Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten
BAB II
PENGATURAN PENGADAAN TANAH
A. Regulasi Pengadaan Tanah
Sejumlah peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait lainnya telah diterbitkan untuk menjadi landasan yuridis pengadaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain:19
1.
2.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4.
Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.
5.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
6.
Undang-undang Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
7.
Keppres Nomor 34 tahun 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Kebijakan Pertanahan.
8.
Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
19
Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 128
Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 tahun 2005.
(2)
9.
10.
Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
11.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 dan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006
Seringkali kegiatan pengadaan tanah dilakukan dengan cara-cara di luar musyawarah sehingga hasilnya seringkali tidak menguntungkan pemilik tanah, melainkan seringkali menguntungkan pemerintah atau swasta yang mendompleng pemerintah secara sembunyi-sembunyi.20
Dalam realitas empris harus diakui bahwa pelaksanaan pengadaan tanah di lapangan masih ada persoalan yang sering mengganjal, yaitu sulitnya menentukan nilai ganti rugi. Alasannya, karena pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah meminta harga yang sangat tingi melebihi harga pasaran dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Adanya permainan para calo tanah baik kalangan warga maupun oknum pejabat dan sebatasnya anggaran pemerintah (melalui panitia pengadaan tanah), sehingga sering terjadi konflik tanah antara pemerintah yang membutuhkan tanah dengan rakyat pemegang hak atas tanah yang dipicu perbedaan permintaan harga ganti rugi tersebut.21
20
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 166
21
Mustofa dan Suratman, Op.Cit, hlm 183
Persoalan lain mungkin timbul, adalah pencairan anggaran pengadaan tanah yang dilakukan terlebih dahulu, sementara pembicaraan dengan pemilik tanah
(3)
masih belum final. Ketika proses musyawarah dilakukan, ternyata pemilik tanah meminta harga tinggi, sehingga dana yang sudah dicairkan tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi. Akhirnya dilakukan “pemaksaan” kepada pemilik tanah agar menerima ganti rugi yang telah dipatok oleh panitia pengadaan tanah.22
Dalam Keppres No.55 tahun 1993 disebutkan bahwa pengadaan tanah hanya digunakan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan, sedangkan dalam Perpres No.36 tahun 2005 hal ini tidak jelas. Ini berarti pengadaan tanah tidak saja semata-mata untuk pembangunan, tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum dalam perpres telah dimodifikasi, yaitu untuk sebagian lapisan masyarakat, sementara dalam keppres disebut untuk semua lapisan masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.
Keppres No.55 tahun 1993 hanya dikenal satu cara untuk pengadaan tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah. Sementara dalam Perpres No.36 tahun 2005 terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam Undang-undang No.20 tahun 1961. Pencabutan hak atas tanah seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa. Adapun dalam Perpres No.36 tahun 2005 ini pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan.
22
Ibid
Keppres No.55 tahun 1993 telah membatasi pembangunan yang dibangun, yaitu pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak
(4)
digunakan untuk mencari keuntungan. Adapun dalam proses pengaturan ini tidak ada lagi. Hal ini berarti bisa saja pembangunan akan digunakan untuk mencari keuntungan. Tidak jelas juga apakah bangunan yang dibangun tersebut akan dimiliki oleh pemerintah atau tidak, asal pembangunan itu dilaksanakan oleh pemerintah, maka dapat diperoleh pengadaan tanah.
Keberadaan Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang disahkan tanggal 14 Januari 2012, “tenggelam” oleh kasus-kasus sengketa/konflik pertanahan yang begitu masif dan kompleks. Pengaturan pengadaan tanah dalam undang-undang ini memang tepat. Namun, dari segi substansi, undang-undang yang strategis dan berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan.23
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc. Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih penting lagi, pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan, karena peraturan
23
(5)
perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum.
Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari peraturan sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
(6)
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada. Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk
(7)
pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
B. Hakikat Pengadaan Tanah
Dalam praktiknya, dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.24
Dalam perpres Nomor 36 tahun 2005 pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.” Pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 65 tahun 2006, yang dimaksud dengan “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
Menurut pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 tahun 1993 yang dimaksud dengan “Pengadaan Tanag adalah setiap kegiatan, untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.” Artinya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.
24
(8)
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 65 tahun 2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
Sementara itu, dalam Undang-undang Pengadaan Tanah bagi pembangunan, pengadaan tanah dibatasi sebagai kegiatan untuk memperoleh tanah dengan cara ganti rugi kepada pihak yang terkena pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Artinya, pengadaan tanah hanya dilakukan dengan cara memberi ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah yang diambil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dari sejumlah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara untuk memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama) melepaskan hak atas tanah dan dengan mencabut hak atas tanah.25
Dalam era modern ini, Pemerintah banyak melakukan kegiatan pembangunan di segala bidang, baik bidang fisik maupun non fisik. Untuk melaksanakan kegiatan pembangunan di bidang fisik dibutuhkan banyak bidang tanah untuk memenuhi kebutuhan akan tanah. Sedangkan sebagian besar tanah-tanah tersebut sudah dilekati suatu hak atas tanah-tanah. Untuk menyediakan tanah-tanah bagi
25
Perpres RI No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(9)
pembangunan tersebut, Pemerintah membebaskan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak dan memberikan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak.
C. Pemahaman Tentang Pengadaan Tanah
Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.26
Memang, secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Hal tersebut berarti pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.
27
26
Pasal 6 UUPA
27
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
(10)
selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah”.
Di satu sisi, pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa, harus melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan pembangunan. Pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat dalam hal ini juga membutuhkan lahan atas tanah sebagai sumber penghidupan.28
Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak.
Apabila kedua pihak ini tidak memperhatikan dan menaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun juga tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela.
29
Selain itu ditegaskan juga bahwa suatu hak itu dihapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.30
28
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan pertama, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm 32
29
Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 18
30
(11)
Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan tanah membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Namun, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun.
Tidak dapat dimungkiri memang bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak yang melekat di atasnya.31
Namun demikian, tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.32
Maria Sumardjono pun menganjurkan perlu adanya peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan tanah dan pemukiman kembali yang didasari pada pokok-pokok pikiran demokrasi, HAM, pemberian ganti rugi yang layak dan
31
Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cetakan II, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), hlm 75
32
Fauzi Noer, Tanah dan Pembangunan, Cetakan I, (Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm 7
(12)
memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, sarana untuk menampung keluhan dan menyelesaikan sekadar mengganti Keppres. Pelaksanaan di lapangan perlu dibuat pedoman oleh provinsi, kabupaten/kota. Pihak swasta dapat menggunakan peraturan yang lebih memberikan keadilan yang mereka yang tergusur.33
Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah menyangkut hak-hak atas tanah yang status dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa unsur yang paling pokok dalam pengadaan hak atas tanah adalah ganti rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut atau dibebaskan.34 Eks pemegang hak atas tanah boleh jadi ditelantarkan demi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebaliknya hak-hak mereka harus dipenuhi serta memberikan perlindungan hukum secara proporsional kepada mereka. Sehingga, pada prinsipnya, acuan dalam pengadaan tanah sebagaimana tersirat dalam pasal 18 UUPA adalah sebagai berikut:35
D. Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah
a) kepentingan umum, b) hak atas tanah dapat dicabut, c) dengan memberikan ganti kerugian yang layak, serta d) diatur dengan suatu undang-undang.
Implementasi pengadaan tanah perlu memerhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait
33
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm 92
34
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm 23
35
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, Cetakan II, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 1994), hlm 80
(13)
yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:36
1) Penguasa dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya.
2) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa.
3) Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antarpribadi yang bersangkutan dan
4) Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak menurut UU Nomor 20 tahun 1961.
Dalam proses pengadaan tanah terdapat prinsip-prinsip yang diharapkan melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006 pasal 4 ayat (1)-(3). Pertama, pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.37 Kedua, bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan wilayah atau kota yang telah ada.38
Ketiga, apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapkan lokasi yang ditetapkan oleh bupati/walikota atau gubernur maka bagi siapa yang
36
Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 134
37
Perpres RI No.65 Tahun 2006, pasal 4 ayat (1)
38
(14)
ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.39
Disamping itu, dalam Hukum Tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, yaitu:40
1) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak pihak penguasa sekalipun, jika gangguan atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah Nasional.
2) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (ilegal) tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana.
3) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap ganguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
4) Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:
a) Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata melalui pengadilan negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.
39
Ibid, pasal 4 ayat (3)
40
(15)
b) Ganguan oleh penguasa: gugatan melalui pengadilan tata usaha negara. 5) Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.
6) Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaannya lembaga “penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada pengadilan negeri” seperti yang diatur dalam pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
7) Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
8) Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi
(16)
tanahnya, bangunan dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang diderita sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan.
9) Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
E. Mekanisme Pengadaan Tanah
Menurut Keppres Nomor 55 tahun 1993, ada dua macam cara pengadaan tanah, yakni: pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual-beli, tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.41
Umumnya, cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum juga dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela.
42
dan melalui musyawarah guna mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan/ganti kerugian.43
41
Keppres No.55/1993, pasal ayat (2) dan (3)
42
Ibid, pasal 6 ayat (1)
43
(17)
Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah. Ada tiga cara yang digunakan dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu : 1) pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, 2) pencabutan hak atas tanah dan 3) cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.44
44
Perpres RI No.65 Tahun 2006 pasa 2 ayat (2)
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan, pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah untuk swasta dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang terkait.
Perpres Nomor 65 tahun 2006 mengutarakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ada beberapa cara yang merupakan prinsip untuk melepaskan atau menyerahkan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 65 Tahun 2006.
(18)
1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
2) Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Kasus pengadaan tanah, konflik yang bisa muncul biasanya mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi.
1) Masalah subyek yang dibebaskan antara lain: pembebasan tanah dilakukan terhadap tanah-tanah pada lokasi yang diperlukan dan ditetapkan, pembayaran tidak diberikan langsung kepada pemilik tanah, tetapi pada kuasa, pihak yang membebaskan tidak meneliti kebenaran kuasa, dan ternyata pemilik tanah tidak mengakui keberadaan kuasa yang menerima ganti rugi.
2) Masalah tambahan ganti rugi karena perubahan peruntukan, karena : pembebasan tanah dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah, dengan menggunakan panitia pengadaan tanah, masyarakat mau melepaskan di bawah harga pasar karena peruntukan untuk pembangunan kepentingan umum, setelah dibebaskan ternyata peruntukkannya adalah perumahan mewah oleh swasta.
3) Perbedaan persepsi tentang tanah obyek ganti rugi antara jaksa/polisi dengan panitia pengadaan tanah/polisi dengan panitia pengadaan tanah/pimpo: tanah yang diperlukan untuk proyek pembangunan kepentingan umum adalah tanah hak yang sudah berakhir, panitia pengadaan tanah, dan jaksa/polisi mempermasalahkan pemberian ganti rugi yang seharusnya tidak perlu dibayarkan.45
45
(1)
yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:36
1) Penguasa dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya.
2) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa.
3) Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antarpribadi yang bersangkutan dan
4) Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak menurut UU Nomor 20 tahun 1961.
Dalam proses pengadaan tanah terdapat prinsip-prinsip yang diharapkan melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006 pasal 4 ayat (1)-(3). Pertama, pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.37 Kedua, bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan wilayah atau kota yang telah ada.38
Ketiga, apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapkan lokasi yang ditetapkan oleh bupati/walikota atau gubernur maka bagi siapa yang
36
Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 134
37
Perpres RI No.65 Tahun 2006, pasal 4 ayat (1)
38
(2)
ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.39
Disamping itu, dalam Hukum Tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, yaitu:40
1) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak pihak penguasa sekalipun, jika gangguan atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah Nasional.
2) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (ilegal) tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana.
3) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap ganguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
4) Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:
a) Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata melalui pengadilan negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.
39
Ibid, pasal 4 ayat (3)
40
(3)
b) Ganguan oleh penguasa: gugatan melalui pengadilan tata usaha negara. 5) Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.
6) Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaannya lembaga “penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada pengadilan negeri” seperti yang diatur dalam pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
7) Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
8) Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi
(4)
tanahnya, bangunan dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang diderita sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan.
9) Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
E. Mekanisme Pengadaan Tanah
Menurut Keppres Nomor 55 tahun 1993, ada dua macam cara pengadaan tanah, yakni: pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual-beli, tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.41
Umumnya, cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum juga dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela.
42
dan melalui musyawarah guna mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan/ganti kerugian.43
41
Keppres No.55/1993, pasal ayat (2) dan (3)
42
Ibid, pasal 6 ayat (1)
43
(5)
Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah. Ada tiga cara yang digunakan dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu : 1) pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, 2) pencabutan hak atas tanah dan 3) cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.44
44
Perpres RI No.65 Tahun 2006 pasa 2 ayat (2)
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan, pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah untuk swasta dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang terkait.
Perpres Nomor 65 tahun 2006 mengutarakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ada beberapa cara yang merupakan prinsip untuk melepaskan atau menyerahkan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 65 Tahun 2006.
(6)
1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
2) Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Kasus pengadaan tanah, konflik yang bisa muncul biasanya mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi.
1) Masalah subyek yang dibebaskan antara lain: pembebasan tanah dilakukan terhadap tanah-tanah pada lokasi yang diperlukan dan ditetapkan, pembayaran tidak diberikan langsung kepada pemilik tanah, tetapi pada kuasa, pihak yang membebaskan tidak meneliti kebenaran kuasa, dan ternyata pemilik tanah tidak mengakui keberadaan kuasa yang menerima ganti rugi.
2) Masalah tambahan ganti rugi karena perubahan peruntukan, karena : pembebasan tanah dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah, dengan menggunakan panitia pengadaan tanah, masyarakat mau melepaskan di bawah harga pasar karena peruntukan untuk pembangunan kepentingan umum, setelah dibebaskan ternyata peruntukkannya adalah perumahan mewah oleh swasta.
3) Perbedaan persepsi tentang tanah obyek ganti rugi antara jaksa/polisi dengan panitia pengadaan tanah/polisi dengan panitia pengadaan tanah/pimpo: tanah yang diperlukan untuk proyek pembangunan kepentingan umum adalah tanah hak yang sudah berakhir, panitia pengadaan tanah, dan jaksa/polisi mempermasalahkan pemberian ganti rugi yang seharusnya tidak perlu dibayarkan.45
45