Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

TESIS

Oleh

WITA SISWANI

067005044/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

WITA SISWANI

067005044/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Dr. Faisal Akbar SH, M.Hum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

(6)

ABSTRAK

Terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2008, maka telah dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan baik berupa pemekaran atau penggabungan, dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. UU No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai merupakan implementasi dari otonomi daerah. Dampak negatif dari pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai adalah: munculnya sengketa batas wilayah, sengketa elite dalam memperebutkan asset, penyerahan pegawai negeri sipil.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan pendekatan histories, menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: penelitian penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan (library research), dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan.

Dari penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut:

1). Permasalahan batas wilayah disebabkan oleh Warga yang mengatasnamakan Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur wilayah Serdang Hulu sembilan desa di Kecamatan Bangun purba menolak bergabung dengan Serdang Bedagai karena tidak sesuai aspirasi masyarakat, jarak yang jauh serta isu terpisahnya dari kerabat adatnya. 2). Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan kabupaten induk harus menyerahkan asset daerah dan dana bantuan daerah, namun belum terlaksana

3). ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2003 menyatakan bahwa Deli Serdang harus menyerahkan PNS yang karena tugasnya dibutuhkan Serdang Bedagai, namun berlum terlaksana.

Tindakan yang ditempuh Pemerintah Serdang Bedagai adalah sebagai berikut: 1). Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, dan melantik kepala desa di daerah konflik agar meredam keinginan masyarakat serta membangun fasilitas publik agar lebih mudah melayani kepentingan masyarakat.

2). Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003, menyatakan bahwa Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas dari Gubernur Sumatera Utara dan apabila menemukan hambatan dapat meminta bantuan dari Mendagri, dan Mendagri mengirimkan surat tentang data aset Serdang Bedagai

3). ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas Gubernur Sumatera Utara dan Mendagri serta Menpan Untuk menyelesaikan masalah penyerahan PNS, namun belum menemukan hasil yang diharapkan sehingga Pemerintah Serdang Bedagai tidak melaksanakan hak dan kewajiban PNS yang tidak ingin bergabung ke Serdang Bedagai tersebut.


(7)

ABSTRACT

The publishing of UU No 32/2004 about Area Governance and altered by UU is No 12/2008, hence have overflowed to area manifestly, wide and responsible. In Section 4 the Code/Law expressed by that enabled to [do/conduct] the good forming in the form or affiliation, by administrative up to standard, technical and region physical. UU No 36 Year 2003 about Forming of Regency of Serdang Bedagai represent the implementation from area autonomy. Negative impact of area of Regency of Serdang Bedagai, is: dispute appearance of concerning regional boundary, dispute elite in fighting over asset and economic resources in area, delivery of public servant of civil which is because its duty is needed by Regency of Serdang Bedagai.

This Research use the empirical approach yuridis method and approach histories, using two data collecting technique, that is: research of field research ( field research), and bibliography research ( library research), [done/conducted] by mustering secondary from regulation of through/ passing substance punish the primary and substance punish the secondary and also substance punish the tertier.

From research done/conducted is hence got by a the following result:

1). regional Boundary problems because of Citizen which Federation of Society of regional Custom Batak East of Serdang Pate;Upstream nine countryside in Subdistrict Develop;Build ancient refuse to joint forces with the Serdang Bedagai of because disagree with society aspiration, distance which far and also the existence of its his separate issue from its custom consanquinity.

2). Rule Section 15 sentence ( 1) letter of b UU No 36/2003 mentioning mains regency have to deliver the asset of area and relief fund area, but uncommitt

3). rule Section 15 sentence ( 1) letter of a UU No 36/2003 expressing that Deli Serdang have to deliver the PNS which is because its duty is required by Serdang Bedagai, but not executed

Action which is gone through by Government of Serdang Bedagai shall be as: 1). Government have done/conducted the socialization to society ofnis totality region of Regency of Serdang Bedagai of Number Code/Law 36/2003, and constitute the countryside head in conflict area of so that/ to be weakening society desire and also develop;build the public facility so that/ to be easier serve the society importance. 2). Rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003, expressing that Serdang Bedagai can ask the facility from Governor of North Sumatra and if finding resistance can have recourse from Mendagri, and Mendagri deliver the letter about data asset of Serdang Bedagai

3). rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003 mentioning Serdang Bedagai can ask the facility of Governor of North Sumatra and Mendagri and also Menpan To finish the problem of delivery PNS, but not yet found the result expected governmental So that Serdang Bedagai do not execute the rights and obligations of PNS which do not wish to join to the Serdang Bedagai


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt, karena dengan rahmat dan petunjuk-Nya proses penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

Tesis yang berjudul “PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI”, diselesaikan guna memenuhi persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian pembelajaran pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Administrasi Negara Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari penyelesaian tesis ini dapat terlaksana karena bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H,Sp.A(K)

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairunnisa B.MSc, atas kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu dan


(9)

penyelesaian tesis di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof Muhammad Abduh, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu dan membimbing, mengarahkan, mendorong dan memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi Sunarmi, SH, M.Hum, masing-masing selaku Komisi Penguji yang telah banyak memberikan masukan demi penyempurnaan tesis pada saat seminar proposal dan seminar hasil penelitian.

7. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang mendidik dan menyumbangkan ilmu pengetahuan

8. Bapak dan Ibu staf administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Program Magister Ilmu Hukum yang telah melayani penulis dari mulai pendaftaran sampai pada penyelesaian studi

9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum khususnya Konsentrasi Hukum Administrasi Negara Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas dorongan, masukan dan motivasi kepada penulis.


(10)

Secara khusus, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Aswad dan Ibunda Ismarwati serta ayahanda Sutrisno dan Alm. Ibunda Hanifah Marwah, yang telah memberikan doa dan motivasi kepada penulis hingga saat ini. Ucapan terima kasih dan rasa cinta yang mendalam penulis sampaikan kepada suamiku Dudy Agung Trisna dan adik-adikku Muhammad Mardiansyah, Harry Trisna Syahputra, Laila Siswanda dan Azwar Kurniawan, yang penuh kesabaran dan kasih sayang serta doa, semangat, motivasi dan inspirasi bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini

Penulis berusaha sebaik-baiknya dalam menyelesaikan tesis ini, dan penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ditemukan, untuk itu kepada Allah penulis minta ampun dan kepada segenap pembaca, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Agustus 2008

Penulis

Wita Siswani


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Wita Siswani

Tempat/ Tgl Lahir : Tanjung Beringin/ 26 Agustus 1981

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : 1. SD Swasta Dewi Sartika, Tahun 1987 – 1993 2. SMP Swasta Berdikari, Tahun 1993 – 1996 3. SMA Negeri 1 Tebing Tinggi, Tahun 1996 – 1999

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,

Tahun 1999 – 2003

5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR SINGKATAN... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian... 15

F. Kerangka Teori ... 15


(13)

BAB II : FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI... 24

A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah ... 24

B. Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 39

C. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 63

BAB III : PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI... 71

A. Batas Wilayah... 75

B. Aset Daerah dan Dana Bantuan Daerah ... 87

C. Status Pegawai Negeri Sipil... 91

BAB IV : LANGKAH – LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM MENGATASI PROBLEMA-PROBLEMA PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... ... 94

A. Langkah-langkah yang Ditempuh dalam Mengatasi Masalah Batas Wilayah... 94

B. Langkah-langkah yang Ditempuh dalam Mengatasi Masalah Aset Daerah dan Dana Bantuan Daerah... 96

C. Langkah-langkah yang Ditempuh dalam Mengatasi Masalah Penyerahan Pegawai Negeri Sipil ... ... 98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan... 100

B. Saran ... 103


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance... 9 2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah ... 32

3. Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia... 61


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(16)

DAFTAR SINGKATAN

BPPKSD : Badan Pendukung Pemekaran Kabupaten Deli Serdang BAWASDA : Badan Pengawas Daerah

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DEPDAGRI : Departemen Dalam Negeri

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

MK : Mahkamah Konstitusi

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PAD : Pendapatan Asli Daerah

PLN : Perusahaan Listrik Negara

PENPRES : Penetapan Presiden

PPKD : Panitia Pembentukan Kabupaten Deli

P3KSB : Panitia Pembentukan Pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai PABU : Pilar Acuan Batas Utama

PNS : Pegawai Negeri Sipil

SD : Sekolah Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

TAP MPR : Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat

UUD : Undang-Undang Dasar


(17)

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka telah dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Hal ini merupakan perwujudan komitmen pemerintah pusat agar lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.” Dengan adanya kebijakan tentang otonomi daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan dan mampu membangun kemandirian daerah secara lebih signifikan. Kemampuan, prakarsa dan kreatifitas daerah akan terpacu sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai permasalahan daerah akan semakin kuat. Disamping itu merupakan wujud dari adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah, agar daerah tertantang untuk melakukan inovasi-inovasi kebijakan di daerah, dan sekaligus menemukan solusi-solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi daerah”.1

1

Sutiyoso, Perspektif Daerah terhadap Permasalahan Implementasi dan Solusi Kebijkan

Desentralisasi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta:Lembaga


(19)

Mengingat keberadaan dan untuk menjaga penyelenggaraan tertib pemerintahan yang baik dan efisien, maka kekuasaan negara tentu tidak dapat dipusatkan dalam satu tangan kekuasaan saja. Oleh sebab itu penyebaran kekuasaan haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai cita-cita dan tujuan akhir negara sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945. sebagai konsekuensinya maka wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah, baik besar maupun kecil.

Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang-undang

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dengan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum 4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan


(20)

5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat

6. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 di atas implementasinya diatur oleh peraturan perundangan-undangan tentang pemerintahan daerah yang mengatur pemerintahan lokal yang bersifat otonom sebagai pencerminan pelaksanaan asas desentralisasi di bidang pemerintahan. Keberadaan pemerintah lokal yang bersifat otonom ditandai dengan pemberian wewenang yang sekaligus menjadi kewajiban bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dan kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga sendiri inilah yang disebut dengan otonomi.

Reformasi sistem pemerintahan daerah merupakan wujud kebijaksaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada hakekatnya merupakan salah satu komitmen Nasional Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan aspirasi gerakan reformasi total disegala bidang, komitmen reformasi itu terwujud melalui perombakan yang sangat mendasar, sistematik dan holistik menempatkan daerah


(21)

otonom kabupaten dan kota sebagai pemegang kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab dalam berbagai bidang pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi.2

Tahun 1999 merupakan tonggak penting dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang ditandai dengan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah. Selama pelaksanaan otonomi daerah tersebut telah terjadi beberapa perubahan dalam tata pemerintahan di berbagai daerah. Pelaksanaan otonomi daerah disambut pemerintah daerah dengan melakukan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari tata kelembagaan pemerintahan, pembenahan dibidang perekonomian, kemasyarakatan, dan sebagainya.

Keberadaan desentralisasi tidak lain adalah untuk mendekatkan masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara masyarakat dan pemerintah dapat tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan. Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini maka diharapkan akan dapat terwujud decentralitation for democracy (desentralisasi untuk demokrasi)3

Secara implisit tujuan utama yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di

2

Desi Fernanda, Perkembangan otonomi Daerah dalam Perspektif Teori dan Praktek, dalam

Jurnal Desentralisasi Volume 3 Nomor 2, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian


(22)

daerah. Sisi positif pelaksanaan otonomi daerah adalah masyarakat berperan serta dalam perencanaan pembangunan daerah dan untuk mewujudkan good governance dimana penyelenggaraan otonomi daerah tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah.

Dalam mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik (good governance) UNDP mengemukakan pentingnya keseimbangan dan sinergitas dari berbagai komponen yang meliputi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Untuk menciptakan sinergitas dari ketiga pilar good governance tersebut, dibutuhkan prinsip-prinsip yang akan menjembatani dan menjadi dasar terwujudnya sinergitas tersebut. Dan berbagai ahli telah mengembangkan dan membuat prinsip-prinsip yang secara teknis berbeda namun demikian terdapat beberapa prinsip yang sama, diantaranya prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh UNDP (United Nation

Development Program) yang terdiri dari:4

1. Partisipasi

Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan

berbangsa, bernegara dan berpemerintahan yaitu: pertama ada rasa sukarela (tanpa paksaan), kedua ada keterlibatan secara emosional, dan ketiga

4

Erna Irawati, Implementasi Pelaksanaan Good Local Governance ditinjau dari sisi

ketatalaksanaan: persepsi Pemerintah Daerah, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 4 Nomor 3,(


(23)

memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.

2. Berdasar hukum (rule of law)

Langkah awal penciptan good governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras maupun sumberdaya manusia yang menjalankan sistem.

3. Transparansi

Keterbukaan atau transparansi mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi

4. Berdaya Tanggap (responsiveness)

Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan dan berorientasi pada kekuasaan. Untuk itu perlu mengetahui kepuasaan publik terhadap pelayanan yang diberikan dengan melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasaan konsumen

5. Berorientasi pada consensus (consensus orientation)

Dalam good governance pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan


(24)

kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.

6. Keadilan (equity)

Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan, dimana sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan beriringan.

7. Efektivitas dan Efisiensi

Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitas secara monopolistik

8. Akuntabilitas (accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik

9. Bervisi strategis (strategic vision)

Dalam era yang berkembang secara dinamis, setiap domain dalam good

governance perlu memiliki visi yang strategis . tanpa adanya visi yang jelas

maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan.

Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain yaitu: pertama negara atau pemerintahan, kedua sektor swasta atau dunia usaha,


(25)

ketiga masyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak memainkan peranan sebagai

pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintah maupun swasta. Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Governance yang dijalankan ketiga domain tersebut tidak sekedar jalan melainkan harus masuk kategori yang baik. Berdasarkan penjelasan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibuat perbandingan antara kata goverment dan governance sebagai berikut:


(26)

Tabel 1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance5

No Unsur perbandingan Kata Government Kata Governance

1 Pengertian

Dapat berarti badan lembaga atau fungsi yang dijalankan oleh suatu organ tertinggi dalam suatu negara

Dapat berarti cara,penggunaan atau pelaksaan

2 Sifat hubungan

Hirarkis, dalam arti yang memerintah berada di atas sedangkan warga negara yang diperinah ada di bawah

Heterarkhis, dalam arti ada kesetaraan kedudukan dan hanya berbeda dalam fungsi

3 Komponen yang terlibat Sebagai subjek hanya ada satu yaitu institusi pemerintah

Ada tiga komponen yang terlibat yaitu:

1. sektor publik 2. sektor swasta 3. masyarakat

4 Pemegang peranan dominan Sektor pemerintah Semua memegang peran sesuai dengan fungsinya masing-masing

5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Partisipasi warga negara

6 Hasil akhir yang diharapkan Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara

Pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat

Banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten dan kota sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang otonomi daerah akan mampu mendorong percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang baik kewenangan besar yang kepada daerah kabupaten dan kota jika tidak diikuti dengan penguatan peran dan kepastian

5

Sadu wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, (Jakarta : LIPI Press, 2007), hlm 56


(27)

lembaga non pemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan dapat membuat kepentingan publik justru terabaikan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia secara radikal telah merubah hubungan hirarki yang selama ini terjadi antara berbagai tingkat pemerintahan. Dalam era pemerintahan yang sentralistik, kewenangan kabupaten dan kota sangat terbatas. Pemerintah kabupaten dan kota sekarang memiliki kewenangan yang besar untuk merumuskan kebijakan dan program-programnya sesuai dengan keinginan dan aspirasi mereka, diluar bidang pertahanan dan keamanan, moneter, agama, kehakiman dan hubungan luar negeri. Pemberian kewenangan yang luar biasa besarnya kepada pemerintah kabupaten dan kota tentu membawa potensi yang sangat positif bagi pembangunan di daerah, termasuk dalam mempercepat terwujudnya pemerintahan yang lebih baik.

Namun perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak serta merta mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat luas di daerah. Untuk itu diperlukan inisiatif, inovasi dan kreatifitas di dalam menciptakan strategi yang tepat untuk membuat perubahan tersebut.

Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa sendiri. Oleh karena itu kemandirian daerah suatu hal yang penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat. Ketidakmandirian daerah berarti ketergantungan daerah pada pusat. Dengan demikian hal yang menyertai pelaksanaan


(28)

otonomi daerah adalah pemekaran wilayah, perubahan yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah sangat berpengaruh terhadap kehidupan ditingkat daerah, diantaranya adalah dengan banyaknya dijumpai semangat-semangat daerah yang ingin memekarkan wilayahnya, karena pada dasarnya daerah ingin menentukan sendiri kebijakan tentang pengembangan dan pembangunan wilayahnya, walaupun pada akhirnya permasalahan-permasalahan akan segera timbul, diantaranya adalah infrastruktur yang belum memadai, permasalahan batas wilayah, daerah induk yang tidak memberikan dukungan dana, permasalahan penyerahan asset oleh kabupaten induk, dan sebagai daerah baru belum mampu menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, dan sebagainya.

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan daerah berdasarkan Undang-undang, pembentukan daerah yang dimaksud dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, dengan harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan.

Pasal 5 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 berturut-turut menyebutkan syarat administratif yang dimaksud untuk kabupaten/ kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/ kota dan Bupati/ Walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomenasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis adalah meliputi faktor yang menjadi dasar


(29)

pembentukan daerah yang menjadi pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas wilayah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun syarat fisik meliputi sedikitnya 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara merupakan implementasi dari ketentuan pembentukan daerah pemekaran dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut. Kabupaten serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang. Sejak dimekarkan pada tanggal 7 Januari 2003 dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 hingga saat ini masih banyak hak dan kewajiban Kabupaten Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16 yang belum terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya, diantaranya adalah masalah batas wilayah dengan Kabupaten Deli Serdang, daerah induk yang tidak memberikan dukungan dana yang seharusnya diserahkan, permasalahan penyerahan asset oleh Kabupaten Induk, dan disamping itu sebagai daerah baru Kabupaten Serdang Bedagai belum mampu menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, serta infrastruktur yang belum memadai.


(30)

Ketentuan tentang batas wilayah, penyerahan alokasi dana perimbangan dari kabupaten induk, penyerahan asset, pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaan dan prakteknya banyak menemui kendala dan hambatan. Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai dari Kabupaten Deli Serdang?

2. Apakah problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah?

3. Apakah langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah?


(31)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai dari Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk mengetahui problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah

3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”, diharapkan akan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bagi kabupaten/kota lainnya yang berencana atau telah melakukan pemekaran daerah.

2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar dapat lebih selektif dalam menentukan dan melakukan pemekaran daerah


(32)

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat bahwa Kabupaten Serdang Bedagai sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang banyak menemui problema-problemadalam praktek pelaksanaannya. Tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggadaan dari karya tulis orang lain, karena itu keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada terdapat pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam pelaksanaan amanat otonomi daerah mempunyai pengertian bahwa pemerintah pusat melimpahkan kepada pemerintah daerah untuk kewenangan dan pengurusan rumah tangganya sendiri, tetapi tetap dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berbicara masalah pembentukan daerah pemekaran, yang bersumber pada gagasan dan inisiatif msyarakat, juga berada dalam kerangka negara kesatuan pula. Dengan demikian dalam penelitian ini akan digunakan teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji adalah teori desentralisasi


(33)

Otonomi daerah adalah merupakan konsekuensi dari salah satu varian dari desentralisasi. Rondinelli secara berani menyatakan bahwa dalam praktek desentralisasi memiliki empat varian yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi.6 Pakar ini mengulas bagaimana kekuasaan yang ada pada pemerintah dikelola dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Dalam konteks ini maka apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat itu oleh pemerintah diserahkan kepada pejabat pusat maka konsep ini dimaknai sebagai dekonsentrasi. Sebaliknya apabila kewenangan itu diserahkan kepada daerah otonomi maka konsep ini dimaknai sebagai devolusi yang konsekuensinya akan ada otonomi daerah.

Disamping itu untuk hal-hal tertentu kewenangan itu diberikan kepada badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya seperti listrik kepada PLN, maka konsep ini dimaknai sebagai delegasi, sedangkan varian yang keempat adalah manakala kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya, maka konsepnya dimaknai sebagai privatisasi.

Otonomi daerah yang dilaksanakan oleh Indonesia disebut sebagai perubahan radikal atau Big Bang dalam system pemerintahan dari semula yang amat sentralistik menjadi salah satu negara yang amat desentralistik, demikian laporan

6

Oentarto Sindung Mawardi, Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Impementasi,


(34)

Bank Dunia Nomor 26191-IND yang dikeluarkan Juni 2003 dalam buku yang berjudul Decentralizing Indonesia.7

Kebijakan desentralisasi mengakibatkan pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi sumber daya alam lebih maksimal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintah daerah pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus sendiri dan mengatur sendiri daerahnya dengan mengambil keputusan, baik politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kerangka Konsepsi

Atas dasar kerangka teoritis yang disebutkan di atas, dapat diuraikan kerangka konsepsi sebagai berikut, Definisi tentang desentralisasi tidak ada yang tunggal, namun banyak defenisi yang dikemukan oleh para pakar mengenai desentralisasi. Dari defenisi yang ada secara garis besar ada dua defenisi dari prespektif administratif dan persepktif politik8. Menurut perspektif administratif, desentralisasi didefenisikan sebagai the transfer of administerative responsibility

7

Harry Azhar Aziz, Teori Big Bang Otonomi Daerah, dalam Desentralisasi Pemerintahan

NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja

Otonomi Daerah, 2004), hlm 73

8

Lili Romli, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Jurnal desentralisasi

Volume 4 Nomor 3, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,


(35)

from central to local governments. Dalam undang-undang Pemerintahan Daerah

dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi administratif menurut Rondinelli sebagaimana dikutip Machfud Sidik adalah pelimpahan wewenang yang dimaksud untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik termasuk menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi pemerintahan pusat kepada aparatnya di daerah yaitu pada tingkatan yang lebih rendah9. Jadi dapat dikatakan maksud dari desentralisasi administratif di atas adalah pelimpahan wewenang kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah-daerah. Dengan demikian desentralisasi administratif adalah berupa kekuasaan pemerintah pusat yang dijalankan di daerah-daerah.

Desentralisasi politik menurut Rondinelli adalah pemberian hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik10. Desentralisasi politik dimaksud bagaimana gambaran distribusi kekuasaan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah sehingga

9

Faisal Akbar, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom dalam Rangka Menunjang


(36)

masyarakat lokal memiliki kesempatan yang luas untuk merencanakan dan menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan yang bersifat spesifik atau khas lokal tersebut, dengan asumsi bahwa sesungguhnya hanya masyarakat setempatlah yang tahu persis bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkarakter lokal serta dapat memecahkan sendiri persoalan-persoalan yang dihadapi berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat yang bersifat kedaerahan.

Dalam perspektif politik daerah, desentralisasi politik dapat pula dipahami sebagai satu cara untuk menumbuhkan sikap partisipasi masyarakat daerah dalam beragam aktivitas politik ditingkat lokal, disamping pendidikan bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap maju mundurnya perkembangan daerahnya. Desentralisasi politik merupakan perwujudan hak-hak dan kewajiban masyarakat lokal dalam keterlibatannya untuk memilih dan dipilih pada jabatan-jabatan pada pemerintahan lokal dan pusat sehingga dapat membina hubungan yang harmonis antara kedua tingkat pemerintahan tersebut yang ada kaitannya pada partisipasi masyarakat secara politik. Sentralisasi kekuasaan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menjalankan urusan pemerintah, namun pada satu sisi pelaksanaan sentralisasi memberikan kemudahan dalam proses pengambilan keputusan Karena hanya dilakukan oleh satu badan atau orang yang diberikan kekuasaan. Untuk itu sejak tahun 1999 isu desentralisasi semakin mencuat di mana pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengurus sendiri rumah tangganya.


(37)

Sesuai dengan amanat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 disebutkan bahwa diberikan kesempatan kepada daerah untuk menggabungkan atau memekarkan daerah, atas dasar ini masyarakat dapat memekarkan daerahnya dengan tujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat daerah. Dengan harus memenuhi syarat administratif yaitu mendapat persetujuan DPRD dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri,syarat teknis meliputi daerah yang akan dimekarkan harus memiliki kemampuan, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dan syarat fisik paling sedikit memiliki paling sedikit 5 (lima) kecamatan, lokasi ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

G. Metode Penelitian

1. Penentuan Lokasi Penelitian

Alasan yang mendasari pemilihan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai lokasi penelitian adalah karena Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang baru dimekarkan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 dan memiliki masalah mengenai tapal batas wilayah, penyerahan asset daerah dan dana perimbangan serta status pegawai negeri sipil yang karena tugasnya diperlukan oleh Kabupaten Serdang Bedagai yang sampai sekarang belum dilaksanakan Kabupaten


(38)

Deli Serdang sebagai kabupaten induk kepada Kabupaten Serdang Bedagai sebagai kabupaten pemekaran.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan pendekatan historis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan-peraturan hukum mengenai pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai dan selanjutnya dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek pelaksanaan. “Sedangkan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu pendekatan ini dapat memberikan pemahaman dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut”.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), dilakukan dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan. Data sekunder yaitu melalui penelitian kepustakaan berupa: diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier

11


(39)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya Undang-undang No 22 Tahun 1999 jo Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara dan peraturan perundang-undangan pendukung lainya.

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa hasil penelitian di bidang hukum dan karya ilmiah lainnya.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder untuk melengkapi atau menunjang data penelitian. Seperti surat kabar, majalah, internet yang berhubungan dengan pemekaran daerah.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang diperoleh langsung dari informan karena tidak semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen adalah dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori-teori, buku-buku, hasil penelitian,


(40)

buletin dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Wawancara dilakuan secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan isi dan kebenaran dengan menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap informan yang memiliki pengetahuan yang luas tentang masalah pemekaran daerah di Kabupaten Serdang Bedagai. informan dalam penelitian mencakup dari aparat pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang, kalangan DPRD, dan unsur masyarakat.

5. Analisis Data

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul selanjutnya dilakukan editing guna memeriksa kembali kelengkapan jawaban yang diperoleh dari informan untuk kejelasan, konsistensi jawaban atau informasi serta relevansi dengan penelitian dan keragaman data, kemudian data yang telah diperoleh dikoding dengan membuat klasifikasi data untuk memudahkan analisis.

Analisis data yang digunakan adalah deskrifitif kualitatif, artinya data yang telah diklasifikasikan, dipaparkan kembali dengan menggunakan kalimat yang teratur sehingga dapat menguraikan dan menggambarkan yang ada dan juga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(41)

BAB II

FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah

Sejak Republik Indonesia lahir, para founding father telah meletakkan gagasan ideal mengenai pengaturan daerah di seluruh Indonesia, sesuai dengan kemajemukan yang ada. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan dari pasal ini menyebutkan bahwa dalam membentuk pemerintahan daerah harus melihat hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa.

Namun dalam penjabaran bentuk peraturan perundangan di bawahnya, bentuk pemerintahan daerah tidak mencerminkan demokrasi. Pengaturan pemerintah daerah lebih menekankan asas sentralisasi ketimbang desentralisasi. Praktek ini terlihat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini selain menerapkan asas desentralisasi, juga menerapkan asas dekonsentrasi. Daerah tidak memiliki kewenangan apa-apa selain hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah. Kecenderungan yang terjadi adalah sentralisasi.

Sentralisasi ini pada gilirannya membuat otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kekuasaan diatur oleh pusat, sementara daerah tinggal


(42)

melaksanakannya. Daerah tidak mempunyai prakarsa dan inisiatif dalam mengembangkan daerahnya. Ketika rezim orde baru jatuh, tuntutan akan otonomi daerah menguat, daerah menuntut keadilan dan kemadirian dalam mengelola pemerintahan dan sumber-sumber keuangan. Pemerintah merespon dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pada masa reformasi undang-undang tersebut diganti dengan Undnag-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam wacana publik sering pula disebut dengan Undang-undang atau kebijakan otonomi daerah. Namun demikian tidak semua tampaknya memahami secara tepat apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian otonomi daerah tersebut. Sebagian menyatakan pendapatnya bahwa otonomi daerah berarti otonomi politik, dimana daerah memiliki kedaulatan rakyat yang tercermin pada kelembagaan DPRD yang terbentuk melalui proses politik pemilihan umum. Tetapi sebagian lain yang tidak ingin melihat adanya kecenderungan federalisme dalam pengertian otonomi politik tersebut menyatakan bahwa otonomi yang berlaku di Indonesia adalah otonomi administrasi atau otonomi administratif, yaitu kekuasaan untuk mengurus urusan rumah tangga daerah. Bagaimanapun wacana tersebut kurang memberikan pemahaman yang jelas mengenai otonomi secara hakiki.

Istilah atau kata otonomi menutrut Webater’s Student Dictionary of English Language berasal dari bahasa Yunani yaitu autos dan nomos12. Autos artinya sendiri sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah, pengertian autos

12


(43)

nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris menurut kamus tersebut adalah kata sifat yang berarti (1) keberadaan atau keberfungsian yang bebas atau independent dan (2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya.

Sedangkan pengertian otonomi sebagai kata benda adalah (1) kondisi atau kualitas yang bersifat independent, khususnya kekuasaan atau hak memiliki pemerintahan sendiri (the power of right of having self government), dan atau (2) negara, masyarakat atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang independent (a self-governing state, cummunity or group).

Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian otonomi daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau independen. Dalam konteks indonesia pengertian independen atau bebas atau berdaulat inilah yang barangkali tidak diinginkan, karena berkonotasi adanya negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Indonesia pada umumnya menganut pemahaman bahwa otonomi daerah adalah bersifat administratif yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dijelaskan oleh Bagir Manan yang mendefenisikan otonomi daerah sebagai “kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan


(44)

mengurus sebagian urusan pemerintahan”13. Bahwa kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar (NKRI), karena dalam teori negara kesatuan, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Jadi dalam konteks indonesia, pengertian otonomi daerah menunjukkan hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan berarti daerah otonomi yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom menurut Undang-undang tersebut diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal trejadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai suatu kesatuan bangsa, bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang berdiri sendiri.

13


(45)

Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat tidak akan cukup mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasinya yang sangat beragam dan letak geografis yang sangat jauh, maka pemerintah memberikan kewenangan otonom kepada daerah agar daerah dapat memenuhi kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan efisien. Kebijakan inilah yang kemudian disebut dengan kebijakan desentralisasi.

Melihat sejarahnya, Osmani mengungkapkan bahwa istilah desentralisasi pertama kali diperkenalkan dalam literatur pembangunan pada tahun 1950-an, ketika negara-negara kolonial (terutama kerajaan Inggris) melakukan serangkaian perubahan kelembagaan dalam rangka persiapan pemberian kemerdekaan kepada negara jajahannya di Afrika. Osmani mengutip Mawhood dan Davey yang mendeskripsikan bagaimana pola “desentralisasi klasik” yang berlaku pada masa itu, yang diantara lain memiliki 5 (lima) prinsip sebagai berikut:14

1. Pemerintahan lokal (local authority) harus terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada masyarakat antara lain: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pembangunan (pemberdayaan) masyarakat, jaringan jalan sekunder dan sebagainya

2. Pemerintah lokal tersebut harus memiliki anggaran keuangan sendiri lengkap dengan sumber-sumber pendapatannya dan berwenang untuk meningkatkan kemampuan keuangannya melalui penerapan sistem perpajakan langsung yang dibebankan atas berbagai jasa publik yang diselenggarakan.


(46)

3. Pemerintah lokal harus memiliki pegawai sendiri, meskipun pada tahap pertama mungkin saja para pegawai tersebut berasal dari pegawai pusat yang diperbantukan

4. Pemerintah lokal dapat diurus atau dikelola secara internal oleh sebuah dewan (council) yang terdiri dari beberapa orang wakil rakyat dipilih oleh masyarakat melalui pemilu lokal.

5. Administrator pemerintahan pada tingkat pusat tidak lagi berperan sebagai pengelola bidang pemerintahan tertentu, tetapi berfungsi sebagai perumus kebijakan dan atau pengendalian dan pembinaan terhadap pemerintahan lokal.

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dibanyak negara yang sedang berkembang, kebijakan desentralisasi sejak lama telah dianggap sebagai salah satu prasyarat utama pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Pemahaman mengenai desentralisasi itu sendiri sangat bervariasi sesuai bentuk dan materi kebijakan yang terkait dengan isu desentralisasi itu sendiri. Namun demikian secara umum dapat diartikan bahwa desentralisasi sebagai prasyarat pembangunan adalah sebagai wujud komitmen para penyelenggara pembangunan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan melalui kebijakan pendelegasian atau pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada


(47)

institusi pemerintah daerah yang relatif lebih dekat dan lebih mengerti aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Ada dua perspektif dalam mendefenisikan desentralisasi yang pada akhirnya memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi ditingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal dan kepekaan lokal. Di sisi lain perspektif administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah.

Apabila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarkat dan hubungan pusat dan daerah, maka akan diketahui bahwa sesungguhnya keberadaan dari desentralisasi tidak lain adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan.

Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokratisasi. Dengan kata lain, otonomi daerah yang bisa meminimalisasi konflik Pusat-Daerah di satu pihak, dan dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi


(48)

masyarakat lokal di lain pihak, hanya dapat dicapai di dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, ekonomi. Ini berarti bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa seperti restrukturisasi lembaga perwakilan, restrukturisasi sistem pemilihan bagi eksekutif dan legislatif, penegak hukum dan pemberdayaan masyarakat lokal itu sendiri.


(49)

Tabel 2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah15

Paradigma

No Kategori Relasi

Lama Baru

1 Tujuan/sasaran

persatuan, kesatuan, stabilitas, pembangunan, dalam rangka integralisme

demokrasi dan kesejahteraan dalam rangka keutuhan bangsa

2 Tekanan sentralisasi kekuasaan,

desentralisasi administrasi, desentralisasi politik

distribusi kekuasaan, desentralisasi politik 3 Sifat Hubungan hierarkis dan dominative partnership dan

komplementer

4 Kekuasaan pusat

Tak terbatas dan tak terkontrol terbatas dan terkontrol

5 Kedaulatan Pada negara (manipulasi

kedaulatan rakyat)

Pada rakyat 6 Orientasi otonomi Otonomi pemerintah daerah

Otonomi masyarakat lokal

7 Skala otonomi Seragam Fleksibel/kondisional

8 Titik berat Kabupaten/kota provinsi

9 Cakupan kekuasaan dan wewenang

Belas kasihan pusat Kesepakatan wakil rakyat pusat dan daerah

10 Peran masyarakat Pasif dan mobilized Aktif dan partisipatif 11 Rekrutmen elite Tidak langsung dan tertutup

Langsung dan terbuka

12

Instrumen kebijakan a. jumlah kebijakan b. proses pembuatan c. cakupan

Tunggal Sepihak searah

Banyak

Bersama-sama/dialog Dua arah dan beragam

13 Ekonomi Eksploitatif Distributif, keadilan dan

kesejahteraan 14 Sistem bagi hasil

Tidak proporsional dan tidak adil Sesuai kontribusi daerah 15 Komponen bagi hasil

Terbatas Diperluas termasuk pajak

dan cukai 16 Dana alokai

Pola seragam Sesuai kontribusi lokal

17 Sumber PAD

Terbatas dan seragam Diperluas dan kondisional

15


(50)

Esensi desentralisasi berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakat, secara implisit juga mengindikasikan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah.

Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi sosial, ekonomi daerah. Dengan perkataan lain desentralisasi pemerintahan diyakini dapat menjamin terciptanya efektivitas pemenuhan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal daripada program-program yang dirancang secara sentralistik.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, peran serta proaktif masyarakat dalam program peningkatan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan lebih mudah diwujudkan, karena akses yang lebih dekat dan terbuka terhadap kebijakan dan program yang menjadi kewenangan administrasi pemerintah daerah setempat. Dengan desentralisasi dan kewenangan otonomi yang diberikan kepada daerah, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih luas untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan daerahnya, dan memiliki komitmen yang lebih baik terhadap perubahan dan perilaku sosial, ekonomi dan politik ke arah yang diharapkan. Dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam maka kebijakan


(51)

desentralisasi akan mampu mengembangkan daya jangkau dan partisipasi kelompok masyarakat yang beragam tersebut sesuai dengan aspirasi dan latar belakang sosial budaya mereka masing-masing.

Hakekat dan tujuan pemberian otonomi daerah, salah satunya adalah mendekatkan pemerintah pada pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan publik yang prima, paling tidak tergantung pada dua faktor, pertama dukungan aparatur birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Kedua faktor kepemimpinan kepala daerah yang mendorong dan memacu agar aparaturnya bekerja maksimal sebagai abdi masyarakat dengan melakukan inovasi-inovasi untuk menggerakkan roda pemerintahan.

Selanjutnya agar pelaksanaan otonomi daerah bisa berjalan dengan optimal, pemerintah melaksanakan strategi penyelenggaraan otonomi daerah dengan langakah-langkah sebagai berikut:16

1. Membangun komitmen

dalam melaksanakan otonomi daerah, seluruh stakeholders harus bersama-sama mempunyai komitmen yang tinggi untuk mensuskseskannya. Komitmen harus dibangun oleh semua lembaga baik pusat maupun daerah.

2. Membangun sinergitas

Setelah terbangun komitmen bersama di antara para stakeholders kunci sukses pelaksanaan otonomi daerah adanya sinergitas antara stakeholders tersebut. Diantara stakeholders harus terbangun kesepahaman tentang fungsi dan tugas


(52)

masing-masing agar tidak tumpang tindih dalam mensukseskan kebijakan otonomi daerah

3. Menyempurnakan Peraturan Perundangan

Dimaksudkan agar tidak ada lagi kebingungan dalam pelaksanaan otonomi daerah baik pusat maupun daerah dalam melaksanakan peraturan perundangan, karena banyak peraturan perundangan yang tidak sinkron antara satu dengan yang lainnya.

4. Meningkatkan Koordinasi antara Departemen

Dalam melaksanakan fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah maka kerjasama antar departemen mutlak diperlukan.

5. Meningkatkan sosialisasi otonomi daerah

Sosialisasi perlu dilaksanakan agar setiap pejabat pemerintah dan masyarakat mempunyai satu persepsi dan penafsiran yang sama atas setiap langkah yang akan dilakukan dalam mensukseskan otonomi daerah

6. Meningkatkan Keterlibatan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun oleh anggota masyarkat yang lain, agar dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka bukanlah objek otonomi daerah melainkan subjek dalam pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan mereka sendiri.


(53)

7. Bertahap

Agar pelaksanaan otonomi daerah berjalan suskses, implementasi kebijakan harus dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.

Seluruh upaya tersebut harus tetap dilakukan dalam rangka mengawal otonomi daerah senantiasa pada koridor yang antara lain bahwa otonomi daerah sesungguhnya harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan umum pemerintah kepada masyarakat daerah.

Konteks mendekatkan pelayanan publik pada pelaksanaan otonomi daerah adalah pada kabupaten atau kota, hal ini sesuai dengan harapan masyarakat, karena kabupaten dan kota merupakan satuan wilayah pemerintahan yang rentang jaraknya relatif dengan masyarakat. Pada gilirannya pemerintah kabupaten dan kota mengetahui, memahami, dan mengerti tentang keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Penyelenggaraan desentralisasi menuntut penebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintah yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah. Persebaran urusan pemerintahan memiliki dua prinsip pokok, yaitu:

1. selalu terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara


(54)

2. tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah, yang diserahkan hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota, ada bagian-bagian yang diselenggarkan oleh provinsi dan ada juga yang diselenggarkan oleh pemeirntah pusat.

Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal terjadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai satu kesatuan bangsa (nation), bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat tidak akan cukup mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasinya yang sangat beragam dan letak geografis yang jauh, maka pemerintah memberikan wewenang otonomi kepada daerah agar daerah dapat memenuhi kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan esisien.

Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi sosial ekonomi daerah.


(55)

Walaupun demikian desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah hadir bukan tanpa kendala dan keterbatasan. Smith mengungkapkan bahwa berdasarkan beberapa teori kenegaraan, desentralisasi justru mendekatkan

parokialisme dan separatisme yang bisa mengarah pada anti-egalitarianisme.17 Ini

berarti pada saat desentralisasi terbentuk, sesungguhnya batasan untuk tidak tergelincir pada “primordialisme” menjadi sangat tipis sekali. Dari perspektif lain, otonomi daerah justru sering dijadikan instrumen legitimasi dan rujukan bagi kelompok elit politik tertentu dalam penguasaan sember daya alam dan ekonomi di daerah.

Otonomi daerah juga juga bisa menyebabkan friksi atau berbedaan kepentingan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya daerah yang sekaligus bisa memicu konflik yang laten antara pusat dan daerah. Selain itu adanya perbedaan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi daerah justru bisa menimbulkan kesenjangan ekonomi baru, yang penyelesaiannya akan relatif sulit, karena daerah yang kaya akan merasa memiliki hak yang lebih untuk menikmati sumber kekayaan daerah tersebut dibanding daerah lain. Sementara fungsi pusat dalam upaya mengatasi kesenjangan tersebut justru telah terbatasi oleh kebijakan otonomi itu sendiri.

Artinya, mesti dipahami bahwa desentralisasi bukanlah satu kebijakan yang bersifat “Quick Fix” bagi penyelesaian masalah ekonomi,politik maupun sosial


(56)

di negara berkembang. Desentralisasi baru akan mampu memberikan manfaat yang optimal jika saja elemen masyarakat (civil society) telah terberdayakan dengan baik dan optimal.

B. Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Pendiri bangsa Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah, yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks ini maka para pendiri bangsa merumuskannya dalam bentuk Pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan, “Pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undnag-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam upaya melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka untuk pertama kali Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 dan berlaku di Indonesia selama 3 (tiga) tahun. Jadi sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dulu mengeluarkan tentang bagaimana mengaplikasi ketentuan Pasal 18 tersebut. Adapun isi dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini adalah:


(57)

Pasal 1 : Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, di keresidenan, di kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Departemen Dalam Negeri

Pasal 2 : Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih luas Pasal 3 : Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang,

sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu

Pasal 4 : Ketua Komite Nasional Daerah lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua badan yang dimaksud dalam Pasal 2 dan 3

Pasal 5 : Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah

Pasal 6 : Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari

Tentunya Undang-undang ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, tetapi apresiasi yang kita berikan adalah dimana pemerintah tampak segera melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi


(58)

kepada daerah-daerah disamping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Kemudian dalam perkembangan pertumbuhan pemerintahan daerah setelah keluarnya undang-undang ini yang berjalan begitu cepat dan mendapat tekanan dari pihak Pemerintah Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali, menyebabkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini hampir tidak dilaksanakan dalam prakteknya.

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, pemerintah bersama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BN-KNIP) berupaya melahirkan Undang-undang otonomi daerah yang benar-benar didasarkan pada kedaulatan rakyat. Dalam rangka demikian itu kemudian lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun1948 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan agar sesuai dengan harapan rakyat, tampak terlihat dalam Penjelasan Umum dari Undang-undang ini, yaitu: “Baik Pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial berdasarkan kekuasaannya”.18

Satu hal yang prinsip dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 ini adalah memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintah daerah yang tersusun secara demokratis dan terpimpin guna mewujudkan

18

. E. Koswara, Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, (Jakarta : Yayasan Pariba, 2001) hlm 13


(59)

penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan pemerintah daerah dapat mendukung partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam perkembangannya, ada yang menganggap undang-undang ini menganut sistem otonomi materil, yaitu pembagian tugas antara pusat dan daerah dirinci secara tegas. Artinya rumah tangga daerah hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu persatu oleh Undang-undang pembentukannya. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa undang-undang ini menganut sistem otonomi formil, yaitu tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Kalaupun ada pembagian tugas antara keduanya, itupun dilakukan atas pertimbangan rasional dari segi praktisnya. Artinya pembagian tugas itu tidak disebabkan oleh perbedaan sifat materi yang diatur melainkan karena keyakinan bahwa kepentingan daerah dapat lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan oleh daerah itu sendiri dari pada pusat.19 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 ini berlaku di Indonesia selama kurang lebih 9 (sembilan) tahun.

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Pada saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950, pemerintah mengeluarkan Undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957


(60)

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Adapun dasar pertimbangan untuk mengeluarkan undang-undang ini adalah sebagai berikut:20

1. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan 2. bahwa pembaruan itu perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang berlaku

untuk seluruh Indonesia.

Undang-undang ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi, yaitu:21

a. Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), hanya akan ada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)

b. Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas ke bawah sebanyak-banyaknya tiga tingkat.

c. Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan menganut sistem otonomi riil

Ketika politik berubah, di mana Indonesia tidak lagi menganut Demokrasi Parlementer tetapi menerapkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan kembali berlakunya UUD 1945, otonomi daerah mengalami

20

C.S.T Kansil, Pemerintah Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 31

21


(61)

kemunduran. Mengapa hal ini sampai terjadi, karena pemerintah mengambil tindakan drastis yaitu dengan merubah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres Nomor 5 Tahun 1960.

Dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok, yaitu:22

a. Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di bidang ekonomi daerah diletakkan pada satu tangan yaitu kepala daerah. b. Kedudukan kepala daerah tidak lagi hanya sebagai alat daerah tetapi sekaligus

juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

c. Dalam kedudukan seperti ini kepala daerah adalah sebagai pegawai negara tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.

d. Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial melainkan bersifat tunggal.

e. Kepala daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan keputusan pemerintah daerah bawahannya.

f. Menurut Penpres Nomor 5 Tahun 1960, kepala daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD dan bukan anggota.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, menurut beberapa orang dianggap menggunakan perpaduan antara sistem otonomi materil dan formil atau kemudian dikenal dengan sistem rumah tangga yang riil, yaitu otonomi yang didasarkan pada


(62)

keadaan dan faktor-faktor yang nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan baik daerah itu sendiri maupun dengan pemerintah pusat. Sistem yang sama, yaitu otonomi riil yang seluas-luasnya juga ditemukan dalam Penpres Nomor 6 tahun 1959.23 Ketentuan Undang-undang ini berlaku di Indonesia selama 2 (dua) tahun.

4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan Undang-undang sebagai pengganti Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Undang-undang ini mencoba merangkum pokok-pokok pikiran cita-cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah.

Sejalan dengan pembentukan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dibenntuk pula Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudanya Daerah Tingkat III di seluruh tanah air. Namun sayang Undang-undang ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan Undang-undang ini hanya berjalan beberapa bulan di Indonesia.

23


(63)

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin ke Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politk desentralisasi menjadi terhambat. Melalui kebijakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 selain menerapkan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asas dekonsentrasi. Dalam praktek kebijakan yang dilakukan lebih mencerminkan pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan wewenang.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memfokuskan pada penyerahan tanggungjawab dan kewajiban daerah atas bidang-bidang pemerintahan tertentu, sementara kewenangannya masih terletak pada pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya. Dengan perkataan lain semangat yang terkandung dalam Undang-undang ini sebenarnya bukanlah desentralisasi atau otonomi yang luas, akan tetapi justru dekonsentrasi atau sentralisasi kewenangan pada pemerintah pusat atau pusatnya daerah (propinsi)

Meskipun dalam Undang-undang menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan


(64)

yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijumpai dalam bidang kepegawaian.

Kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktek cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu:

1. sejak awal pemerintah orde baru dalam menciptakan otonomi daerah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas.

2. pemerintah orde baru menganut formula setengah resmi dalam strategi pembangunan. Dalam strategi ini pada para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilitator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana.

3. pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi kriteria keadilan dan efisiensi.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut pemahaman otonomi daerah lebih sebagai kewajiban daerah untuk melaksanakan pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat di atasnya, namun kurang memberi fokus pada keleluasaan dan kemandirian daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga. Apapaun yang akan dilakukan oleh daerah tidak lepas dari kendali dan intervensi pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya.


(65)

Prinsip penggunaan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dituangkan dalam undang-undang ini, dan berlaku di Indonesia selama kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun. Dalam penjelasan umum angka 1 huruf e dinyatakan dengan tegas bahwa prinsip yang dipakai bukan lagi otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Menururt Undang-undang ini, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri atau disebut sebagai penyelenggara “self government”. Adapun penyelenggaraan pemerintah di daerah didasarkan pada 5 prinsip, yaitu:24

a. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang perjuangan rakyat, yaitu memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya

b. Merupakan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab

c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberikan kemungkinan juga bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan

d. Mengutamakan aspek keserasian dan pendemokrasian

e. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat untuk meningkatkan pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari uraian 5 prinsip di atas, kelihatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah masih membatasi kewenangan daerah oleh pusat dengan penerapan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.


(66)

Ketentuan tentang pembentukan daerah dalam Undang-undang ini diatur dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa daerah dibentuk dan disusun atas Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, dan perkembangannya didasarkan pada kondisi politik,ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. Dalam Pasal 4 disebutkan daerah dibentuk dengan memperhatiakn syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional, dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Tampaknya reformasi memberikan hikmah yang sangat besar dan nyata kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya. Apabila sebelumnya di era orde baru, daerah-daerah begitu terkekang tidak memiliki kewenangan apa pun dalam melakukan pembangunan daerah, kini di era reformasi melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah memiliki kebebasan dan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri.

Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang tidak begitu saja datang dari atas. Tentu membutuhkan


(1)

disamping itu dalam Undang-undang pemekaran daerah sebaiknya jelas dicantumkan batas daerah dalam lampiran undang-undang. Jadi diharapkan pemerintah pusat tetap memantau jalannya pemerintahan yang baru dimekarkan tersebut. Bagi daerah pemekaran sebaiknya segera melakukan inventaris asset daerah dan dana bantuan daerah segera setelah pemekaran daerah, menyelesaikan dan menentukan batas wilayah dengan daerah induk. 3. Bagi Pemerintah Serdang Bedagai hendaknya segera merangkul masyarakat

khususnya di sembilan desa untuk ikut bersama-sama melaksanakan pembangunan juga menciptakan situasi yang kondusif, disamping itu pemerintah serdang bedagai hendaknya segera mengkoordinasikan putusan Mahkamah Konstitusi kepada Pemerintahan Provinsi Sumatera utara dan Kabupaten Deli Serdang agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menyelesaikan masalah asset daerah dan dana bantuan daerah, pemerintah Serdang Bedagai sebaiknya segera melakukan inventaris barang daerah dan mensertifikasinya sesuai dengan surat tertulis dari Menteri Dalam Negeri tentang data-data asset daerah Serdang Bedagai.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Aziz, Harry Azhar, Teori Big Bang Otonomi Daerah, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2004

Aini, Nurul, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Demokratisasi Pemerintahan Daerah dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2007 Akbar, Faisal, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom dalam Rangka

Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007

Bratakusumah, Deddy S., dkk, Reformasi Kebijakan Pelaksanaan Administrasi Pemerintah Daerah, , Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2006

Fernanda, Desi, Perkembangan otonomi Daerah dalam Perspektif Teori dan Praktek, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 3 Nomor 2, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2003

Gaffar, Affan, Kebijakan Otonomi daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang. Dalam wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Nomor V Tahun 2000

Hidayat, Syarif, Refleksi Realita Otonomi Daerah dan Tantangan Kedepan, Pustaka Quantum, Jakarta, 2000

Haris, Syamsuddin, Otonomi Daerah, Demokratisasi, dan Pendekaan Alternatif Resolusi Konflik Puat dan Daerah dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press Jakarta, 2007

Irawati, Erna, Implementasi Pelaksanaan Good Local Governance ditinjau dari sisi ketatalaksanaan: persepsi Pemerintah Daerah, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 4 Nomor 3, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2004


(3)

Kansil, C.S.T, Pemerintah Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Koswara, E., Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Yayasan Pariba, Jakarta, 2001

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State (Teori Umum Hukum dan Negara), Dasar-dasar ilmu Hlkum , Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007

Mawardi, Oentarto Sindung, Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Impementasi, Permasalahan dan Solusi, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2004

.Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Romli, Lili, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Jurnal desentralisasi Volume 4 Nomor 3, , Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2004

Sutiyoso, Perspektif Daerah terhadap Permasalahan Implementasi dan Solusi Kebijkan Desentralisasi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2003

Suryanto, Adi, Pemilu dan Demokrasi Lokal, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 4 Nomor 3, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2004

Suprijadi, Anwar, Sambutan dalam Lokakarya Nasional Implementasi dan Revitalisasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Daerahdalam Desentralisasi Pemerintahan Daerah, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta, 2003

Soekirman, Pengalaman Daerah Otonomi Baru, Harapan Keberlanjutan, Makalah disampaikan dalam seminar Pemekaran Daerah tanggal 31 Januari 2008, Hotel Polonia, Medan

Sekretaris Pengembangan Kebijakan Nadional Tata Pemerintahan Yang Baik, Indikator Good Public Governance, Penerapan Tata Kepemerintahan Yang


(4)

Sekretaris Pengembangan Kebijakan Nadional Tata Pemerintahan Yang Baik, Penerapan Tata Kepemerintahan Yang Baik (Public Good Governance in Brief), BAPPENAS, Jakarta.

Wirutomo, Paulus, Otonomi Daerah dan Konflik Horizontal: Tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2007

Wasistiono, Sadu, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, LIPI Press, Jakarta, 2007

B. SURAT KABAR

Ant/p, Uji Undang-undang Samosir dan Serdang BEdagai Tidak Dapat Diterima Mahkamah Konstitusi, Sinar Indonesia Baru, 28 Mei 2008, hlm 4

Bil, Sembilan Desa Tetap Masuk Serdang Bedagai, Kompas, 28 Mei 2008, hlm 27 Mba/lok, Uji Materi Undang-undang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai

ditolak Mahkamah Konstitusi, Waspada, 28 Mei 2008, hlm 9

Rahmatsahio/erdian wirajaya/watson manalu, Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Masyarakat Batak Timur, Seputar Indonesia, 28 Mei 2008, hlm 1

Sam, Mahkamah Konstitusi Tolak Upaya Hapus Kabupaten Serdang Bedagai, Sumut Pos, 28 Mei 2008, hlm 24

C. INTERNET

Ant/jy, Kasus Tapal Batas Serdang Bedagai, http://depdagri.go.id/konten.php? nama=BeritaDaerah&op=detail_berita_daerah&id=1171, 24 Maret 2008 Gun, Permasalahan Daerah Pemerkaran, http://hukumonline.com/detail.asp

?id=18539&cl=Berita, 13 Maret 2008

Ima, Sidang Uji Materi Undang-undang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=555, 29 Maret 2008


(5)

, Sidang Pertama diMahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi. go.id/berita.php?newscode=590, 29 Maret 2008

Yn, Tapal Batas Bumerang Bagi Daerah Pemekaran, http://www.harian-global.com/news.php?extend.30903, 2 April 2008

, Permasalahan Daerah Pemekaran, http://www.harian-global.com/comment.php?comment.news.9707, 2 April 2008

, Status Sembilan Desa di Kabupaten Serdang Bedagai, http://www.harian-global.com/comment.php?comment.news.1197, 2 April 2008

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua dari Undang-undang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 129 Tahun 2007 Tentang Batas Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Dengan Kabupaten Deli Serdang


(6)