MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PANDANGAN

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PANDANGAN ISLAM TENTANG MANUSIA

DOSEN PEMBIMBING
Siti Rohmah, M.HI

DISUSUN OLEH
Kelompok 3
Muhammad Mayogi
Reyhan Ammar
Rima Madania

JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2016

1

KATA PENGANTAR


Syukur alhamdulillah atas segala karunia dan kesempatan yang diberikan
oleh Allah ‫ ﷻ‬sehingga kami bisa menyelesaikan makalah dengan judul “Makalah
Pendidikan Agama Islam : Pandangan Islam Tentang Manusia”. Makalah ini kami
tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam sesuai dengan
petunjuk dan bimbingan yang diberikan oleh dosen kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan sejumlah
pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah yang kami buat. Saran
dan kritik yang membangun akan sangat kami harapkan untuk perbaikan ke
depan. Tentu saja kami berharap agar makalah ini bisa memberikan menfaat dan
barokah kepada para pembacanya sehingga mampu membawa keselamatan baik
di dunia maupun di akhirat kelak.

Malang, 18 September 2016

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR


2

DAFTAR ISI

3

BAB I: PENDAHULUAN

4

1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat

4
5
5

BAB 2: KAJIAN PUSTAKA


6

2.1. Hakikat Manusia

6

2.2. Asal Usul dan Penciptaan Manusia

10

2.3. Peran dan Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba

14

dan Khalifah Allah
BAB 3: PENUTUP

21


3.1. Kesimpulan

21

3.2. Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

22

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala

sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang
menjadi jiwa sesuatu. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah
diciptakan oleh Allah ‫ﷻ‬. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu
konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dalam salah satu teori, teori psikoanalisis manusia adalah makhluk yang
memiliki prilaku interaksi antara komponen biologis, psikologis, dan sosial. Di
dalam diri manusia terdapat unsur animal (hewan), rasional (akali), dan moral
(nilai). Sedangkan dari Ibnu Sina menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk
sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. Begitu banyak teori yang menjelaskan
tentang hakikat manusia.
Dan asal-usul manusia yang mengatakan bahwa manusia adalah keturunan
dari kera tetapi teori tersebut diruntuhkan oleh para ilmuan atau para evolusionis.
Bahwa manusia bukanlah keturunan dari kera dan juga didalam Al-Qur’an telah
menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia bukan keturunan kera,
melainkan keturunan manusia pertama (Adam) yang diciptakan oleh Allah ‫ ﷻ‬dari
tanah.
Manusia sebagai makhluk pengemban amanah Allah berfungsi sebagai
hambaNya. Hakikat kehambaan kepada Allah adalah ketaatan, ketundukan dan

kepatuhan. Tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah. Manusia di muka
bumi adalah membangun, mengolah dan memakmurkan bumi ini dengan sebaikbaiknya.

4

Dikarenakan pentingnya tiga pokok pembahasan tadi, makalah ini dibuat
sebagai bahan penunjang pembelajaran sekaligus untuk memenuhi tugas mata
kuliah PAI.
1.2.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat manusia dalam pandangan islam?
2. Bagaimana asal usul dan proses penciptaan manusia?
3. Apa aja peran dan tanggug jawab manusia sebagai hamba dan khalifah
Allah?
Tujuan dan Manfaat

1.3.


Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk:
1. Mengetahui hakikat manusia dalam pandangan islam
2. Mengetahui asal usul dan proses penciptaan manusia
3. Mengetahui peran dan tanggung jawab manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah untuk
memperkuat wawasan keislaman dan menambah keimanan seorang muslim secara
umum dan untuk memperkokoh keyakinan keislaman mahasiswa secara khusus.

5

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. HAKIKAT MANUSIA
Hakikat manusia sebagai hamba Allah dapat dipandang dari tiga
perspektif, yaitu perspektif Al Quran, perspektif ilmuwan muslim, dan perspektif
ilmuwan modern.
2.1.1. Perspektif Al Quran

Ada banyak kosakata-kosakata dalam bahasa Arab yang Allah pilih dalam
Alquran seperti : Potensi fisik (Basyar, Al-Insan, An-Nas) dan Potensi rohani ( Alqalb, dan Al-hawa.)


Potensi Fisik

1. Konsep “basyar” dalam Alquran sering dihubungkan dengan sifat-sifat
biologis manusia, seperti asalnya manusia dari tanah liat atau lumping
kering sebagaimana firman Allah pada surah Alhijr : 33. Kata basyar juga
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia melalui tahapan-tahapan
sehingga mencapai tahapan kedewasaan, yaitu menjadikanya mampu
memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula manusia Allah jadikan
sebagai khalifah.
2. Konsep Al-Insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual
manusia sebagai makhluk yang berfikir, diberi ilmu, dan memikul amanah.
Jika dilihat dari asalnya “nasiya” yang artinya lupa, maka apabila manusia
lupa terhadap suatu hal, maka tidak ada dosa baginya. Tetapi apabila
seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu, maka dosa baginya.
3. Konsep An-Nas menunjuk bahwa semua manusia adalah makhluk sosial.


6

Dengan demikian, Alquran memandang manusia memiliki potensi fisik
dalam 3 hal yaitu manusia sebagai makhluk biologis (basyar) ; yaitu manusia
sebagai makhluk yang tunduk pada takdir Allah, psikologis (Al-Insan) dan sosial
(An-Nas) yang bermakna memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau
menentang takdir Allah.


Potensi Rohani
Akal dalam Bahasa Indonesia adalah pikiran atau rasio. Dan akal adalah

ciri teragung manusia yang merupakan alasan manusia di akhirat kelak harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah. Dalam Alquran
akal diartikan dengan kebijaksanaan, intelegensia, dan pengertian.
Alqalb yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Adapun nafsu
adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Nafsu dapat bersifat mendorong manusia kepada hal yang menyebabkan Allah
ridho kepadanya dan dapat pula sebaliknya. Nafsu yang baik telah Allah sebutkan
di dalam surah Alfajr : 27.

2.1.2. Perspektif Ilmuwan Muslim
Ibnu Sina yang terkenal dengan dengan kemampuan filsafatnya
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Yang
dimaksud dengan makhluk sosial adalah manusia dapat mencapai kepuasan dan
memenuhi segala kepuasannya bila hidup bersama manusia. Sedangkan manusia
ekonomi karena manusia selalu memikirkan masa depannya dan menyiapkan
segala sesuatu untuk masa depannya.
Menurut pendapat Murthada Mutahhari, manusia adalah makhluk serba
dimensi, yaitu :
 Dimensi pertama adalah manusia memiliki fisik sama seperti
hewan yang membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah
agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang.

7

 Dimensi kedua yaitu manusia memiliki sejumlah emosiyang
bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari
kerugian.
 Dimensi ketiga yaitu manusia mempunyai perhatian terhadap
keindahan.

 Dimensi keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah
Tuhan.
 Dimensi kelima yaitu manusia memiliki kemampuan dan kekuatan
yang berlipat ganda, karena manusia telah dikaruniai oleh Allah
akal sehingga ia mampu menahan nafsu yang negatif dan dapat
menciptakan keseimbangan dalam hidupnya.
 Dimensi keenam yaitu manusia mampu mengenal dirinya sendiri.
Jadi dapat diambil kesimpulan jika manusia telah mengenal dirinya
sendiri, maka ia akan mencari dan ingin siapa penciptanya, untuk apa ia
diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya.
2.1.3. Perspektif Ilmuwan Modern
Pada pembahasan ini terdapat para penganut teori-teori untuk menjelaskan
manusia secara lengkap, yaitu para penganut :
i.

Teori psikoanalisis yang berpendapat bahwa manusia sebagai
homo volens ( manusia berkeinginan). Menurut aliran ini manusia
adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen
biologis, psikologis, dan sosial. Dalam diri manusia terdapat unsur
animal (hewani), rasional (alkali), dan moral (nilai).

ii.

Teori behaviorisme berpendapat bahwa manusia adalah homo
mekanicus (manusia mesin). Menurut aliran ini, segala tingkah
laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap

8

lingkungannya, tidak disebabkan oleh aspek rasional dan
emosionalnya.
iii.

Teori kognitif berpendapat manusia sebagai homo sapiens
(manusia berpikir). Menurut penganut aliran ini manusia tidak lagi
dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada
lingkungan, tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha
memahami lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir.

iv.

Teori humanism menyebut manusia sebagai homo luden (manusia
bermanin). Aliran ini mengecam psikoanalisis dan behavionarisme,
karena keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia.
Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang
positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan
pertumbuhan pribadi. Menurut humanism manusia berperilaku
untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan
diri.

Manusia yang merupakan hasil evolusi terakhir, tentunya memiliki
karakter atau sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki hewan-hewan atau makhlukmakhluk yang lebih rendah lagi. Hewan memiliki kesadaran dan nafsu, tetapi
kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual dan
particular, dan tidak dapat menjangkau yang bersifat universal dan general.
Sedangkan kesadaran manusia mencapai apa-apa yang tidak dapat
dijangkau oleh kesadaran hewani. Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara dalam
batas local atau ruang, juga tidak dapat terbelenggu pada waktu tertentu.
Kesadaran manusia justru dapat melakukan penggambaran menembus ruang dan
waktu. Namun, yang membedakan antara hewan dan manusia adalah iman dan
ilmu. Inilah perbedaan utama dari manusia dan hewan.1

1 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia,
Erlangga, Jakarta, 2007, hlm. 102-103

9

2.2. ASAL USUL DAN PENCIPTAAN MANUSIA
Tak ada kebudayaan, peradaban, dan agama yang tidak menyepakati
bahwa awal munculnya makhluk manusia adalah akhir dari proses penciptaan
semesta, khususnya penciptaan bumi.2 Dan terdapat berdebatan antara apakah
manusia keturunan dari kera ?
2.2.1. Sejarah Manusia Menurut Sains


Teori Evolusi Darwin
Charles Darwin (1809-1882), berusaha mengetengahkan sebuah teori

mengenai asal-usul species melalui seleksi alam atau bertahannya ras-ras yang
beruntung dalam perjuangan untuk mempertahankan penghidupannya. Dia
berusaha menemukan mekanisme, yang melalui mekanisme tersebut, satu spesies
dapat berubah menjadi species lain.
Teori evolusi yang diperkenalkan Darwin pada abad ke 19 telah
menimbulkan kepanikan. Apalagi setelah teori itu diekstrapolasikanoleh para
penganutnya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah manusia berasal dari kera.
Para pengikut Darwin yang paling ekstrem menjadikan Darwinisme itu sebagai
acuan untuk mengatakan bahwa manusia adalah keturunan kera. Darwin sendiri
tidak pernah mengemukakan hal tersebut, walaupun taksonomi manusia dan kera
besar berada pada super famili yang sama, yaitu hominoidae.
Teori Darwin memuat dua aspek. Aspek pertama bersifat ilmiah, aspek
ilmiah ini sangat rapuh. Dan Aspek kedua bersifat filosofis yang diberi penekanan
oleh darwin sangat kuat dan diungkapkan secara jelas.
Evolusi manusia menurut ahli paleontologi dapat dibagi menjadi empat
kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu:
2 Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia: Adam as atau Pithecanthropus Erectus Nenek
Moyang Kita?, IRCiSoD, Yogyakarta, 2006, hlm. 80

10

1. Tingkat Pra manusia, fosilnya ditemukan di Johanesburg, Afrika Selatan
pada tahun 1924 yang dinamakan fosil australopithecus.
2. Tingkat manusia kera, fosilnya ditemukan di solo pada tahun 1891 yang
disebut pithencantropus erectus.
3. Manusia purba, yaitu tahap yang dekat kepada manusia modern yang
sudah digolongkan genus yang sama, yaitu homo biarpun spesiesnya
dibedakan.

Ditemukan

di

Neander,

karena

itu

disebut

homo

neanderthalesis dan kerabatnya ditemukan di Solo homo soloensis.
4. Manusia modern atau homo sapiens yang telah pandai berpikir,
menggunakan otak dan nalarnya.
Para Darwinis menyatakan bahwa manusia modern yang ada saat ini berevolusi
dari sejenis makhluk mirip kera.


Runtuhnya Teori Evolusi Darwin

Kalangan evolusionis menamakan nenek moyang manusia pertama mirip kera
sebagai Australopithecus, yang berarti “Kera Afrika Selatan”. Makhluk hidup ini
sebenarnya tidak lain adalah spesies kera kuno yang telah punah. Dua orang ahli
anatomi Lord Solly Zuckerman dan Prof.Charles Oxnard, telah menunjukkan
bahwa spesies ini spesies kera biasa yang telah punah dan tidak memiliki
kemiripan dengan manusia.
Dengan menyusun mata rantai penghubung sebagai Australopithecus >
Homo habilis > Homo erectus > Homo sapiens, evolusionis menyatakan bahwa
masing-masing dari spesies ini adalah nenek moyang bagi yang lainnya. Akan
tetapi, Homo habilis dan Homo erectus telah hidup di belahan bumi yang berbeda
pada saat yang sama (A.J. Kelso, 1970). Dan Homo sapiens neandarthalensis dan
Homo sapiens sapiens pernah hidup berdampingan di daerah yang sama (Jeffrey
Kluger, 1996).
Situasi ini menunjukkan ketidak absahan. Seorang ahli paleontogi dari
Harvard University Stephen Jay Gould (1976) menjelaskan apa jadinya dengan
tangga silsilah kita jika terdapat keturunan hominid yang hidup bersamaan
(Africanus,sang kekar Australopithecus, dan Homo habilis), dan tak satupun dari
mereka yang secara jelas menjadi keturunan dari yang lain? Lagi pula, tidak

11

satupun dari ketiganya memperlihatkan kecenderungan berevolusi semasa hidup
mereka di bumi.
Lord Solly Zuckerman, menyimpulkan bahwa kenyataannya tidak pernah ada
pohon kekerabatan (silsilah) yang menghubungkan makhluk mirip kera hingga ke
manusia. Dan P.P. Grasse menyimpulkan bahwa antara manusia dan kera berbeda,
dengan kata lain tidak terbukti (Maurice Bucaille, 1989).3
2.2.2. Sejarah Manusia Menurut Al Quran
Al-Qur’an telah menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia bukan
keturunan kera.Setiap kali seorang muslim berbicara mengenai penciptaan
manusia, maka setiap itu pula ia akan mengangkat satu dahlil yang menjadi
rujukan tentang eksistensi Adam. Dan dalil tersebut adalah surah Al-Baqarah ayat
30:

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah
Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan
menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan
memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”.
Maksud dari ayat diatas mengatakan bahwa Adam bukan “diciptakan” tetapi
“dijadikan khalifah”. Mahsud dari perkataan mereka ini ada dua hal:
1) Mereka meyakini bahwa ayat penciptaan Adam tersebut sesungguhnya
merupakan “ayat pengangkatan Adam menjadi seorang khalifah di muka
bumi”. Kata mereka didasarkan pada pemahaman surah Al-Baqarah ayat
30 di atas. Allah menggunakan term “ja’ala” menjadikan, bukan
“khalaqa” menciptakan. Sementara itu, makna “menjadikan” berarti
3 Thohir Luth, dkk., Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya, PPA
Universitas Brawijaya, Malang, 2015, hlm. 77-82

12

membuat sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang lebih baik atau
lebih sempurna atau kebalikannya. Makna ini, tentu saja, berbeda dengan
makna “menciptakan” di mana kata ini mengandung pengertian membuat
sesuatu yang belum ada menjadi ada. Oleh karena itu, kata mereka,
berasarkan firman Allah ‫ ﷻ‬dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30 di
atas, Allah menjadikan Adam mengandung pengertian bahwa “Adam telah
tercipta”, lau dia dijadikan sesuatu. Sesuatu apa? Ayat tersebut mengatakan
“khalifah”. Dengan demikian, kita memperoleh pengertian bahwa Adam
dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, dan bukan dalam
pengertian Allah menciptakannya sebagai manusia yang pertama.
2) Mereka menganggap dan meyakini bahwa Adam bukan manusia yang
pertama. Allah hanya mengangkat atau menjadikan Adam tersebut yang
memang telah lama diciptakan manusia yang lain sebagai khalifah di
muka bumi.4
Jika Allah menciptakan semua makhluk-Nya hana mengatakan “kun
fayakun”.
Tetapi, apakah firman seperti itu memberi makna bahwa penciptaan manusia
misalnya tanpa melalui proses dan perkembangan. Kenyataan menunjukkan
bahwa kejadiaan manusia berproses. Kehadirannya pun sebagai khalifah yang dari
sisi etimologisnya berarti pelanjut penguasa di bumi. Lalu kesamaan Adam dan
Isa bukan dari sisi tidak memiliki ayah, tetapi kesamaan dari sisi bahwa kedua
makhluk Tuhan ini sama-sama diciptakan dari tanah, seperti yang terlihat jelas
dalam Al-Qur’an tanpa perlu takwil yang lebih jauh.5
Di dalam Al-Qur’an proses kejadian manusia dapat di jelaskan sebagai
berikut:
a. Manusia diciptakan Allah ‫ ﷻ‬berasal dari sari pati tanah,(Al Hijr :28)
b. Dari segumpal tanah lalu menjadi nutfah (didalam rahim), segumpal
darah, segumpal daging, tulang dibungkus dengan daging, dan akhirnya
menjadi makhluk yang paling sempurna (Almukminun :12-14)
4 Muhammad Muhyidin, op. cit. hlm 93-97
5 Daniel Djuned, Antropologi Al-Quran, Erlangga, Jakarta, 2011, hlm. 123

13

c. Ditiupkan Ruh (Al Hijr : 29)
d. Sebelum ruh ditiupkan, ketika masih di alam ruh manusia telah berjanji
mentauhidkan Allah (Al A’raf : 172)
Dari tahapan tersebut jelaslah bahwa manusia terdiri dari dua unsur pokok,
yaitu gumpalan darah dan hembusan ruh. Kedua unsur itu tidak dapat dipisahkan.
Apabila dipisahkan, ia bukan manusia lagi.jika memperhatikan unsur ruh ilahinya,
boleh jadi ia akan seperti malaikat dan jika hanya memperhatikan unsur jasadnya
maka ia seperti binatang. Manusia dilahirkan di tengah eksistensi alam semesta ini
menyandang tugas dan kewajiban yang berat dalam fungsinya yang ganda, yakni
sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah.6
2.3. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI HAMBA
DAN KHALIFAH ALLAH
Ibnul Qayyim berkata, “Allah ‫ ﷻ‬memerintahkan kepada manusia untuk
merenungkan penciptaannya, tidak hanya pada satu ayat di dalam Al Quran.” 7
Seandainya saja manusia mau merenungkan tentang penciptaan dirinya, maka apa
yang ia temukan dari perenungan itu sudah mencukupinya untuk tidak berbuat
ingkar kepada Allah Sebagai hamba Allah, manusia memiliki konsekuensi untuk
taat dan patuh kepada pencipta manusia itu sendiri. 8 Banyak dari ayat Al Quran
yang memuat keajaiban dalam penciptaan manusia, antara lain Q.S. Adz-Dzariyat
ayat 21, Q.S. Al-Hajj ayat 5, dan Q.S. Al-Qiyamah ayat 36-40.
Dalam Q.S. Al Isra’ ayat 70, disebutkan bahwa Allah memuliakan manusia
melebihi makhluk lainnya. Dengan menggunakan akalnya, manusia diberikan
oleh Allah ‫ ﷻ‬kemampuan untuk berpikir dan berakhlak yang baik, seperti adanya
sifat ketaatan dan kepatuhan yang dimiliknya. Bahkan semua makhluk sibuk
melayani segala keperluan manusia dan memenuhi segala kebutuhannya.
Malaikat, matahari, bulan, binatang, tumbuh-tumbuhan, angin, udara, dan
6 Thohir Luth, dkk., op. cit. hlm. 84-85
7 Khalil Ibnu Ibrahim Amin, Kejaiban-Keajaiban Makhluk Ciptaan Allah, Citra Media,
Yogyakarta, 2007, hlm. 1
8 Ibid., hlm. 4

14

sebagainya, semuanya melaksankan tugas dari Allah ‫ ﷻ‬untuk melayani keperluan
manusia.9
Maka manusia yang menyadari hal tersebut dan diiringi oleh keimanan kepada
Allah pastilah akan merenungkan nikmat-nikmat tersebut dan juga akan selalu
mensyukurinya. Modal yang tepat sebagai wujud rasa syukur tersebut adalah
dengan menjalankan tugas sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi
sebagaimana yang telah ditugaskan oleh Allah kepada manusia itu sendiri.
2.3.1. Hakikat Manusia Sebagai Hamba Allah
Hakikat kehambaan kepada Allah adalah ketaatan, ketundukan, dan
kepatuhan. Tujuan Allah menciptakan manusia telah jelas dituangkan dalam Q.S.
Adz-Dzariyat ayat 56,

“Dan tidak Kuciptakan Jin dan Manusia Kecuali untuk Menyembahku”.
Pengingkaran

manusia

dalam

penghambaan

diri

kepada

Allah

menunjukkan bahwa ia menghambakan dirinya sendiri, menghambakan hawa
nafsunya, dan menghambakan sesama makhluk Allah. Menghambakan sesama
makhluk adalah perbuatan syirik, pelakunya disebut musyrik, dan ketahuilah
bahwa itu adalah kezaliman yang paling besar nilainya. Allah tidak ragu
menyatakan dalam Q.S. An Nisaa’ ayat 48,

9 Ibid., hlm. 67

15

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.”
2.3.2. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Makna esensial dari abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan
kepatuhan

yang

hanya

layak

ditujukan

kepada Allah

semata.

Selain

tanggungjawab kepada Allah, manusia juga memiliki tanggungjawab terhadap
dirinya sendiri yaitu dengan memelihara iman yang dimiliki, karena iman manusia
bersifat fluktuatif, kadang naik dan kadang turun, yang dalam hadist Rasulullah ‫ﷻ‬
dikatakan yazidu wa yanqushu.
Sebagai abdullah (hamba Allah), manusia juga memiliki tanggungjawab
kepada keluarga dan menjaga iman keluarganya. Allah berfirman dalam QS At
Tahriim ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”
Ada pula kewajiban sebagai abdullah (hamba Allah) untuk memiliki
tanggungjawab kepada sesama manusia, yaitu dengan menegakkan keadilan dan
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemungkaran).
2.3.3. Tanggung Jawab Manusia sebagai Khalifah Allah

16

Jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menyampaikan kepada malaikat
bahwa Dia akan menciptakan khalifah (wakil) di muka bumi, sebagaimana yang
tertuang dalam QS Al Baqarah ayat 30:

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah
Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan
menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan
memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”.
Sebagai khalifah, manusia bertugas untuk mengurus bumi dengan seluruh
isinya, dan memakmurkannya sebagai amanah dari Allah. Manusia berkewajiban
membudayakan alam semesta ini guna menyiapkan kehidupan yang bahagia dan
sejahtera. Tugas umat islam adalah mampu menunjuk orang yang tepat untuk
menjadi pemimpin yang siap menjalankan amanah tersebut.
Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas besar untuk membangun, mengolah,
dan memakmurkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Namun khalifah tidak akan
bisa memikul tanggung jawabnya tanpa dilengkapi potensi-potensi yang diberikan
Allah kepada manusia sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah
di muka bumi (M. Quraish Shihab, 1998), yakni:
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam
benda (Thaha:31)
b. Pengalaman selama berada di dalam surga, baik yang manis maupun yang
pahit, keduanya amat berharga sekaligus sebagai peringatan kepada
manusia
c. Tuhan telah menaklukkan dan memudahkan alam semesta ini untuk diolah
oleh manusia

17

d. Tuhan memberi petunjuk kepada manusia selama berada di bumi
(Thaha:123)10
Tugas

manusia

di

bumi

sebagai

khalifah

antara

lain

tugas

kekhalifahan/kepemimpinan, wakil Allah di muka bumi, dan pengelolaan serta
pemeliharaan alam.
Khalifah memiliki arti sebagai wakil atau pengganti yang memegang
kekuasaan dengan kekuasaan yang bersifat kreatif dan dinamis, contohnya
melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam kebudayaan, maupun
membentuk kebijakan yang strategis untuk kepentingan manusia, tentunya juga
memperhatikan perkembangan zaman dan pola pikir manusia tersebut. Tetapi
kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah
sehingga kebebasannya tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaannya juga dibatasi oleh hukum-hukum Allah (Al Quran, hadist, maupun
yang tersirat dalam kandungan alam semesta/al kaun). Kelak, khalifah tersebut
akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pengunaan kewenangannya di
hadapan yang diwakilinya (Q.S. Fathr:39).
Pemimpin dalam arti khalifah tidak hanya ditujukan pada pemimpin umat
atau pemimpin suatu bangsa, tetapi sebenarnya manusia dipandang sama
berdasarkan bidang dan keahliannya masing-masing. Tidak ada kelebihan antara
satu manusia dengan yang lain, kecuali yang paling baik dalam menjalankan
fungsi khalifah di muka bumi dan yang paling banyak membawa manfaat kepada
manusia, dan tentu saja yang paling bertaqwa.
2.3.4. Tahapan Manusia Menjadi Khalifah Allah
Melalui tahapan ta’alluq, takhalluq, dan tahaqquq, seseorang akan
mencapai derajat sebagai khalifah Allah.11 Maksud dari ta’alluq adalah
mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kepada Allah. Sementara itu takhalluq
adalah meneladani akhlak Allah, dan yang ketiga adalah tahaqquq, yaitu menjadi
10 Thohir Luth, dkk., op. cit. hlm. 89
11 Komarudin Hidayat, Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di
Bumi, Serambi, Jakarta, 2008, hlm. 17

18

mitra Allah di bumi. Inilah yang disebut tahaqquq: berusaha merealisasikan dan
memanifestasikan sifat-sifat Ilahi yang kita miliki supaya bisa menjalankan tugas
kekhalifahan12 (Komarudin Hidayat, Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi
Hamba dan Mitra Allah di Bumi, Serambi, Jakarta, 2008, hlm. 75). Ada tiga sifat
ilahi yang dimaksud di sini, yaitu al-‘alim (Maha Mengetahui), al-khaliq (Maha
Pencipta), dan al-badi’ (Maha Pembuat). 13
2.3.5. Proses Munculnya Pemimpin (Khalifah)
Proses munculnya pemimpin dalam islam dapat dilacak sebagai berikut:
Allah menciptakan Adam dan Hawa (Q.S. An Nisa ayat 1), lalu dari dua manusia
itu lahir suatu komunitas yang disebut syu’ub dan qobail (Q.S. Al Hujurat ayat
13), kemudian terjadi proses ta’aruf (saling mengenal) sehingga ada yang
memulai untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran
(Q.S. Ali Imran ayat 104) sehingga adanya proses penyeleksian tentang siapa
yang memiliki ability untuk ditempatkan sebagai hamba Allah yang paling mulia /
khoiru ummat sebagaimana yang ada dalam Q.S. Ali Imran ayat 110.14
2.3.6. Teori Kelahiran Pemimpin dalam Islam
Aunur & Iip (2001: 6-9) menyatakan bahwa ada dua teori kelahiran
pemimpin dalam islam, yaitu teori alamiah dan terencana. Teori alamiah
menyebutkan bahwa pemimpin muncul dari proses yang dialami oleh anak
manusia, sejak kecil hingga dewasa sehingga akan membentuk karakter
pribadinya. Sedangkan teori terencana menyimpulkan bahwa pemimpin lahir dari
suatu kegiatan yang sengaja dibentuk untuk melahirkan pemimpin, seperti Latihan
Dasar Kepemimpinan (LDK), organisasi politik, dan lain sebagainya.
2.3.7. Akhlak Seorang Pemimpin dalam Islam
Aunur & Iip (2001: 6-9) membagi akhlak seorang pemimpin/khalifah dari
dua perspektif, yaitu perspektif Al Quran dan Hadist. Dalam perspektif Al Quran,
akhlak pemimpin ialah:
12 Ibid., hlm. 75
13 Ibid., hlm. 80
14 Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta, hlm. 3

19




Mencintai kebenaran (Q.S. Al Baqarah ayat 147)
Dapat menjaga amanah dan kepercayaan orang lain (Q.S. Al Baqarah ayat





166)
Ikhlas dan memiliki semangat pengabdian (Q.S. Al Baqarah ayat 245)
Baik dalam pergaulan masyarakat (Q.S. Fushilat ayat 34)
Bijaksana (Q.S. Yusuf 22)

Sementara itu dalam perspektif hadist disebutkan bahwa akhlak seorang
pemimpin adalah:






Memimpin untuk melayani bukan dilayani (HR. Abu Na’im)
Zuhud terhadap kekuasaan (HR. Bukhari dan Muslim)
Jujur dan tidak munafik (HR. Athabrani)
Memiliki visi keumatan dan bukan fanatisme (HR. Ahmad)
Memiliki tanggung jawab moral (HR. Bukhari dan Muslim)

2.3.8. Keterkaitan Antara Hamba dan Khalifah
Manusia yaitu sebagai hamba dan khalifah bukanlah dua hal yang saling
bertentangan melainkan keduanya adalah perpaduan tugas dan tanggung jawab
yang melahirkan dinamika hidup, sehingga akan menghasilkan amal saleh.
Keduanya merupakan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan.
Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Allah ‫ ﷻ‬yang
menciptakannya.15
Tetapi, apabila keduanya tidak mampu dijalankan secara seimbang, maka
manusia tersebut akan memiliki sifat-sifat yang mampu menurunkan derajatnya ke
tingkat yang paling rendah, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S. At
Thin ayat 5-6,

15 Thohir Luth, dkk., op. cit. hlm. 91

20

“Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan

Dari topik yang kami bahas pada kesempatan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya manusia ini hanyalah hamba Allah yang wajib mengikuti
syariat-Nya sebagaimana firman Allah dalam Alquran surah Adz Dzariyat : 56
yang artinya “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan mereka
hanya menyembahKu”. Dari ayat itulah kita dapat mengetahui tujuan kita
diciptakan hanya untuk mengabdi dengan tulus kepada Allah. Oleh karena itu, kita
wajib beriman dan bertaqwa kepada Allah dan beribadah serta menyerahkan
segala urusan kepada Allah.
3.2.

Saran
Setelah mengetahui hakikat manusia diciptakan, bagaimana asal usul

penciptaannya, serta apa saja tugas dan tanggungjawabnya sebagai hamba dan
khalifah di dunia, maka apa yang harus kita lakukan sebagai manusia, adalah:
(1) mengokohkan akidah dan tauhid kita,
(2) menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya,
(3) mensyukuri nikmat yang diberikan dan mengagungkan segala
kebesaran-Nya,

21

(4) menjadi manusia yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi agama,
bangsa, dan sesama manusia sehingga khalifah atau pemimpin yang
diharapkan

tadi

bisa

benar-benar

‘datang’

untuk

membawa

kemakmuran dan kebaikan manusia dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat.

22

DAFTAR PUSTAKA

Thohir Luth, dkk. 2015. Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas
Brawijaya. Malang: PPA Universitas Brawijaya.
Daniel Djuned. 2011. Antropologi Al-Quran. Jakarta: Erlangga.
Muhammad Muhyidin. 2006. Asal Usul Manusia: Adam as atau Pithecanthropus
Erectus Nenek Moyang Kita? Yogyakarta: IRCiSoD
Khalil Ibnu Ibrahim Amin. 2007. Keajaiban-Kejaiban Makhluk Ciptaan Allah.
Yogyakarta: Citra Media.
Komarudin Hidayat. 2008. Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan
Mitra Allah di Bumi. Jakarta: Serambi.
Aunur Rohim Fakih dan Iip Wijayanto. 2001. Kepemimpinan Islam. Yogyakarta:
UII Press.
Mulyadhi Kartanegara. 2007. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam,
dan Manusia. Jakarta: Erlangga.

23