Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reklamasi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Adolf, Huala. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika

Buana, Mirza Satria. (2007). Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung: Nusamedia

Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara:

Teropong terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Collier, John and Lowe, Vaughan. (1999). The Settlement of Disputes in

International Law, Oxford University Press

Dixon, Martin and McCorquodale, Robert. (1991). Cases and Materials

on International Law, London: Blackstone

Kusumaatmadja, Mochtar. (1978). Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta

Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Etty R. (2003). Pengantar Hukum

Internasional, Bandung: alumni

Lidkadja, Frans E dan Bassie, Daniel F. (1985). Hukum Laut dan

Undang-Undang perikanan, Jakarta: Ghalia Indonesia

Sefriani. (2014). Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Soekanto, Soerjono. (2005). Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press

Starke, J.G. (2001). Pengantar Hukum Internasional Buku Kedua Edisi

Kesepuluh, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika

Sunggono, Bambang. (2011). Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Supriyadi, Dedi. (2013). Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai


(2)

JURNAL ILMIAH :

Ben Dolven, Jennifer K. Elsea, Susan V. Lawrence, Ronald O'Rourke, and Ian E. Rinehart, Chinese Land Reclamation in the South China Sea: Implications

and Policy Options, Congressional Research Service (CRS) report, 2015

Evelyn Goh, Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian

Regional Security Strategies, East-West Center Washington, 2005

I Made Andi Arsana, Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim

dan Laut China Selatan, 2014

Kolonel Karmin Suharna, Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan

dampaknya bagi Ketahanan Nasional, Majalah Komunikasi dan Informasi edisi

94 tahun 2012

Simela Victor Muhammad, Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam

Sengketa Laut China Selatan, Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No.

08/II/P3DI/April /2012

INTERNET :

www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html http://amti.csis.org/new-imagery-release/

https://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan

https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_tentang_Hu kum_Laut

https://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Tiongkok

https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_San_Francisco#Nasib_teritori_seberang_l aut_Jepang

https://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_disputes_in_the_South_China_Sea https://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Tiongkok_(1912)-(1949)

https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan http://en.wikipedia.org/wiki/Nine-dash_line


(3)

https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_parties_to_the_United_Nations_Convention _on_the_Law_of_the_Sea

http://international.sindonews.com/read/990727/40/terungkap-china-bangun-landasan-pacu-di-laut-china-selatan-1429270866

http://international.sindonews.com/read/1018578/40/china-sejumlah-reklamasi-di-laut-china-selatan-rampung-1435657737

http://international.sindonews.com/read/1019212/42/landasan-pacu-china-di-laut-china-selatan-hampir-selesai-1435804943

http://international.sindonews.com/read/1044921/40/china-diduga-bangun-landasan-pacu-ke-3-di-laut-china-selatan-1442303851

http://international.sindonews.com/read/1052018/40/china-resmikan-2-mercusuar-di-laut-china-selatan-1444470595

http://international.sindonews.com/read/1052018/40/china-resmikan-2-mercusuar-di-laut-china-selatan-1444470595

http://international.sindonews.com/read/1056802/42/meski-tegang-kapal-perang-as-dan-china-tak-terjadi-insiden-1446002831

http://news.okezone.com/read/2015/11/18/18/1251250/bangun-tiga-landasan-cina-klaim-tahan-diri

http://news.okezone.com/read/2015/06/16/18/1166143/china-pembangunan-reklamasi-tanah-hampir-rampung

http://news.okezone.com/read/2015/07/09/18/1179241/sengketa-laut-china-selatan-china-abaikan-keputusan-mahkamah-internasional

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150916_dunia_cina_lautcinaselatan http://www.eastbound88.com/showthread.php/25521-Jakarta-rejects-China-s-nine-dash-line

http://uniqpost.com/60823/cina-tetapkan-kepulauan-laut-cina-selatan-di-peta-barunya/

http://materi-perkapalan.blogspot.com/2014/11/pengertian-dan-tujuan-reklamasi-untuk.html

http://akip098.blogspot.co.id/2014/08/sekilas-tentang-reklamasi.html https://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91/


(4)

https://leeyonardoisme.wordpress.com/portfolio/konflik-laut-cina-selatan/ http://kliksma.com/2014/09/pengertian-reklamasi.html

KONVENSI INTERNASIONAL :

United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982

Declaration On The Conduct Of Parties In The South China Sea (DOC) 2002

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Statuta Mahkamah Internasional


(5)

BAB III

TINDAKAN REKLAMASI LAUT CHINA SELATAN OLEH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

A. Reklamasi Laut China Selatan Oleh Republik Rakyat Tiongkok

Lahirnya UNCLOS 1982 membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan laut internasional. UNCLOS 1928 memberikan batasan bagi setiap negara dalam menguasai laut. Sehingga ada wilayah laut yang dapat dikuasai oleh tiap-tiap negara dan ada laut yang tidak bisa dikuasai oleh negara.

Batasan yang diatur oleh UNCLOS 1982 ini secara langsung maupun tidak langsung mengubah luas wilayah suatu negara khususnya di wilayah laut. Suatu negara yang sebelum lahirnya UNCLOS 1982 menguasai wilayah laut yang sangat luas, maka setelah adanya UNCLOS 1982 harus menyesuaikan luas wilayah lautnya. Sebaliknya suatu negara yang dulunya tidak menguasai atau wilayah lautnya tidak terlalu luas, maka setelah lahirnya UNCLOS 1982 akan memperoleh penambahan luas wilayah laut. Hal ini menyebabkan ada negara yang merasa diuntungkan dan ada negara yang dirugikan akibat lahirnya UNCLOS 1982 tersebut.

Oleh karena itu setelah lahirnya UNCLOS 1982 banyak negara yang secara sepihak mengklaim wilayah-wilayah laut lebih dari batas yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982. Hal ini dikarenakan negara-negara tersebut tidak ingin dirugikan akibat adanya UNCLOS 1982. Klaim-klaim yang diajukan negara-negara tersebut sering menyebabkan klaim yang tumpang tindih. Klaim tumpang tindih tersebut terjadi karena antara suatu negara dengan negara lain mengklaim suatu wilayah laut yang sama secara bersamaan. Klaim tumpang tindih ini yang


(6)

sering menimbulkan konflik dan sengketa. Salah satu contoh konflik atau sengketa yang terjadi karena klaim tumpang tindih adalah sengketa atau konflik yang terjadi di Laut China Selatan.

Sengketa Laut China Selatan melibatkan banyak negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara-negara yang terlibat secara langsung antara lain Republik Rakyat Tiongkok, Taiwan, dan negara-negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Sedangkan negara-negara yang tidak terlibat secara langsung seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan beberapa negara-negara Eropa. Negara-negara yang terlibat secara langsung dikarenakan letak geografis negara-negara tersebut yang berdekatan dengan Laut China Selatan. Sedangkan negara-negara yang tidak terlibat secara langsung dikarenakan kepentingan-kepentingan negara-negara tersebut di Laut China Selatan. Contohnya Amerika Serikat, kepentingan Amerika Serikat di Laut China Selatan adalah berkaitan dengan kebebasan pelayaran dan penerbangan di wilayah laut dan udara Laut China Selatan. Amerika Serikat menganggap wilayah Laut China Selatan adalah wilayah laut internasional. Selain itu, kepentingan negara-negara tersebut juga berhubungan dengan sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati yang ada di wilayah Laut China Selatan.

Klaim penguasaan Laut China Selatan oleh negara-negara sudah sering dilakukan. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan salah satu negara yang paling aktif melakukan klaim atas Laut China Selatan. RRT mengklaim Laut China Selatan sejak tahun 1947 pada saat masih bernama Republik China60. Klaim Laut China Selatan yang dilakukan oleh RRT ditandai dengan

60


(7)

diterbitkannya peta berupa garis putus-putus di atas wilayah Laut China Selatan yang menandakan wilayah kekuasaan RRT atas Laut China Selatan. Sejak klaim tahun 1947 itu RRT pun mulai memperluas dominasinya atas Laut China Selatan.

RRT sebagai salah satu negara yang aktif dalam mengklaim Laut China Selatan, mengklaim hampir keseluruhan wilayah Laut China Selatan. Wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh RRT dapat dilihat pada gambar di bawah ini;

Gambar II : Wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh RRT

(Sumber : http://uniqpost.com/60823/cina-tetapkan-kepulauan-laut-cina-selatan-di-peta-barunya/)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa RRT mengklaim hampir keseluruhan dari wilayah Laut China Selatan. Dan klaim yang dilakukan oleh RRT sebenarnya telah melanggar ketentuan UNCLOS 1982 karena telah melampaui batas-batas kepemilikan wilayah laut yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982 terutama batas zona ekonomi ekslusif seluas 200 mil laut. Selain itu klaim yang dilakukan oleh RRT juga mengambil wilayah zona ekonomi eksklusif dari negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Hal inilah yang sering menyebabkan terjadi sengketa atau konflik di Laut China Selatan.


(8)

Klaim yang dilakukan oleh RRT di atas wilayah Laut China Selatan terjadi sampai sekarang. Klaim terbaru RRT terhadap Laut China Selatan berkaitan dengan reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan.

Sejak akhir 2014 sampai sekarang, RRT secara aktif melakukan reklamasi di beberapa kepulauan di Laut China Selatan. Isu reklamasi yang dilakukan oleh RRT inipun menjadi isu yang sedang hangat dibicarakan di wilayah Laut China Selatan. Hal ini dikarenakan banyak negara-negara yang terlibat dalam isu reklamasi ini, sehingga isu reklamasi yang dilakukan RRT di Laut China Selatan ini menarik perhatian publik internasional.

Reklamasi digunakan untuk menggambarkan dua kegiatan yang berbeda, yaitu:61

1. Yang pertama, reklamasi sebagai sebuah proses pembuatan daratan baru dari laut, sungai, ataupun danau. Dalam arti lain, reklamasi adalah pengubahan lahan basah menjadi sebuah daratan kering, yang biasanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan. Dalam arti yang pertama ini, biasanya merujuk kepada rusaknya lingkungan akibat pembangunan tersebut.

2. Dan yang kedua, arti reklamasi sebagai proses pengembalian alam yang sudah rusak ke bentuk semula. Contohnya yaitu jika pantai sudah sangat terkikis, reklamasi pantai dapat digunakan untuk mengembalikan pantai, suatu metode yang dirancang untuk melestarikan lingkungan alam yang ada.

61

http://akip098.blogspot.co.id/2014/08/sekilas-tentang-reklamasi.html, diakses pada tanggal 24 November 2015


(9)

Dalam hubungannya dengan reklamasi Laut China Selatan oleh RRT, maka pengertian reklamasi yang dimaksud adalah pengertian reklamasi dalam poin yang pertama.

Reklamasi daratan, biasanya disebut reklamasi, adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau landfill62. Reklamasi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau usaha dalam pemanfaatan suatu kawasan atau lahan yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang berguna dengan cara dikeringkan. Tempat-tempat yang biasa dijadikan sebagai Tempat-tempat untuk melakukan reklamasi seperti kawasan pantai, lepas pantai atau offshore, danau, rawa-rawa ataupun sungai yang begitu lebar63.

Sesuai dengan pengertian reklamasi di atas, maka tujuan reklamasi itu adalah untuk menciptakan daratan baru di atas kawasan yang berair sehingga menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna tersebut menjadi kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru hasil reklamasi ini nantinya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti : perumahan, perindustrian, pertanian, objek wisata, dan lain sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa reklamasi adalah suatu proses pembuatan daratan baru di atas suatu kawasan yang berair yang bertujuan untuk menciptakan daratan baru di atas kawasan yang berair sehingga menjadi lebih baik dan bermanfaat.

62

https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan, diakses pada tanggal 24 November 2015

63

http://materi-perkapalan.blogspot.com/2014/11/pengertian-dan-tujuan-reklamasi-untuk.html, diakses pada tanggal 24 November 2015


(10)

Berdasarkan pengertian dan tujuan reklamasi di atas, maka Reklamasi Laut China Selatan oleh RRT dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dalam membuat suatu wilayah daratan baru di atas wilayah Laut China Selatan. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa RRT membuat semacam pulau buatan di atas Laut China Selatan.

Reklamasi yang dilakukan RRT memang bertujuan untuk membuat sebuah pulau buatan. Reklamasi ini dilakukan di beberapa pulau di Kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly merupakan salah satu kepulauan terbesar yang ada di wilayah Laut China Selatan, dan juga merupakan salah satu kepulauan yang sering menjadi tempat terjadinya sengketa. Pulau-pulau di Kepulauan Spratly yang menjadi tempat reklamasi tersebut antara lain : Subi Reef, Fiery Cross Reef, dan Mischief Reef. Pulau-pulau tersebut pada dasarnya adalah pulau-pulau karang yang tidak bisa ditempati oleh manusia. Namun RRT kemudian mengubah pulau-pulau tersebut menjadi pulau-pulau buatan yang dapat dihuni.

Pulau-pulau buatan yang direklamasi oleh RRT tersebut kemudian dibangun di atasnya landasan udara dan fasilitas lainnya. Pemerintah RRT mengaku memiliki hak dan kemampuan untuk memulihkan pulau dan karang yang secara ilegal diduduki oleh negara-negara tetangga64. Landasan udara (pacu) di atas pulau buatan tersebut diketahui setelah sebuah gambar citra satelit mengungkap bahwa RRT telah membangun sebuah landasan udara di sebuah pulau buatan di perairan Laut China Selatan. Satelit yang mengungkap proyek landasan pacu RRT itu adalah satelit dari DigitalGlobe lembaga Centre for

64

http://news.okezone.com/read/2015/11/18/18/1251250/bangun-tiga-landasan-cina-klaim-tahan-diri, diakses pada tanggal 30 November 2015


(11)

Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika

Serikat (AS). Gambar citra satelit itu menunjukkan, landasan pacu yang dibangun RRT di Laut China Selatan diprediksi memiliki panjang 3.110 meter65.

Selain landasan udara, RRT juga membangun mercusuar di atas pulau buatan tersebut. Pemerintah RRT menegaskan bahwa pembangunan di wilayah tersebut dimaksudkan untuk membantu kegiatan seperti pencarian dan penyelamatan maritim, bantuan bencana, perlindungan lingkungan dan keamanan navigasi, serta tujuan militer66.

Berikut adalah beberapa gambar satelit yang memperlihatkan reklamasi RRT di pulau-pulau di Laut China Selatan :

Gambar III : Reklamasi di Pulau Subi Reef (Sumber : http://amti.csis.org/new-imagery-release/)

65

http://international.sindonews.com/read/990727/40/terungkap-china-bangun-landasan-pacu-di-laut-china-selatan-1429270866, Loc.Cit.

66

http://international.sindonews.com/read/1052018/40/china-resmikan-2-mercusuar-di-laut-china-selatan-1444470595, diakses pada tanggal 30 November 2015


(12)

Gambar IV : Reklamasi di Pulau Fiery Cross Reef (Sumber : http://amti.csis.org/new-imagery-release/)

Gambar V : Reklamasi di Pulau Mischief Reef (Sumber : http://amti.csis.org/new-imagery-release/)

Reklamasi yang dilakukan RRT ini memicu pertentangan dari banyak negara. Negara-negara yang menentang tidak hanya negara-negara yang


(13)

berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, tetapi juga negara-negara lain seperti Amerika Serikat. Amerika Serikat sangat menentang reklamasi yang dilakukan RRT di Laut China Selatan tersebut, karena dianggap akan mempengaruhi kebebasan pelayaran dan penerbangan di wilayah Laut China Selatan. Karena hal ini, Amerika Serikat mengirim pesawat mata-mata untuk memantau perkembangan di Laut China Selatan.

Keadaan di Laut China Selatan pun memanas di akhir 2015 ini. Setiap negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan meningkatkan penjagaannya di perbatasan negaranya masing-masing dan bersiap-siap apabila nantinya terjadi konflik. Sampai sekarang ini, negara-negara masih berusaha untuk mencari jalan keluar atas masalah di Laut China Selatan, terutama masalah yang timbul karena tindakan reklamasi Laut China Selatan yang dilakukan oleh RRT.

B. Dasar Republik Rakyat Tiongkok Dalam Mereklamasi Laut China Selatan

Reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan menambah rumit masalah klaim dan perbatasan negara di wilayah Laut China Selatan. Reklamasi ini seakan menambah jumlah konflik-konflik yang pernah terjadi di wilayah Laut China Selatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa isu reklamasi ini merupakan isu yang baru dengan objek dan permasalahan yang sama. Objek dan permasalahan yang sama karena setiap konflik atau sengketa yang terjadi di Laut China Selatan pasti selalu berkaitan dengan klaim yang tumpang tindih di wilayah Laut China Selatan. Hal ini menegaskan bahwa sengketa atau konflik yang terjadi di wilayah Laut China Selatan masih belum terselesaikan.


(14)

Selain objek dan permasalahan, persamaan lain dari sengketa atau konflik yang terjadi di wilayah Laut China Selatan adalah dasar klaim. Dasar klaim yang diajukan oleh tiap-tiap negara dalam mengklaim wilayah Laut China Selatan tetap sama dengan dasar-dasar klaim yang diajukan negara-negara tersebut sebelumnya. Termasuk juga dasar klaim RRT dalam mereklamasi Laut China Selatan.

RRT dalam mengklaim wilayah Laut China Selatan selalu mendasarkan klaimnya pada alasan sejarah. Alasan sejarah selalu menjadi dasar klaim RRT di Laut China Selatan, karena hanya itulah yang bisa dijadikan alasan bagi RRT dalam mengklaim Laut China Selatan. Reklamasi yang dilakukan RRT di wilayah Laut China Selatan saat ini pun di dasarkan pada alasan sejarah. Menurut RRT, wilayah Laut China Selatan sudah dikuasai oleh Dinasti Han sejak dulu dan juga ditemukannya benda-benda sejarah di kepulauan-kepulauan di wilayah Laut China Selatan yang merupakan buatan Tiongkok.

Berdasarkan alasan sejarah inilah RRT mengklaim Laut China Selatan dan kemudian mereklamasinya. Pemerintah RRT menegaskan bahwa pemerintah RRT berhak untuk melakukan reklamasi di beberapa pulau di wilayah Laut China Selatan. Pemerintah RRT menyatakan bahwa reklamasi itu dilakukan di pulau-pulau milik RRT dan tidak menjadikan negara lain sebagai sasaran67. Selain itu juga pemerintah RRT menyatakan bahwa pembangunan yang dilakukan di atas pulau buatan tersebut adil, wajar, dan sah, juga tidak mempengaruhi dan membidik negara lain dan tidak mempengaruhi kebebasan navigasi dan penerbangan di wilayah Laut China Selatan68.

67

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150916_dunia_cina_lautcinaselatan, diakses pada tanggal 05 Desember 2015

68

http://news.okezone.com/read/2015/06/16/18/1166143/china-pembangunan-reklamasi-tanah-hampir-rampung, diakses pada tanggal 05 Desember 2015


(15)

Selain itu RRT juga menegaskan klaim nya di Laut China Selatan berdasarkan peta nine dash line. Peta ini pada awalnya menunjukkan sebelas garis putus-putus (eleven dash line) yang membentuk huruf U yang diterbitkan pada tahun 1947 oleh pemerintah Republik China untuk membenarkan klaim di Laut China Selatan. Kemudian setelah Partai Komunis Tiongkok mengambil alih daratan Tiongkok dan membentuk Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, jalur ini diadopsi dan direvisi menjadi sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada tahun 1953. Kemudian pada tahun 2013 RRT menerbitkan sebuah peta baru dengan menambahkan garis kesepuluh di sebelah timur Taiwan sehingga peta yang baru menunjukkan sepuluh garis putus-putus (ten dash line)69.

Berikut ini adalah gambar peta eleven dash line dan nine dash line :

Gambar VI : Peta eleven dash line 1947

(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Nine-dash_line)

69


(16)

Gambar VII : Peta nine dash line

(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Nine-dash_line)

Jadi dapat disimpulkan bahwa reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan didasarkan pada alasan sejarah yang menurut RRT wilayah Laut China Selatan telah dikuasai oleh Dinasti Han sejak dulu, dan juga didasarkan pada peta eleven dash line tahun 1947 yang kemudian diubah menjadi

nine dash line tahun 1953 dan diubah lagi menjadi ten dash line pada tahun 2013.

C. Tindakan Republik Rakyat Tiongkok Dalam Mereklamasi Laut China Selatan Menurut Hukum Laut Internasional

Reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di wilayah Laut China Selatan menimbulkan pertentangan dari negara-negara lain baik negara-negara di sekitar wilayah Laut China Selatan maupun negara-negara yang tidak berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Berbagai alasan yang mendasari negara-negara tersebut dalam menentang reklamasi di Laut China Selatan. Ada negara yang menentang karena alasan politik yang berseberangan


(17)

dengan RRT, ada negara yang menentang dengan alasan bahwa negara tersebut lebih berhak menguasai Laut China Selatan dibanding RRT, ada juga negara yang menentang reklamasi tersebut dengan alasan bahwa RRT memang tidak berhak menguasai atau mereklamasi Laut China Selatan menurut hukum laut internasional. Oleh karena itu untuk mengetahui benar atau tidak reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan haruslah dikaji menurut hukum laut internasional yang berlaku.

Adapun hukum laut internasional yang dimaksud adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 atau yang lebih dikenal dengan UNCLOS 1982. Selain UNCLOS 1982, masalah reklamasi ini juga perlu dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Declaration On The Conduct Of

Parties In The South China Sea (DOC) tahun 2002. Hal ini dikarenakan DOC

2002 merupakan suatu pedoman berperilaku bagi negara-negara ASEAN dan RRT di wilayah Laut China Selatan. Berdasarkan kedua sumber hukum tersebutlah akan dikaji benar atau tidak reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan tersebut.

UNCLOS 1982 merupakan himpunan aturan-aturan di bidang kelautan yang disetujui bersama oleh negara-negara dalam Konferensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. UNCLOS 1982 menjadi pedoman dan patokan negara-negara di dunia dalam menguasai wilayah laut. Saat ini UNCLOS telah diratifikasi oleh 167 anggota, yang terdiri dari 166 negara anggota PBB dan negara-negara Uni Eropa. RRT juga termasuk di antara negara-negara yang telah meratifikasi UNCLOS 198270. Sebagai negara yang meratifikasi UNCLOS 1982

70

https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_parties_to_the_United_Nations_Convention_on_t he_Law_of_the_Sea, diakses pada tanggal 10 Desember 2015


(18)

sudah seharusnya RRT mematuhi dan mentaati aturan yang terdapat di didalam UNCLOS 1982.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Laut China Selatan merupakan laut setengah tertutup, yaitu laut yang dikelilingi oleh zee dua atau lebih negara. Di dalam UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa bagi negara-negara yang berbatasan dengan laut setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lain dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Hal-hal yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut antara lain adalah71 :

a. mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber kekayaan hayati laut

b. mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut

c. mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya

d. mengundang negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dalam pelaksanaan lebih lanjut.

Dalam hubungannya dengan Laut China Selatan, sebenarnya kerjasama antara negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan telah sering dilakukan. Salah satu contoh kerjasamanya adalah dengan ditandatanganinya DOC pada tahun 2002. Namun bentuk kerjasama yang tertuang dalam DOC 2002 tersebut tidak berjalan lancar.

Reklamasi yang dilakukan RRT di Laut China Selatan melanggar ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur tentang ketentuan ketentuan laut

71


(19)

setengah tertutup. Reklamasi yang dilakukan oleh RRT merupakan reklamasi sepihak bukan sebagai bentuk kerjasama, ditambah dengan pernyataan RRT yang mengklaim berhak atas reklamasi di wilayah Laut China Selatan menunjukkan bahwa sikap RRT bertentangan dengan UNCLOS 1982.

UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa suatu negara hanya dapat mengklaim wilayah laut sejauh 200 mil. Lebih dari 200 mil negara sudah tidak berhak lagi. Reklamasi yang dilakukan oleh RRT menjadi ilegal karena wilayah reklamasi yang dilakukan RRT sudah melebihi batas 200 mil dan tidak termasuk dalam wilayah zee RRT. Reklamasi yang dilakukan oleh RRT dimungkinkan apabila reklamasi tersebut dilakukan di wilayah zee RRT. Sebagaimana dijelaskan dalam UNCLOS 1982 bahwa negara pantai mempunya hak eksklusif untuk membangun dan mengatur pembangunan pulau buatan72.

Di dalam UNCLOS 1982 Pasal 21 dijelaskan bahwa zona maritim dapat memperpanjang wilayahnya tidak hanya dari tanah utama wilayah negara pantai, tetapi juga dari setiap pulau yang berada di wilayah kedaulatannya. Sebuah pulau didefinisikan sebagai "daratan yang terbentuk secara alami dari tanah, dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat pasang." Namun, "batu karang yang tidak dapat mendukung tempat tinggal manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri" adalah berhak hanya untuk 12 mil laut teritorial, bukan zee atau landas kontinen. Ketinggian yang terendam saat pasang tinggi dan pulau buatan tidak menetapkan hak-hak di perairan yang berdekatan73. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pulau-pulau karang yang terdapat di wilayah Laut China Selatan tidak dapat menjadi dasar bagi RRT untuk mengklaim wilayah Laut China

72

UNCLOS 1982 Pasal 60

73

Ben Dolven et.all., Chinese Land Reclamation in the South China Sea: Implications


(20)

Selatan. Dan pulau buatan yang dibangun RRT di daratan hasil reklamasi Laut China Selatan juga tidak dapat menjadi dasar bagi RRT untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan. Alasannya karena pulau buatan yang dibangun RRT tidak berada di wilayah zee RRT, melainkan tumpang tindih dengan zee negara lain. Selain itu juga karena menurut UNCLOS 1982, pulau buatan tidak mempunyai status pulau, dan kehadirannya tidak akan mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zee, atau landas kontinen dari negara yang membangun pulau buatan tersebut74.

Pembangunan sebuah pulau buatan mungkin menimbulkan pertanyaan hukum jika itu terjadi dalam ZEE negara lain. Sebaliknya, reklamasi yang dilakukan di laut lepas diperbolehkan di bawah UNCLOS 1982. Akibatnya, diperbolehkannya kegiatan reklamasi RRT tergantung pada batas zona antara negara-negara sekitarnya. RRT mengklaim kedaulatan atas Taiwan tanpa mengendalikannya, dan Taiwan menempati Itu Aba, yang merupakan pulau terbesar di Kepulauan Spratly dan secara luas diakui menjadi sebuah pulau alami sesuai dengan definisi UNCLOS 1982. Oleh karena itu, RRT mungkin berusaha untuk mengklaim wilayah reklamasi tersebut melalui Itu Aba. Namun klaim tersebut akan tumpang tindih dengan zee Filipina di Pulau Palawan75.

RRT juga dapat mendasarkan reklamasi yang dilakukannya di wilayah Laut China Selatan dengan dalih kebebasan laut lepas. Di dalam UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa laut lepas terbuka untuk semua negara. Negara pantai atau negara tidak berpantai diberi kebebasan-kebebasan, dan salah satunya adalah

74

UNCLOS 1982 Pasal 60

75


(21)

kebebasan untuk membangun pulau buatan76. Namun apabila RRT mendasarkan klaim reklamasinya dengan alasan tersebut, RRT tidak seharusnya menyatakan bahwa mereka berhak atas wilayah Laut China Selatan. Negara-negara memang diberi kebebasan di laut lepas, namun kebebasan tersebut semata-mata diberikan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan bersama negara-negara. Dan UNCLOS 1982 menyatakan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari laut lepas pada kedaulatannya77. Sedangkan RRT menyatakan berhak untuk mereklamasi Laut China Selatan karena Laut China Selatan merupakan bagian dari wilayahnya. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982 tentang laut lepas. Maksud dan tujuan reklamasi yang dilakukan RRT di Laut China Selatan juga bukan untuk kepentingan bersama tetapi untuk kepentingan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan landasan pacu di pulau buatan hasil reklamasi tersebut, dan juga pembangunan fasilitas-fasilitas militer di daerah tersebut.

Wilayah Laut China Selatan juga bukan sepenuhnya wilayah laut lepas, karena Laut China Selatan merupakan laut setengah tertutup maka dimungkinkan terdapat wilayah zee negara lain. Oleh karena itu RRT tidak bisa sembarangan melakukan reklamasi di wilayah Laut China Selatan sekalipun reklamasi tersebut didasarkan dengan alasan kebebasan laut lepas, karena terdapat wilayah zee negara lain di Laut China Selatan.

Selain itu, RRT juga dapat mendasarkan reklamasi yang dilakukannya dengan dalih pelestarian kelautan lingkungan hidup. UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk menjamin agar

76

UNCLOS 1982 Pasal 87

77


(22)

kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksi dan pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa supaya tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran kepada negara-negara lain dan lingkungannya78. Namun apabila reklamasi tersebut didasarkan dengan alasan ini, seharusnya RRT lebih terbuka terhadap reklamasi yang dilakukannya, dan bekerjasama dengan negara-negara lain yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Sedangkan tindakan yang dilakukan RRT selama ini di Laut China Selatan seperti ingin menguasai wilayah Laut China Selatan sendiri. Reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan juga melanggar ketentuan UNCLOS 1982 Pasal 192. Pasal 192 tersebut menyatakan bahwa negara-negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Sedangkan reklamasi yang dilakukan oleh RRT tersebut tentu akan membuat kerusakan di lingkungan Laut China Selatan, seperti kerusakan terumbu karang.

Selain melanggar UNCLOS 1982, reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan juga melanggar ketentuan DOC 2002 yang telah disepakati bersama antara negara-negara anggota ASEAN dengan RRT. Di dalam DOC 2002 dijelaskan bahwa para pihak yaitu negara-negara anggota ASEAN dan RRT berusaha untuk menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan mempersulit atau meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut China Selatan79. Dari ketentuan tersebut, sudah jelas bahwa reklamasi yang dilakukan oleh RRT melanggar semangat kerjasama yang tertuang di dalam DOC 2002 tersebut, karena reklamasi yang dilakukan RRT

78

UNCLOS 1982 Pasal 194

79


(23)

menyebabkan perselisihan dan mengganggu perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut China Selatan.

DOC 2002 memang tidak mengatur lebih dalam mengenai tindakan-tindakan yang tidak boleh dilakukan di Laut China Selatan, seperti reklamasi yang dilakukan oleh RRT tersebut. Namun DOC 2002 telah memberikan gambaran umum tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya tidak dilakukan. Di dalam DOC 2002 juga ditegaskan bahwa negara-negara berkomitmen untuk mencari cara untuk membangun kepercayaan dan keyakinan sesuai atas dasar kesetaraan dan saling menghormati80. Tindakan yang dilakukan RRT dalam mereklamasi Laut China Selatan tentu akan menghilangkan kepercayaan dan keyakinan antar negara-negara peserta DOC 2002.

DOC 2002 sebagai pedoman berperilaku di wilayah Laut China Selatan memang belum sepenuhnya mengikat. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sanksi yang pasti bagi negara-negara yang melakukan pelanggaran di Laut China Selatan. Di dalam DOC 2002 hanya dijelaskan bahwa negara-negara peserta DOC 2002 berusaha untuk menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi mereka dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, melalui konsultasi ramah dan negosiasi dengan negara-negara berdaulat secara langsung81. Namun meskipun belum memiliki sanksi yang pasti, tidak seharusnya negara-negara tersebut melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh DOC 2002, seperti reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan.

80

DOC 2002 poin 2

81


(24)

Reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan membuktikan bahwa DOC 2002 tidak berjalan seperti seharusnya karena masih banyak negara-negara yang melanggarnya. Untuk itu negara-negara di sekitar wilayah Laut China Selatan perlu untuk membuat suatu perjanjian baru yang lebih mengikat. Sebenarnya pembicaraan mengenai pembentukan kode etik Laut China Selatan yang lebih mengikat sudah sering dilakukan oleh kepala-kepala negara yang bersangkutan, namun sampai saat ini belum ada kesepakatan yang pasti. Dengan adanya tindakan reklamasi di Laut China Selatan ini, pembahasan mengenai kode etik yang lebih mengikat tersebut sepertinya harus segera dilaksanakan agar ke depannya tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti reklamasi yang dilakukan oleh RRT tersebut. Namun pembahasan mengenai kode etik yang lebih mengikat tersebut mungkin akan sulit untuk dilakukan karena negara-negara harus membangun kepercayaan dan keyakinan bersama untuk berkomitmen menciptakan stabilitas dan perdamaian di wilayah Laut China Selatan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan bertentangan dengan hukum laut internasional, yaitu UNCLOS 1982 dan DOC 2002. RRT sebagai salah satu negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan memiliki kewajiban dan hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada di Laut China Selatan, namun pengelolaan dan pemanfaatan tersebut terbatas hanya sampai wilayah zee RRT, tidak boleh lebih 200 mil laut.

RRT sebagai negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 seharusnya mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UNCLOS 1982. Namun tindakan yang dilakukan oleh RRT dalam mereklamasi Laut China Selatan


(25)

bertentangan dengan UNCLOS 1982. RRT bisa beranggapan bahwa menurut sejarah wilayah Laut China Selatan sejak dahulu telah dikuasai oleh dinasti-dinasti dari Tiongkok. Namun pada saat sekarang ini RRT tidak bisa beralaskan hal itu. Sejak lahirnya UNCLOS 1982, negara-negara telah sepakat bahwa dalam hal penguasaan di laut, setiap negara harus berpedoman pada UNCLOS 1982 dan harus menyesuaikan wilayah laut nya dengan ketentuan yang terdapat di dalam UNCLOS 1982. Hal ini juga seharusnya berlaku bagi RRT, karena RRT telah mengakui UNCLOS 1982 dengan meratifikasinya.

Demikian juga halnya dengan DOC 2002. DOC 2002 yang ditandatangani oleh RRT dengan negara-negara anggota ASEAN semula bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di wilayah Laut China Selatan. Dengan adanya DOC 2002, negara-negara peserta berharap bahwa mereka dapat bersama-sama mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di wilayah Laut China Selatan. Namun RRT sebagai salah satu negara peserta DOC 2002 melanggar ketentuan DOC 2002 itu sendiri. Reklamasi yang dilakukan RRT di wilayah Laut China Selatan justru menimbulkan pertentangan dari negara-negara lain dan menyebabkan ketegangan di wilayah Laut China Selatan. Hal ini tentu merusak semangat perdamaian yang terkandung di dalam DOC 2002.

Sengketa-sengketa atau konflik-konflik yang terjadi di Laut China Selatan pada dasarnya karena ketidaktaatan negara-negara terhadap hukum laut internasional, yaitu UNCLOS 1982 dan DOC 2002. Demikian juga dengan reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan. Reklamasi tersebut terjadi karena ketidaktaatan RRT pada ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 dan ketentuan-ketentuan DOC 2002. Salah satu faktor ketidaktaatan tersebut adalah


(26)

karena keinginan negara-negara termasuk RRT untuk menguasai wilayah Laut China Selatan. Faktor lainnya adalah kurang mengikatnya ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang berlaku dalam hal ini DOC 2002. Untuk itu perlu dibuat suatu kode etik yang lebih mengikat untuk mencegah terjadinya sengketa atau konflik seperti sengketa atau konflik yang terjadi karena tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan.


(27)

BAB IV

UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI LAUT CHINA SELATAN A. Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Laut

Internasional

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain88.

Selain itu, sengketa atau perselisihan, bahkan konflik dapat juga berpangkal pada perbedaan penafsiran perjanjian, pertanyaan hukum internasional, keberadaan fakta apapun yang didirikan merupakan pelanggaran kewajiban internasional, dan sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk pelanggaran kewajiban internasional89.

Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya. Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional90.

Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa

88

Huala Adolf, Loc.Cit.

89

Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 193

90


(28)

(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah “a spesific

disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another”.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute)91.

Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara92.

Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Mahkamah menyatakan : “...whether there exists an international dispute is a

matter for objective determination. The mere denial of the existence of a dispute does not prove its nonexistence...There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposite views concerning the questions of the performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the

court must conclude that international dispute has arisen”93.

91

John Collier & Vaughan Lowe, Loc.Cit., sebagaimana dikutip dari Sefriani, Loc.Cit.

92

Sefriani, Loc.Cit.

93

Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone, 1991, hlm. 511, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 2


(29)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sengketa internasional adalah sengketa yang tidak hanya menyangkut urusan dalam negeri suatu negara saja namun juga melibatkan kepentingan-kepentingan negara-negara lain dan termasuk juga subjek-subjek hukum internasional lainnya selain negara. Oleh karena itu di dalam sengketa internasional akan terlibat lebih dari satu negara atau lebih dari satu subjek hukum internasional.

Dalam studi hukum internasional publik, dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes). Sebetulnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima secara umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Yang kerap kali dipakai menjadi ukuran suatu sengketa tersebut bisa atau dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Namun pandangan demikian sulit diterima. Sengketa-sengketa internasional secara teoretis pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional94.

Setiap terjadi sengketa-sengketa internasional, maka untuk menyelesaikannya dibutuhkan peranan dari hukum internasional. Hukum internasional menjadi pedoman bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dengan cara-cara yang diatur oleh hukum internasional tersebut.

Secara umum metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori yaitu :95

1. Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.

94

Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 3

95

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Buku Kedua Edisi Kesepuluh, Terj. Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hlm. 646


(30)

2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.

1. Cara-Cara Penyelesaian Damai atau Bersahabat

Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi sebagai berikut :96

a. Arbitrasi (arbitration)

b. Penyelesaian yudisial (judicial settlement)

c. Negoisasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan (inquiry)

d. Penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Klasifikasi ini tidak berarti bahwa proses-proses ini secara kaku terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk memecahkan satu kelompok sengketa tertentu.

a. Arbitrasi

Biasanya arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasiona, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka itulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum97.

Huala Adolf dalam bukunya menyatakan bahwa badan arbitrase internasional publik adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara

96

Ibid.

97


(31)

sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat98.

b. Penyelesaian Yudisial

Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum99.

Ada beberapa pengadilan internasional antara lain International Court of

Justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice (PCIJ), International Tribunal for the Law of the Sea, berbagai Ad hoc Tribunal, juga International Criminal Court. ICJ yang juga merupakan suksesor PCIJ adalah pengadilan yang

mengadili sengketa antarnegara di bidang hukum internasional. International

Tribunal for the Law of the Sea khusus mengadili sengketa di bidang hukum laut

internasional. Adapun ICC dan beberapa ad hoc tribunal adalah pengadilan untuk mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional (international crime)100.

c. Negoisasi, Jasa-jasa Baik, Mediasi, Konsiliasi, atau Penyelidikan

Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan adalah metode-metode penyelesaian yang kurang begitu formal dibanding dengan penyelesaian yudisial atau arbitrasi101.

Pada umumnya negoisasi merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai cara yang paling

98

Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 39

99

J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 651

100

Sefriani, Op.Cit., hlm. 342

101


(32)

simple dan mudah dibandingkan cara-cara lain. Namun demikian akan sulit

melakukan negoisasi bila antarpihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi masing-masing sebagai subjek hukum internasional102.

Ketika negoisasi tidak dapat menyelesaikan sengketa, pada umumnya pihak bersengketa akan menggunakan jasa/keterlibatan pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga dalam good offices tidak lebih dari mengupayakan pertemuan pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri103.

Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa104.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini adalah negara, tetapi bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat terlembaga atau ad hoc. Pada praktiknya proses penyelesaian sengketa melalu konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Perbedaannya adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan mediasi105.

102

Sefriani, Op.Cit., hlm. 328

103

Ibid. hlm. 329

104

Ibid. hlm. 330

105


(33)

Fungsi dari inquiry (penyelidikan) adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus-menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain106.

d. Penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Sebagai pengganti Liga Bangsa, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dibentuk tahun 1945, telah mengambil alih sebagian besar tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Salah satu dari tujuan-tujuan Organisasi itu adalah penyelesaian perselisihan antara negara-negara, dan melalui Pasal 2 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, anggota-anggota Organisasi harus berusaha untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai dan untuk menghindarkan ancaman-ancaman perang atau penggunaan kekerasan. Dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, sesuai dengan wewenang luas yang dipercayakan kepada kedua badan tersebut107.

Namun selain melalui organisasi PBB, para pihak yang bersengketa juga dapat menyelesaikan sengketa internasional melalui organisasi regional. Penyelesaian melalui organisasi regional seharusnya dilakukan lebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa sebelum membawa sengketa tersebut ke forum yang lebih luas (internasional) atau dalam hal ini Dewan Keamanan PBB108.

Di dalam penyelesaian sengketa secara damai terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip. Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut yaitu :109

106

Sefriani, Op.Cit., hlm. 331

107

J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 676

108

Sefriani, Op.Cit., hlm. 335

109


(34)

Iktikad baik (good faith);

 Larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;

 Kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;

 Kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

 Kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);

 Penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies;

 Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Di samping ketujuh prinsip di atas, PBB memuat prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu :

 Larangan intervensi, baik terhadap masalah dalam maupun luar negeri para pihak;

 Persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;  Persamaan kedaulatan negara-negara;  Kemerdekaan dan hukum internasional.

2. Cara-Cara Penyelesaian Paksa atau Kekerasan

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara persahabatan maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah :110

110


(35)

a. Perang dan Tindakan bersenjata Non-perang

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya111.

b. Retorsi (retorsion)

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina112.

c. Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)

Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan113.

d. Blokade Secara Damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkutan laut. Namun, blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade114.

111

Ibid.

112

Ibid.

113

Ibid. hlm. 680

114


(36)

e. Intervensi (intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini, berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan dan lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik115.

Hukum laut internasional merupakan cabang dari hukum internasional, oleh karena itu pada dasarnya upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional di dalam hukum laut internasional sama dengan upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional yang diatur oleh hukum internasional.

Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional yang diatur oleh hukum laut internasional juga memuat cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara penyelesaian secara paksa atau kekerasan. Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional, khususnya sengketa laut internasional diatur di dalam UNCLOS 1982.

UNCLOS 1982 yang merupakan himpunan aturan-aturan di bidang kelautan tidak hanya memuat kewajiban dan hak suatu negara di wilayah laut, namun juga memuat ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa apabila terjadi sengketa laut internasional.

Di dalam UNCLOS 1982 diatur upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa laut internasional. Namun upaya-upaya yang diatur di dalam UNCLOS 1982 tersebut mewajibkan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui cara-cara penyelesaian yang damai. UNCLOS 1982 melarang para pihak untuk menggunakan cara-cara paksa atau

115


(37)

kekerasan dalam menyelesaikan sengketa laut internasional. Seperti dijelaskan di dalam UNCLOS 1982 bahwa negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB, dan untuk tujuan ini harus mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB116. Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyatakan : “All members

shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security are not endangered”. Sedangkan Pasal 33

Piagam PBB menyatakan : “The parties to any dispute, the continuance of which

is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice”.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa UNCLOS 1982 mendukung penyelesaian sengketa laut internasional dengan cara-cara yang damai sesuai dengan Piagam PBB Pasal 2 ayat (3). Dan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang dianjurkan di dalam UNCLOS 1982 merujuk kepada cara-cara penyelesaian sengketa yang disebutkan di dalam Pasal 33 Piagam PBB, yaitu negoisasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, melalui pengadilan, melalui organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara damai yang lain.

UNCLOS 1982 memberikan kebebasan bagi para pihak yang bersengketa untuk memilih cara penyelesaian sengketa dengan cara damai, baik itu cara-cara damai yang prosedur-prosedurnya telah ditetapkan dalam UNCLOS 1982 maupun

116


(38)

cara-cara damai yang mereka pilih sendiri. Para pihak yang bersengketa juga diberi diperbolehkan untuk menyelesaikan sengketanya melalui hubungan bilateral atau melalui organisasi-organisasi internasional, baik organisasi yang umum maupun organisasi regional117.

UNCLOS 1982 juga mengatur cara-cara penyelesaian sengketa laut internasional dengan cara konsiliasi. Prosedur-prosedur dalam melakukan konsiliasi ditetapkan oleh UNCLOS 1982118. Selain cara-cara penyelesaian tersebut, UNCLOS 1982 juga mengatur cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau mahkamah. Dalam memilih cara penyelesaian melalui pengadilan atau mahkamah, para pihak yang bersengketa membuat pernyataan tertulis dalam memilih cara tersebut. Apabila tidak membuat suatu pernyataan, maka dianggap memilih arbitrasi dalam menyelesaikan sengketa. Adapun pengadilan atau mahkamah yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa yaitu : Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea), Mahkamah Internasional, Mahkamah Arbitrasi, dan Mahkamah Arbitrasi Khusus. Prosedur-prosedur dalam menyelesaikan sengketa dengan melalui pengadilan atau mahkamah ditetapkan oleh UNCLOS 1982119.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa di dalam UNCLOS 1982 diatur cara penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional Hukum Laut. Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) adalah sebuah pengadilan internasional yang khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang kelautan. Mahkamah Internasional Hukum Laut berbeda dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pengaturan

117

UNCLOS 1982 Pasal 280, 281, dan 282

118

UNCLOS 1982 Pasal 284

119


(39)

mengenai Mahkamah Internasional hukum laut ini hanya ada di dalam UNCLOS 1982. Hal ini membuktikan bahwa masalah kelautan dianggap sangat penting sehingga perlu dibentuk suatu pengadilan khusus untuk menyelesaikan sengketa laut internasional yaitu mahkamah internasional hukum laut.

B. Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa di Laut China Selatan

Dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan khususnya sengketa yang timbul karena tindakan reklamasi Laut China Selatan, dapat dilakukan sesuai dengan cara-cara yang diatur di dalam UNCLOS 1982. Namun selain dengan UNCLOS 1982, negara-negara yang terlibat sengketa di wilayah Laut China Selatan juga dapat menyelesaikan sengketa mereka dengan cara-cara yang diatur oleh DOC 2002.

DOC 2002 menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa berusaha untuk menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi mereka dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, melalui konsultasi ramah dan negosiasi dengan negara-negara berdaulat yang bersangkutan secara langsung, sesuai dengan prinsip yang diakui oleh hukum internasional secara universal, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982120.

DOC 2002 sebagai bentuk kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN dengan RRT dalam berperilaku di wilayah Laut China Selatan, juga menegaskan bahwa para pihak yang bersengketa harus menyelesaikan sengketa mereka di wilayah Laut China Selatan dengan cara damai dan melarang cara-cara kekerasan atau penggunaan ancaman.

120


(40)

Penyelesaian sengketa secara damai menurut DOC 2002 ini pun harus sesuai dengan prinsip yang diakui oleh hukum internasional secara universal, termasuk prinsip yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dan juga prinsip-prinsip yang terdapat dalam Piagam PBB pasal 2 ayat (3) dan Pasal 33. Hal ini berarti DOC 2002 juga mendukung penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai seperti yang diatur di dalam UNCLOS 1982 dan Piagam PBB.

Oleh karena itu berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, khususnya sengketa yang timbul karena tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh RRT, dapat dilakukan dengan upaya-upaya penyelesaian secara damai seperti yang diatur di dalam Piagam PBB, UNCLOS 1982, dan DOC 2002.

Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul karena tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh RRT antara lain :

a. Penyelesaian dengan Negoisasi dan Mediasi121

Salah satu cara menyelesaikan sengketa reklamasi Laut China Selatan adalah dengan melakukan negoisasi. Filipina, Vietnam, atau negara-negara lain yang terlibat melakukan pembicaraan dengan RRT secara langsung untuk membahas mengenai reklamasi yang dilakukan RRT tersebut dan bersama-sama menemukan jalan keluar dari sengketa tersebut.

Cara lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan mediasi. Filipina, Vietnam, atau negara-negara lain yang terlibat melakukan pembicaraan dengan RRT dengan bantuan pihak ketiga atau yang biasa disebut mediator. Mediator ini haruslah yang bersifat netral dan memiliki hubungan yang baik dengan

121


(41)

negara yang terlibat. Yang menjadi mediator bisa negara, organisasi internasional, atau individu, tergantung kesepakatan para pihak.

Cara-cara seperti negoisasi atau mediasi tidak memiliki prosedur khusus yang harus dilakukan. Para pihak bebas menentukan prosedurnya, tergantung kesepakatan para pihak. Oleh karena itu dalam keberhasilannya pun tergantung para pihak, apakah mereka memang berniat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi ataukah mereka tidak memiliki iktikad baik dalam menyelesaikan sengketa.

Demikian hal nya juga dengan sengketa reklamasi Laut China Selatan ini, sengketa karena reklamasi Laut China Selatan dapat diselesaikan melalui cara negoisasi atau mediasi apabila para pihak yang bersengketa memiliki iktikad baik dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam hal ini maka dibutuhkan kerja sama dari para pihak terutama RRT sebagai aktor utama yang melakukan reklamasi.

b. Penyelesaian melalui Organisasi Internasional122

Negara-negara yang terlibat sengketa reklamasi Laut China Selatan dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui organisasi internasional, baik organisasi internasional yang bersifat regional atau yang umum.

Organisasi internasional yang bersifat regional misalnya ASEAN. Meskipun RRT bukan merupakan anggota ASEAN, namun sengketa reklamasi ini dapat juga diselesaikan melalui ASEAN karena sengketa Laut China Selatan ini melibatkan negara-negara anggota ASEAN seperti Filipina dan Vietnam. Masalah sengketa Laut China Selatan juga sudah sering dibicarakan dalam pertemuan

122


(42)

negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu dalam hal sengketa reklamasi ini, ASEAN juga bisa menjadi wadah bagi negara-negara untuk mengadakan pembicaraan guna memperoleh jalan keluar dalam penyelesaian sengketa reklamasi Laut China Selatan.

Organisasi internasional lainnya seperti PBB. PBB merupakan organisasi internasional yang terbesar di dunia. Dan hampir semua negara di dunia telah menjadi anggota PBB termasuk negara-negara yang terlibat di dalam sengketa reklamasi Laut China Selatan ini. Oleh karena itu penyelesaian sengketa reklamasi Laut China Selatan melalui PBB dimungkinkan.

c. Penyelesaian melalui Konsiliasi123

Negara-negara yang terlibat sengketa reklamasi Laut China Selatan juga bisa memilih konsiliasi dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Para pihak dapat memilih prosedur-prosedur melakukan konsiliasi seperti yang ditetapkan di dalam UNCLOS 1982, atau juga bisa menentukan prosedurnya sendiri sesuai dengan kesepakatan mereka.

d. Penyelesaian melalui Arbitrase124

Negara-negara yang terlibat sengketa juga dapat memilih arbitrase dalam menyelesaikan sengketa reklamasi Laut China Selatan. Prosedur-prosedur dalam melakukan Arbitrase ditetapkan oleh UNCLOS 1982 atau prosedur-prosedur yang ditetapkan sendiri oleh para pihak. Dalam arbitrase para pihak yang bersengketa menunjuk orang yang ahli mengenai pokok sengketa untuk menjadi arbitrator.

Upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan melalui arbitrase sebenarnya saat ini sedang berjalan. Dimana Filipina sebagai penggugat

123

Dedi Supriyadi, Op.Cit., hlm. 201

124


(43)

menggugat RRT dan mengajukan beberapa gugatannya ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Dan salah satu gugatan yang diajukan oleh Filipina adalah mengenai masalah reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan tersebut. Namun meskipun gugatan yang diajukan oleh Filipina tersebut telah disetujui oleh Mahkamah Arbitrase Internasional, RRT telah menyatakan enggan untuk mengikuti proses persidangan arbitrase tersebut dan tidak akan mengakui keputusan arbitrase tersebut.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan salah satu cara yang efektif karena putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu dengan berjalannya proses persidangan sengketa Laut China Selatan di Mahkamah Arbitrase Internasional diharapkan menghasilkan putusan yang akan membawa perdamaian di wilayah Laut China Selatan.

e. Penyelesaian melalui Mahkamah Internasional125

Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) merupakan badan peradilan internasional. ICJ merupakan salah satu organ utama PBB, dan menjadi badan peradilan utama di PBB.

Negara-negara yang terlibat sengketa reklamasi Laut China Selatan juga dapat memilih penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional. Prosedur-prosedur yang dalam menyelesaikan sengketa melalui Mahkamah Internasional ditetapkan di dalam Statuta Mahkamah Internasional.

f. Mahkamah Internasional Hukum Laut126

Mahkamah Internasional Hukum Laut atau International Tribunal for the

Law of the Sea (ITLOS) merupakan badan peradilan internasional yang khusus

125

Sefriani, Op.Cit., hlm. 342

126


(44)

menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang kelautan. ITLOS hanya terdapat di dalam UNCLOS 1982. Prosedur-prosedur beracara di ITLOS dan kewenangn ITLOS ditetapkan sepenuhnya oleh UNCLOS 1982. ITLOS berwenang untuk menyelesaikan sengketa laut internasional yang timbul karena kekeliruan dalam penerapan UNCLOS 1982.

Negara-negara yang terlibat dalam sengketa reklamasi Laut China Selatan tentu bisa memilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui ITLOS. Penyelesaian sengketa melalui ITLOS akan memberikan hasil yang lebih baik karena peran ITLOS sebagai badan peradilan yang khusus menangani sengketa laut internasional. Dan juga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan dari sengketa-sengketa yang terjadi di Laut China Selatan, termasuk sengketa reklamasi Laut China Selatan ini, pada dasarnya terjadi karena ketidaktaatan negara-negara terhadap UNCLOS 1982. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui ITLOS tepat dilakukan karena ITLOS berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena kekeliruan atau pelanggaran penerapan UNCLOS 1982.

Penyelesaian sengketa Laut China Selatan yang timbul akibat dari reklamasi yang dilakukan oleh RRT dapat dilakukan dengan cara-cara penyelesaian di atas. Namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa lainnya tergantung kesepakatan para pihak.

Cara-cara penyelesaian di atas merupakan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai. Dan memang seharusnya penyelesaian sengketa di Laut China Selatan dilakukan dengan cara-cara yang damai. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara paksa atau kekerasan tidak baik untuk dilakukan, karena akan


(45)

memberikan kerugian bagi negara-negara yang terlibat dan akan merusak hubungan antara negara-negara tersebut. Hukum internasional memang masih mengakui perang sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan sengketa apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai. Namun perang bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan suatu sengketa. Perang hanya akan membawa masalah baru. Oleh karena itu negara-negara harus menghindarkan diri untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan dengan perang, meskipun perang dilakukan sesuai dengan hukum humaniter internasional.

C. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Sengketa di Laut China Selatan

Dalam menyelesaikan suatu sengketa pasti akan ada hambatan ataupun kendala yang dihadapi. Hambatan-hambatan ini bisa datang dari dalam (faktor internal) dan bisa juga datang dari luar (faktor eksternal). Hambatan yang berasal dari faktor internal, contohnya ketidaksepakatan negara-negara yang bersengketa tentang cara penyelesaiannya. Sedangkan hambatan yang berasal dari faktor eksternal, contohnya adanya ikut campur negara lain dalam penyelesaian sengketa yang seharusnya tidak melibatkan negara tersebut.

Demikian hal nya juga sengketa yang terjadi di Laut China Selatan, khususnya sengketa yang terjadi karena reklamasi yang dilakukan oleh RRT. Dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan, baik sengketa reklamasi Laut China Selatan oleh RRT, maupun sengketa Laut China Selatan lainnya sering kali mendapat hambata-hambatan dalam penyelesaiannya.


(46)

Salah satu hambatan dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan misalnya penolakan para pihak untuk melakukan pembicaraan guna menyelesaikan sengketa. Hal ini terjadi pada kasus gugatan yang diajukan oleh Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Dimana RRT sebagai tergugat enggan untuk mengikuti persidangan arbitrase dan menyatakan tidak akan mengakui apapun putusan arbitrase nantinya127. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa di Laut China Selatan mendapat hambatan dari RRT sebagai tergugat (faktor internal). Sikap RRT ini akan membuat penyelesaian sengketa di Laut China Selatan semakin sulit.

Intervensi atau ikut campur negara lain dalam sengketa Laut China Selatan juga bisa menghambat penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Sengketa di Laut China Selatan menjadi sorotan dunia sehingga banyak negara-negara yang ikut melibatkan diri meskipun secara geografis negara tersebut tidak berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, misalnya saja Amerika Serikat. Dalam sengketa-sengketa yang terjadi di Laut China Sengketa sering kali AS ikut campur di dalamnya, termasuk juga sengketa reklamasi Laut China Selatan ini. Memang ikut campurnya AS di dalam sengketa Laut China Selatan ini dengan niat baik untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di Laut China Selatan. Namun terkadang sikap AS ini malah memperburuk keadaan. Seperti yang terjadi pada sengketa reklamasi Laut China Selatan, dimana AS menentang reklamasi yang dilakukan oleh RRT di Laut China Selatan. AS meminta RRT untuk menghentikan reklamasi di Laut China Selatan, namun RRT tidak mau menghentikan reklamasi. Sikap RRT tersebut membuat AS mengirimkan

127

http://news.okezone.com/read/2015/07/09/18/1179241/sengketa-laut-china-selatan-china-abaikan-keputusan-mahkamah-internasional, diakses pada tanggal 06 Januari 2016


(47)

pesawat-pesawat tempur dan kapal-kapal tempurnya untuk berpatroli di wilayah Laut China Selatan. RRT juga mensiagakan kapal-kapal angkatan laut nya di sekitar Laut China Selatan. Hal ini sempat memicu ketegangan bagi negara-negara di sekitar wilayah Laut China Selatan termasuk Indonesia128. Sikap AS untuk ikut campur dalam sengketa Laut China Selatan ini memperburuk keadaan dan menghambat penyelesaian sengketa di Laut China Selatan.

Sebelum-sebelumnya telah dijelaskan bahwa Laut China Selatan merupakan laut setengah tertutup (semi enclosed sea), yang berarti bahwa Laut China Selatan dikelilingi oleh banyak negara. Banyaknya negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan ini menyebabkan banyaknya kepentingan-kepentingan di Laut China Selatan. Kepentingan-kepentingan ini sering kali bertentangan antar satu negara dengan negara lain. Bukan hanya kepentingan mereka yang berbeda, dalam hal mengklaim juga negara-negara tersebut sering bertentangan. Hal-hal seperti ini juga bisa menghambat penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Perbedaan kepentingan-kepentingan dan perbedaan dasar klaim negara-negara tersebut akan menyulitkan penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Selain itu, perbedaan-perbedaan pendapat atau pemikiran dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan juga bisa menghambat jalannya penyelesaian sengketa di Laut China Selatan.

Sengketa di Laut China Selatan bukan merupakan isu baru. Sengketa di Laut China Selatan sudah sering kali terjadi. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian sengketa di Laut China Selatan belum berjalan baik. Seharusnya apabila sebuah sengketa yang terjadi telah ditemukan penyelesaiannya, maka

128

http://international.sindonews.com/read/1056802/42/meski-tegang-kapal-perang-as-dan-china-tak-terjadi-insiden-1446002831, diakses pada tanggal 06 Januari 2016


(48)

untuk ke depannya diharapkan tidak akan terjadi lagi sengketa yang sama. Namun hal ini berbeda di Laut China Selatan. Sengketa di Laut China Selatan berulang kali terjadi. Banyaknya hambatan-hambatan dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan ini yang menyebabkan sengketa-sengketa di Laut China Selatan terus menerus terjadi.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa di Laut China Selatan sulit berjalan karena banyaknya hambatan-hambatan. Namun hambatan terbesar yang menghalangi suatu penyelesaian sengketa adalah niat dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Apabila dari awal tidak ada iktikad baik dari pihak-pihak yang bersengketa maka tidak akan tercapai suatu penyelesaian. Demikian juga hal nya yang terjadi di Laut China Selatan. Penyelesaian sengketa di Laut China Selatan tidak akan tercapai apabila negara-negara yang terlibat tersebut tidak beriktikad baik untuk menyelesaikan sengketanya. Iktikad baik inilah yang membuktikan bahwa negara tersebut memang bermaksud untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Apabila tidak ada iktikad baik, maka sengketa di Laut China Selatan tidak akan pernah selesai sampai kapanpun.


(49)

BAB V PENUTUP

Pada BAB ini akan diuraikan kesimpulan dari pembahasan dan sekaligus memberikan saran-saran.

A. Kesimpulan

1. Status Laut China Selatan adalah sebagai laut yang berbatasan dengan banyak negara pantai. Sedangkan kedudukan Laut China Selatan adalah sebagai laut setengah tertutup. Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup dikelilingi setidaknya oleh 8 negara, yaitu RRT, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Status dan kedudukan Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup inilah yang sering menimbulkan sengketa atau konflik di wilayah Laut China Selatan. Banyaknya negara-negara yang mengililingi Laut China Selatan menyebabkan banyaknya kepentingan-kepentingan di wilayah Laut China Selatan. Kepentingan-kepentingan-kepentingan ini biasanya bertentangan antara satu negara dengan negara lain sehingga menimbulkan sengketa atau konflik.

2. Tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT di wilayah Laut China Selatan sejatinya bertentangan dengan hukum laut internasional, yaitu UNCLOS 1982 dan DOC 2002. Di dalam UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa bagi laut setengah tertutup harus diadakan kerja sama di antara negara-negara yang berbatasan dengan laut tersebut dalam mengelola sumber daya laut tersebut. Namun tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT adalah tindakan sepihak dan bukan merupakan bentuk kerja


(50)

sama. Selain itu RRT juga mengklaim hampir keseluruhan wilayah Laut China Selatan yang mana klaimnya tumpang tindih dengan wilayah laut negara lain.

3. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, khususnya sengketa yang timbul karena tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh UNCLOS 1982 dan DOC 2002. UNCLOS 1982 dan DOC 2002 mendukung cara-cara damai dalam menyelesaikan suatu sengketa. Oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan khususnya sengketa reklamasi ini harus dilakukan dengan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai, seperti : negoisasi, mediasi, konsiliasi, penyelesaian melalui organisasi internasional, arbitrase, Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional Hukum Laut, dan penyelesaian sengketa secara damai lainnya.

B. Saran

1. Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup sebaiknya dilakukan kerja sama di antara negara-negara yang berbatasan dengannya dalam pengelolaan sumber daya hayati, sehingga akan mencegah terjadinya sengketa atau konflik di Laut China Selatan.

2. Sengketa atau konflik yang terjadi di Laut China Selatan, termasuk sengketa yang timbul karena reklamasi yang dilakukan oleh RRT ini, terjadi karena ketidaktaatan negara-negara kepada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UNCLOS 1982 dan DOC 2002. Oleh karena itu,


(51)

sebaiknya negara-negara tersebut untuk lebih taat lagi kepada ketentuan UNCLOS 1982 dan agar dibentuk sebuah kode etik yang lebih mengikat di Laut China Selatan agar tidak terjadi lagi sengketa atau konflik di wilayah Laut China Selatan.

3. Dalam menyelesaikan sengketa atau konflik di Laut China Selatan, negara-negara sebaiknya menyelesaiakannya sengketa atau konflik di Laut China Selatan dengan cara-cara yang damai sesuai dengan yang diatur oleh UNCLOS 1982 dan DOC 2002.


(1)

1. Orang tua saya yang telah menjadi orang tua terhebat yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada saya.

2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta Bapak Dr. Ok Saidin, SH.M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Chairul Bariah, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH.,MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Arif, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

7. Kepada kakek dan nenek saya yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada saya.

8. Kepada paman dan bibi saya yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada saya.


(2)

9. Kepada adik-adik saya serta seluruh keluarga besar, terima kasih atas segala perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

10. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

11. Seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta membantu saya dalam proses administrasi selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Kepada seluruh teman-teman yang selalu menemani dan membantu saya dalam proses pembuatan skripsi saya ini.

13. Kepada teman-teman seperjuangan, Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2012

14. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2016


(3)

ABSTRAK

Wahyudi Agung Pamungkas* Suhaidi**

Arif ***

Wilayah suatu negara terdiri dari wilayah daratan, udara, dan juga lautan. Setiap negara pasti memiliki wilayah daratan dan wilayah udara. Namun tidak semua negara memiliki wilayah lautan. Wilayah lautan juga menjadi sangat penting dikarenakan sebagian besar dari bumi yang kita huni adalah wilayah lautan. Oleh karena itu wilayah lautan ini menyimpan berbagai sumber daya yang efektif dan potensial. Demikian juga halnya dengan Laut China Selatan. Laut China Selatan bila ditinjau dari letak geografis nya merupakan daerah yang memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis baik bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan maupun yang tidak. Laut China Selatan memiliki peranan yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia. Selain itu Laut China Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran penting dan merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Berdasarkan letak geografisnya juga dapat dilihat bahwa Laut China Selatan merupakan kawasan laut setengah tertutup karena dikelilingi oleh beberapa negara. Kondisi-kondisi yang demikian tersebut sering menyebabkan terjadinya sengketa atau konflik di Laut China Selatan. Salah satu sengketa atau konflik yang terjadi adalah sengketa atau konflik yang berkaitan dengan tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok di wilayah Laut China Selatan.

Adapun yang menjadi permasalahan yaitu bagaimana status dan kedudukan Laut China Selatan menurut hukum laut internasional, bagaimana tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh Republik Rakyat Tiongkok menurut hukum laut internasional, dan bagaimana upaya-upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan terkait dengan reklamasi Laut China Selatan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

Status Laut China Selatan adalah sebagai laut yang berbatasan dengan banyak negara pantai. Sedangkan kedudukan Laut China Selatan adalah sebagai laut setengah tertutup. Status dan kedudukan Laut China Selatan inilah yang sering menimbulkan sengketa atau konflik di wilayah Laut China Selatan. Salah satu sengketa atau konflik yang terjadi di Laut China Selatan adalah sengketa atau konflik yang berkaitan dengan tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok. Tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok di wilayah Laut China Selatan sejatinya bertentangan dengan hukum laut internasional, yaitu UNCLOS 1982 dan DOC 2002. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, khususnya sengketa yang timbul karena tindakan reklamasi yang dilakukan oleh RRT seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh UNCLOS 1982 dan DOC 2002, yaitu cara penyelesaian sengketa secara damai. Dan yang menjadi saran dalam penulisan ini adalah bahwa untuk mencegah sengketa atau konflik di Laut China Selatan perlu untuk dilakukan kerja sama di antara negara-negara di sekitar wilayah Laut China Selatan dan perlu dibentuk suatu kode etik berperilaku di Laut China Selatan yang lebih mengikat. Dan agar upaya-upaya penyelesaian sengketa atau konflik di Laut China Selatan dilakukan dengan cara-cara damai.

*


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Penelitian... 18

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II STATUS DAN KEDUDUKAN LAUT CHINA SELATAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL A. Sejarah Konflik Laut China Selatan ... 23

B. Status dan Kedudukan Laut China Selatan ... 27

C. Sengketa-Sengketa Yang Terjadi di Laut China Selatan ... 35

BAB III TINDAKAN REKLAMASI LAUT CHINA SELATAN OLEH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK A. Reklamasi Laut China Selatan Oleh Republik Rakyat Tiongkok ... 46


(5)

B. Dasar Republik Rakyat Tiongkok Dalam Mereklamasi Laut China Selatan ... 54 C. Tindakan Republik Rakyat Tiongkok Dalam Mereklamasi Laut China

Selatan Menurut Hukum Laut Internasional ... 57

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI LAUT CHINA SELATAN

A. Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Laut Internasional ... 68 B. Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa di Laut China Selatan ... 80 C. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Sengketa di

Laut China Selatan ... 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 90 B. Saran ... 91


(6)

DAFTAR GAMBAR

I. Peta Laut China Selatan ... 32

II. Wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh RRT ... 48

III. Reklamasi di Pulau Subi Reef ... 52

IV. Reklamasi di Pulau Fiery Cross Reef ... 53

V. Reklamasi di Pulau Mischief Reef ... 53

VI. Peta eleven dash line 1947 ... 56