Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi mengenai teori yang mendasari masalah objek penelitian, yaitu teori
mengenai cyberlaofing meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
cyberloafing, serta teori mengenai gaya kepemimpinan transaksional meliputi definisi gaya

kepemimpinan,

definisi

gaya

kepemimpinan

transaksional,

dan

komponen

gaya


kepemimpinan transaksional.
A. CYBERLOAFING

1. Definisi Cyberloafing
Perilaku kerja menyimpang (deviant work behaviors) merupakan perilaku
karyawan yang dengan sengaja mengabaikan norma-norma organisasi sehingga dapat
mengancam dan menganggu organisasi dan anggotanya (Robinson & Bennet, 1995).
Cyberloafing merupakan salah satu perilaku kerja menyimpang yang termasuk

kedalam kategori penyimpangan produksi. Cyberloafing didefinisikan sebagai
penyalahgunaan internet perusahaan untuk urasan pribadi, seperti membaca informasi
di situs-situs berita, games dan entertainment, memeriksa email pribadi, dan
menjelajahi situs-situs lainnya.
Ada beberapa pendekatan dan definisi yang digunakan untuk penggunaan
internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dalam organisasi. Cyberloafing,
cyberslacking, dan non-work related computing merupakan istilah umum yang sering

digunakan dalam menggunakan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
(Malhotra, 2013). Robinson & Bennet (1995) mengartikan cyberloafing sebagai

penyimpangan kerja mengacu pada perilaku karyawan secara sukarela melanggar
norma-norma organisasi dan dapat mengancam kesejahteraan organisasi maupun

11

anggotanya. Istilah cyberloafing atau cyberslacking digunakan untuk menjelaskan
tindakan karyawan yang dengan sengaja menggunakan akses internet perusahaan
untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan selama jam kerja (Lim,
2002).
Lim & Teo (2005) menggunakan istilah cyberloafing dengan cyberdeviance
yang berarti tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan selama
jam kerja untuk menelusuri berbagai situs yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
dan mengirim e-mail pribadi. Blanchard & Henle (2008) mendefinisikan cyberloafing
sebagai kegiatan menggunakan fasilitas internet dan email di tempat kerja yang
dengan sengaja dilakukan karyawan untuk membuka situs yang tidak mendukung
pekerjaan selama jam kerja. Perilaku karyawan dalam menggunakan berbagai jenis
komputer (desktop, cell-phone, tablet, ipad) baik milik pribadi maupun perusahaan
pada jam kerja untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan juga dapat
dikategorikan sebagai cyberloafing (Askew, 2012).
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para tokoh, peneliti

menyimpulkan cyberloafing sebagai perilaku karyawan yang dengan sengaja
menggunakan fasilitas internet perusahaan (baik dengan menggunakan komputer,
cell-phone, tablet, ipad ) untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan

seperti browsing dan mengirim/menerima email pribadi selama jam kerja sehingga
dapat mengancam kesejahteraan organisasi dan anggotanya.

2. Aktivitas Cyberloafing
Lim & Chen (2009) membedakan cyberloafing menjadi dua aktivitas, yaitu:
a. Emailing Activites

12

Aktivitas emailing ini mengacu pada penggunaan email pribadi yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Menggunakan email pribadi untuk berkomunikasi
dengan orang lain melalui fasilitas internet perusahaan merupakan bukti empiris
yang biasa yang dilakukan oleh karyawan di tempat kerja (Fallows, 2012).
Pengalihan dari membuka email yang berhubungan dengan pekerjaan ke email
pribadi menimbulkan dampak negatif pada pekerjaan karyawan karena karyawan
harus membalas email yang berhubungan dengan pekerjaan dan email pribadi

pada saat yang bersamaan. Meskipun dalam peraturan perusahaan seorang
karyawan harus mengabaikan email pribadi, penelitian sebelumnya menemukan
bahwa karyawan memiliki keinginan untuk membalas semua email yang masuk
tanpa melihat tujuan pesan tersebut (pribadi atau pekerjaan). Membuka, membaca,
mengirm, maupun menerima email merupakan bentuk aktivitas dari emailing.
b. Browsing Activities
Aktivitas browsing mengacu pada penggunaan web browser

dalam

menjelajahi berbagai situs internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
selama jam kerja. Browsing situs berita, selebriti, olahraga, musik, dan situs-situs
lainnya merupakan contoh aktivitas yang dilakukan pada tipe cyberloafing ini.
Aktivitas ini membuat karyawan menghabiskan waktunya untuk membuka
berbagai situs internet hanya dengan mengklik websites yang ada.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing
Ozler & Polat (2012) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi cyberloafing,
yaitu:
1) Faktor Individual


13

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011). Faktorfaktor tersebut antara lain:
a. Perception and Attitudes (Persepsi dan Sikap)
Liberman, Seidman, Katelyn, & Laura (2011) berpendapat, individu yang
memiliki sikap positif terhadap komputer memiliki kecenderungan
menggunakan komputer dengan alasan pribadi di tempat kerja dan terdapat
hubungan positif antara sikap mendukung cyberloafing dengan perilaku
cyberloafing. Hasil penelitian juga menunjukkan, karyawan yang terlibat

dalam cyberloafing minor tidak mengakui perilaku mereka sebagai
perilaku menyimpang.

Sementara

karyawan

yang terlibat


dalam

cyberloafing parah (serious cyberloafing ) mengakui jika hal tersebut

merupakan perilaku menyimpang dan sama sekali tidak diperbolehkan di
tempat kerja (Blanchard & Henle, 2008). Individu yang merasa bahwa
penggunaan internet dapat memudahkan pekerjaannya, cenderung untuk
terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011).
b. Personal Traits
Perilaku pengguna internet merefleksikan berbagai jenis motif-motif
psikologis (Johnson & Culpa, 2007). Personal traits seperti rasa malu,
kesepian, isolasi, kontrol diri, self-esteem, locus of control dapat
mempengaruhi pola penggunaan internet. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa individu yang pemalu dan kurang percaya diri cenderung untuk
terlibat dalam menggunakan internet (Chak & Leung, 2004).
c. Habbits and Internet Addiction (Kebiasaan dan Kecanduan pada Internet)

14


Woon & Pee (2004) mengatakan, kebiasaan terjadi karena adanya
serangkaian situasi-perilaku yang menjadi otomatis dan terjadi tanpa
adanya perintah dari diri, kognisi, dan pertimbangan dalam menanggapi
isyarat tertentu di lingkungan. Hubungan antara kebiasaan dengan
cyberloafing dapat memprediksi perilaku individu (Vitak et al, 2011).

Semakin tinggi tingkat kecanduan internet semakin tinggi pula tingkat
penyalahgunaan internet oleh individu (Chen & Charlie, 2008).
d. Demographic Factors (Faktor Demografi)
Status pekerjaan, persepsi otonomi di tempat kerja, tingkat pendapatan,
pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor utama dari
cyberloafing (Garret & Danziger, 2008). Berdasarkan hasil penelitian,

penggunaan internet secara pribadi di tempat kerja merupakan kegiatan
yang lebih sering dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang
pendidikan tinggi dan status yang tinggi di tempat kerja (Ozler & Polat,
2012).

Berdasarkan


jenis

kelamin,

terdapat

perbedaan

kegiatan

penggunaan internet oleh pria dan wanita. Pria lebih cenderung
menggunakan internet untuk permainan-permainan online, sedangkan
wanita lebih memilih untuk berkomunikasi dengan orang lain secara online
(Chak & Leung, 2004).
e. Intention to Engage, Social Norms, and Personal Ethical Codes
(Keinginan untuk Terlibat, Norma-Norma Sosial, dan Kode Etik Personal)
Sebagai perilaku normatif-kontrol, penyalahgunaan internet diharapkan
memiliki hubungan perilaku minat yang rendah karena adanya tekanan
dari luar terhadap diri sendiri (Woon & Pee, 2004). Hasil penelitian
menunjukkan, persepsi individu mengenai larangan etis terhadap


15

cyberloafing

berhubungan

negatif

dengan

penerimaan

perilaku

cyberloafing dan berhubungan positif dengan keinginan individu untuk

melakukan cyberloafing. Keyakinan normatif individu (misal: secara
moral cyberloafing tidak dibenarkan) mengurangi keinginan individu
untuk melakukan cyberloafing (Vitak et al, 2011).


2) Faktor Organisasional
Organisasi juga dapat menyebabkan individu melakukan cyberloafing .
Adapun faktor-faktor dari organisasi antara lain:
a. Restrictions on Internet Use (Batasan-Batasan dalam Menggunakan
Internet)
Dengan membatasi karyawan menggunakan komputer saat bekerja baik
melalui kebijakan organisasi maupun larangan penggunaan teknologi di
tempat kerja, dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan
internet untuk alasan pribadi sehingga organisasi tersebut dapat
meningkatkan regulasi diri karyawan (Garret & Danziger, 2008). Selain
itu, karyawan yang mendapatkan hukuman berat saat menggunakan
internet juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011).
b. Anticipated Outcomes (Hasil yang Diharapkan)
Karyawan memutuskan untuk sengaja menggunakan internet pada jam
kerja dikarenakan adanya harapan untuk membandingkan bahwa karyawan
dapat melawan keinginan untuk menggunakan internet atau karyawan
menerima konsekuensi negatif (Garrett & Danziger, 2008). Penelitian
menunjukkan, kegiatan cyberloafing karyawan berkurang apabila persepsi
karyawan terhadap perilaku tersebut memiliki konsekuensi negatif yang


16

sangat buruk pada organisasi dan menyakiti minat pribadi karyawan
(Blanchard & Henle, 2008).
c. Managerial Support (Dukungan Manajerial)
Dukungan manajerial dalam menggunakan internet perusahan tanpa
adanya

informasi

yang

spesifik

mengenai

penggunaan

internet

memberikan peluang besar bagi karyawan untuk menggunakan internet
secara pribadi. Karyawan dapat menyalahartikan bentuk dukungan ini
sehingga

mereka

menggunakan

semua

jenis

internet

termasuk

cyberloafing. Hasil penelitian menemukan bahwa penggunaan internet

secara rutin berhubungan dengan perilaku cyberloafing (Garret &
Danziger, 2008; Vitak et al, 2011). Garret & Danziger (2008) mengatakan,
karyawan akan memanfaatkan internet untuk tujuan pribadi ketika internet
menjadi bagian dari prosedur standar kerja karyawan. Apabila ini
dilakukan secara terus-menerus maka menggunakan internet untuk tujuan
pribadi menjadi hal yang wajar sehingga menyebabkan munculnya
perilaku cyberloafing.
d. Perceived Coworker Cyberloafing Norms (Persepsi Rekan Kerja terhadap
Norma Cyberloafing)
Blau, Yang, & Ward-Cook (2004) mengatakan, karyawan melihat rekan
kerja sebagai contoh peran dalam organisasi dan perilaku cyberloafing
dipelajari melalui perilaku yang dapat diamati langsung di lingkungan
organisasi (Liberman et al, 2011). Individu menggunakan iklim normatif
sebagai bentuk pembenaran untuk melakukan perilaku cyberloafing yang
ditetapkan oleh rekan kerja mereka (Lim & Theo, 2005). Individu yang

17

mengetahui jika rekan kerjanya melakukan perilaku cyberloafing juga ikut
terlibat untuk melakukan perilaku tersebut (Weatherbee, 2010).
e. Employee Job Attitudes (Sikap Kerja Karyawan)
Tindakan penyimpangan di tempat kerja seperti cyberloafing merupakan
respon emosi karyawan yang merasa gagal terhadap pekerjaannya. Hal
inilah yang mengakibatkan sikap kerja karyawan dapat mempengaruhi
cyberloafing (Lieberman et al, 2011). Penelitian sebelumnya yang

dikemukakan oleh Garret & Danziger (2008) mengatakan, karyawan
cenderung melakukan perilaku menyimpang ketika karyawan mengalami
sikap kerja yang tidak menyenangkan.
1. Injustice (Ketidakadilan)
Pada tingkat organisasi, rendahnya keadilan dalam organisasi memiliki
pengaruh signifikan terhadap cyberloafing (Lim & Teo, 2005). Lim &
Teo menguji peran dari tiga keadilan berdasarkan variabel dalam
memprediksi cyberloafing. Hasil dari uji tersebut menunjukkan, tiga
bentuk keadilan (distributif, prosedural, dan interaksional) memiliki
hubungan negatif dengan cyberloafing. Pada penelitian sebelumnya,
Lim (2002) mengatakan, saat karyawan mempersepsikan ketidakadilan
dengan

pekerjaannya,

salah

satu

cara

untuk

memperbaiki

keseimbangan adalah melalui cyberloafing. Namun, Garret & Danziger
(2008) tidak menemukan hubungan antara ketidakadilan dalam
organisasi dengan perilaku cyberloafing.
2. Job Commitment (Komitmen Kerja)
Komitmen kerja merupakan faktor pada tingkat individu yang memiliki
peran penting pembentukan penggunaan internet secara pribadi di

18

tempat kerja. Menurut Garret & Danziger (2008), individu yang terikat
secara emosional dengan pekerjaannya merasa jika penggunaan
internet untuk kepentingan pribadi tidak sesuai dengan rutinitas kerja.
Pada individu yang memiliki komitmen, kegiatan yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan dapat menurunkan produktivitas, tidak
sesuai dengan gambaran diri, dan dapat merusak status organisasi.
3. Job Satisfaction (Kepuasaan Kerja)
Kepuasaan kerja menjadi faktor penting yang mempengaruhi
penyalahgunaan internet terhadap hubungan sikap ketidakterlibatan
karyawan dengan aspek-aspek pekerjaan dan keinginan untuk
melalaikan pekerjaan dengan melakukan aktivitas lain. Penelitian
menunjukkan, karyawan dengan tingkat kepuasaan kerja tinggi
memiliki pengaruh positif terhadap penyalahgunaan internet. Menurut
Stanton (2002), orang-orang yang menyalahgunakan internet adalah
karyawan yang cenderung memilki kepuasaan lebih tinggi.
f. Job Characteristics (Karakteristik Pekerjaan)
Karakteristik pekerjaan yang spesifik dapat mengarah pada perilaku
cyberloafing untuk meningkatkan kreativitas atau mengurangi kebosanan.

Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif cenderung memiliki lebih banyak
tuntutan dan tidak membosankan, dan motivasi untuk melakukan
cyberloafing rendah (Vitak et al, 2011).

3) Faktor Situasional
Perilaku menyimpang dalam menggunakan internet biasanya terjadi ketika
karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja. Situasi demikian

19

menjadi

pemicu

yang

memediasi

munculnya

perilaku

cyberloafing

(Weatherbee, 2010). Peneliti menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik
dengan supervisor dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing secara tidak
langsung melalui persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Adanya
kebijakan formal dan sanksi dari organisasi mengenai karyawan yang terlibat
dalam cyberloafing dapat menurunkan perilaku cyberloafing. Blanchard &
Henle (2008) juga mengatakan, persepsi karyawan terhadap organisasi yang
mengatur sanksi berpengaruh pada cyberloafing.
Berdasarkan

penjelasan

diatas

mengenai

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

cyberloafing, peneliti berfokus pada managerial support sebagai faktor yang

mempengaruhi cyberloafing. Dalam penelitian ini, managerial support yang
dimaksud adalah pemimpin dan gaya kepemimpinan transaksional digunakan peneliti
untuk melihat pengaruh pemimpin terhadap perilaku cyberloafing .

B. GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
1. Definisi Gaya Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat
mempengaruhi kelompok dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Robbins, 2006).
Gaya kepemimpinan adalah suatu pola tingkah laku yang dirancang agar dapat
mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu sehingga tujuan dapat
tercapai (Heidjrachman & Husnan, 2000). Pendapat lain mendefinisikan gaya
kepemimpinan sebagai cara yang dipilih oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku karyawan dalam organisasi
(Nawawi, 2006).

20

Teori gaya kepemimpinan transaksional dikonseptualisasikan oleh James
MacGregor Burns (1978) dan dikembangkan oleh Bernard Bass (1985). Menurut
Burns (1978) kepemimpinan transaksional terjadi ketika seseorang memiliki inisiatif
dalam berhubungan dengan orang lain untuk tujuan pertukaran hal yang memiliki
nilai. Sedangkan Bass (1985) memfokuskan kepemimpinan transaksional kepada
pertukaran hubungan antara pemimpin dan karyawan untuk memenuhi kebutuhannya
masing-masing.
Gaya kepemimpinan transaksional memotivasi karyawan melalui adanya
pertukaran hadiah (reward), pujian (praise), dan janji (promise). Kepemimpinan
transaksional berfokus pada penyimpangan (deviances), kesalahan (mistakes), dan
error yang dilakukan karyawan dan memperbaiki hal tersebut secepat mungkin

setelah penyimpangan dan kesalahan terjadi (Avolio, Bass, & Jung, 1999). Pemimpin
menggunakan gaya kepemimpin transaksional sebagai model untuk memperhatikan
kerja karyawan akan penyimpangan dan kesalahan. Bass (2008) menegaskan
kepemimpinan transaksional menggunakan model pertukaran dengan memberikan
hadiah pada pekerjaan yang baik ataupun hasil yang memuaskan.
Berdasarkan definisi di atas, gaya kepemimpinan transaksional dapat
disimpulkan sebagai gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk
memotivasi karyawan melalui hadiah, pujian, dan janji dengan memperhatikan kerja
karyawan melalui penyimpangan, kesalahan, dan eror serta secepat mungkin
memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi untuk mencapai sebuah
tujuan.

2. Komponen Gaya Kepemimpinan Transaksional
Ada 3 komponen gaya kepemimpinan transaksional (Bass & Riggio, 2006), yaitu:

21

a. Contingent Reward
Contingent reward atau contingent penalization diberikan ketika tujuan dapat

diselesaikan tepat waktu maupun sebelum waktu yang ditentukan dan menjaga
agar karyawan tetap bekerja dengan performa yang sama sampai pekerjaan
selesai. Contingent reward digunakan untuk memotivasi karyawan dalam
mencapai performa kerja yang telah disepakati. Contingent reward, seperti
pujian, merupakan hadiah yang diberikan kepada karyawan yang berusaha dan
sebagai pengakuan terhadap performa kerja yang baik. Sedangkan bagi karyawan
yang kualitas dan kuantitas performanya berada di bawah standar yang telah
ditentukan atau tujuan dan tugas-tugas yang diberikan tidak tercapai sama sekali
akan mendapatkan contingent punishments, seperti pemecatan.
b. Management by Exception Active
Dalam hal ini pemimpin selalu melakukan pengawasan terhadap karyawannya
secara direktif dengan mengawasi proses pelaksanaan tugas karyawan secara
langsung. Tujuan pengawasan ini dilakukan untuk mengantisipasi dan
meminimalisasikan tingkat kesalahan yang dapat terjadi selama proses kerja
berlangsung. Kepemimpinan transaksional tidak segan untuk memeriksa dan
mengevaluasi langsung kinerja karyawan sekalipun proses kerja belum selesai.
Hal ini bertujuan agar karyawan mampu bekerja berdasarkan standar dan
prosedur kerja yang sudah ditetapkan dalam organisasi.
c. Management by Exception Passive
Tidak seperti management by exception active yang mengawasi tugas
karyawan, pada management by exception passive pemimpin secara pasif
menunggu terjadinya penyimpangan, kesalahan, dan eror yang dilakukan
karyawan

kemudian

memperbaiki

kesalahan

tersebut.

Pemimpin

juga

22

memberikan standar-standar tertentu untuk dicapai oleh karyawan dan kemudian
memberikan penilaian terhadap kinerja kerja karyawan. Penilaian dapat dilakukan
dengan atau tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan karyawan.
Peringatan dan hukuman dapat diberikan apabila karyawan melakukan kesalahan
selama proses kerja. Namun, jika proses kerja yang dilaksanakan berjalan sesuai
standar dan prosedur kerja, pemimpin tidak akan memberikan sanksi apapun
kepada karyawannya.

C. PERANAN

GAYA

KEPEMIMPINAN

TRANSAKSIONAL

TERHADAP

PERILAKU CYBERLOAF ING
Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam organisasi, seperti
pencurian di tempat kerja oleh karyawan, perkataan kasar yang menyinggung
perasaan, penyerangan secara fisik, cyberloafing, maupun sikap tidak sopan
antarkaryawan (Robbins, 2004). Pada saat ini, salah satu fenomena yang sering terjadi
diberbagai organisasi seiring dengan kemajuan teknologi adalah cyberloafing.
Cyberloafing merupakan perilaku karyawan yang dengan sengaja menggunakan

internet perusahaan untuk browsing berbagai situs internet dan membuka email
pribadi (Lim, 2002).
Individu yang dapat mempengaruhi perilaku karyawan agar dapat bekerja
sama dan bekerja secara produktif sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan
baik dikenal dengan sebutan pemimpin (Hasibuan, 2008). Salah satu peran pemimpin
dalam sebuah organisasi adalah peran pengambilan keputusan. Artinya, pemimpin
memiliki tanggung jawab untuk membagi sumber dana dan sumber daya kepada
karyawan yang meliputi aturan dan pembagian tugas, penempatan posisi karyawan,
mempromosikan karyawan maupun menurunkan jabatan karyawan (Sutrisno, 2010).

23

Adanya aturan yang jelas dalam organisasi membuat karyawan berperilaku sesuai
dengan aturan yang ada sehingga dapat meminimalkan perilaku yang tidak diinginkan
termasuk cyberloafing (Garret & Danziger, 2008).
Trevino dan Brown (2005) mengatakan, gaya kepemimpinan transaksional
berhubungan negatif dengan cyberloafing. Gaya kepemimpinan transaksional dikenal
dengan hubungan pertukaran (exchange relationship ) dimana pemimpin dipercaya
memiliki kekuatan mutlak untuk mempengaruhi karyawan melalui hadiah dan
hukuman sehingga karyawan diharapkan dapat melakukan tugas sesuai dengan yang
diperintahkan. Adanya hubungan pertukaran tersebut dapat mengurangi perilaku
karyawan untuk terlibat dalam cyberloafing.
Bass (1990) menjelaskan, pemimpin dengan gaya kepemimpinan transaksional
mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelaskan kepada karyawan
imbalan yang akan didapatkan apabila hasil kerjanya sesuai dengan harapan. Imbalan
yang diperoleh bisa berupa contingent reward (pujian, hadiah, maupun promosi
jabatan) sehingga karyawan termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tepat
waktu dan hasil yang memuaskan. Penerapan contingent reward dalam bekerja dapat
mengurangi perilaku cyberloafing karyawan karena adanya motivasi untuk
memperoleh hadiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Judge dan Piccolo (2004) yaitu,
contingent reward memiliki hubungan positif dengan motivasi karyawan.

Selain contingent reward , perilaku cyberloafing juga dapat dikendalikan
melalui management by exception . Menurut Avolio (1999), pada management by
exception active pemimpin akan mengawasi tugas yang dikerjakan karyawan dan

mengoreksi tugas tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Pengawasan
dapat dilakukan pemimpin dengan sistem pemantuan elektronik yang memudahkan
pemimpin untuk memantau dan mengamati perilaku karyawan. Menurut Chen, sistem

24

pemantauan elektronik ini dapat digunakan untuk memerangi perilaku cyberloafing
dengan cara menolak semua akses situs yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
dan penggunaan email pribadi oleh karyawan di tempat kerja (Ozler & Polat, 2012).
Avolio (1999) menjelaskan, pada management by exception passive pemimpin
akan memberikan punishment jika tugas yang dilakukan karyawan tidak relevan
dengan tugas yang telah ditentukan organisasi dan tidak mencapai tujuan organisasi.
Perilaku cyberloafing yang dilakukan karyawan dapat menghambat terlaksananya
tugas dan tercapainya tujuan organisasi. Vitak et al (2011) mengatakan, karyawan
yang mendapatakan hukuman berat saat menggunakan internet dapat mengurangi
perilaku cyberloafing.
Berdasarkan pemaparan mengenai dinamika kedua variabel di atas, gaya
kepemimpinan transaksional memiliki pengaruh dalam perilaku cyberlaofing . Oleh
karena itu, peneliti ingin melihat pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap
perilaku cyberloafing pada pegawai negeri sipil.

D. HIPOTESIS PENELITIAN
Pada penelitian ini, hipotesis diajukan sebagai jawaban sementara terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan oleh peneliti. Adapaun hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah “terdapat pengaruh negatif gaya kepemimpinan
transaksional terhadap perilaku cyberloafing pada PNS”.

25

Dokumen yang terkait

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PROYEK KONSTRUKSI.

0 8 13

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN KEPUASAN PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT. MADU BARU YOGYAKARTA.

0 4 17

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP PRODUKTIVITAS KARYAWAN DENGAN MOTIVASI SEBAGAI INTERVENING VARIABEL (Studi P

0 2 13

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

0 0 11

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

1 1 2

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

0 1 10

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

1 3 7

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional terhadap Perilaku Cyberloafing pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar Desima Verawaty Siregar dan Siti Zahreni

3 5 20

pengaruh gaya kepemimpinan transaksional. docx

0 0 1

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL dan

0 0 11