalayak tidak hanya mencari dan mengkonsumsi informasi tetapi juga bisa memproduksi informasi yang dibutuhkan kapanpun dan melalui peragkat apapun (Nasrullah, 2014: 2).

Jenis-Jenis Media Baru:

Dibawah ini terdapat jenis-jenis media baru yang muncul seiring perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi, diantaranya:

1. Situs (Web Site)

Situs adalah halamaan yang merupakan satu alamat domain yang berisi informasi, data, visual, audio, memuat aplikasi hingga berisi tautan dari halaman web lainnya. Situs disesuaikan dengan jenis informasi yang akan disampaikan, seperti Gramedia Group ata UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Email

Email atau surat elektronik merupakan bentuk media baru paling populer setelah situs. Email menggabungkan unsur-unsur komunikasi, baik berbicara dan menulis. Bahkan bentuk formalitas dalam menulis surat konvensional seperti keterangan siapa yang menulis atau sapaan/ salam di akhir.

3. Forum di Internet

Fasilitas Mail List isebut dengan istilah “milis” merupakan salah satu jenis media baru yang digunakan untuk berkomunikasi. Milis bekerja paa komunitas yang memiliki kesukaan atau minat yang sama atau berasal dari suatu tempat, misalnya Milis Mahasiswa KBM UGM. Setiap anggota komunitas ini yang telah memiliki akun surat elektronik atau e-mail, tergabung dalam suatu grup. Setiap e-mail yang dikirim oleh anggota grup secara otomatis disebarkan kepada anggota grup yang lain.

4. Blog

Istilah blog berasal dari web-log, yang pertama kali diperkenalkan oleh Jorn Berger pada 1997. Pada awalnya blog merupakan suatu bentuk situs


(23)

31

pribadi yang berisi kumpulan tautan ke situs lain yang dianggap menarik dan diperbaharui setiap harinya, perkembangan selanjutnya blog banyak memuat jurnal si pemilik dan terdapat kolom komentar yang bisa iisi oleh pengunjung. Menururt Stuart Allan, blog merupakan situs yang memuat jurnal pribadi sang pemiliknya.

5. Wiki

Wiki merupakan situs yang mengumpulkan artikel maupun nberita sesuai engan kata kunci. Wiki menghadirkan kepaa pengguna pengertian, sejarah, hingga rujukan buku atau tautan tentang satu kata. Dalam praktiknya, penjelasan ini dikerjakan oleh para pengunjung.

6. Aplikasi Pesan

Teknologi telepon genggam berkembang tidak hanya sebagai perangkat untuk berkomunikasi seperti telepon atau SMS semata, sebuah telepon genggam kini telah dilengkapi oleh perangkat yang memungkinkan warga berkoneksi dengan internet (smartphone). Provider atau penyedia layanan ini menyediakan semacam toko aplikasi yang bisa diunduh oleh pengguna untuk mendukung koneksi layaknya komputer pribadi. Seseorang dapat menggunakan smartphone –nya untuk mengolah okumen, mengupload foto, live streaming, dan sebagainya.

7. Internet “Broadcasting”

Internet tidak menampilkan liputan teks atau file audio dan video semata. Media internet telah tumbuh menjai media yang mampu menyiarkan langsung siaran televisi maupun radio.

8. Peer-to-peer

Seperti halnya kerja SMS, peer-to-peer (P2P) merupakan menjadi untuk berkomunikasi atau pengguna di internet, seperti untuk percakapan atau berbagi file. Fasilitas percakapan atau Instant Messagingn (IM), Yahoo! Messener, Google Talk memungkinkan warga untuk melakukan komunikasi, juga untuk mendistribusikan informasi.

9. The RSS

Content-syndication format atau dikenal dengan sebutan RSS atau sindikasi konten sebaga revolusi dalam perangkat lunak di internet. Perangkat


(24)

32

lunak ini bekerja untuk mengambil dan mengumpulkan konten berita sesuai dengan keinginan pengguna. Apabila pengguna menginginkan berita dari situs tertentu atau kanal dari situs itu, maka RSS akan mendeteksi seluruh kata kunci yang terkait dengan konten dimaksud.

10. MUDs

MUDs berasal dari Multi-User Dungeons atau Multi-User Dimensions. Secara terminologi MUDs dartikan sebagai suatu program komputer yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh beragam user dalam sutu waktu secara bersamaan.

11. Media Sosial (Social Media)

Media sosial merupakan media yang digunakan untuk mempublikasikan konten seperti profil, aktivitas, atau bahkan pendapat pengguna juga sebagai media yang memberikan ruang bagi komunikasi dan interaksi dalam jejaring sosial. Misalnya, fasilitas di Facebook, yakni dinding pengguna bisa mengungkapkan apa yang sedang disaksikan/ dialami, keadaan disekitar dirinya, hingga bagaimana tanggapannya terhadap situasi, misalnya pada politik saat ini.

Kehadiran internet dan media siber membawa pengaruh terhadap proses produksi berita. Internet memberikan kebebasan terhadap produksi makna (kultur) dan menjadkan entitas sebagai diri yang bebas untuk memproduksi kultur sekaligus mengkonsumsi kultur itu sendiri. Terkait dengan perkembangan bahasa (teks) di media siber atau yang disebut sebagai electronic text, Lorenzo dan Stefano (2006), memberikan beberapa poin mengenai hal ini:

1. Teks di media siber tidak bisa dijangkau lagsung oleh indra manusia. Teks pada dasarnya merupakan bahasa pemrogaman yang harus terlebih dahulu diterjemahkan (dibaca) oleh perangkat lunak tertentu dan juga ditampilkan melalui perangkat keras tertentu pula seperti komputer; 2. Bentuk teks di media siber yaitu abstrak (immaterial);

3. Teks d media siber bisa diproduksi kembali bahkan berulang-ulang; 4. Teks di media siber tidak dibatasi oleh ukuran seperti waktu dan ruang;


(25)

33

5. Di media siber teks bisa dimodifikasi, ditambah, atau dihapus dengan menggunakan program yang tersedia;

6. Dan Tidak hanya satu bentuk, teks di media siber bisa multimedia;

7. Teks di media siber berlangsung terus menerus. Kounikasi yang terjadi di media siber bisa menjadi artefak atau terdokumentasikan dan bisa dilihat sewaktu-waktu;

8. Teks merupakan hasil komunikasi yang interaktif di media siber yang menyebabkan teks, dalam kasus tertentu menjadi berkembang, beragam, dan melibatkan pertukaran pemaknaan atas teks itu sendiri;

Komunikasi di internet bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Media siber memungkinkan individu untuk mengakses, sekaligus melalui aplikasi yang disenanginya, akan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan.

II 2. 6 Pers dan Kebebasan Pers

Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “tekan” atau “cetak”. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy, 2004: 145).

Pers sendiri mengandung dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, seperti: surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk pada media cetak berkala melainkan juga mencakup media elektronik audiovisual berkala yakni radio, televisi, film, dan media online internet. Pers dalam arti luas disebut media massa (Sumadiria, 2005:31).

Pers dan wartawan berkewajiban untuk memenuhi keingintahuan pembaca dalam hal penyebab suatu masalah. Menurut Mochtar Lubis (dalam Barus, 2010) pekerjaan seorang wartawan mirip dengan pekerjaan seorang intelijen atau mata-mata. Bila perlu wartawan harus rela berkorban untuk


(26)

34

memenuhi keingintahuan atau hak masyarakat memperoleh informasi yang sesungguhnya.

Upaya mendirikan media pers pada dasarnya merupakan hak mendasar bagi setiap warga negara agar dapat mengumandangkan suaranya. Oleh karena itu, pers bertanggung jawab kepada masyarakat, setidaknya masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton media masing-masing yang dapat menjatuh-bangunkan media pers (Atmakusumah,, 2009: 14).

Pers bukan pranata yang kebal terhadap hukum. Pers tidak berada diatas hukum. Siapapun dapat berkeberatan atau menggugat pers. Namun, hendaknya penegakan hukum terhadap pers, bukan untuk membelenggu apalagi mematikan pers, tetapi sebagai cara memelihara dan membesarkan tanggung jawab dan disiplin pers. Dengan misi yang demikian betapa penting tata cara menegakkan hukum termasuk terhadap pers (Manan, 2011: 5).

Secara yuridis formal, menururt Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 pasal 1 Ayat 1 menyebutkan:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampakan informasi baik dalam tulisan maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dan pada Pasal 1 Ayat 2:

Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.


(27)

35 Fungsi Pers:

Secara universal, pers memiliki lima fungsi utama, yaitu:

1. Memberi informasi (to inform)

Dalam hal ini, fungsi pertama pers ialah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar, yaitu: aktual, akurat, faktual, menarik, penting, benar, lengkap-utuh, jelas, jujur, adil, jelas-jernih, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis. Masyarakat yang terbuka terhadap informasi, atau informasi menjadi kebutuhannya, media massa berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

2. Fungsi Edukasi (to educate)

Apapun bentuk informasi yang disebarluaskan pers, hendaknya dalam kerangka mendidik (to educate). Hal inilah yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memamg dituntut berorientasi dengan misi komersial tersebut, tetapi sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial pers. Berita yang kaya dengan informasi mendidik mampu meningkatkan kecerdasan dan pekerti masyarakat.

3. Fungsi Koreksi (to influence)

Pers adalah pilar keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan tersebut, agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.

4. Fungsi Rekreasi (to entertain)

Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Pers tidak boleh bersifat negatif ataupun deskriptif. Pers harus mampu menjadi sahabat setia pembaca yang menyenangkan.


(28)

36 5. Mediasi (to mediate)

Mediasi ialah penghubung. Pers disebut juga sebagai mediator atau fasilitator. Setiap pers melaporkan berbagai peristiwayang terjadi di dunia dalam lembaran-lembaran kertas yang tertata rapi dan menarik. Dengan kemampuan yang dimilikinya pers telah menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan pembaca dimana saja (Sumadiria, 2005: 32-35).

Pers akan terwujud jika terdapat kebebasan pers. Dalam bahasa Inggris, kebebasan pers disebut dengan freedom of the press yang diartikan sebagai hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, percetakan, dan penerbitan surat kabar, majalah, buku, atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor pemerintah (Bachyul, Saputra &, Khagen, 2013). Pers tidak berarti tanpa adanya kebebasan pers.

Menurut Atmakusumah, kebebasan pers adalah kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya, kebebasan untuk dapat memilih media sesuai dengan minat dan aspirasi mereka, serta kebebasan untuk dapat menyalurkan pendapat, kritik dan keluhan mereka melalui media pers (Atmakusumah, 2009: 11).

Kebebasan Pers merupakan perwujudan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan untuk menceritakan suatu peristiwa atau kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan pikiran dengan cara menyampaikan suatu informasi kepada massa dalam semua kondisi. Dalam menjalankan kebebasan pers bukan berarti tanpa batas. Kebebasan pers juga mengacu pada undang-undang dan kode etik jurnalistik. Pers dan kebebasan pers diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan pasal 28 F UUD 1945 (Bachyul, Saputra &, Khagen, 2013).


(29)

37

tanggungjawab pers kepada masyarakat. Hal tersebut dipertegas pada Commission on the Freedom of the Press yang diketuai oleh Robert Hutchins pada 1949 mengajukan lima persyaratan,yaitu:

1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikan makna; 2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan

kritik;

3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok – kelompok konstituen masyarakat;

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat;

5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.

Terkait dengan kebebasan pers, Freedom House telah merumuskan konsep kebebasan pers dengan merumuskan tingkat kebebasan pers pada setiap Negara dapat dikategorikan atas tiga hal, yaitu; lingkungan hukum, lingkungan politik, dan lingkungan ekonomi.

Berdasarkan kategori yang dimuat oleh Freedom House tersebut, sistem di suatu negara mencerminkan sistem pemerintahan yang dianut. Di Indonesia misalnya, sistem pemerintahan mengalami perubahan juga mengakibatkan perubahan dalam kebebasan pers. Pada saat sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan menghilangkan kebebasan pers secara struktural.

Dalam suasana baru pers Indonesia, yaitu dari serba terbelenggu menjadi bebas, dari pers sekedar bertahan hidup, menjadi pers yang memberi hidup dalam segala aspek kehidupan, dari pers yang senantiasa khawatir ditutup atau dibredel menjadi pers yang menentukan dirinya sendiri, semestinya sesuatu yang membawa kebahagiaan, bukan saja bagi pers tetapi juga bagi masyarakat bahkan pemegang kekuasaan (Manan, 2011: 3).


(30)

38

Bagir Manan dalam bukunya Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum menyatakan bahwa sejak 1998, secara rasional terlalu pendek untuk menyatakan pers Indonesia seolah-olah tidak layak memilikii kemerdekaan sehingga perlu diadakan kembali berbagai bentuk kendali. Kita mengetahui jangankan sebelas tahun, bahkan pers yang sudah ratusan tahun menikmati kebebasan, acap kali terkena persoalan karena dianggap tidak tepat menggunakan kebebasannya. Pers yang tidak bebas bukan hanya kerugian bagi pers, tetapi kerugian bagi publik karena berbagai fungsi publik pers tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dibawah ini terdapat beberapa instrumen menuju pers yang sehat dan profesional menururt Bagir Manan, diantaranya:

1. Pers harus merdeka.

Tanpa merdeka tidak mungkin ada pers yang sehat dan profesional. Pers yag tidak merdeka akan semata-mata menjadi alat kekuasaan, penyalur kehendak kekuasaan, atau paling tidak tidak dapat menjadi sumber informasi yang benar.pers merdeka berdiri diatas dua pilar: a. Demokrasi

Bentuk tanggung jawab pers demokrasi yaitu, sebagai penuntun dalam menemukan kebenaran dan menemukan jalan keluar.

b. Hak asasi manusia

Pers memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan menyampaikan informasi. Untuk mewujudkan hak asasi tersebut, dilarang melakukan pembatasan secara sewenang-wenang seperti licencing atau sensor (priorrestaint) terhadap pers.

2. Pers harus selalu tunduk pada hukum dan kode etik.

Hukum yang dimaksud adalah hukum yang dibuat dan berlaku secara demokratis menururt asas-asas negara hukum.

3. Pers harus bermutu

Ada dua aspek yang harus dimiliki pers:

a. Mutu individual, yaitu mutu wartawan yang mencakup penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan kode etik jurnalistik. Pengetahuan dan keterampilan baik dalam bidang jurnalistik maupun non jurnalistik.


(31)

39

b. Mutu managemen, yaitu mengarah pada peningkatan efisiensi, buka persaingan pemasaran, atau kemampuan menjaring iklan tetapi kemampuan memberikan pelayanan terbaik.

4. Pers harus ramah lingkungan

5. Organiasasi yang kuat, baik organisasi wartawan maupun organisasi perusahaan pers.jumlah organisasi yang terlalu banyak dan bersaing satu sama lain akan melemahkan “bargaining” baik internal maupun eksternal.

6. Meningkatkan hubungan kemitraan baik domestik maupun internal (Manan, 2011:54-56).

II. 2. 7 Social Responsibility Theory

Teori tanggung jawab sosial (social responsibility theory) merupakan teori pers yang tumbuh setelah abad ke-20. Pada dasarnya aliran ini menerima konsep libertarian dan merasakan perlunya kebebasan pers diiringi tanggung jawab terhadap masyarakat. Teori ini muncul ditandai dengan terjadinya revolusi komunikasi dan peranan modal yang ang sangat besar sehingga mendorong lembaga pers sebagai industri (Barus, 2010: 240).

Pers yang bertanggung jawab harus memberikan laporan yang utuh, jujur, menyeluruh, dan cerdas atas peristiwa sehari-hari dalam konteks yang bermakna.pers harus bertindak sebagai forum pertukaran komentar dan kritik, dan menjadi pembawa pendapat publik. Ketiga, pers harus memberikan gambaran yang representatif atas kelompok yang membentuk masyarakat dan juga memberikan dan menjelaskan tujuan dan nilai dari masyarakat (Mcquails, 2011: 187).)

Perusahaan media massa dan kegiatan komunikasi informasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan persaingan bisnis. Akibat terbatasnya kontrol terhadap pers, para pemodal yang mendirikan surat kabar menjadi penguasa politik sekaligusjuga menjadi penguasa yang memiliki dinasti yang kuat untuk memonopoli media sehingga mereka dapat berkuasa dalam pembentukan opini dan distribusi aspirasi (Barus, 2010: 240).


(32)

40

Menururt Siebert dan kawan-kawannya (1956), teori tanggungjawab sosial pers berasumsi pemerintah dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengizinkan kebebasan, tetapi juga harus secara aktif mempromosikannya, dan bahkan pemerintah harus bertindak untuk melindungi warga negaranya. Tindakan pemerintah meliputi perundangan melarang pelanggaran yang buruk, dan juga memasuki bidang komunikasi untuk menambah media yang ada.

Intinya adalah teori ini mengingatkan agar dalam menikmati iklim yang bebas itu, pemilik modal dituntut juga untuk memberikan tanggung jawab terhadap masyarakat dimana ia tumbuh (Barus, 2010: 241).

Bagir Manan menjelaskan bahwa Pers yang bertanggungjawab yaitu pers yang bebas atau merdeka menentukan diri sendiri hak dan kewajibannya tanpa suatu tekanan, keterpakasaan, atau ketidakberdayaan. Pers semacam ini hanya ada kalau ada kemerdekaan pers (freedom of press). Pers merdeka memerlukan kebebasan, dan kebebasan memerlukan demokrasi (Manan, 2011: 30). Prinsip-prinsip dasar teori tanggung jawab sosial ialah:

1. Media memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan kepemilikan media adalah kepercayaan dari publik.

2. Media berita harus jujur, akurat, berimbang, objektif, dan relevan. 3. Media harus bebas, mengatur diri sendiri

4. Media harus mengikuti kode etik yang disetujui dan perilaku profesional. 5. Di dalam situasi tertentu, pemerintah mungkin perlu campur tangan untuk

mengamankan kepentingan publik (Mcquail, 2011: 189).

Teori tanggung jawab sosial melibatkan pandangan tentang kepemilikan media sebagai bentuk kepercayaan atau pengawasan publik. Dibawah ini terdapat beberapa syarat bagi pers yang bertanggungjawab sosial, yaitu:

1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. (Media harus akurat, tidak boleh berbohonng, memisahkan fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara yang memberikan arti secara internasional, dan harus lebih dalam dari sekedar menyajikan fakta-fakta dan harus melaporkan kebenaran).


(33)

41

3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.

5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi.

Teori tanggung jawab sosial mengharuskan pers menjamin bahwa semua pihak dapat terwakili dan masyarakat mendapat cukup informasi untuk mengambil keputusan. Pemilik media harus ikut menanggung segala akibat kerugian masyarakat yang ditimbulkan media dan bila mereka mengabaikan tanggung jawab tersebut, dianggap perlu adanya pemaksaan untuk itu oleh lembaga publik lainnya termasuk pemerintah (Barus, 2010: 241).

Mondry (2008) menjelaskan dengan teori ini, orang yang ingin mengatakan sesuatu dapat saja menggunakan media massa, tidak harus mereka yang memiliki izin seperti teori otoritarian, tidak harus memiliki kemampuan ekonomi seperti teori libertarian, apalagi tidak berhak menungkapkan pendapatnya seperti teori Soviet Komunis. Pengawasan tidak hanya berasal dari dalam seperti teori libertarian, teori ini mengatakan bahwa pengawasan dilakukan melalui pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan etika-etika kaum profesional (Kusumaningrat, 2005:20).

II. 2. 9 Analisis Framing Model William A. Gamson dan Andre Modigliani Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.


(34)

42

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Eriyanto, 2002: 13).

Dalam analisis framing, yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus peristiwa yang diberitakan. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Eriyanto, 2002: 67-68).

Tabel II.1

Definisi framing menurut para ahli

TOKOH DEFINISI

Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa


(35)

43

ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

David E. Snow and Robert Benfort

Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.

Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu

untuk menempatkan, menafsirkan,

mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.

Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki

Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

(Sumber: Eriyanto, 2002: 67-68)

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika meyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan,


(36)

44

serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Sobur, 2004 : 162). Analisis framing memiliki beberapa karakteristik, di antaranya:

1. Pusat perhatiannya adalah pembentukan pesan teks;

2. Melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyampaikannya kepada khalayak pembaca;

3. Konstruksi makna cenderung bersifat simbolis, laten dan pervasive; 4. Teks berita mengandung sejumlah perangkat retoris yang akan

berinteraksi dengan memori khalayak dalam proses konstruksi makna; 5. Tujuannya menangkap bentuk konstruksi media terhadap realitas yang

disajikan sebagai berita;

6. Kajiannya mengkaji masalah sintaksis, semantik, skrip, tematik, retoris, skema, detail, nominalisasi antarkalimat, kata ganti leksikon, grafis, metafor, pengandaian, dsb.

Jadi, analisis framing merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yaitu realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan meda untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media (Sudibyo, 2001: 157).

Model framing yang diperkenalkan Gamson dan Modigliani mengatakan bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Dalam hal ini, frame memberikan petunjuk yang mana isu-isu yang relevan untuk diwacanakan, problem-problem apa yang memerlukan tindakan politis, solusi apa yang pantas diambil, serta pihak mana yang legitimate dalam wacana terbentuk. Wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana.


(37)

45

Tabel II. 2

Analisis Framing Model Gamson dan Andre Modligiani

Framing Devices

(Perangkat Framing)

Reasoning Devices (Perangkat

Penalaran)

Methapors

Perumpamaan atau pengandaian

Roots

Analisis klausal atau sebab akibat

Cathphrases Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana

Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral Ini biasanya berupa jargon atau slogan.

Exemplar

Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian ( bisa teori, perbandingan yang didapat dari yang memperjelas bingkai.

Consequenses Efek atau kosekuensi Bingkai.

Depiction

Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Defiction ini umumnya berupa kosa kata, leksikon untuk melabeli sesuatu.

Visual Image Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan.


(38)

46

Package adalah gugusan ide-ide yang memberi petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima (Eriyanto, 2002: 224).

Package tersebut dibayangkan sebagai struktur data yang

mengorganisir sejumlah informasi sehingga dapat mengindikasikan posisi atau kecenderungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan makna-makna di balik isu atau peristiwa yang sedang dibicarakan. Keberadaan package dalam suatu wacana berita ditunjukkan oleh keberadaan ide yang didukung oleh perangkat wacana seperti metaphor, deciption, catchphrase, exemplars, dan visual image. Semuanya mengarah pada ide atau pandangan tertentu, masing-masing kelompok berusaha menarik dukungan publik. Dengan mempertajam kemasan, (package) tertentu dari sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau sesuai dengan kebenaran versi mereka.

Seperti yang dijelaskan pula oleh Gamson, pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, framing yang berbeda akan menghasilkan berita yang berbeda pula apabila wartawan memiliki frame yang berbeda dalam memandang suatu peristiwa dan menuliskannya dalam sebuah berita atau artikel.

Berdasarkan konsepnya, Gamson mendefinisikan framing dalam dua pendekatan yaitu,

1. Pendekatan kultural dalam level kultural, frame pertama-tama dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana.

2. Pendekatan psikologis dalam level individual, individu selalu bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional. Individu selalu menyertakan pengalaman hidup, wawasan sosial, dan


(39)

47

kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima.

Framing media sedikit banyak akan memengaruhi penilaian khalayak terhadap sebuah realitas. Di samping itu, proses framing dapat menghasilkan gambaran tentang suatu realitas yang berbeda dengan kondisi objektifnya. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang berkompetensi di media dengan frame masing-masing selalu berusaha memenangkan wacana yang dianggap benar menurut versinya masing-masing.

Melaui framing pula kita dapat mengetahui proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita mempertahankan, memproduksi, mengubah, dan membangun,ideologi.


(1)

42

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Eriyanto, 2002: 13).

Dalam analisis framing, yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus peristiwa yang diberitakan. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Eriyanto, 2002: 67-68).

Tabel II.1

Definisi framing menurut para ahli

TOKOH DEFINISI

Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa


(2)

43

ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

David E. Snow and Robert Benfort

Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.

Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu

untuk menempatkan, menafsirkan,

mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.

Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki

Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

(Sumber: Eriyanto, 2002: 67-68)

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika meyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan,


(3)

44

serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Sobur, 2004 : 162). Analisis framing memiliki beberapa karakteristik, di antaranya:

1. Pusat perhatiannya adalah pembentukan pesan teks;

2. Melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyampaikannya kepada khalayak pembaca;

3. Konstruksi makna cenderung bersifat simbolis, laten dan pervasive; 4. Teks berita mengandung sejumlah perangkat retoris yang akan

berinteraksi dengan memori khalayak dalam proses konstruksi makna; 5. Tujuannya menangkap bentuk konstruksi media terhadap realitas yang

disajikan sebagai berita;

6. Kajiannya mengkaji masalah sintaksis, semantik, skrip, tematik, retoris, skema, detail, nominalisasi antarkalimat, kata ganti leksikon, grafis, metafor, pengandaian, dsb.

Jadi, analisis framing merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yaitu realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan meda untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media (Sudibyo, 2001: 157).

Model framing yang diperkenalkan Gamson dan Modigliani mengatakan bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Dalam hal ini, frame memberikan petunjuk yang mana isu-isu yang relevan untuk diwacanakan, problem-problem apa yang memerlukan tindakan politis, solusi apa yang pantas diambil, serta pihak mana yang legitimate dalam wacana terbentuk. Wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana.


(4)

45

Tabel II. 2

Analisis Framing Model Gamson dan Andre Modligiani

Framing Devices

(Perangkat Framing)

Reasoning Devices (Perangkat

Penalaran)

Methapors

Perumpamaan atau pengandaian

Roots

Analisis klausal atau sebab akibat

Cathphrases Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana

Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral Ini biasanya berupa jargon atau slogan.

Exemplar

Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian ( bisa teori, perbandingan yang didapat dari yang memperjelas bingkai.

Consequenses Efek atau kosekuensi Bingkai.

Depiction

Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Defiction ini umumnya berupa kosa kata, leksikon untuk melabeli sesuatu.

Visual Image Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan.


(5)

46

Package adalah gugusan ide-ide yang memberi petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima (Eriyanto, 2002: 224).

Package tersebut dibayangkan sebagai struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi sehingga dapat mengindikasikan posisi atau kecenderungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan makna-makna di balik isu atau peristiwa yang sedang dibicarakan. Keberadaan package dalam suatu wacana berita ditunjukkan oleh keberadaan ide yang didukung oleh perangkat wacana seperti metaphor, deciption, catchphrase, exemplars, dan visual image. Semuanya mengarah pada ide atau pandangan tertentu, masing-masing kelompok berusaha menarik dukungan publik. Dengan mempertajam kemasan, (package) tertentu dari sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau sesuai dengan kebenaran versi mereka.

Seperti yang dijelaskan pula oleh Gamson, pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, framing yang berbeda akan menghasilkan berita yang berbeda pula apabila wartawan memiliki frame yang berbeda dalam memandang suatu peristiwa dan menuliskannya dalam sebuah berita atau artikel.

Berdasarkan konsepnya, Gamson mendefinisikan framing dalam dua pendekatan yaitu,

1. Pendekatan kultural dalam level kultural, frame pertama-tama dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana.

2. Pendekatan psikologis dalam level individual, individu selalu bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional. Individu selalu menyertakan pengalaman hidup, wawasan sosial, dan


(6)

47

kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima.

Framing media sedikit banyak akan memengaruhi penilaian khalayak terhadap sebuah realitas. Di samping itu, proses framing dapat menghasilkan gambaran tentang suatu realitas yang berbeda dengan kondisi objektifnya. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang berkompetensi di media dengan frame masing-masing selalu berusaha memenangkan wacana yang dianggap benar menurut versinya masing-masing.

Melaui framing pula kita dapat mengetahui proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita mempertahankan, memproduksi, mengubah, dan membangun,ideologi.