Kualitas Tidur dan Gangguan Tidur Klien dengan Rheumatoid Arthritis di Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Bab 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Rheumatoid Arthritis adalah penyakit peradangan sistemis kronis yang

tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi pada sendi perifer dengan pola
simetris (Helmi, 2013). Rheumatoid arthritis dapat terjadi pada semua umur dari
kanak-kanak sampai usia lanjut dan gangguan rematik akan meningkat dengan
meningkatnya umur. (Felson, 1993, Soenarto dan Wardoyo, 1994). Lebih dari 355
juta orang di dunia ternyata menderita penyakit rematik. Itu berarti, diperkirakan
angka ini terus meningkat hingga tahun 2025. Insidensi rheumatoid arthritis lebih
banyak mengenai wanita dibanding pria dengan perbandingan 2-3:1.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa 20%, penduduk
dunia terserang penyakit rheumatoid arthritis (Wiyono, 2010). Prevalensi kasus
rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% sementara di

Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009). Angka kejadian rheumatoid arthritis
di Indonesia pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%.
Pada anak dan remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah
penderita rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih. Hasil penelitian
untuk wilayah Provinsi Sumatera Utara sebanyak 20,2%. Jumlah penderita

rheumatoid arthritis di Puskesmas Stabat pada tahun 2013 adalah 255 penderita.

Penderita rheumatoid arthritis umumnya mengalami berbagai kondisi
klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak

1

1
Universitas Sumatera Utara

2

pada sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban, denyut jantung
cepat, tekanan darah menurun, ketidakmampuan untuk mengkonsumsi makanan
(mual). Anoreksia, kesulitan untuk mengunyah, kebas atau kesemutan pada tangan
dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan, keadaan mudah lelah, perubahan citra
diri serta gangguan tidur (Kisworo, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penderita rheumatoid arthritis mengalami nyeri dan keterbatasan pada mobilitas
sehingga berdampak pada kualitas tidur yang buruk. Sedangkan faktor lingkungan
seperti suhu ruangan yang terlalu panas atau terlalu dingin, suara bising, cahaya

yang terlalu terang, serta ruang dan ukuran tempat tidur juga dapat menyebabkan
gangguan tidur (Potter & Perry, 2005). Hal ini tentunya juga akan mengakibatkan
kondisi kesehatan pada penderita rheumatoid arthritis mengalami kelemahan pada
keesokan harinya, rentan terhadap efek stress baik fisik maupun mental,
kecemasan, mudah tersinggung, gangguan penilaian (Chopra, 2003) dan
menghambat seseorang melakukan kegiatannya bahkan apabila hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama tentunya akan menyebabkan individu mengakibatkan
peningkatan risiko penyakit yang dideritanya.
Penelitian yang dilakukan oleh University of Pittsburgh School of Nursing
terdapat 162 pasien dengan rheumatoid arthritis, penelitian tersebut dilakukan
dengan cara pemeriksaan silang antara kualitas tidur dengan cacat fungsional.
University of Pittsburgh School of Nursing mengungkapkan bahwa sulit tidur

memiliki dampak negatif terhadap kesehatan pasien yang mengalami rheumatoid
arthritis (Eya, 2011).

Universitas Sumatera Utara

3


Berdasarkan data dari Dinas kesehatan kota Medan tahun 2012 bahwa ada
10 penyakit yang sering terjadi di Puskesmas, yaitu ISPA, hipertensi, penyakit
pada sistem otot dan jaringan ikat, penyakit kulit infeksi, diare, penyakit vulva dan
jaringan periapikal, penyakit kulit (alergi), tonsillitis, radang gusi, dan penyakit
oriperiodental.
Kualitas tidur dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur
dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga seseorang
tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu
dan apatis, kehitaman sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah,
mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau
mengantuk (Hidayat, 2006).
Selanjutnya (Japardi, 2002) menjelaskan bahwa semua lapisan masyarakat
dapat mengalami gangguan tidur dan yang paling sering ditemukan pada lansia
dengan atau tanpa rheumatoid arthritis. Gangguan tidur merupakan salah satu
keluhan pada penderita rheumatoid arthritis. Gangguan tidur yang umum dialami
adalah
insomnia, disomnia, hipersomnia, parasomnia, narkolepsi , obstructive sleep
apnea (OSA), Restless Legs Syndrome (RLS), somnabolisme, somniloquy, Pavor
Nocturnus (terror tidur), dan REM Behavior Disoerder (RBD) (Siregar-Mukhlidar,


2011).
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui
“Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur Klien Dengan Rheumatoid Arthritis Di
Puskesmas Stabat”.

Universitas Sumatera Utara

4

2. Pertanyaan Penelitian
2.1.Bagaimana kualitas tidur pada klien rheumatoid arthritis di Puskesmas
Stabat?
2.2.Bagaimanakah gangguan tidur pada klien rheumatoid arthritis di
Puskesmas Stabat?

3. Tujuan Penelitian
3.1 Mengidentifikasi kualitas tidur pada klien rheumatoid arthritis di
Puskesmas Stabat.
3.2 Mengidentifikasi gangguan tidur pada klien rheumatoid arthritis di
Puskesmas Stabat.


4. Manfaat Penelitian
4.1 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi pendukung dalam pendidikan
keperawatan terkait dengan pemberian asuhan keperawatan terhadap
kualitas tidur dan gangguan tidur klien rheumatoid arthritis.
4.2 Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan evidence based practice yang dapat
dijadikan sebagai masukan bagi pelayanan keperawatan. Khususnya
tentang kualitas tidur dan gangguan tidur pada klien rheumatoid arthritis.
4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan data dasar dan sebagai data tambahan yang
dapat dijadikan sebagai referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

5

dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan, serta menjadi
tambahan kepustakaan tentang kualitas tidur dan gangguan tidur


Universitas Sumatera Utara