Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reksi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok

BAB II
STATUS DAN KEDUDUKAN LAUT CHINA SELATAN MENURUT
HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Sejarah Konflik Laut China Selatan
Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika
Inggris mengklaim Kepulauan Spartly, diikuti oleh Tiongkok pada awal abad ke20, dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Disaat berkecambuknya perang dunia II,
Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis
kapal selam. Dengan berakhirnya PD II, Perancis kembali mengklaim kawasan
tersebut dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut
sebagai bagian dari kepentingan keamanan dari kawasannya. Sejak 1970 klaim
terhadap kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan
penemuan dan hukum internasional. Perkembangan pertama menyangkut
ditemukannya ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak di kawasan
tersebut berdasarkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari perusahaan
Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat harga kepulauan dan
pulau kecil serta batu karang di kawasan tersebut meroket. Perkembangan kedua,
berkaitan dengan ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut
bagi setiap negara berdasarkan ketentuan dari UNCLOS ( United Nation
Conference on The Law of The Sea )35.
Klaim terhadap Laut China Selatan yang dilakukan oleh negara-negara

sering sekali didasarkan pada alasan historis semata. Klaim berdasarkan alasan
historis ini menyebabkan ketidakpastian dalam penguasaan dan kepemilikan Laut
35

https://leeyonardoisme.wordpress.com/portfolio/konflik-laut-cina-selatan/,
pada tanggal 30 Oktober 2015

diakses

23

China Selatan. Tiap-tiap negara mengklaim dengan alasan sejarah nya masingmasing sehingga terjadi tumpang tindih dalam mengklaim Laut China Selatan.
Dan klaim yang tumpang tindih ini mengakibatkan konflik di Laut China Selatan.
Alasan historis dijadikan dasar oleh negara-negara dalam mengklaim Laut
China Selatan, contohnya saja Tiongkok, Vietnam, dan Filipina. Tiongkok
mengklaim Laut China Selatan berdasarkan sejarah bahwa Kepulauan Paracel
yang terletak 300 Km sebelah tengggara pantai Tiongkok telah dikuasai oleh
Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum masehi hingga 220 sesudah
masehi. Disebutkan pula oleh Direktur Institut Arkeologi Provinsi Guangdong;
Gu Yunguan, 98% benda-benda yang telah ditemukan digugus Paracel merupakan

mata dagangan buatan Tiongkok. Sejak itu Tiongkok terus melancarkan berbagai
upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kepulauan Paracel termasuk
Kepualaun Spratly dengan berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan
Arkeologi. Sedangkan Vietnam berpendapat bahwa Kaisar gia Long dari Vietnam
(1802) telah mencantumkan Spartly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayannelayan Vietnam sebelumnya telah lama melakukan pelayaran di wilayah
tersebut. Vietnam juga menyebutkan bahwa Kepulauan Spartly dan Paracel secara
efektif didudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada
dalam penguasaan suatu negara. Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan
Tiongkok di kawasan tersebut, sehingga pada saat Perang Dunia II berakhir
Vietnam Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau
di Kepulauan Spartly. Ada catatan sejarah mengungkapkan kepulauan yang juga
disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam (Xisha dalam bahasa Tiongkok) masuk
dibawah distrik Binh Son Vietnam. Sementara Filipina menduduki kelompok

24

gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spartly, dan tahun 1978 menduduki lagi
gugus Pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan
itu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun
(kosong). Filipina juga merujuk kepada Perjanjian Perdamaian San Francisco

195136, yang antara lain menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan haknya
terhadap Kepulauan Spartly, dan tidak mengemukakan diserahkan kepada negara
mana. Selain ketiga negara tersebut, ada juga klaim yang diajukan oleh Malaysia
dan Brunei Darussalam. Malaysia menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan
Spartly. Menurut Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas
Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly.
Dua kelompok gugus pulau lain juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu
Terumbu Laksamana yang diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang diduduki
Vietnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara
penuh dari Inggris 1 Januari 1984 juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan
Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau37.
Perbedaan sejarah dalam mengklaim Laut China Selatan tidak hanya
menyebabkan klaim tumpang tindih dan konflik, tetapi juga menimbulkan

36
Perjanjian Perdamaian dengan Jepang (San Francisco Peace Treaty) atau lebih dikenal
sebagai Perjanjian San Francisco (Treaty of San Francisco) antara Sekutu dan Jepang secara resmi
ditandatangani oleh 49 negara pada 8 September 1951di San Francisco, California. Perjanjian ini
berlaku efektif mulai 28 April 1952. Perjanjian San Francisco secara resmi mengakhiri Perang
Dunia II, dan mengakhiri secara resmi kedudukan Jepang sebagai kekuatan imperialis, dan

mengalokasikan kompensasi untuk warga sipil Sekutu dan mantan tawanan perang yang menderita
kejahatan perang Jepang. Perjanjian ini sebagian besar didasarkan pada Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dokumen Perjanjian San
Francisco secara resmi membatalkan hak-hak Jepang berdasarkan Protokol Boxer tahun 1901 dan
hak Jepang atas Korea, Formosa (Taiwan), Hong Kong (koloni Inggris), Kepulauan Kuril,
Pescadores,
Kepulauan
Spratly,
Antartika,
dan
Pulau
Sakhalin.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_San_Francisco#Nasib_teritori_seberang_laut_Jepang,
diakses pada tanggal 30 Oktober 2015)
37
https://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015

25

perbedaan pemberian nama Laut China Selatan dan kepulauan di Laut China

Selatan.
Istilah South China Sea merupakan nama dalam bahasa Inggris yang
paling sering digunakan untuk menyebut Laut China Selatan. Sementara para
pelaut Portugis pada abad keenam belas menyebutnya Mar Da China (Laut
China). Kemudian, untuk membedakannya dengan wilayah perairan di dekatnya,
namanya berubah menjadi Laut China Selatan. Namun di negara-negara sekitar
Laut China Selatan sendiri, nama laut tersebut berbeda-beda, dan seringkali
sebutannya mencerminkan klaim historis untuk menghegemoni laut tersebut.
Secara resmi, pemerintah Vietnam menyebutnya “Bien Dong (Laut Timur)”.
Nama Bien Dong digunakan pada peta resmi Vietnam. Bagian Laut China Selatan
di dalam wilayah perairan Filipina sering disebut “Dagat Luzon (Laut Luzon)” di
peta-peta yang diterbitkan di negara tersebut, mengikuti nama pulau besar di
Filipina, Pulau Luzon. Namun, di Filipina nama “Dagat Timog Tsina (Laut China
Selatan)” masih diterima untuk menyebut laut tersebut secara keseluruhan. Di
Asia Tenggara, Laut China Selatan dulu disebut Laut Champa atau Laut Cham,
sesuai nama kerajaan maritim yang pernah muncul pada abad keenam belas.
Bangsa Jepang menyebut Laut China Selatan sebagai Minami Shina Kai.
Sedangkan Tiongkok sendiri menyebut Laut China Selatan sebagai Laut Selatan
saja38.
Perbedaan penamaan juga terjadi pada kepulauan di Laut China Selatan.

Penamaan ini umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan
Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut Kepulauan Spratly

38

www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html, Loc.Cit.

26

dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan
Kelayaan (Kemerdekaan), Malaysia menyebut Kepulauan Spratly dengan Aba dan
Terumbu Layang-Layang, sedangkan Tiongkok lebih suka menyebut Nansha
Quadao (kelompok pulau selatan). Sedangkan masyarakat internasional sering
menyebutnya Kepulauan Spratly yang berarti burung layang-layang.

B. Status dan Kedudukan Laut China Selatan
Pengaturan hukum dalam bidang hukum laut menjadi lebih jelas dengan
lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982
(UNCLOS 1982). UNCLOS 1982 memberikan payung hukum terhadap masalahmasalah yang timbul dalam hubungannya dengan laut. Dengan adanya UNCLOS
1982, negara-negara memiliki satu pedoman dalam menentukan batas-batas

wilayah negara khususnya batas di wilayah laut. Sehingga dapat diketahui
wilayah laut yang berada di kedaulatan penuh suatu negara, wilayah laut yang
hanya berlaku hak-hak berdaulat suatu negara, dan wilayah laut yang tidak bisa
dimiliki oleh suatu negara.
Pembagian wilayah laut menurut UNCLOS 1982 terdiri dari :
1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)39
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam)
garis pangkal. Di perairan pedalaman negara memiliki kedaulatan penuh, sama
seperti kedaulatan negara di daratan.
2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)40

39
40

Pasal 8 UNCLOS 1982
Pasal 50 UNCLOS 1982

27

Perairan kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam

garis pangkal lurus kepulauan. Wilayah perairan kepulauan hanya dimiliki oleh
negara-negara kepulauan. Di dalam wilayah ini negara memiliki kedaulatan
penuh. Namun negara-negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauannya
bagi kapal-kapal asing sehingga berlakulah hak lintas damai bagi kapal asing di
alur laut kepulauan ini.
3. Laut Teritorial (Territorial Waters)41
Laut teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal
dan tidak melebihi dari 12 mil laut. Di laut teritorial negara memiliki kedaulatan
penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Namun di laut teritorial ini berlaku
hak lintas damai (innocent passage)42 bagi kapal-kapal asing. Hak lintas damai
adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai
tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.
4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)43
Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal
dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. Di wilayah ini, kekuasaan
negara terbatas hanya berlaku hak-hak tertentu, seperti mencegah pelanggaranpelanggaran yang berkaitan dengan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter.
5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)44
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil
laut dihitung dari garis pangkal.. Di ZEE negara hanya memiliki hak-hak
berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber


41

Pasal 3-16 UNCLOS 1982
Pasal 17-26 UNCLOS 1982
43
Pasal 33 UNCLOS 1982
44
Pasal 55-75 UNCLOS 1982
42

28

kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap : pembuatan dan pemakaian
pulau buatan, instalasi, dan bangunan; riset ilmiah kelautan; dan, perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut.
6. Landas Kontinen (Continental Shelf)45
Landas kontinen adalah wilayah yang meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen,

atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak
tersebut. Di wilayah ini negara hanya memiliki hak-hak berdaulat.
7. Laut Lepas (High Seas)46
Laut lepas adalah wilayah laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi
eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan
suatu negara kepulauan. Laut lepas tidak berada di bawah kedaulatan suatu
negara, laut lepas terbuka untuk semua negara. Terhadap laut lepas berlaku
berbagai prinsip kebebasan dengan batas-batas hukum internasional, seperti
kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa, pembuatan pulau
buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan, juga penelitian ilmiah.
8. Kawasan Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Area)47
Kawasan adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar
batas-batas yurisdiksi nasional. Hal ini berarti Kawasan adalah dasar laut di luar
zee. Menurut UNCLOS 1982, Kawasan dan sumber kekayaan alam di dalamnya
dinyatakan sebagai warisan bersama seluruh umat manusia. Tidak ada negara
45

Pasal 76-85 UNCLOS 1982
Pasal 86-120 UNCLOS 1982

47
Pasal 133-191 UNCLOS 1982
46

29

dapat menyatakan kedaulatannya ataupun hak berdaulatnya terhadap Kawasan
ataupun sumber kekayaan alamnya. Semua hak-hak atas sumber kekayaan
alamnya diserahkan kepada umat manusia secara keseluruhan. Kawasan dikelola
oleh suatu badan international yaitu Badan Otorita Dasar Laut International
(International Sea-Bed Authority yang disingkat ISBA) sehingga pengelolaan
kawasan dasar laut tersebut bisa dikelola oleh negara-negara yang mempunyai
teknologi berdasarkan persetujuan ISBA.
Selain membahas mengenai pembagian wilayah, UNCLOS 1982 juga ada
membahas mengenai laut tertutup atau laut setengah tertutup. Masalah laut
tertutup (enclosed seas) atau laut setengah tertutup (semi-enclosed seas) dibahas
di dalam BAB IX Pasal 122-123 UNCLOS 1982. Di dalam Pasal 122 dinyatakan
bahwa laut tertutup atau laut setengah tertutup adalah suatu teluk, lembah laut
(basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan dihubungkan
dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri
seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dua atau
lebih Negara pantai.
Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup
dianjurkan untuk bekerjasama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya
hayati, menetapkan kebijaksanaan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan riset dan
lingkungan48. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 123 UNCLOS 1982, bahwa
negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut tertutup atau setengah
tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan

48

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 190

30

kewajibannya. Oleh karena itu negara-negara harus berusaha secara langsung atau
melalui organisasi regional yang tepat untuk :
1) mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi
sumber kekayaan hayati laut ;
2) mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian
dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut ;
3) mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersamasama dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di
kawasannya ;
4) mengundang, menurut keperluan, negara lain yang berminat atau
organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam
pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini.
Jadi dapat dikatakan bahwa bagi negara-negara yang berbatasan langsung
dengan laut tertutup atau laut setengah tertutup mempunyai hak dan kewajiban
yang sama untuk bekerja sama dalam memanfaatkan dan menjaga laut tertutup
atau laut setengah tertutup tersebut.
Laut China Selatan termasuk dalam golongan laut setengah tertutup. Hal
ini berarti Laut China Selatan terletak di antara negara-negara pantai. Adapun
negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan di
antaranya : Republik Rakyat Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia,
Brunei Darussalam, dan Indonesia. Oleh karena itu, status dan kedudukan Laut
China Selatan ini sebagai laut setengah tertutup sering menyebabkan konflik dan
sengketa di antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China

31

Selatan. Dan untuk itu pulalah diperlukan kerja sama di antara negara-negara
pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan tersebut.

Gambar I : Peta Laut China Selatan
(Sumber : http://www.eastbound88.com/showthread.php/25521-Jakartarejects-China-s-nine-dash-line)
Kerja sama antara negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan
Laut China Selatan sebenarnya telah dilaksanakan. Salah satu bukti kerja sama
yang dilakukan adalah dengan ditandatangani nya “Declaration On The Conduct
Of Parties In The South China Sea” pada tahun 2002. Declaration On The
Conduct Of Parties In The South China Sea (yang disingkat DOC) merupakan
suatu perjanjian internasional antara negara-negara anggota ASEAN49 dengan
negara Republik Rakyat Tiongkok yang berisi kerja sama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan Laut China Selatan.
DOC ditandatangani pada KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja,
tanggal 4 November 2002. Permasalahan Laut China Selatan berkaitan dengan
ASEAN karena negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China
Selatan mayoritasnya

adalah

negara-negara

anggota ASEAN.

Sehingga

penandatanganan DOC pun dilakukan pada saat KTT ASEAN. Dengan demikian

49

Association of Southeast Asian Nations (Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara)

32

ASEAN sebagai organisasi internasional menjadi mediator atau perantara dalam
kerja sama antara negara-negara anggotanya dengan Republik Rakyat Tiongkok.
DOC merupakan bentuk kerja sama antara negara-negara pantai yang
berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. DOC berisi mengenai hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta. Dengan adanya DOC
ini, seharusnya Laut China Selatan dengan status dan kedudukannya sebagai laut
setengah tertutup, tidak menyebabkan konflik atau sengketa lagi. Namun pada
kenyataannya sampai saat ini masih saja terjadi konflik dan sengketa di Laut
China Selatan. Padahal di dalam DOC sudah dinyatakan bahwa antara negaranegara anggota ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok diharuskan untuk
mewujudkan keadaan yang damai, bersahabat, dan harmonisasi di Laut China
Selatan. Hal ini tentu bertolak belakang antara kenyataannya di Laut China
Selatan dengan apa yang tertuang di dalam DOC.
Konflik dan sengketa yang terjadi di Laut China Selatan sampai sekarang
ini meskipun telah ditanda tanganinya DOC sebagai bentuk kerja sama,
dikarenakan DOC yang tidak memiliki kekuatan mengikat. DOC hanya sebatas
deklarasi dalam hal kerja sama, tidak memuat sanksi-sanksi bagi negara yang
melanggar. Oleh karena itu, negara-negara seperti Republik Rakyat Tiongkok
sering sekali melanggar ketentuan-ketentuan DOC ini. Di dalam DOC sendiri
sempat disinggung tentang pembuatan Code on The Conduct (COC) yang lebih
memiliki kekuatan mengikat, namun pembahasan mengenai COC ini tidak ada
kelanjutan sampai saat ini.
Konflik dan sengketa di Laut China Selatan juga terjadi karena
ketidaktaatan negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China

33

Selatan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982.
Misalnya saja Republik Rakyat Tiongkok. Ketidaktaatan Tiongkok terlihat yaitu
ketika Tiongkok secara eksplisit mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta
tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut
China Selatan. Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan ninedashed line karena merupakan sembilan segmen garis putus-putus. Tiongkok
mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan
yang konon menurut sejarah Tiongkok merupakan bagian dari wilayah atau
yurisdiksi Tiongkok50.
Garis putus-putus tersebut yang dikenal juga dengan garis U karena
bentuknya menyerupai huruf U, merupakan klaim Tiongkok di Laut China
Selatan yang terjadi pada tahun 1947 sebelum adanya UNCLOS 1982. Namun
setelah UNCLOS 1982 ditanda tangani pada 10 desember 1982 dan mulai berlaku
sejak 16 november 1994, Tiongkok tidak melakukan penyesuaian terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dan tetap menganggap
wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Hal ini
berarti Tiongkok tidak mentaati UNCLOS 1982. Hal seperti ini juga berlaku bagi
negara-negara lain yang mengklaim Laut China Selatan tanpa dasar yang jelas
yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982.
Jadi dapat disimpulkan bahwa status Laut China Selatan adalah sebagai
laut yang berbatasan dengan banyak negara pantai. Status inilah yang kemudian
menjadikan kedudukan Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup. Status
dan kedudukan Laut China Selatan tersebut yang sering menimbulkan sengketa

50

I Made Andi Arsana, Loc.Cit.

34

dan konflik di antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China
Selatan. Konflik juga timbul karena kurangnya kerja sama di antara negara-negara
pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan untuk menjaga dan
mengelola Laut China Selatan secara bersama. Kerja sama yang ada dalam bentuk
DOC pun belum mampu untuk mencegah terjadinya konflik di Laut China
Selatan, karena DOC sendiri sebagai perjanjian di antara negara-negara anggota
ASEAN dengan Tiongkok tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga negaranegara pantai tersebut tidak mematuhi ketentuan-ketentuan di dalam DOC. Selain
itu juga dikarenakan negara-negara pantai tersebut tidak mentaati ketentuanketentuan yang terdapat di dalam UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 sebagai payung
hukum di bidang kelautan seharusnya ditaati oleh setiap negara.

C. Sengketa-Sengketa Yang Terjadi di Laut China Selatan
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara
dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya
terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara
mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber
potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam,
kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Manakala hal demikian itu
terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam
penyelesaiannya. Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian
sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional51.
51

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika,
2012, hlm. 1

35

Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai
sesuatu. Adapun John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa
(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah “a spesific
disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or
assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another”.
Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility)
antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap
sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai
sengketa (dispute)52.
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif
merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak
hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek
hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa
melibatkan banyak aktor non negara53.
Berdasarkan pengertian sengketa internasional di atas maka dapat
dikatakan bahwa sengketa yang terjadi di Laut China Selatan merupakan sengketa
internasional, karena sengketa yang terjadi di Laut China Selatan tidak hanya
menyangkut urusan dalam negeri suatu negara tetapi juga menyangkut urusan
negara lain.
Kawasan Laut China Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona
isu keamanan dalam hubungan internasional di ASEAN pasca Perang Dingin.
Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh negara-negara
52

John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law,
Oxford University Press, 1999, sebagaimana dikutip oleh Sefriani, Hukum Internasional Suatu
Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 322
53
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014,
hlm. 322

36

besar dan kecil seperti Tiongkok, Vietnam, Philipina, Malaysia, Burma, dan
Taiwan. Dalam cekungan laut ini terdapat Kepulauan Spratly dan Kepulauan
Paracel. Pada berbagai kajian tentang konflik di Laut China Selatan, Kepulauan
Spratly lebih mengemuka karena melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus,
sementara Kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan Tiongkok54.
Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika
Inggris mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh Tiongkok pada awal abad ke20 dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Di saat berkecamuknya Perang Dunia II,
Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly sebagai basis
kapal selam. Dengan berakhirnya PD II Tiongkok dan Perancis kembali
mengklaim kawasan tersebut dan diikuti oleh Philipina yang membutuhkan
sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan
nasionalnya55.
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan
Laut China Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya
berbatasan langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap
sebagian pulau, kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya
sebagaimana ditentukan oleh hukum laut Internasional. Tiongkok, Vietnam,
Philipina, Malaysia berlomba-lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk
mengamankan kepulauan yang mereka klaim56.
Klaim-klaim yang dilakukan oleh negara-negara pantai yang berbatasan
langsung dengan Laut China Selatan tersebut sering sekali melanggar ketentuan

54
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 203-204
55
Ibid. hlm. 205-206
56
Ibid. hlm. 206-207

37

hukum laut internasional sehingga menimbulkan sengketa dan berujung pada
terjadinya konflik antar negara-negara tersebut.
Beberapa sengketa ataupun konflik yang terjadi di Laut China Selatan
setelah perang dunia II antara lain sebagai berikut:57
Tahun 1946-1947
1. Pada tahun 1946, Republik China58 mengirim kapal perang untuk
mengklaim Itu Aba, pulau terbesar dari Kepulauan Spratly dan
menamainya Taiping Island. Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly
diserahkan di bawah kendali Republik China dari Jepang setelah Jepang
menyerah dari Sekutu pada tahun 1945. Setelah PD II berakhir, Republik
China menjadi satu-satu nya negara yang paling aktif mengklaim Laut
China Selatan.
2. Pada tahun 1947 Republik China menyusun The Southern China Sea
Islands Location Map (Peta Lokasi Pulau-Pulau Laut China Selatan), yaitu
menandai batas-batas nasional di laut dengan 11 garis yang menunjukkan
klaim berbentuk U di seluruh Laut China Selatan. 11 garis ini kemudian
diubah oleh Republik Rakyat Tiongkok dengan menerbitkan peta dengan 9
garis tetap pada tahun 1953.

57

https://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_disputes_in_the_South_China_Sea, diakses
pada tanggal 10 November 2015
58
Republik China merujuk pada sebuah negara yang sebelum dimulainya Perang Saudara
Tiongkok pada tahun 1949, memerintah seluruh wilayah daratan Tiongkok. Semenjak kekalahan
republik ini dari kaum Komunis Tiongkok, pemerintahan negara ini pindah ke pulau Taiwan, dan
memerintah pulau Taiwan, Kepulauan Pescadores, Quemoy, dan Kepulauan Matsu. Republik
China lebih dikenal dengan Taiwan saat sekarang ini, sebagaimana dikutip dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Tiongkok_(1912)-(1949), diakses pada tanggal 11
November 2015

38

Tahun 1950-an
1. Pada tahun 1950 setelah kekalahan Republik China dari kaum komunis
Tiongkok dalam Perang Saudara Tiongkok tahun 1949, Republik China
pindah ke Taiwan dan menarik keluar pasukannya yang menduduki Itu
Aba di Kepulauan Spratly. Namun pada tahun 1956, Republik China
(Taiwan) mengirim kembali pasukannya untuk menduduki Itu Aba.
Pendudukan Taiwan tahun 1946-1950 dan tahun 1956 di Itu Aba
merupakan pendudukan efektif yang pertama di Kepulauan Spratly, Laut
China Selatan.
2. Pada tahun 1952, Jepang mencabut klaim kedaulatan atas Kepulauan
Spratly dan Kepulauan Paracel sesuai dengan isi dari Perjanjian Damai
San Francisco, tetapi tidak menunjuk kepada siapa penguasaan kedua
kepulauan tersebut diserahkan.
3. Pada tahun 1954, Prancis menyerahkan klaimnya atas Kepulauan Paracel
kepada Vietnam.
4. Pada tahun 1956, Vietnam Utara menyatakan bahwa Kepulauan Paracel
dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Tiongkok secara historis.
5. Pada tahun 1958, RRT menerbitkan "Declaration of the Government of the
People's Republic of China on China's Territorial Sea published on 4
September 1958" untuk mensahkan peta sembilan garis putus-putus di
Laut China Selatan.
Tahun 1970-an
1. Pada tahun 1970, Tiongkok menduduki wilayah Amphitrite Group di
Kepulauan Paracel.

39

2. Pada tahun 1971, Filipina mengumumkan klaimnya ke pulau-pulau yang
berdekatan dengan wilayahnya di Kepulauan Spratly, yang mereka
namakan Kalayaan, dan secara resmi dimasukkan ke Provinsi Palawan
pada tahun 1972. Presiden Filipina mengumumkan klaim tersebut setelah
tentara Taiwan menyerang dan menembak sebuah kapal nelayan Filipina
di Itu aba.
3. Pada tahun 1972, Biro Survei dan Kartografi di bawah Kantor Perdana
Menteri Vietnam mencetak "The World Atlas" yang menyatakan bahwa
"rantai yang menghubungkan pulau-pulau dari Kepulauan Nansha dan
Xisha ke Pulau Hainan, Pulau Taiwan, Kepulauan Penghu dan Kepulauan
Zhoushan berbentuk seperti busur dan membentuk sebuah Dinding Besar
yang mempertahankan atau melindungi daratan Tiongkok.
4. Pada tahun 1974, terjadi pertempuran di Kepulauan Paracel antara
Tiongkok

dengaan

Vietnam

Selatan.

Tiongkok

menang

dalam

pertempuran tersebut dan mengusir pasukan Vietnam Selatan dari
Crescent Group di Kepulauan Paracel.
5. Pada tahun 1975, pemerintah Vietnam yang baru bersatu mengemukakan
kembali klaim lama mereka atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan
Paracel.
Tahun 1980-an
Pada tahun 1988, terjadi pertempuran bersenjata antara Tiongkok dengan
Vietnam di Johnson South Reef Skirmish. Tiongkok mengalahkan
Vietnam. Pertempuran menewaskan lebih dari 70 orang pasukan Vietnam.
Pertempuran terjadi karena Vietnam mencoba untuk mencegat pasukan

40

Tiongkok yang ditugaskan oleh UNESCO untuk membangun sebuah pos
pengamatan.
Tahun 1990-an
1. Pada tahun 1992, Tiongkok melanggar hukum dengan menyatakan seluruh
Laut China Selatan sebagai wilayahnya, sehingga memicu protes dari
negara-negara lain.
2. Pada tahun 1997, Filipina mulai menantang kedaulatan Tiongkok atas
Scarborough Shoal, yaitu salah satu pulau karang yang ada di Laut China
Selatan.
3. Pada tahun 1999, Presiden Taiwan, Lee Teng-hui menyatakan bahwa
berdasarkan hukum, historis, geografis, atau dalam realitas, semua Laut
China Selatan dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Taiwan dan di
bawah kedaulatan Taiwan, dan mencela tindakan yang dilakukan oleh
Malaysia dan Filipina.
Tahun 2000-an
1. Pada April 2001 terjadi insiden Pulau Hainan. Insiden di Pulau Hainan
terjadi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dimana pesawat jet
tempur Tiongkok bertabrakan dengan pesawat mata-mata angkatan Laut
AS yang menewaskan pilot Tiongkok. Peristiwa terjadi di wilayah udara
Pulau Hainan, yang merupakan salah satu pulau yang di klaim oleh
Tiongkok
2. Pada tahun 2002 ASEAN dan Tiongkok sepakat untuk membuat code of
conduct di dalam Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (DOC).

41

3. Pada tahun 2005 kapal Tiongkok menembaki dua kapal nelayan Vietnam
dari provinsi Thanh Hoa. Peristiwa itu menewaskan 9 orang dan menahan
satu kapal dengan 8 orang di pulau Hainan. Kementerian Luar Negeri
Tiongkok mengklaim bahwa mereka adalah bajak laut dan mereka yang
melepaskan tembakan pertama sebagaimana pengakuan dari anggota yang
tertangkap.
4. Pada maret 2009 Pentagon melaporkan bahwa kapal-kapal Tiongkok
melecehkan kapal pengawasan AS.
5. Pada Mei 2009, merupakan batas waktu bagi negara-negara untuk
melakukan klaim hidrokarbon dasar laut berdasarkan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut. Hal ini diduga yang menyebabkan klaim pulau kuno
muncul ke permukaan dan menjadi meningkat.
Tahun 2011
1. Pada Februari 2011, kapal Tiongkok, Dongguan menembakkan tiga
tembakan pada kapal-kapal nelayan Filipina di sekitar Jackson atoll.
Tembakan ditembakkan setelah kapal Tiongkok menginstruksikan kapal
nelayan Filipina untuk pergi, namun salah satu dari kapal nelayan tersebut
mengalami kesulitan mengangkat jangkarnya.
2. Pada Mei 2011 terjadi bentrokan yang melibatkan kapal survei minyak dan
gas Binh Minh 02 milik Vietnam dengan tiga kapal patroli Tiongkok.
Bentrokan terjadi pada 120 km (80 mil) di lepas pantai selatan-tengah
Vietnam dan sekitar 600 km sebelah selatan dari pulau Hainan Tiongkok.
Vietnam mengatakan kapal Tiongkok sengaja memotong kabel kapal
survei di perairan Vietnam. Tiongkok menyangkal tuduhan itu.

42

3. Pada Juni 2011, sebuah kapal berbendera Norwegia yang disewa oleh
Vietnam Oil & Gas Corporation (PetroVietnam) bentrok dengan tiga kapal
patroli perikanan Tiongkok dalam Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam.
Vietnam sekali lagi mengklaim kabel eksplorasi sengaja dipotong.
4. Pada Oktober 2011, Vietnam dan Tiongkok sepakat untuk membuat suatu
perjanjian baru dalam penyelesaian sengketa maritim.
Tahun 2012
1. Pada April 2012, kapal perang Filipina, Gregorio del Pilar terlibat dalam
kebuntuan dengan dua kapal pengintai Tiongkok di Scarborough Shoal,
daerah yang diklaim oleh kedua negara. Angkatan Laut Filipina telah
mencoba untuk menangkap nelayan Tiongkok yang diduga mengambil
secara ilegal spesies laut yang dilindungi oleh pemerintah dari wilayah
tersebut, tapi kapal pengintai mencegah mereka.
2. Pada tanggal 16 April 2012, Kementerian Luar Negeri Tiongkok
mendesak kapal arkeologi Filipina untuk segera meninggalkan perairan
Scarborough Shoal, yang diklaim Tiongkok merupakan bagian integral
dari wilayahnya.
3. Pada Mei 2012, Taiwan menolak pendekatan dengan RRT untuk
berkoordinasi dalam menegaskan klaim ke Laut China Selatan.
4. Pada Juli 2012, Vietnam mengesahkan undang-undang yang membatasi
perbatasan laut Vietnam untuk memasukkan pulau-pulau Spratly dan
Paracel.
5. Pada tanggal 7 Juli 2012, Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok Fu Ying
mengadakan pertemuan dengan Alex Chua, kuasa usaha dari Kedutaan

43

Besar Filipina di Tiongkok, untuk membuat representasi serius atas
insiden saat di Scarborough Shoal.
6. Pada tanggal 16 Juli 2012, larangan memancing di Scarborough Shoal
oleh pemerintah Tiongkok dan Filipina menjadi efektif.
7. Pada 1 September 2012, Taiwan melakukan latihan militer di Pulau
Taiping. Vietnam memprotes latihan tersebut dan

menuntut Taiwan

menghentikannya. Taiwan menolak protes Vietnam, sementara Tiongkok
menyuarakan persetujuan dan dukungan dari latihan militer Taiwan di
pulau itu.
8. Pada 23 September 2012, Tiongkok meluncurkan program untuk
meningkatkan jumlah UAV untuk memantau Scarborough Shoal,
Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan Laut China Timur, yang mana
merupakan program zonasi laut nasional yang disetujui oleh Dewan
Negara pada tahun sebelumnya sebagai bagian dari Kedua Belas Rencana
Lima Tahun Tiongkok.
Tahun 2014
1. Pada Januari 2014, Tiongkok memberlakukan aturan ijin memancing di
Laut China Selatan, atas keberatan Amerika Serikat, Filipina, dan
Vietnam.
2. Pada 11 Maret 2014 dua kapal Filipina dikeluarkan oleh Chinese Coast
Guard dari Ayungin Shoal di dalam kelompok Kepulauan Spratly.
3. Pada 30 Maret 2014 Republik Filipina memohon kewajiban penyelesaian
sengketa sesuai ketentuaan di dalam Konvensi Hukum Laut, dengan

44

mendaftarkan kasus ke Pengadilan Arbitrase di Den Haag dalam kasus
melawan Tiongkok atas klaim-klaim Laut China Selatan.
4. Pada 2 Mei 2014 kapal angkatan laut Vietnam dan kapal Tiongkok
bertabrakan di Laut China Selatan. Insiden itu terjadi karena Tiongkok
mendirikan sebuah alat pengebor minyak di daerah yang diklaim oleh
kedua negara tersebut.
5. Pada tanggal 26 Mei, kapal nelayan Vietnam tenggelam dekat alat
pengebor minyak, setelah bertabrakan dengan sebuah kapal Tiongkok.
Karena kedua belah pihak menyalahkan satu sama lain, Vietnam merilis
rekaman video seminggu kemudian, menunjukkan perahu Vietnam sedang
diserang oleh kapal Tiongkok sebelum tenggelam.
Berdasarkan data-data tersebut terlihat bahwa sengketa atau konflik di
Laut China Selatan lebih sering terjadi setelah adanya UNCLOS 1982. Hal ini
menunjukkan ketidaktaatan negara-negara yang mengklaim Laut China Selatan
tersebut terhadap ketentuan di dalam UNCLOS 1982. Dan apabila dilihat lebih
lanjut, sengketa atau konflik semakin sering terjadi pada tahun 2000-an. Padahal
pada awal tahun 2000-an telah ditanda tangani DOC antara negara-negara anggota
ASEAN dengan RRT. Hal ini juga menunjukkan bahwa DOC yang ditanda
tangani pada tahun 2002 tidak mengikat dan masih dilanggar oleh negara-negara
peserta.
Sengketa atau konflik di Laut China Selatan terus berkembang hingga
sekarang ini. Dimana pada akhir tahun 2014 sampai sekarang telah terjadi
sengketa atau konflik. Sengket atau konflik yang terjadi berkaitan dengan
reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan.

45