PENERAPAN PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK MEN

PENERAPAN PEMODELAN MATEMATIKA
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA SEKOLAH
DASAR
MENYELESAIKAN SOAL CERITA TIPE TERBUKA
Dede Nurhidayah; Dindin Abdul Muiz Lidinillah 1; Momoh
Halimah2.
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya
E-mail: dede.nurhidayah@student.upi.edu
ABSTRAK
Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa. Banyak siswa merasa kesulitan dalam mengerjakan soal
yang berkaitan dengan pemecahan masalah, terutama soal cerita nonrutin. Salah satu
bentuk soal nonrutin adalah soal tipe terbuka, soal tersebut memungkinkan siswa
untuk menemukan lebih dari satu jawaban dan cara penyelesaian yang benar sehingga
siswa dilatih untuk berpikir kreatif dan kritis dalam menyelesaikan masalah.
Berdasarkan hasil kajian literatur, salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa adalah dengan menggunakan pemodelan matematika.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
penerapan pemodelan matematika terhadap kemampuan siswa sekolah dasar
menyelesaikan soal cerita tipe terbuka dan pendapat mereka mengenai proses

pembelajaran yang dilakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
quasi eksperimental dengan desain penelitian nonequivalent control group posttest
only design. Sampel dari penelitian ini adalah 42 siswa kelas V SDN 2 Pengadilan. 21
siswa diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan pemodelan
matematika dan 21 siswa melakukan pembelajaran tanpa pemodelan matematika. Data
yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe
terbuka siswa yang menggunakan pemodelan matematika lebih baik dibandingkan
dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka siswa tanpa menggunakan
pemodelan matematika dan respon yang diberikan terhadap proses pembelajaran
sangat baik dan cenderung sesuai dengan keadaan siswa.
Kata Kunci :

Pemodelan matematika, soal tipe terbuka.

ABSTRACT
One of the most important goals of learning mathematics is to improve students'
problem solving abilities. Many students have difficulties in doing the problem
solving, especially about nonroutine story problem. One form of nonroutine problem
is open-ended problem, that problem allow students to find more than one answer and
more than one correct way to solve the problem. So that students are trained for

creative and critical thinking to solve problems. Based on literature review, one way to
improve students' problem solving abilities is to use mathematical modelling.
Accordingly, the primary objective of the study is to describe the implementation of
mathematical modelling of the elementary school students' ability to solve open-ended
word problem and their opinions in this process. The method used in this study is a
quasi-experimental with the design is nonequivalent posttest only control group
design. Samples of this study were 42 students in 5th grade of SDN 2 Pengadilan. 21
students were given treatment of learning by using mathematical modelling and 21
students were studying without mathematical modelling. Data obtained showed that
the ability to solve open-ended word problems of students who used mathematical
1

2
modelling was better than the ability to solve open-ended word problems of students
without used mathematical modelling and response to their lessons is excellent.
Keywords :

Mathematical modelling, open-ended problem.

PENDAHULUAN

Matematika merupakan mata pelajaran yang penting untuk membekali peserta didik
dengan berbagai kompetensi yang akan diperlukan dalam bertahan hidup pada keadaan
yang berubah dan kompetitif. Maka dari itu, matematika merupakan pelajaran yang sangat
penting dan diajarkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi.
Pembelajaran matematika di SD tidak hanya mengajarkan cara berhitung saja, tetapi
mengajarkan bagaimana cara mengaplikasikan dan menyelesaikan permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didorong oleh adanya pernyataan dari Reys,
Lindquist, Lambdin, & Smith (2009) yang menyatakan bahwa:
pemecahan masalah matematika adalah keterampilan yang orang perlukan sepanjang
hidup mereka. Di sekolah, siswa harus memecahkan masalah untuk memahami
konsep-konsep matematika, menemukan hubungan matematika baru, dan membuat
rasa koneksi antara matematika dan mata pelajaran lain. Baik anak-anak dan orang
dewasa menghadapi masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari mereka
sebagai konsumen, warga negara, dan pekerja. (hal. 108)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat kita ketahui bahwa kemampuan pemecahan
masalah merupakan suatu kompetensi strategis yang harus dikuasai siswa sejak di sekolah
dasar dan merupakan kebutuhan karena semua orang menghadapi masalah matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
Namun pada kenyataannya, kemampuan menyelesaikan soal cerita di sekolah dasar
masih rendah. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal dengan mengikuti

langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan
alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Mereka masih sulit memahami apa yang
diketahui dan ditanya dari soal. Mereka langsung mengoperasikan angka-angka yang ada
dalam soal, tanpa memahami operasi hitung apa yang seharusnya digunakan. Umumnya,
siswa diminta untuk menyelesaikan soal dengan menggunakan rumus matematika yang
cenderung abstrak dan tidak sesuai dengan cara berpikir siswa yang konkret. Maka dari itu,
diperlukan suatu jembatan yang dapat menghubungkan cara berpikir konkret siswa dengan
matematika yang abstrak.
Menurut teori belajar Piaget, anak SD (7-11 tahun) termasuk ke dalam tahap
perkembangan operasional konkret. Umumnya anak-anak belum mampu berpikir secara
abstrak tetapi mampu memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu cara untuk memudahkan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita yang sesuai dengan cara berpikirnya. Dengan adanya pemodelan
matematika diharapkan dapat membantu siswa sekolah dasar dalam memahami dan
menyelesaikan soal cerita matematika serta mampu menghubungkan situasi kehidupan
nyata dengan konsep-konsep matematika yang abstrak.
Dalam pemecahan masalah, siswa dituntut untuk berpikir dan menemukan suatu
strategi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Stacey (dalam Anderson, 2010, hal.
79) menyatakan bahwa ‘murid membutuhkan pengetahuan matematika yang mendalam
dan kemampuan penalaran umum serta strategi heuristik untuk memecahkan masalah nonrutin’.

Menurut Polya (1973, hal. 5-6) terdapat empat langkah dalam menemukan solusi dari
suatu masalah yaitu memahami masalah (understand the problem), membuat rencana atau
cara untuk memecahkan masalah (devise a plan), menjalankan rencana yang telah dibuat

3

pada langkah kedua (carry out the plan), dan melihat kembali apa yang telah dilakukan
(look back).
Soal cerita matematika pada umumnya selalu diidentikkan dengan pemecahan
masalah. Selain itu soal cerita matematika biasanya diangkat dari kehidupan sehari-hari
yang didalamnya terdapat konsep matematika. Verschaffel (2002, hal. 65) menyatakan
bahwa soal cerita adalah “deskripsi verbal dari situasi suatu masalah, yang dapat
diselesaikan dengan mengoperasikan bilangan-bilangan dalam soal tersebut.” Sedangkan
Reusser & Stebler (dalam Dindyal, 2010, hal. 99) menyatakan bahwa ‘soal cerita
memberikan kesempatan yang sangat baik untuk anak-anak untuk menerapkan matematika
yang telah mereka pelajari. Mereka juga memberikan anak-anak dengan rasa mendasar dan
pengalaman dalam matematisasi, terutama pemodelan matematika.’ Dengan adanya soal
cerita siswa diuntungkan karena dapat mengaplikasikan konsep matematika yang telah
dipelajari.
Dalam matematika, untuk menyelesaikan suatu soal cerita biasanya digunakan

strategi pemecahan masalah. Ada dua jenis soal cerita yang digunakan dalam pembelajaran
matematika, yaitu soal rutin maupun nonrutin. Soal rutin merupakan soal yang dapat
dikerjakan siswa dengan beberapa aturan atau algoritma. Sedangkan soal yang menantang
siswa dalam pengerjaannya dan menuntut menggunakan berbagai strategi pemecahan
masalah adalah soal nonrutin. Salah satu bentuk dari soal nonrutin ini adalah soal terbuka
(open-ended problem). Shimada (1997, hal. 1) menyatakan bahwa “masalah terbuka adalah
masalah yang memiliki beberapa atau banyak jawaban yang benar, dan beberapa cara
untuk jawaban yang benar.” Selain itu, Takahashi (2005) menyatakan bahwa “masalah
terbuka dikenal sebagai masalah dengan beberapa solusi”.
Pada masalah terbuka, dasar keterbukaanya (openness) dapat diklasifikasikan
kedalam tiga tipe, yakni: “Process is open, end product are open dan ways to develop are
open.”[CITATION Jar12 \p 5 \l 1057 ]. Process is open (prosesnya terbuka) maksudnya
tipe soal yang mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar. End product are open
(hasil akhir yang terbuka) maksudnya tipe soal yang mempunyai banyak jawaban benar
(multiple), sedangkan ways to develop are open (cara pengembang lanjutannya terbuka)
yaitu setelah siswa selesai menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan
masalah tersebut menjadi masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang
pertama (asli). Pada penelitian ini, tipe masalah terbuka yang digunakan adalah tipe soal
yang mempunyai banyak jawaban benar (End product are open).
Untuk kriteria penilaian siswa dalam menyelesaikan soal tipe terbuka terdapat tiga

indikator, yaitu:
1. fluency (kemahiran), terkait dengan berapa banyak solusi yang dapat dihasilkan oleh
siswa;
2. flexibility (fleksibilitas), terkait dengan berapa banyak ide-ide matematis berbeda
yang ditemukan/dimunculkan oleh siswa; dan
3. originality (keaslian), terkait dengan kebaruan, keaslian dan keunikan strategi yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah.
[CITATION Saw97 \p 35 \l 1057 ]

Gravemeijer & Stephan menyatakan bahwa ‘dalam pengaturan pendidikan,
pemodelan matematika telah dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan
siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.’[CITATION Erb14 \p 1621 \l
1057 ]
Pemodelan matematika adalah proses yang mewakili masalah dunia nyata dalam hal
matematika untuk menemukan solusi dari masalah.
Sebuah model matematika dapat dianggap sebagai penyederhanaan atau abstraksi
dari (kompleks) masalah atau situasi dunia nyata ke dalam bentuk matematika,

4


sehingga mengubah masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika. Masalah
matematika kemudian dapat diselesaikan dengan menggunakan apa pun teknik yang
dikenal untuk mendapatkan solusi matematika. Solusi ini kemudian ditafsirkan dan
diterjemahkan ke dalam arti riil. [CITATION Che01 \p 64 \l 1057 ]
Dalam pembelajaran matematika, proses pemodelan dilakukan dengan
menghubungkan situasi nyata dengan matematika. Untuk siswa sekolah dasar, pemodelan
matematika dapat divisualisasikan melalui gambar. Untuk memudahkan siswa, pemodelan
dapat digambarkan dengan bentuk persegi panjang agar mudah untuk dibagi-bagi ke dalam
petak-petak yang lebih kecil yang biasa disebut dengan bar model. Dengan begitu, siswa
dapat memvisualisasikan masalah matematika menjadi lebih jelas dan mampu membangun
pengetahuannya secara eksplisit. Selain itu, pemodelan dari setiap siswa mungkin akan
berbeda-beda meskipun permasalahan yang dihadapi sama. Adapun siklus pemodelan
matematika menurut Abrams (2001, hal. 272) sebagai berikut:

Gambar 1
Siklus Pemodelan Matematika Menurut Abrams
Abrams (2001, hal. 272) mengilustrasikan siklus pemodelan dengan menggaris
bawahi dunia nyata dan dunia matematika. Siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) mengidentifikasi masalah dan merencanakan bentuk solusi yang akan digunakan; 2)
merepresentasikan jenis masalah dengan pemodelan yang akan digunakan; 3) membuat

model yang telah direncanakan dan memasukkan variabel-variabel dari masalah; 4)
memecahkan masalah dengan menghubungkan variabel dengan pemodelan; 5) menentukan
hasil dari proses pemodelan; 6) menginterpretasikan hasil; dan 7) mengevaluasi hasil dari
proses pemodelan dengan pengerjaan menggunakan cara lain.
Berdasarkan hasil studi literatur, peneliti melakukan penelitian dengan judul
“Penerapan Pemodelan Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Sekolah
Dasar Menyelesaikan Soal Cerita Tipe Terbuka” yang dilaksanakan dalam pembelajaran
materi bilangan pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 2 Pengadilan Kota Tasikmalaya.

5

Berlandaskan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka ditentukan
beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, diantaranya: 1) bagaimana proses
penerapan pemodelan matematika dalam pembelajaran menyelesaikan soal cerita tipe
terbuka pada materi bilangan pecahan? 2) apakah kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal cerita tipe terbuka tentang materi bilangan pecahan yang menggunakan pemodelan
matematika lebih baik daripada kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita tipe
terbuka yang tidak menggunakan pemodelan matematika? 3) bagaimana respon guru dan
siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan pemodelan matematika?
Bertitik tolak dari rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1)

menjelaskan proses penerapan pemodelan matematika dalam pembelajaran menyelesaikan
soal cerita tipe terbuka pada materi bilangan pecahan; 2) menjelaskan kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal cerita tipe terbuka tentang materi bilangan yang menggunakan
pemodelan matematika lebih baik daripada kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
cerita tipe terbuka yang tidak menggunakan pemodelan matematika; 3) untuk mengetahui
respon guru dan siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan pemodelan
matematika.
Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pendidikan terutama pembelajaran matematika di sekolah dasar; dan memberikan
sumbangan konsep tentang strategi pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran matematika. Sedangkan secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi guru untuk
mengembangkan proses-proses pembelajaran, meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan pemecahan siswa.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang akan digunakan peneliti adalah pendekatan kuantitatif
dengan metode eksperimen semu atau quasi-eksperimental design dengan bentuk desain
yang digunakan adalah nonequivalent control group posttest only. Adapun populasi dalam
penelitian ini adalah siswa kelas V di sekolah dasar yang termasuk ke dalam wilayah
Gugus 4 UPT Wilayah Tengah Kota Tasikmalaya yang terdiri dari SDN 1 Pengadilan, SDN

2 Pengadilan, SDN 3 Pengadilan, SDN 4 Pengadilan, dan SDN Tawangsari. Sedangkan
sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah siswa kelas VA dan VB SD Negeri 2
Pengadilan yang berjumlah 42 siswa dengan rincian 21 siswa kelas VA sebagai kelompok
kontrol dan 21 siswa kelas VB sebagai kelompok eksperimen. Instrumen penelitian terdiri
dari tes, lembar observasi, lembar angket, dan pedoman wawancara. Pengolahan data
untuk mengetahui kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita tipe terbuka dilakukan
dengan melakukan uji perbedaan rata-rata hasil postes kedua kelompok, dan
mendeskripsikan hasil observasi, angket, dan wawancara.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pemodelan matematika
dilaksanakan selama tiga kali pertemuan. Kegiatan ini menggunakan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006. Dimana tiap langkah pembelajarannya disesuaikan dengan tahapan pemodelan
matematika yang menjadi treatment dalam penelitian ini. Agar menambah kevalidan pada
penelitian ini, peneliti melakukan observasi pada proses pembelajaran di kelas eksperimen.
Dalam setiap pembelajaran peneliti menggunakan lembar observasi yang berguna untuk
mencatat kegiatan baik aktivitas guru maupun aktivitas siswa serta memberikan
keterangan-keterangan yang diperlukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung.

6

Proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pemodelan matematika
mengenai materi bilangan pecahan dilaksanakan di kelas eksperimen sebanyak tiga kali
pertemuan dengan alokasi waktu selama 7 x 35 menit. Pertemuan pertama dilaksanakan
selama 3 x 35 menit dengan tujuan pembelajaran untuk mengenalkan penyelesaian soal
cerita materi bilangan pecahan dengan menggunakan pemodelan matematika.
Sedangkan pertemuan kedua dilaksanakan selama 2 x 35 menit dengan tujuan
pembelajaran untuk memahami penyelesaian soal cerita tipe terbuka materi bilangan
pecahan dengan menggunakan pemodelan matematika. Dan pertemuan ketiga
dilaksanakan selama 2 x 35 menit dengan tujuan pembelajaran untuk menyelesaikan soal
cerita tipe terbuka materi bilangan pecahan dengan menggunakan pemodelan matematika.
Dalam proses pembelajaran, untuk membantu siswa dalam memahami tahapan
pemodelan matematika guru menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS yang
digunakan dibuat sedemikian rupa agar dapat membangun aktivitas berpikir siswa agar
lebih kreatif dan produktif. Dengan instruksi yang terdapat dalam LKS, siswa mampu
berperan aktif dalam penyelesaian soal cerita. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah
membimbing siswa dalam mengartikan sebuah soal cerita dan merepresentasikannya ke
dalam bentuk pemodelan yang sesuai. Bimbingan yang dilakukan guru bukan berarti
memberi tahu, tetapi lebih kepada membangun pengetahuan dan aktivitas siswa dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pada pertemuan pertama, tujuan pembelajaran yang dilakukan adalah untuk
mengenalkan penyelesaian soal cerita materi bilangan pecahan dengan menggunakan
pemodelan matematika. Siswa terlebih dahulu diperkenalkan dengan pemodelan
matematika, kemudian siswa diberikan sebuah soal dan dibimbing untuk mengerjakan soal
tersebut dengan menggunakan pemodelan matematika. Setelah siswa mengerti penerapan
pemodelan dalam menyelesaikan soal cerita, siswa diberikan LKS yang berisi beberapa
soal cerita matematika dan langkah-langkah pengerjaan yang menuntun siswa agar siswa
dapat berperan aktif dalam menyelesaikan soal cerita matematika. Berikut merupakan
contoh hasil pengerjaan LKS pada proses pembelajaran dengan menggunakan pemodelan
matematika pada pertemuan pertama:

7

Gambar 2
Contoh Aktivitas Siswa pada LKS Pertemuan 1
(Mengenalkan Pemodelan Matematika)
Pada pertemuan kedua, tujuan pembelajaran yang dilakukan adalah memahami
penyelesaian soal cerita tipe terbuka materi bilangan pecahan dengan menggunakan
pemodelan matematika. Pada awal pertemuan, guru memberikan sebuah soal kepada siswa
untuk diselesaikan. Setelah siswa mampu mengerjakan soal tersebut, guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa tentang kemungkinan jawaban lain yang bisa saja didapat dari
soal tersebut. Pada awalnya siswa merasa kesulitan dan kebingungan, namun setelah
diberikan contoh kemungkinan jawaban lain siswa jadi mengerti dan mampu untuk
menemukan kemungkinan jawaban lain. Pada pertemuan kedua ini, siswa sudah mulai
mengerti dengan penerapan pemodelan matematika dalam menyelesaikan soal, sehingga
siswa tidak terlalu kesulitan dalam menggunakan pemodelan. Berikut merupakan contoh
hasil pengerjaan LKS pada proses pembelajaran dengan menggunakan pemodelan
matematika pada pertemuan kedua:

8

Gambar 3
Contoh Aktivitas Siswa pada LKS Pertemuan 2
(Penyelesaian Soal Cerita Tipe Terbuka dengan Pemodelan Matematika)
Pada pertemuan ketiga, tujuan pembelajaran yang dilakukan masih sama dengan
pertemuan kedua yaitu memahami penyelesaian soal cerita tipe terbuka materi bilangan
pecahan dengan menggunakan pemodelan matematika. Pada pertemuan ini, siswa sudah
mulai terbiasa dengan soal cerita tipe terbuka yang mempunyai banyak kemungkinan
jawaban dan penerapan pemodelan matematika untuk menyelesaikan soal tersebut. Di awal
pertemuan, siswa diingatkan kembali dengan pembelajaran sebelumnya kemudian
diberikan LKS. Meskipun siswa telah terbiasa dengan soal cerita tipe terbuka dan
penerapan pemodelan matematika dalam menyelesaikan soal tersebut, siswa tetap
dibimbing dalam pengerjaan LKS. Berikut merupakan contoh hasil pengerjaan LKS pada
proses pembelajaran dengan menggunakan pemodelan matematika pada pertemuan ketiga:

9

Gambar 4
Contoh Aktivitas Siswa pada LKS Pertemuan 3
(Penyelesaian Soal Cerita Tipe Terbuka dengan Pemodelan Matematika)
Setelah proses pembelajaran selesai dilakukan, siswa kelas kontrol dan eksperimen
diberikan postes. Berdasarkan hasil postes yang dilakukan terhadap 21 siswa kelas
eksperimen yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pemodelan
matematika, dan 21 siswa kelas kontrol yang tidak mendapat pembelajaran dengan
menggunakan pemodelan matematika, maka diperoleh data mengenai kemampuan
menyelesaikan soal cerita tipe terbuka.
Secara keseluruhan, kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol terlihat cukup baik. Sebagian dari mereka mampu untuk
memahami soal dan tahu cara menyelesaikan soal yang diberikan, namun mereka belum
terbiasa untuk menemukan jawaban atau solusi dari soal yang diberikan. Berikut contoh
hasil jawaban siswa:

10

Gambar 5
Contoh Hasil Postes Siswa Kelas Eksperimen

Gambar 6
Contoh Hasil Postes Siswa Kelas Kontrol
Gambar di atas merupakan hasil postes dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa siswa sudah mampu untuk mengidentifikasi masalah yang
dihadapinya. Dan di kelas eksperimen siswa sudah mampu menerapkan pemodelan
matematika dalam menyelesaikan soal cerita tipe terbuka. Namun, masih ada siswa yang
masih bingung untuk menyelesaikan soal yang diberikan, tidak melakukan pengecekan
jawaban dengan cara lain dan hanya cukup dengan menemukan satu jawaban saja.

11

Untuk melihat perbedaan kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita tipe terbuka
kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dibuat tabel selang interval kategori yang
disajikan pada tabel berikut:
Setelah diperoleh data hasil postes dan didapatkan skor, data tersebut dikategorikan
menurut interval kategori dari Rakmat dan Solehuddin. Data hasil postes disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 1
Interval Kategori Postes Menyelesaikan Soal Cerita Tipe Terbuka
No
1
2
3
4
5

Interval
X
37,35 ≤ X
26,65 ≤ X
15,95 ≤ X
X

≥ 48,05
< 48,05
< 37,35
< 26,65
< 15,95

Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
sangat Rendah

Frekuensi
E
K
3
0
8
0
6
8
4
11
0
2

Presentase
E
K
14,3%
0%
38,1%
0%
28,6% 38,1%
19,0% 52,4%
0%
9,5%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa siswa pada kelompok eksperimen
secara keseluruhan berada pada kategori tinggi sedangkan siswa pada kelas kontrol berada
pada kategori rendah. Setelah melalui uji perbedaan rata-rata skor postes kelas eksperimen
dan kelas kontrol, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000, dapat disimpulkan bahwa
secara signifikan kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan pemodelan matematika lebih baik
daripada kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka pada siswa yang tidak
menggunakan pemodelan matematika.
Proses pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan
soal cerita tipe terbuka dengan menggunakan pemodelan matematika berlangsung dengan
baik dan lancar. Secara keseluruhan tahapan dalam pemodelan matematika telah
dilaksanakan sesuai dengan pendapat para ahli dan penelitian mengenai pemodelan
matematika.
Berdasarkan hasil wawancara kepada Ibu Reni Nurhayati, S.Pd. yang merupakan
guru kelas VB (kelas eksperimen) yang dilakukan setelah pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan pemodelan matematika. Menurut hasil pengamatan Ibu Reni, siswa
terlihat bersemangat dan menjadi lebih aktif saat belajar dengan menggunakan pemodelan
matematika. Hal tersebut karena siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran dan
dengan penggunaan media, siswa mendapatkan pengalaman secara langsung dalam
melakukan penyelesaian masalah. Selain itu, dengan menggunakan pemodelan matematika
siswa jadi lebih mudah mengerjakan soal cerita matematika. Namun dalam
penyampaiannya harus sedikit diperhatikan dari segi bahasa agar mudah dimengerti siswa
dan karena ini merupakan hal baru bagi siswa, siswa memerlukan waktu yang sedikit lebih
lama untuk memahaminya.
Dalam pembelajaran, siswa juga diberikan soal cerita tipe terbuka. Soal seperti ini
sesuai dengan tingkat berpikir siswa sekolah dasar, karena dengan soal-soal seperti ini
siswa dituntut untuk kreatif dan karakteristik siswa itu selalu ingin mencoba, jadi dengan
adanya soal seperti ini akan membuat siswa mencoba sesuatu hal yang lain sehingga
meningkatkan kemampuan berpikirnya.
Untuk konsep bilangan pecahan yang disampaikan dalam pembelajaran sudah
benar dan bagus, bahan ajar yang digunakanpun sudah cukup baik dan relevan dengan SK
dan KD pelajaran matematika untuk kelas V semester 2. Untuk media pembelajaran dan
LKS yang digunakan sudah baik, dapat menarik perhatian siswa dan mampu membantu

12

siswa untuk lebih memahami materi yang disampaikan. Namun untuk media pembelajaran,
alangkah lebih baik jika media yang digunakan lebih bervariasi lagi dan menggunakan
benda-benda yang ada di lingkungan siswa.
Selanjutnya untuk mengetahui kecenderungan respon siswa terhadap penerapan
pemodelan matematika dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita tipe
terbuka secara keseluruhan disajikan dalam skala Likert pada gambar berikut.
STiSe
Sa
ada
su
ng
n kaiat
gSe Se
42
63
84
021
64
atsu su
(000(
10(0
Tiai ai
(250
75(1
%)
(6
d
5%)
%)
00
8
Gambar 7
a
%)%)%)
k
Skala Likert Hasil Angket Siswa
S
e
Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
s
u
pernyataan positif mengenai penerapan pemodelan matematika dan kemampuan siswa
ai

dalam menyelesaikan soal cerita tipe terbuka cenderung sesuai dengan kondisi siswa.
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, diperoleh simpulan
sebagai berikut :
1. Proses penerapan pemodelan matematika untuk meningkatkan kemampuan
menyelesaikan soal cerita tipe terbuka di kelas V SD Negeri 2 Pengadilan berlangsung
dengan baik dan lancar. Secara keseluruhan tahapan dalam pemodelan matematika
telah dilaksanakan sesuai dengan pendapat para ahli dan penelitian mengenai
pemodelan matematika.
2. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita tipe terbuka siswa kelas VB SD
Negeri 2 Pengadilan yang menggunakan pemodelan matematika lebih baik dari
kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka siswa kelas VA SD Negeri 2
Pengadilan yang tidak menggunakan pemodelan matematika.
3. Respon guru dan siswa mengenai penerapan pemodelan matematika terhadap
kemampuan menyelesaikan soal cerita tipe terbuka sangat baik dan cenderung sesuai
dengan keadaan siswa.
Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka terdapat beberapa
implikasi sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan oleh pihak sekolah dasar untuk dapat
diterapkan pelaksanaannya dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika
sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
cerita matematika.
2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan apabila peneliti lain ingin melakukan
penelitian dengan menggunakan pemodelan matematika.
3. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya bagi penulis,
dan umumnya bagi pembaca.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka peneliti
merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut:

13

1. Kepada guru di sekolah dasar, kiranya dapat menerapkan penggunaan pemodelan
matematika dalam pembelajaran matematika pada materi tertentu sebagai alternatif
untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa.
2. Untuk siswa, perlu adanya latihan secara kontinyu untuk mampu mengembangkan
kemampuan kemampuan memecahkan masalah yang disesuaikan dengan
kemampuan personal;
3. Untuk peneliti yang akan menggunakan pemodelan matematika disarankan untuk
memilih materi yang berbeda dan mengkaji lebih mendalam mengenai pemodelan
matematika agar memperkuat hasil penelitian dalam meningkatkan kemampuan
siswa menyelesaikan soal cerita matematika di sekolah dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. (2010). Collaborative problem solving as modelling in the primary years of
schooling. Dalam B. Kaur, & J. Dindyal (Penyunt.), Mathematical application and
modelling yearbook 2010 (hal. 78-93). Singapore: World Scientific Publishing Co.
Pte. Ltd.
Ang, K. C. (2001). Teaching mathematical modelling in Singapore schools. The
Mathematics Educator, 6(1), 63-75.
Dahlan, J. A. (2012, Maret 8). Pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika.
Dipetik
Maret
15,
2015,
dari
Direktori
File
UPI:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19680511199
1011JARNAWI_AFGANI_DAHLAN/Perencanaan_Pembelajaran_Matematika/openended.pdf
Dindyal, J. (2010). Word problems and modelling in primary school mathematics. Dalam
B. Kaur, & J. Dindyal (Penyunt.), Mathematical application and modelling
yearbook 2010 (hal. 3-18). Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Erbaş, A. K., Kertil, M., Çetinkaya, B., Çakiroğlu, E., Baş, S., & Alacaci, C. (2014).
Mathematical modeling in mathematics education: Basic concepts and approaches.
Educational Sciences: Theory & Practice, 14(4), 1621-1627.
NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. Reston, VA: National
Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Polya, G. (1973). How to solve it: A new aspect of mathematical method. New Jersey:
Princeston University Press.
Reys, R., Lindquist, M. M., Lambdin, D. V., & Smith, N. L. (2009). Helping children learn
mathematics (9th ed.). Danvers, USA: John Wiley & Sons, Inc.
Sawada, T. (1997). Developing Lesson Plan. Dalam J. P. Becker, & S. Shimada (Penyunt.),
The open-ended approach: a new proposal for teaching mathematics (hal. 23-35).
Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

14

Shimada, S. (1997). The significance of an open-ended approach. Dalam J. P. Becker, & S.
Shimada (Penyunt.), The open-ended approach: A new proposal for teaching
mathematics (hal. 1-9). Reston, VA: The National Council of Teachers of
Mathematics, Inc.
Szetela, W., & Nicol, C. (1992). Evaluating problem solving in mathematics. Educational
Leadership, 49(8), 42-45.
Takahashi, A. (2005). Communication as process for students to learn mathematical.
Dipetik
September
2,
2015,
dari
http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec/apec2008/papers/PDF/14.Akihiko_Taka
hashi_USA.pdf
Verschaffel, L. (2002). Taking the modeling perspective seriously at the elementary school
level: Promises and pitfalls. Dalam A. D. Cockburn, & E. Nardi (Penyunt.), Proceedings of
the 26th PME International Conference, 1, hal. 64-80