Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan. Bising adalah
suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu atau membahayakan
kesehatan. Pengaruh bising pada kesehatan berupa gangguan pendengaran dan
bukan gangguan pendengaran (Rahayu, 2010).
Menurut surat edaran menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi No.
SE 01/MEN/1978 dalam Leksono (2009), mendefinisikan bahwa Nilai Ambang
Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan
merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan menurunnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja terusmenerus selama tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kebisingan di
tenpat kerja diusahakan agar lebih rendah dari NAB, yaitu 85dB.
Saat ini kebisingan mulai meningkat di beberapa negara, padahal bila
terjadi berulang kali dan terus menerus sehingga melampaui daya adaptasi
individu maka terjadi kondisi stress yang merusak atau sering disebut distress.
Keadaan bising dapat mengakibatkan gangguan yang serius dan mempengaruhi
kondisi fisiologis dan psikologis seseorang, disamping sebagai stressor yang dapat

memodulasi respon imun (Inayah, 2008).
Status kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan
masyarakat, perilaku dan lingkungan. Untuk meningkatkan status kesehatan
seseorang diperlukan lingkungan yang kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari
polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Akan tetapi lingkungan yang bebas
polusi sangat jarang kita temui pada saat sekarang ini. Hal ini terjadi karena
bertambahnya urbanisasi sehubungan dengan bertambahnya transportasi yang
pesat dan pertambahan penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar dan
berkekuatan dimana-mana. Bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat
diabaikan dari kehidupan yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya serius
pula terhadap kesehatan (Doelle, 1993).

Universitas Sumatera Utara

2

Hubungan antara kebisingan dengan kemungkinan timbulnya gangguan
terhadap kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu intensitas
kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya seseorang berada di tempat atau di
dekat bunyi tersebut, baik dari hari ke hari ataupun seumur hidupnya (Rosidah,

2003).
Menurut Hartono (2007), kebisingan juga menyebabkan stres pada bagian
tubuh yang mengakibatkan sekresi hormon abnormal dan tekanan pada otot.
Pekerja yang terpapar bising kadang mengeluh gugup, susah tidur dan lelah.
Emosi atau stres mempengaruhi keadaan fisiologi traktus gastrointestinal, antara
lain sekresi musinoid, pepsin dan asam klorida lambung. Diduga keadaan inilah
yang menjadi penyebab ulkus peptikum yang sekarang lebih dikenal dengan
sindrom dispepsia. Dispepsia yang dimaksud di sini adalah penderita dengan
keluhan yang berasal dari saluran cerna bagian atas yang dapat berupa nyeri
epigastrium, mual, muntah yang dapat disertai darah atau tidak, rasa cepat
kenyang, kembung atau sering sendawa.
Bising termasuk salah satu stresor psikobiologik, dimana stres ini akan
dapat bermanifestasi pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan
perilaku. Beberapa ilmuan mengenalkan istilah psikoneuroimunologi, yaitu suatu
kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi
dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan pada penelitian dan
banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai pathogenesis
penyakit termasuk infeksi dan neoplasma. Interaksi antara stres dan sistem imun
dapat dijelaskan bahwa stresor pertama kali ditampung oleh alat indera dan
diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Selanjutnya,

stimulus akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara
lain mendapat stimulus tersebut adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan
keseimbangan hormon, yang kemudian akan menimbulkan perubahan fungsional
berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan
perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA
(Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid
Axis), dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis) (Inayah, 2008).

Universitas Sumatera Utara

3

1.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada
hubungan intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan waktu pemaparan
terhadap gambaran histopatologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.)
jantan.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada morfologi lambung tikus putih
(Rattus norvegicus L.) jantan yang dipapari kebisingan.
b. Untuk mengetahui gambaran kerusakan histopatologi lambung tikus putih (Rattus
norvegicus L.) jantan yang dipapari kebisingan.

1.4. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Kebisingan dalam intensitas tinggi (> 80dB) berpengaruh negatif terhadap
gambaran histopatologi dan morfologi lambung tikus.
b. Kebisingan dalam intensitas sedang dan rendah (