Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

(1)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KEBISINGAN

SKRIPSI

ANITA DORIS SIANTURI 100805035

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

PENGARUH EKSTRAK KULIT MANGGIS

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS (Rattus norvegicus

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS

Rattus norvegicus L.) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIPAPARI KEBISINGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ANITA DORIS SIANTURI 100805035

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

Garcinia mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS JANTAN GALUR WISTAR YANG DIPAPARI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

Kategori : Skripsi

Nama : Anita Doris Sianturi Nomor Induk Mahasiswa : 100805035

Program Studi : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juli 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dra. Emita Sabri, M.Si Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

NIP: 19560712 198702 2 002 NIP: 19660209 199203 1 003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH EKSTRAK KULIT MANGGIS

(

Garcinia

mangostana

L.)

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS

LAMBUNG TIKUS

(

Rattus norvegicus

L.)

JANTAN YANG

DIPAPARI KEBISINGAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

ANITA DORIS SIANTURI 100805035


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Jantan (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar yang Dipapari Kebisingan” sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana sains pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku dosen pembimbing II atas segala saran, arahan, pengetahuan, motivasi dan waktu yang telah disediakan bagi penulis. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si selaku Dosen Penguji I dan kepada Ibu Dra. Elimasni, M.Si selaku Dosen Penguji II atas segala arahan, masukan serta waktu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M.Si dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Ketua dan Sekertaris Departemen Biologi FMIPA USU. Kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan bagi penulis, kepada seluruh Dosen di Departemen Biologi FMIPA USU untuk segala ilmu dan pembelajaran yang telah diberikan kepada penulis selama ini, Ibu Nurhasni Muluk selaku Laboran di Laboratorium Fisiologi Hewan, Ibu Roslina Ginting, Bang Erwin selaku staf pegawai di Departemen Biologi.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan buat kedua orang tua: S. Sianturi dan R. A. Tarigan buat kasih dan dukungan serta semangat bagi penulis. Terima kasih juga atas semangat dan dukungan yang selalu diberikan oleh abang dan adek terkasih: Bang Sihol, adek Hanna, Duma, Paldo, dan juga teman-teman, khususnya: Chrestina, Santa, Yantika, Yongbae, Zais, Bang Adi Gunawan, Bang Imam, Kak Asmitra, dan Kak Laura serta teman-teman BIOREV atas semangat dan dukungan kepada Penulis hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, penulis pada khususnya dan para pembaca serta bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih. Damai sejahtera beserta kita. Amin.

Medan, Juli 2015 Penulis


(6)

PENGARUH EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS (Rattus norvegicus L.) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIPAPARI

KEBISINGAN

ABSTRAK

Kebising merupakan salah satu stresor yang dapat menimbulkan banyak gangguan kesehatan antara lain gangguan sistem imun, sistem hormon, sistem pencernaan, peningkatan tekanan darah dan lain-lain. Ekstrak kulit manggis mengandung senyawa xanthone yang dapat mengurangi gangguan kesehatan tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit manggis terhadap gambaran histopatologis lambung tikus yang dipapari kebisingan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dengan 5 ulangan. Kontrol (+) (P0) yang diberi ekstrak kulit manggis dari hari pertama hingga hari ke-16 dan (P1) kontrol (-) yang diberi akuades dari hari pertama hingga hari ke-16 dan kebisingan 85-110 dB hari ke 9 hingga hari ke-16. Kelompok selanjutnya diberi ekstrak kulit manggis dari hari pertama hingga hari ke-16 dan kemudian diberi kebisingan dengan tingkat kebisingan yang berbeda, yaitu: (P2) 25-50 dB, (P3) 55-80 dB, (P4) 85-110 dB dari hari ke 9 hingga hari ke-16. Volume ekstrak kulit manggis yang diberikan sebanyak 0,5 ml/oral/hari. Preparat lambung dibuat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pengamatan morfologi lambung menunjukkan adanya perubahan warna pada perlakuan P1 dan P4. Pada pengamatan berat badan tikus tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Gambaran histologis lambung pada tingkat keparahan erosi/ulkus lambung ditemukan penurunan erosi yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P4 dan P1, tetapi pada jumlah gastritis tidak ditemukan penurunan yang signifikan (P>0,05).

Kata Kunci: Ekstrak Kulit Manggis, Erosi/ulkus lambung, Gastritis, Kebisingan, Lambung.


(7)

HISTOLOGIC DESCRIPTION OF MALE RATS (Rattus norvegicus L.) GASTER TREATED WITH MANGOSTEEN PEEL EXTRACT (Garcinia

mangostana L.) AND NOISE EXPOSURE

ABSTRACT

Noise is one of stressor that can lead to many health problems among other disorders of the immune system, hormone system, digestive system, increase blood pressure, etc. Mangosteen peel extract contains compound such as xanthones which can reduce the disorder. The purpose of this research is to investigate the effect of mangosteen peel extract on gaster histological rat exposed to noise. This study was an experimental study using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatment groups and 5 replications. This study was used positive control of mangosteen peel extract from the 1st day until 16th day and negative control of distilled water from the 1st day until 16th day and noise 85-110 dB from 9th day to 16th day. The next groups were given a mangosteen peel extract from the 1st day until 16th day and then given noise with different noise levels, namely: 25-50 dB, 55-80 dB and 85-110 dB from 9th day to 16th day. The volume of mangosteen peel extract given was 0.5 ml/oral/day. Gaster made into microscopic slides for histologic examination using paraffin method and Hematoxyline Eosin (HE) stain. Morphologic examination showed color change in P1 and P4 treatment groups. No significant difference was observed in rats weight between treatment and control group. Histologic examination of the depth of gastric mucosal erosion/gastric ulcersrats showed significant (P<0.05) decrease of erosion between treatment and control group, but no significant decrease of gastritic (P>0,05).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PENGHARGAAN ii

PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Permasalahan 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Hipotesis 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan 5

2.2. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan 7

2.3. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan 8 2.4. Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) 9

2.5. Lambung 11

2.5.1. Anatomi Lambung 11

2.5.2. Histologi Lambung 12

2.5.3. Gangguan pada Lambung 14

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat 15

3.2. Alat dan Bahan 15

3.3. Rancangan Percobaan 15

3.4. Prosedur Penelitian 16

3.4.1. Penyediaan Hewan Penelitian 16

3.4.2. Pembuatan Kotak Perlakuan Sampel 16 3.4.3. Pembuatan Larutan Kulit Manggis

(Garcinia mangostana L.) 17

3.4.4. Pemeriksaan Keadaan Normal 17

3.4.5. Perlakuan Hewan Percobaan 18

3.4.6. Pengambilan Organ Untuk Pengamatan 18 3.4.7. Pembuatan Preparat Histologi Lambung dengan

Metode Parafin 19

3.5. Parameter Pengamatan 20


(9)

3.5.2. Pengamatan Histopatologis Lambung 21

3.6. Analisis Data 22

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan

Kebisingan 23

4.1.1. Warna Lambung Tikus Setelah Pemberian

Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Bising 23

4.1.2. Rerata Berat Badan 24

4.2. Gambaran Histologi Lambung 25

4.2.1. Tingkat Keparahan Ulkus Lambung 25

4.2.2. Gastritis 29

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 33

5.2. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

2.1. Syarat-Syarat Zona Kebisingan Kebisingan 7 2.2. Pemaparan Intensitas Kebisingan Per Hari 8 3.5.2.1. Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung dengan

Modifikasi 21


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

2.1. Pembagian Daerah Anatomi Lambung 12

2.2. Posisi Peptic Ulcer Disease/Tukak Lambung 14

3.1. Kotak Perlakuan Sampel 17

3.2. Alat OAE 18

3.5.2. Skor Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus berdasarkan

Kriteria Wattimena pada Histologi Lambung 22 4.1.1. Warna Lambung Tikus Setelah Pemberian Ekstrak

Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan 23 4.1.2. Rerata Berat Badan Awal dan Akhir Tikus Setelah

Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan

24 4.2.1. Rerata Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung

Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan

25 4.2.2. Rerata Derajat Gastritis Tikus Setelah Pemberian


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1 Tabel Konversi Laurance dan Bacharach 38 Lampiran 2 Analisis Statistik Rata-rata Berat Badan Tikus 39 Lampiran 3 Analisis Statistik Rata-rata Tingkat Keparahan

Ulkus Lambung Tikus 41

Lampiran 4 Analisis Statistik Rata-rata Derajat Gastritis (Sel


(13)

PENGARUH EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS (Rattus norvegicus L.) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIPAPARI

KEBISINGAN

ABSTRAK

Kebising merupakan salah satu stresor yang dapat menimbulkan banyak gangguan kesehatan antara lain gangguan sistem imun, sistem hormon, sistem pencernaan, peningkatan tekanan darah dan lain-lain. Ekstrak kulit manggis mengandung senyawa xanthone yang dapat mengurangi gangguan kesehatan tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit manggis terhadap gambaran histopatologis lambung tikus yang dipapari kebisingan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dengan 5 ulangan. Kontrol (+) (P0) yang diberi ekstrak kulit manggis dari hari pertama hingga hari ke-16 dan (P1) kontrol (-) yang diberi akuades dari hari pertama hingga hari ke-16 dan kebisingan 85-110 dB hari ke 9 hingga hari ke-16. Kelompok selanjutnya diberi ekstrak kulit manggis dari hari pertama hingga hari ke-16 dan kemudian diberi kebisingan dengan tingkat kebisingan yang berbeda, yaitu: (P2) 25-50 dB, (P3) 55-80 dB, (P4) 85-110 dB dari hari ke 9 hingga hari ke-16. Volume ekstrak kulit manggis yang diberikan sebanyak 0,5 ml/oral/hari. Preparat lambung dibuat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pengamatan morfologi lambung menunjukkan adanya perubahan warna pada perlakuan P1 dan P4. Pada pengamatan berat badan tikus tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Gambaran histologis lambung pada tingkat keparahan erosi/ulkus lambung ditemukan penurunan erosi yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P4 dan P1, tetapi pada jumlah gastritis tidak ditemukan penurunan yang signifikan (P>0,05).

Kata Kunci: Ekstrak Kulit Manggis, Erosi/ulkus lambung, Gastritis, Kebisingan, Lambung.


(14)

HISTOLOGIC DESCRIPTION OF MALE RATS (Rattus norvegicus L.) GASTER TREATED WITH MANGOSTEEN PEEL EXTRACT (Garcinia

mangostana L.) AND NOISE EXPOSURE

ABSTRACT

Noise is one of stressor that can lead to many health problems among other disorders of the immune system, hormone system, digestive system, increase blood pressure, etc. Mangosteen peel extract contains compound such as xanthones which can reduce the disorder. The purpose of this research is to investigate the effect of mangosteen peel extract on gaster histological rat exposed to noise. This study was an experimental study using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatment groups and 5 replications. This study was used positive control of mangosteen peel extract from the 1st day until 16th day and negative control of distilled water from the 1st day until 16th day and noise 85-110 dB from 9th day to 16th day. The next groups were given a mangosteen peel extract from the 1st day until 16th day and then given noise with different noise levels, namely: 25-50 dB, 55-80 dB and 85-110 dB from 9th day to 16th day. The volume of mangosteen peel extract given was 0.5 ml/oral/day. Gaster made into microscopic slides for histologic examination using paraffin method and Hematoxyline Eosin (HE) stain. Morphologic examination showed color change in P1 and P4 treatment groups. No significant difference was observed in rats weight between treatment and control group. Histologic examination of the depth of gastric mucosal erosion/gastric ulcersrats showed significant (P<0.05) decrease of erosion between treatment and control group, but no significant decrease of gastritic (P>0,05).


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau alat-alat-alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No.13/MEN/X/2011). Sedangkan menurut Montotalu dkk. (2014), bising lingkungan merupakan suara yang tidak dikehendaki yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada setiap individu yang terpapar bising tersebut. Pengaruh kebisingan terhadap timbulnya gangguan kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu intensitas, frekuensi dan lamanya terpapar kebisingan tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi semakin canggih dan berkembang, hal ini diakibatkan oleh karena kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Keadaan ini menyebabkan banyaknya aktivitas manusia yang menimbulkan kebisingan khususnya dalam bidang industri. Masyarakat yang terpapar kebisingan dengan intensitas yang tinggi secara terus menerus akan mengalami gangguan kesehatan. Masalah kesehatan yang muncul diakibatkan karena stres tingkat tinggi. Menurut Zheng & Ariizumi (2007), bising adalah salah satu penyebab stres yang dapat mempengaruhi tubuh dengan meningkatnya sekresi dari hormon stres, seperti adrenalin dan dopamin. Stres merupakan kondisi yang dihasilkan ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu pertentangan, apakah itu nyata ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial. Dalam terminologi medis, stres akan mengganggu sistem homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan psikologis (Pradana, 2013).

Banyak penelitian dilakukan peneliti yang menunjukkan bahwa paparan kebisingan terus menerus dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, antara lain menimbulkan kelelahan (Hanifa, 2006), mempengaruhi jumlah leukosit dan sistem imun (Inayah, 2008; Zheng & Ariizumi, 2007), meningkatkan kadar


(16)

2 kortisol plasma (Marpaung, 2006), menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Babba, 2007; Rusli, 2009), gangguan gastrointestinal (Fonseca et al., 2006), meningkatkan kadar asam lambung (Moslehi et al., 2010) dan dapat menyebabkan sindrom dispepsia (Hartono, 2005).

Sindrom dispepsia adalah kumpulan gejala berupa keluhan yang berasal dari saluran makan bagian atas (Christy, 2010). Menurut Susanti dkk. (2011), sindrom dispepsia dipengaruhi oleh tingkat stres, makanan dan minuman iritatif dan riwayat penyakit (gastritis dan ulcus pepticum). Semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk mengalami sindrom dispepsia. Pada penelitian Kim et al. (1968), ditemukan adanya perubahan pengeluaran asam lambung pada relawan yang sehat dan anjing yang terpapar kebisingan dari mesin jet. Mereka juga menemukan ulseratif lesi lambung pada tikus yang terpapar kebisingan tersebut. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Moslehi et al. (2010), dimana pada tikus yang diberi perlakuan kebisingan intensitas 86 dB selama 7, 14, 21 dan 28 hari mengalami peningkatan asam lambung, perbesaran sel parietal dan erosi mukosa lambung.

Untuk mengatasi efek buruk dari kebisingan dapat dilakukan dengan pemberian obat-obat herbal dan lain-lain. Menurut Chaverri et al. (2008), pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional pada saat ini terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan dari sebagian besar masyarakat bahwa penggunaan tanaman obat tersebut tidak menimbulkan efek samping. Salah satu simplisia yang berkhasiat obat adalah kulit manggis.

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan pohon buah yang berasal dari daerah Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand dan Myanmar. Secara umum, orang hanya mengkonsumsi buahnya saja dan cenderung membuang kulit buah manggis tersebut. Bagian tanaman yang secara tradisional sering dipakai dalam pengobatan tradisional (diare, disentri, eksim dan penyakit kulit lainnya) adalah kulit buah. Kulit buah manggis ternyata dilaporkan mengandung senyawa golongan xanthone (Nugroho, 2009).

Xanthone merupakan substansi kimia alami yang tergolong senyawa polifenolik (Hasyim & Iswari, 2008). Senyawa xanthone pada kulit buah manggis memiliki gugus hidroksil (OH-) yang efektif mengikat radikal bebas, termasuk


(17)

senyawa oksigen reaktif (ROS), dengan menyumbangkan ion H+ (Prista, 2012). Adanya gugus hidoksil (OH-) memungkinkan senyawa tersebut bekerja sebagai antioksidan dengan cara mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas untuk membentuk produk akhir yang stabil sehingga tidak terjadi reaksi inisiasi atau propagasi lebih lanjut (Zarena & Sankar, 2009).

Dalam penelitian Nugroho (2009), ekstrak kulit buah manggis dan senyawa aktifnya memiliki aktivitas farmakologi yaitu antialergi, antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antimikroorganisme, antiaterosklerosis dan bahkan anti-HIV. Pada uji toksistas, ekstrak etanol buah manggis yang mengandung senyawa aktif xanthone tidak menunjukkan toksisitas baik secara akut maupun subkronis.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebisingan dapat menimbulkan masalah kesehatan dan penelitian tentang ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) menunjukkan tanaman ini memiliki banyak khasiat sebagai tanaman obat. Hal tersebut membuat peneliti tertarik melakukan penelitian ini dan dikarenakan belum adanya penelitian tentang penggunaan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dalam mencegah efek yang ditimbulkan oleh kebisingan terutama efek pada lambung sehingga dilakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologis lambung tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar yang dipapari kebisingan.

1.2. Rumusan Permasalahan

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) berpengaruh dalam mencegah efek yang ditimbulkan dari kebisingan terhadap gambaran histopatologis lambung tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologis lambung tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar yang dipapari kebisingan.


(18)

4 1.4. Hipotesis

Ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) yang mengandung senyawa xanthone dapat mencegah kerusakan histopatologis lambung tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar yang dipapari kebisingan.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh kebisingan dengan intensitas tinggi terhadap kesehatan lambung dan pengaruh ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai proteksi atau mencegah efek yang ditimbulkan dari kebisingan.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan

Secara umum bising adalah suatu bunyi yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan yang sifat getarannya selalu berubah-ubah dan dapat mengganggu seseorang. Bising yang ada di lingkungan industri adalah suatu kumpulan suara yang terdiri atas gelombang-gelombang akustik dengan berbagai macam frekuensi dan intensitas (Christy, 2010). Sedangkan menurut Faisal et al. (2008), kebisingan adalah gangguan acak sinyal yang menimbulkan masalah mendasar pada pengolahan informasi dan mempengaruhi semua aspek fungsi sistem saraf.

Bising merupakan gelombang suara yang dirasakan sebagai gangguan, karena sifatnya yang mengganggu secara psikologik. Bising adalah penimbul stres (stressor). Tidak adanya kendali pada kebisingan akan menimbulkan stres jika berlangsung lama (Pradana, 2013). Menurut Inayah (2008), bising merupakan peningkatan suara dengan gelombang kompleks yang tidak beraturan, sehingga bising merupakan salah satu stressor bagi individu. Keadaan bising dapat mengakibatkan gangguan yang serius dan mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis seseorang, disamping sebagai stressor yang dapat memodulasi respon imun. Menurut Christy (2010), kebisingan adalah suara yang tak diinginkan, oleh karena hal tersebut akan menjadi stres tambahan dari pekerjaan yang dilakukan. Gangguan psikologis dapat berupa rasa tak nyaman, kurang konsentrasi, emosi, susah tidur, dan lain-lain. Pemaparan dalam jangka waktu yang lama menyebabkan penyakit psikosomatik seperti gastritis, penyakit jantung koroner, dan lain-lain.

Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka bising dibagi dalam 3 kategori:

a. Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) yaitu bising yang disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja, misal bising dari mesin ketik.


(20)

6 b. Audible noise (bising pendengaran) yaitu bising yang disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31,5-8.000 Hz.

c. Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) yaitu bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak, misal pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil (Rusli, 2009).

Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas (Buchari, 2007):

a. Bising yang mengganggu (irritating noise). Intensitasnya tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.

b. Bising yang menutupi (masking noise) merupakan bising yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan karena teriakan atau isyarat tanda bahaya dapat tenggelam dalam bising dari sumber lain.

c. Bising yang merusak (damaging/injorious noise) adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas (NAB). Bunyi jenis ini dapat merusakkan atau menurunkan fungsi pendengaran.

Bising yang didengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh. Sumber bunyi dapat berupa apa saja, mulai dari mesin-mesin di pabrik, pesawat terbang dan lain-lain. Dampak kebisingan di suatu daerah besar pengaruhnya bagi kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat. Bagi kesehatan manusia, kebisingan dapat menimbulkan gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stres, sakit kepala, peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Rusli, 2009).

Menurut Rahayu (2010), penentuan kebisingan terhadap efek kesehatan dibedakan beberapa zona dimana kebisingan akan memberikan efek pada kesehatan manusia sesuai dengan lokasi kebisingan. Empat jenis zona tersebut adalah sebagai berikut:

a) Zona A, adalah zona tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial dan sejenisnya.

b) Zona B, adalah zona bagi tempat perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya.


(21)

c) Zona C, adalah zona bagi perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar dan sejenisnya.

d) Zona D, adalah bagian industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.

Tabel 2.1. Syarat-Syarat Zona Kebisingan

No. Zona Tingkat kebisingan maksimum

yang dianjurkan maksimum yang dibolehkan Tingkat kebisingan

1 A 35 45

2 B 45 55

3 C 50 60

4 D 60 70

2.2. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari/40 jam seminggu (Permenakertrans No.13/MEN/X/2011).

Menurut Rosidah (2003), ambang pendengaran adalah suara terlemah yang masih bisa di dengar. Makin rendah level suara terlemah yang di dengar berarti makin rendah nilai ambang pendengaran, berarti makin baik pendengarannya. Kebisingan dapat mempengaruhi nilai ambang batas pendengaran baik bersifat sementara (fisiologis) atau menetap (patofisiologis). Kehilangan pendengaran bersifat sementara apabila telinga dengan segera dapat mengembalikan fungsinya setelah terkena kebisingan.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 13/MEN/X/2011 Tahun Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, NAB kebisingan ditetapkan sebesar 85 desibel A (dBA). Hal ini berarti bahwa pada tingkat intensitas bising tersebut sebagian besar tenaga kerja masih berada dalam batas aman untuk bekerja selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Kebisingan untuk pemaparan per hari disajikan pada tabel berikut:


(22)

8 Tabel 2.2. Pemaparan Intensitas Kebisingan Per Hari

Batas waktu pemaparan per hari kerja Intensitas kebisingan dalam dBA 8

4 2 1

Jam 85

88 91 94 30 15 7,5 3,75 1,88 0,94

Menit 97

100 103 106 209 112 28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11

Detik 115

118 121 124 127 130 133 136 139 Catatan:

Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat. Sumber: Kepmenakertrans Nomor Per 13/MEN/X/2011. 2.3. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan

Tempat kerja, terdapat faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja seperti faktor fisik, dan berpengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Lingkungan kerja merupakan salah satu sumber utama bahaya potensial kesehatan kerja. Salah satu dari faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja adalah kebisingan. Kebisingan dapat menimbulkan dampak, salah satunya bisa menimbulkan stres terhadap seseorang yang terpapar kebisingan (Pradana, 2013).

Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi reseptor vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan efek pusing/vertigo. Perasaan mual, susah tidur dan sesak nafas disebabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ, kelenjar endokrin, tekanan darah, sistem pencernaan dan keseimbangan elektrolit (Christy, 2010).


(23)

Pada saat ini fakta eksperimental bahwa paparan kebisingan pada kenyataannya merupakan stresor biologis yang mengganggu sensasi pendengaran secara psikologis maupun fisiologis melalui telinga manusia, gangguan ini kemudian bergeser ke otak dan mempengaruhi sistem saraf otomatis dengan memicu serangkaian reaksi biomedis, di kelenjar, jantung, pencernaan dan sistem otot yang saling terkait satu sama lain. Para pasien memiliki sedikit kemampuan untuk mengatasi tekanan sehingga terpengaruh. Kebisingan terus menerus dapat mengubah memori pasien, meningkatkan kemarahan dan mengurangi kesabaran (Shahid et al., 2014).

Telah banyak observasi yang menunjukkan bahwa emosi atau stres mempengaruhi keadaan fisiologi traktus gastrointestinal, antara lain sekresi musinoid, pepsin dan asam klorida dalam lambung. Keadaan ini pula yang diduga menjadi penyebab penyakit ulcus pepticum, yang sekarang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia. Sindrom dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan yang berasal dari saluran makan bagian atas yang dapat berupa nyeri epigastrium, mual, muntah yang disertai darah atau tidak, rasa cepat kenyang, kembung atau sering sendawa. Sindrom dispepsia disamping akan menjadikan masalah kesehatan tenaga kerja juga akan menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun (Christy, 2010).

2.4. Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.)

Klasifikasi botani pohon manggis adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Keluarga : Guttiferae Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana L. (Prihatman, 2000).

Kulit buah manggis (KBM) merupakan bagian terbesar dari buah manggis (Garcinia mangostana L.) yang dikategorikan sebagai limbah. Studi fitokimia menunjukkan bahwa senyawa antioksidan dalam KBM, terutama xanthone, antosianin dan kelompok senyawa fenolik lainnya memiliki sifat fungsional dan


(24)

10 manfaat untuk kesehatan seperti antidiabetes, antikanker, antiinflamasi, meningkatkan kekebalan tubuh, antibakteri, antifungi, antiplasmodial dan sebagainya (Permana dkk., 2012). Banyak bagian dari pohon dapat digunakan untuk tujuan pengobatan, misalnya daun, kulit kayu dan kulit buah yang digunakan sebagai obat herbal untuk sariawan, disentri, sistitis, diare, gonorea, eksim dan gangguan kulit lain (ICUC, 2003).

Berbeda dengan jenis buah-buahan lain, keunggulan buah manggis terletak pada kulit buahnya. Kulit buah manggis muda memiliki efek speriniostatik dan spermisida. Dari hasil suatu penelitian dilaporkan bahwa xanthone (1, 3, 6-trihydroxy-7-methoxy-2,8-bis(3-methyl-2-butenyl)-9H-xanthone-9-on) hasil isolasi dari kulit buah manggis mempunyai aktivitas antiinflamasi dan antioksidan. Dan hasil studi farmakologi dan biokimia diketahui bahwa xanthone secara kompetitif menghambat reseptor histamin H (mediator kontraksi otot lunak). Mangostin merupakan tipe baru dari histamin. Antioksidan sangat diperlukan oleh tubuh untuk memberi kekuatan dan daya imun tubuh dalam mengatasi segala penyakit terutama radikal bebas yang menyerang sel-sel tubuh setiap hari (Hasyim & Iswari, 2008).

Sifat antioksidan buah manggis dikaitkan dengan adanya bahan aktif terutama dari kulit buah. Bahan aktif yang telah berhasil diidentifikasi dari kulit buah manggis berupa sejumlah besar senyawa xanthone, di antaranya 8-hydroxycudraxanthone G, mangostingone [7-methoxy-2-(3-methyl-2-butenyl)-(3-methyl-2-oxo-3-butenyl)-1,3,6-trihydroxyxanthone], cudraxanthone G, 8-deoxygartanin, garcimangosone B, garcinone D, garcinone E, gartanin,1-isomangostin, alfamangostin, gammamangostin, mangostinone, smeathxanthone A dan tovophyllin A (Jung et al., 2006). Xanthone termasuk ke dalam golongan senyawa flavonoid. Senyawa ini memiliki dua cincin benzene dan satu cincin piran. Inti xanthone dikenal sebagai 9-xanthenone atau dibenzo-c-pyrone (Chaverri et al., 2008).

Ekstrak manggis adalah campuran yang sangat kompleks dari banyak senyawa berbeda dengan polaritas yang berbeda serta sifat antioksidan dan prooksidan, juga tergantung pada struktur kimia pada senyawa dalam ekstrak tersebut. Atas dasar data dalam penelitian ini ada kemungkinan bahwa ekstrak


(25)

kulit manggis dapat memberikan manfaat gizi dan kesehatan dalam mengurangi stres oksidatif (Zarena & Sankar, 2009). Menurut Hasyim & Iswari (2008), buah manggis mengandung xanthone sebagai antioksidan yang kuat, sangat dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reducing radicals, oxidizing radicals, carboncentered, sinar UV, metal, dll) yang ada di lingkungan manusia.

Antioksidan menghambat pembentukkan radikal bebas dengan bertindak sebagai donor H terhadap radikal bebas sehingga radikal bebas berubah menjadi bentuk yang lebih stabil. Aktivitas antioksidan erat kaitanya dengan kemampuan menyumbangkan elektron hidrogen pada gugus (OH-) reaktif, sehingga penambahan senyawa antioksidan tersebut dapat menghambat atau memperlambat reaksi pembentukan peroksida. Antioksidan mentransfer atom hidrogen ke radikal bebas hasil oksidasi menjadi senyawa non-radikal, sehingga tidak merusak sel-sel di sekitarnya (Ningtyas dkk., 2013).

Kulit buah manggis setelah diteliti ternyata mengandung beberapa senyawa yang berperan dalam kesehatan misalnya sebagai antiinflamasi (Chen et al., 2007), antioksidan (Zarena & Sankar, 2009), antiulserogenik (Nainwal et al., 2010), antibakteri (Poeloengan & Praptiwi, 2010) dan sebagai antikanker (Jamil & Ersam, 2010).

2.5. Lambung

2.5.1. Anatomi Lambung

Lambung adalah bagian saluran pencernaan makanan yang melebar seperti kantong, terletak di bagian atas rongga perut sebelah kiri, dan untuk sebagian tertutup oleh alat-alat yang letaknya berdekatan seperti hati, usus besar dan limpa. Lambung berhubungan dengan alat-alat itu dan juga dengan dinding belakang rongga perut dengan perantaraan dengan beberapa lipatan salut perut (Limbong dkk., 2011).

Lambung merupakan ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada regio epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen (Tortora & Derrickson, 2009). Pada inspeksi makro terlihat 4 regio, yakni: kardia, fundus, korpus dan pilorus. Permukaan lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae. Saat lambung terisi


(26)

12 Tikus memiliki satu lambung (monogastric) terletak disisi kiri rongga abdomen dan berbatasan dengan hati. Lambung dan organ lainnya terikat ke rongga tubuh bagian dorsal oleh mesenterium yang kaya pembuluh darah. Mesenterium yang mengikat lambung pada bagian kurvatura mayor disebut omentum (Harris, 2009).

Gambar 2.1. Pembagian Daerah Anatomi Lambung (Tortora & Derrickson, 2009)

2.5.2. Histologi Lambung

Secara umum, histologi lambung dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa dan serosa.

a. Mukosa

Membran mukosa lambung berbentuk irreguler seperti tiang, membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi rendahnya rentangan organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga komponen yaitu epitelium, lamina propia dan muskularis mukosa. Sel yang terdapat di permukaan mukosa lambung dan sumur lambung disusun oleh epitel silinder sebaris yang dinamakan sel mukus permukaan. Sel ini menghasilkan mukus yang membentuk lapisan tebal yang melindungi sel-sel ini terhadap pangaruh asam kuat yang dihasilkan lambung dan mencegah otodigestion mukosa lambung. Bentuk dan kedalaman proporsional lubang dan sifat-sifat kelenjarnya berbeda pada berbagai bagian dari lambung (Bevelander & Ramaley, 1988; Junqueira et al., 2003).

Kelenjar lambung berbentuk simpel dan tipe tubular yang meluas hingga basal lubang sumuran. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu isthmus, leher dan basal. Tiap kelenjar lambung terbentuk dari empat jenis sel yaitu: sel-sel lendir leher, sel-sel utama (Chief cell/peptic cells), sel-sel parietal


(27)

(sel oksintik) dan sel-sel enteroendokrin (Bevelander & Ramaley, 1988). Mukosa lambung merupakan suatu proteksi utama bagi dinding lambung. Apabila mukosa ini sering dirusak atau diiritasi akibat mengkonsumsi zat yang bersifat asam maka sangat dimungkinkan terjadinya erosi dan ulkus peptikum (Larasati, 2010).

b. Submukosa

Pada lapisan ini terdapat kumpulan pembuluh darah kecil yang dikenal dengan pleksus Heller dan juga meliputi sebagian besar pembuluh limfatika dan pleksus syaraf (pleksus Meissner) (Bevelander & Ramaley, 1988).

c. Muskularis Propria

Terdiri atas serat-serat otot polos, yaitu lapis longitudinal dibagian luar, lapis sirkuler dibagian tengah, dan lapis oblique dibagian dalam (Junqueira et al., 2003). Pada serat melingkar terdapat pleksus Auerbach yang diperlukan untuk mengkoordinasi kontraksi-kontraksi intrinsik otot polos yang biasanya lemah dan kurang efektif (Bevelander & Ramaley, 1988).

d. Serosa

Lapisan paling luar yang melapisi saluran pencernaan adalah adventisia atau serosa. Adventisia atau serosa tersusun dari jaringan longgar yang sering mengandung lemak, pembuluh darah dan saraf (Bevelander & Ramaley, 1988). Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos (mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009).

2.5.3. Gangguan pada Lambung

Penyakit Maag adalah penyakit yang ditimbulkan oleh kelebihan asam yang diproduksi oleh lambung yang menyebabkan iritasi di selaput lendir lambung. Dalam kondisi normal asam diperlukan untuk membantu pencernaan dalam mengolah makanan yang kita makan. Namun produksi asam di lambung dapat lebih besar dari yang dibutuhkan bila pola hidup kita tidak teratur dan tidak sehat, misalnya :

 makan tidak teratur atau terlalu cepat

 makan makanan yang terlalu pedas dan berminyak  merokok dan banyak minum kopi/alkohol


(28)

14 Selain akibat gangguan keasaman lambung, ada peran organisme renik yaitu bakteri Helicobacter pylori sebagai penyebab lain dari sakit maag. Bakteri ini mempunyai sifat luar biasa. Jika bakteri lain mati pada suasana asam dalam lambung, Helicobacter pylori mampu bertahan hidup bahkan berkembang biak. Kuman Helicobacter pylori dapat mengiritasi dinding lambung, sehingga menimbulkan peradangan dan luka (ulkus). Akibat dinding lambung mengalami perlukaan, penderita akan merasakan perih di bagian ulu hati (Limbong dkk., 2011).

Gambar 2.2. Posisi Peptic Ulcer Disease/ Tukak Lambung (Limbong dkk., 2011)

Ulkus peptikum dan gastritis saat ini masih merupakan gangguan kesehatan dengan angka kejadian yang cukup tinggi. Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS), alkohol, dan zat-zat yang bersifat iritatif seperti asam terbukti dapat meningkatkan sekresi asam lambung yang kemudian dapat mengerosi mukosa lambung dan menimbulkan defek lapisan mukus (Larasati, 2010).

Gastritis merupakan inflamasi dari lapisan mukosa dan submukosa gaster atau lambung, sedangkan tukak peptik (ulkus peptikum) adalah ulserasi (perlukaan) saluran makanan bagian atas yang melibatkan duodenum dan lambung. Patogenesis tukak peptik sama-sama melibatkan asam pepsin. Keluhan paling banyak pada gastritis dan tukak peptik berupa nyeri perut atau ketidaknyamanan perut bagian atas. Keluhan lainnya adalah mual, muntah, kembung, rasa penuh atau terbakar di perut bagian atas (Susanti dkk., 2011).


(29)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan Juni 2014 hingga selesai di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak perlakuan hewan yang terbuat dari gabus dan dilapisi dengan busa serta triplek polywood kedap suara, multi player 3 (SONY), OAE (Otoacoustic Emisson), speaker, amplifier, sound level meter (PHILIPS WA-35TK), timer, timbangan digital, box tempat pemeliharaan hewan penelitian, jarum gavage, bak bedah, jarum pentul, dissecting set, mikroskop, gelas ukur 10 ml, beaker glass, camera digital, sampel cup, shaker, kuas, hot plate, mikrotom, botol balsam, cawan petri, plat parafin, cutter, chamber, oven, object glass, cover glass, spidol permanen, sarung tangan, masker, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan adalah tikus jantan (Rattus norvegicus L.) galur Wistar, ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.), pakan, sekam, kapas, tissue, larutan buffer formalin 10%, eter 99,5%, parafin, kertas label, akuades, NaCl 0,9%, holder, alkohol absolut, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, Hematoxylin, Eosin, xylol, dan canada balsam.

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan dengan masing-masing 5 ulangan.

a. Perlakuan 1 (P0): kontrol 1, diberi 0,5 ml larutan kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dari hari pertama hingga hari ke-16


(30)

16 b. Perlakuan 2 (P1): kontrol 2, diberi 0,5 ml akuades dari hari pertama hingga

hari ke-16 dan diberi perlakuan bising 85-110 dB hari 9-16

c. Perlakuan 3 (P2): diberi 0,5 ml larutan kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dari hari pertama hingga hari ke-16, dan diberi perlakuan bising sebesar 25-50 dB pada hari ke 9-16

d. Perlakuan 4 (P3): diberi 0,5 ml larutan kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dari hari pertama hingga hari ke-16, dan diberi perlakuan bising sebesar 55-80 dB pada hari ke 9-16

e. Perlakuan 5 (P4): diberi 0,5 ml larutan kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dari hari pertama hingga hari ke-16, dan diberi perlakuan bising sebesar 85-110 dB pada hari ke 9-16

Jumlah ulangan tikus percobaan untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (Ridwan, 2013), yaitu (t-1) (n-1) > 15. Dimana t adalah jumlah perlakuan dan n adalah jumlah hewan yang diperlukan. Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah ulangan 5 ekor dari tiap perlakuan, sehingga jumlah tikus yang digunakan sebanyak 25 ekor tikus.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Penyediaan Hewan Penelitian

Penelitian ini menggunakan tikus jantan (Rattus norvegicus L.) galur wistar yang berumur 8-12 minggu dengan berat badan 200-250 g, yang diperoleh dari Balai Veteriner Sumatera Utara, Medan sebanyak 25 ekor dan dipelihara di Balai Pemeliharaan Tikus di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara, Medan. Tikus diberi makan dan minum setiap hari secara teratur. Kandang terbuat dari bahan plastik (ukuran 50x30x15 cm), yang ditutupi dengan kawat kasa. Kandang diberi alas sekam dan diganti sebanyak dua kali dalam seminggu (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Pemanfaatan hewan dalam penelitian dilakukan sesuai dengan kode etik yang berlaku (KNEPK, 2006; Ridwan, 2013).

3.4.2. Pembuatan Kotak Perlakuan Sampel

Kotak perlakuan sampel terbuat dari gabus yang dilapisi dengan busa serta triplek polywood kedap suara yang telah dirangkai dengan speaker, multy player 3


(31)

dengan file yang berisi rekaman suara bising dengan frekwensi 1 hingga amplifier yang akan mengatur intensi

dibutuhkan. Dan terdapat pula s

intensitas bising pada kotak perlakuan, perlakuan bising.

Gambar 3.1. Kotak Perlakuan Sampel dihubungkan dengan tikus perlakuan

3.4.3. Pembuatan Larutan Kulit Manggis ( Ekstrak kulit manggis

penelitian ini adalah ekstrak kulit manggis kapsul dengan merek dagang G.

pencegahan penyakit pada

dikonversikan dengan tabel konversi (Laurence & Bacharach, 1964). Sehingga ditemukan dosis yang sesuai untuk tikus.

Perhitungan dosis:

1 kapsul = 400 mg, 400 mg x 3 kapsul/hari= 1200 mg

Nilai konversi x 1200 mg= 0,018 x 1200 mg= 21,6 mg. Pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana

21,6 mg di dalam 0,5 ml a

3.4.4. Pemeriksaan Keadaan Normal

Tikus yang akan diberi perlakuan terlebih dahulu diperiksa keadaan normal telinganya dengan menggunakan alat OAE

terlebih dahulu dipingsankan dengan memasukkan tikus ke dalam tabung berisi eter 99,5%. Setelah tikus pingsan, dilakukan pemeriksaan telinga dengan alat OAE. Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan

a

yang berisi rekaman suara bising dengan frekwensi 1 hingga

akan mengatur intensitas bising sesuai dengan volume yang Dan terdapat pula sound level meter digunakan untuk mengukur intensitas bising pada kotak perlakuan, serta timer sebagai pengukur waktu

1. Kotak Perlakuan Sampel. Keterangan: (a) pintu, (b

dihubungkan dengan mp3 dan amplifier, (c) kaca untuk mengamati tikus perlakuan, (d) kandang plastik tempat tikus perlakuan

. Pembuatan Larutan Kulit Manggis (Garcinia mangostana

Ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) yang digunakan dalam ini adalah ekstrak kulit manggis yang telah dikemas dalam bentuk dengan merek dagang G. Konsumsi ekstrak kulit manggis

pencegahan penyakit pada manusia adalah sebanyak 1 kapsul, 3 kali/hari. Dosis dengan tabel konversi (Laurence & Bacharach, 1964). Sehingga sis yang sesuai untuk tikus.

1 kapsul = 400 mg, 400 mg x 3 kapsul/hari= 1200 mg

Nilai konversi x 1200 mg= 0,018 x 1200 mg= 21,6 mg. Pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana L.) pada tikus dilakukan satu kali/ hari sebanyak 21,6 mg di dalam 0,5 ml akuades.

. Pemeriksaan Keadaan Normal

Tikus yang akan diberi perlakuan terlebih dahulu diperiksa keadaan dengan menggunakan alat OAE (Otoacoustic Emisson

terlebih dahulu dipingsankan dengan memasukkan tikus ke dalam tabung berisi eter 99,5%. Setelah tikus pingsan, dilakukan pemeriksaan telinga dengan alat Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan

b c d

yang berisi rekaman suara bising dengan frekwensi 1 hingga 10 kHz, s bising sesuai dengan volume yang digunakan untuk mengukur sebagai pengukur waktu

b) speaker yang ) kaca untuk mengamati kandang plastik tempat tikus perlakuan.

Garcinia mangostana L.)

digunakan dalam yang telah dikemas dalam bentuk ekstrak kulit manggis untuk dosis 3 kali/hari. Dosis dengan tabel konversi (Laurence & Bacharach, 1964). Sehingga

Nilai konversi x 1200 mg= 0,018 x 1200 mg= 21,6 mg. Pemberian ekstrak kulit L.) pada tikus dilakukan satu kali/ hari sebanyak

Tikus yang akan diberi perlakuan terlebih dahulu diperiksa keadaan Otoacoustic Emisson). Tikus terlebih dahulu dipingsankan dengan memasukkan tikus ke dalam tabung berisi eter 99,5%. Setelah tikus pingsan, dilakukan pemeriksaan telinga dengan alat Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan

b c d


(32)

melalui loudspeaker

bagian luarnya dilapisi karet lunak ( mendeteksi emisi otoakustik

diproses (Kemp, 2002). Hasil ak normal berupa pass dan

dapat dijadikan acuan untuk me dilakukan setiap harinya

untuk melihat ada atau tidaknya kerusakan yang terjadi.

Gambar 3.2. Alat OAE 3.4.5. Perlakuan Hewan Percobaan

Hewan percobaan diberi perlakuan sesuai dengan pemb hewan percobaan. Hewan yang diberi perlakuan

sebanyak 0,5 ml tiap ekor dicekok dengan menggunakan jarum yang akan diberi perlakuan

yang terbuat dari gabus dilapisi dengan busa serta triplek yang telah dirangkai dengan

dan timer. Menurut Rahayu (2010), terdapat beberapa zona intensitas berbeda, berdasarkan hal tersebut k

perlakuan kebisingan dengan intensitas yang berbeda (25

100 dB) dalam 8 jam setiap hari selama 8 hari. Berat badan hewan percobaan ditimbang setiap 2 hari sekali

3.4.6. Pengambilan Organ untuk Pengamatan

Setelah perlakuan terhadap hewan percobaan selesai, maka dilakukan pembedahan dan pengambilan organ hewan percobaan untuk pengamatan yaitu:

loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat telinga (insert probe

bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip). Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah menjadi elektrik agar mudah diproses (Kemp, 2002). Hasil akan muncul pada alat OAE dengan keadaaan

dan refer untuk keadaan telinga yang terganggu

dijadikan acuan untuk memulai percobaan, dan pemeriksaan akan terus dilakukan setiap harinya seiring dengan perlakuan penelitian yang berlangsung

ada atau tidaknya kerusakan yang terjadi.

Gambar 3.2. Alat OAE (Otoacoustic Emisson) Perlakuan Hewan Percobaan

Hewan percobaan diberi perlakuan sesuai dengan pemb

Hewan yang diberi perlakuan Garcinia mangostana sebanyak 0,5 ml tiap ekor dicekok dengan menggunakan jarum gavage

yang akan diberi perlakuan kebisingan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan yang terbuat dari gabus dilapisi dengan busa serta triplek polywood

yang telah dirangkai dengan speaker, multy player 3, amplifier, sound level meter Menurut Rahayu (2010), terdapat beberapa zona kebisingan dengan intensitas berbeda, berdasarkan hal tersebut kelompok hewan percobaan diberi perlakuan kebisingan dengan intensitas yang berbeda (25-50 dB, 55

100 dB) dalam 8 jam setiap hari selama 8 hari. Berat badan hewan percobaan setiap 2 hari sekali.

Organ untuk Pengamatan

Setelah perlakuan terhadap hewan percobaan selesai, maka dilakukan pembedahan dan pengambilan organ hewan percobaan untuk pengamatan yaitu:

18 insert probe) yang ). Mikrofon digunakan untuk kemudian diubah menjadi elektrik agar mudah dengan keadaaan untuk keadaan telinga yang terganggu. Hasil normal percobaan, dan pemeriksaan akan terus seiring dengan perlakuan penelitian yang berlangsung

Hewan percobaan diberi perlakuan sesuai dengan pembagian kelompok cinia mangostana L. gavage dan hewan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan polywood kedap suara sound level meter, kebisingan dengan hewan percobaan diberi 50 dB, 55-80 dB, 85-100 dB) dalam 8 jam setiap hari selama 8 hari. Berat badan hewan percobaan

Setelah perlakuan terhadap hewan percobaan selesai, maka dilakukan pembedahan dan pengambilan organ hewan percobaan untuk pengamatan yaitu:


(33)

a. Dilakukan anestesi terhadap tikus dengan memasukkannya ke dalam tabung yang berisi eter 99,5% sehingga tikus pingsan.

b. Dilakukan pembedahan pada tiap-tiap kelompok perlakuan.

c. Diambil organ lambung hewan percobaan diamati morfologi dan warnanya, difoto dengan camera digital di atas kertas milimeter, dikeluarkan isinya kemudian dimasukkan dalam sampel cup yang berisi larutan buffer formalin 10% untuk pembuatan sediaan histopatologi.

3.4.7. Pembuatan Preparat Histologi Lambung dengan Metode Parafin Pembuatan preparat yang dilakukan dengan metode parafin (Suntoro, 1983) dengan modifikasi sebagai berikut:

a. Fiksasi

Setelah organ lambung tikus diambil, organ dicuci dengan larutan NaCl 0,9% kemudian difiksasi selama 1 malam dengan larutan buffer formalin 10%.

b. Washing (Pencucian)

Setelah difiksasi, organ dicuci dengan alkohol 70% minimal 7 kali pengulangan dan direndam selama 1 malam.

c. Dehidrasi

Dehidrasi dilakukan dengan merendam organ dengan alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut selama 1 jam.

d. Clearing (Penjernihan)

Setelah dehidrasi dilakukan clearing dengan merendam organ ke dalam perbandingan alkohol : xylol yaitu: 3:1, 1:1 dan 1:3 selama masing-masing 1 jam serta merendam organ ke dalam xylol selama 1 malam.

e. Infiltrasi

Organ direndam dalam xylol yang berada di dalam oven pada suhu 560C selama 1 jam. Kemudian direndam ke dalam parafin murni I, II, III masing-masing selama 1 jam pada suhu 560C.

f. Embedding (Penanaman)

Organ dimasukkan dalam kotak cetakan. Setelah itu, dituang parafin yang telah cair ke dalam kotak tersebut, dan diberi label. Dibiarkan sampai dingin


(34)

20 sehingga membentuk blok parafin. Kemudian dilakukan penempelan blok-blok parafin pada holder yang terbuat dari kayu yang berbentuk persegi. g. Cutting (Pemotongan)

Blok-blok parafin yang telah ditempel pada holder dipotong dengan menggunakan mikrotom sehingga membentuk pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6 µm.

h. Attaching (Penempelan)

Attaching dilakukan dengan menempelkan pita parafin yang telah dipotong dengan mikrotom pada object glass, yang sebelumnya pita parafin dicelupkan pada air dingin dan air hangat.

i. Pewarnaan

Pewarnaan sediaan dan lambung dengan Hematoxylin Eosin adalah sebagai berikut:

- Deparafinasi, dilakukan dengan cara mencelupkan objek pada xylol sampai parafin habis kira-kira selama ± 15 menit sebanyak 2-3 kali. - Dealkoholisasi, dilakukan secara bertingkat dimulai dari konsentrasi

alkohol absolut, 96%, 80%, 70%, 50%, 30% dan akuades.

- Pewarnaan, dilakukan dengan cara object glass dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxylin selama 3-5 menit, dibilas dengan dengan air mengalir. Selanjutnya dicelupkan dalam alkohol 30%, 50%, 70%, lalu dicelupkan dalam larutan pewarna Eosin 0,5% selama 1-3 menit, kemudian dicelupkan berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 96%, alkohol absolut dan ke dalam xylol.

j. Mounting

Mounting dilakukan dengan menutup preparat dengan canada balsam. Diusahakan supaya tidak terdapat gelembung udara. Diberi label dan diamati di bawah mikroskop.

3.5. Parameter Pengamatan

3.5.1. Pengamatan Morfologi Lambung

Pengamatan morfologi lambung dengan mengamati warna lambung (merah muda kecoklatan), permukaan berlekuk halus dan konsistensi lunak.


(35)

3.5.2. Pengamatan Histopatologis Lambung

Lambung pada tikus yang telah diambil, dicuci dengan larutan NaCl 0,9% untuk dibuat sediaan histopatologis dengan pewarnan Hematoxylin Eosin. Menurut Djam’an (2008), pemeriksaan sediaan histopatologis lambung dilakukan 5 lapang pandang mikroskop pada pembesaran 100x dan 400x. Perubahan histopatologis sel lambung yang diamati berupa adanya erosi/ulkus dan derajat gastritis (penyebaran sel radang).

a. Ulkus sel lambung adalah hilangnya sel epitel yang mencapai atau menembus muskularis mukosa, dengan diameter kedalaman > 5 mm.

b. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, secara histopatologis dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.

Tingkat keparahan erosi/ulkus lambung terbagi kedalam 5 tingkatan, yaitu: erosi hanya pada epitel permukaan, erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian atas, erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian tengah, erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian bawah, dan erosi mencapai kedalaman lamina muskularis mukosa. Sedangkan derajat gastritis (penyebaran sel radang) terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu: normal (jumlah sel radang 0-20); ringan (jumlah sel radang 21-100); dan berat (jumlah sel radang lebih dari 101).

Tabel 3.5.2.1. Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung dengan Modifikasi

Tingkat erosi/ulkus Nilai

Normal 1

Erosi hanya pada epitel permukaan 2

Erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian atas 3 Erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian tengah 4 Erosi mencapai kedalaman 1/3 kelenjar lambung bagian bawah 5 Erosi mencapai kedalaman lamina muskularis mukosa 6


(36)

22

Gambar 3.5.2. Skor Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus berdasarkan Kriteria Wattimena (1982) dalam Nie dkk. (2012) pada Histologi Lambung (Junqueira et al., 2003). Keterangan: 1-5. Lapisan mukosa 6. Muskularis mukosa

Tabel 3.5.2.2. Derajat Gastritis (penyebaran sel radang) dengan Modifikasi

Jumlah sel radang Nilai

0-20 Ringan

21-100 Sedang

>101 Berat

(Hadi, 1999). 3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap parameter pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data dianalisis dengan bantuan program statistik komputer yakni program IBM SPSS Statistics Ver. 20 dan diuji dengan One Way ANOVA pada taraf 5% untuk membandingkan data masing-masing perlakuan.

1 2

3 4 5 6


(37)

4.1. Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan

Pengamatan morfologi lambung tikus jantan

kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut: 4.1.1. Warna Lambung

Gambaran warna lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat pada Gambar 4.1.1. beri

Gambar 4.1.1. Warna Lambung Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan. Keterangan:

Kontrol (

Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1

16, P3= Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1 hari ke

hari ke

9-Gambar 4.1.1. menunjukkan warna lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan. S

warna lambung tikus sedangkan pada P1 d

muda). Untuk permukaan dan konsistensi lambung, semua lambung tikus

P3 P0

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan

Pengamatan morfologi lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

4.1.1. Warna Lambung

Gambaran warna lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat pada Gambar 4.1.1. berikut:

Gambar 4.1.1. Warna Lambung Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan. Keterangan: P0 = Kontrol (+) ekstrak kulit manggis hari 1

Kontrol (-) akuades hari ke 1-16 dan kebisingan (85-110 dB) hari ke 9 Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1-16 dan kebisingan (25

16, P3= Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1-16 dan kebisingan (55 -16, P4 = Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1-16 dan -16.

Gambar 4.1.1. menunjukkan warna lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan. Secara makroskopik warna lambung tikus P0, P2 dan P3 memiliki warna merah muda

sedangkan pada P1 dan P4 warna lambung tikus berwarna lebih pucat (merah uk permukaan dan konsistensi lambung, semua lambung tikus

P1 P2

P4

Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah Pemberian setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

Gambaran warna lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis kut:

Gambar 4.1.1. Warna Lambung Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan P0 = Kontrol (+) ekstrak kulit manggis hari 1-16, P1 = 110 dB) hari ke 9-16, P2 = 16 dan kebisingan (25-50 dB) hari ke

9-16 dan kebisingan (55-80 dB) 16 dan (85-110 dB)

Gambar 4.1.1. menunjukkan warna lambung tikus jantan setelah ecara makroskopik muda kecoklatan, an P4 warna lambung tikus berwarna lebih pucat (merah uk permukaan dan konsistensi lambung, semua lambung tikus


(38)

24 P1 dan P4 mungkin disebabkan oleh perlakuan kebisingan intensitas tinggi (85-110 dB) yang diberikan pada tiap perlakuan tersebut, sehingga tikus mengalami stres dan menyebabkan lambung berwarna lebih pucat. Pada perlakuan P4 selain diberi perlakuan kebisingan (85-110) tikus juga telah diberi perlakuan ekstrak kulit manggis, namun lambung tikus mengalami perubahan warna. Dalam hal ini diduga ekstrak kulit manggis kurang mampu dalam mencegah perubahan warna lambung akibat pengaruh dari kebisingan intensitas tinggi. Perubahan warna lambung ini mungkin berhubungan dengan hasil yang ditemukan pada struktur mikroskopik lambung dimana terdapat erosi dan gastritis pada lambung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ressang (1984) dalam Maharani (2012), perubahan warna organ umumnya disebabkan oleh adanya perubahan fisiologis dan struktur mikroskopik yang cukup berarti.

4.1.2. Rerata Berat Badan

Data rerata berat badan tikus jantan (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dan perlakuan kebisingan sebagai berikut:

Gambar 4.1.2. Rerata Berat Badan Awal dan Akhir Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan.P0 = Kontrol (+) ekstrak kulit manggis hari 1-16, P1 = Kontrol (-) akuades hari ke 1-16 dan kebisingan (85-110 dB) hari ke 9-16, P2, P3, P4 = Perlakuan ekstrak kulit manggis hari ke 1-16 dan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) hari ke 9-16.

Gambar 4.1.2. menunjukkan data rerata berat badan awal dan akhir tikus setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan. Rerata berat badan awal P0 (187,2 g), P1 (190,58 g), P2 (207,2 g), P3 (199,52 g) dan P4 (185,7 g). Sedangkan rerata berat akhir P0 (188,9 g), P1 (183,36 g), P2 (213,08 g),

0 50 100 150 200 250

P0 P1 P2 P3 P4

Berat

B

adan

(g)

Perlakuan

B. Awal B. Akhir


(39)

P3 (205,32 g) dan P4 (178,18 g). Rerata berat akhir tertinggi pada P2 (213,8 g) dan rerata berat badan terendah pada P4 (178,18 g).

Pada P1 dan P4 tikus mengalami penurunan berat badan jika dibandingkan dengan berat awal. Akan tetapi, pada data rerata berat badan awal dan akhir tikus ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2. Penurunan berat badan pada P1 dengan perlakuan kebisingan intensitas tinggi (85-110 dB) mungkin disebabkan oleh berkurangnya nafsu makan tikus akibat efek stres yang timbul dari kebisingan tersebut. Pada perlakuan P4 dimana tikus yang telah diberikan ekstrak kulit manggis kemudian dipapari kebisingan intensitas tinggi (85-110 dB) dapat dilihat bahwa tikus juga mengalami penurunan berat badan. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek stres yang timbul akibat kebisingan tersebut lebih besar dari pengaruh ekstrak kulit manggis yang diberikan sehingga tikus tetap mengalami stres dan menyebabkan nafsu makan tikus berkurang serta mempengaruhi penurunan berat badan tikus.

Dalam penelitian Astutik (2014) pada mencit perlakuan kontrol diberi tindakan yang memicu stres seperti berenang, pengikatan ekor dan diberi paparan bising >85 dB selama 1 minggu menyebabkan berat badan mencit mengalami penurunan akibat stres. Perilaku mencit pada kelompok kontrol ini juga lebih agresif karena sering terlihat menumpahkan makanan. Demikian pula dalam penelitian Marpaung (2006) ditemukan berkurangnya laju pertambahan berat badan pada kelompok pemaparan kebisingan intensitas tinggi diduga karena pada kelompok pemaparan bising kadar hormon tiroksin tinggi menyebabkan meningkatnya kecepatan metabolisme dan ekskresi nitrogen yang mengakibatkan turunnya berat badan tikus.

4.2. Gambaran Histologi Lambung

Pengamatan histologi lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

4.2.1. Tingkat Keparahan Ulkus Lambung

Rerata tingkat keparahan ulkus lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:


(40)

26

Gambar 4.2.1. Rerata Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan. P0= Kontrol (+) ekstrak manggis hari 1-16, P1= Kontrol (-) akuades hari ke 1-16 dan kebisingan (85-110 dB) hari ke 9-1-16, P2, P3, P4= Perlakuan ekstrak manggis hari ke 1-16 dan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) hari ke 9-16.

Keterangan:

Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05).

Gambar 4.2.1. menunjukkan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tikus setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan. Rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung P1 (3,36), P0, P2, P3 (1,04) dan P4 (2,05). Rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tertinggi pada P1 (3,36) dan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung terendah pada P0, P2, P3 (1,04).

Pada hasil analisis statistik ditemukan peningkatan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tikus yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P1 dengan kelompok kontrol dan perlakuan lainnya. Terdapat pula peningkatan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tikus yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P4 dengan kelompok kontrol, P2 dan P3, akan tetapi terdapat penurunan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tikus yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P4 dengan P1. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada P4 (2,05) yang diberi perlakuan ekstrak kulit manggis dan kebisingan (85-110 dB) keparahan erosi/ulkus lambung berkurang. Hal tersebut mungkin terjadi akibat peran dari ekstrak kulit manggis yang berfungsi sebagai

a

b

a a

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

P0 P1 P2 P3 P4

R

erat

a

Tingkat

Ke

parahan

Erosi/

Ulkus

Perlakuan


(41)

antioksidan yang dapat mengurangi radikal bebas dan menurunkan kadar hormon stres dalam tubuh sehingga mengurangi erosi/ulkus lambung.

Pengaruh ekstrak kulit manggis dalam mengurangi keparahan erosi/ulkus lambung sesuai dengan pernyataan Zarena & Sankar (2009), yang menyatakan bahwa ekstrak kulit manggis berperan sebagai antioksidan yang dapat melindungi manusia dari masalah kesehatan dengan mengurangi stres oksidatif, memiliki manfaat farmakologi dan mendukung perkembangan industri makanan. Demikian pula dalam penelitian Nainwal et al. (2010) yang menemukan adanya pengaruh ekstrak kulit manggis sebagai antiulserasi dimana ekstrak kulit manggis merupakan senyawa flavonoid yang mampu berperan mengurangi kerusakan mukosa lambung dan mengurangi ulkus lambung.

Pada P1 (3,36) tikus yang diberi perlakuan kebisingan (85-110 dB) mengalami tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tertinggi. Peningkatan erosi/ulkus lambung tersebut mungkin disebabkan oleh stres yang timbul akibat kebisingan intensitas tinggi. Tingkat keparahan erosi/ulkus lambung yang tinggi pada P1 (85-110 dB) sesuai dengan penelitian Fonseca et al. (2006) dimana ditemukan adanya erosi permukaan lambung dan kematian sel pada lambung tikus yang diberikan perlakuan kebisingan intensitas 90 dB.

Menurut Jubb et al. (1993) dalam Puspitasari (2008), pada level tertentu jika jumlah sel yang rusak terlalu tinggi maka kerusakan sel akan bersifat permanen dan akhirnya terjadi kematian sel (nekrosa). Nekrosa merupakan proses kematian sel atau kematian kelompok sel yang masih merupakan bagian dari organisme hidup dengan penyebab yang bervariasi. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme. Umumnya sel yang mengalami nekrosa menunjukkan perubahan pada inti dan sitoplasma. Inti akan mengecil dan berwarna biru (lebih gelap), mirip sel limfosit, akibat penggumpalan kromatin inti. Proses ini disebut piknosis. Inti juga mungkin pecah (karyorhexis) dan bahkan menghilang (karyolisis).

Kerusakan mikroskopik pada lambung terjadi akibat kebisingan intensitas tinggi berperan sebagai stresor yang akan mengaktifkan sistem saraf dan pusat hormonal di otak yaitu Hipotalamus-Pituary-Adrenal (HPA). Hipotalamus


(42)

28 merangsang medula adrenal menghasilkan adrenalin dan korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol. Kortisol merangsang sekresi asam lambung yang dapat merusak mukosa lambung serta menurunkan daya tahan tubuh (Pradana, 2013). Menurut Julius (1992), adanya gangguan pada lambung seperti gastritis, erosi dan ulkus turut dipengaruhi oleh faktor perimbangan antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan regenerasi epitel.

Chisholm (1998) menyatakan bahwa ketidakseimbangan faktor protektif dengan faktor agresif (asam dan pepsin) adalah faktor penting terjadinya erosi dan/tukak mukosa lambung. Asam lambung hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang berperan dalam patogenesis tukak peptik. Di samping faktor agresif dan faktor pertahanan, ada faktor lain yang termasuk faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya ulkus peptik antara lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria (Julius, 1992).

Pengaruh faktor psikologis (cemas) terhadap fungsi gastrointestinal telah lama dikenal. Wolf et al. dalam Syamsulhadi (1999) dalam Hartono (2005), melakukan observasi melalui lubang fistula yang permanen pada lambung diperoleh hasil sebagai berikut: Emosi seperti cemas dan sedih yang diikuti dengan perasaan bingung, menimbulkan warna pucat pada mukosa, penurunan dan penghambatan sekresi dan kontraksi lambung. Bila keadaan emosi berlangsung cukup lama dan cukup berat, timbul erosi dan perdarahan kecil-kecil pada mukosa lambung (penurunan daya tahan mukosa lambung). Keadaan seperti ini dapat terjadi spontan atau sebagai akibat kontraksi lambung yang kuat. Luka-luka kecil tersebut terkena asam lambung, menyebabkan membengkaknya seluruh mukosa lambung, dengan terbentuknya ulkus kronik pada mukosa tersebut.


(43)

Gambar 4.2.1.1. Gambaran Histologi Tingkat Erosi/Ulkus Lambung. Keterangan: (A) P0= Kontrol (+) ekstrak kulit manggis. (B) (C) (D) P1. A= normal, B= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian atas, C= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian tengah, D= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian bawah. a= mukosa, b= muskularis mukosa, c= submukosa, d= muskularis mukosa. Pewarnaan Hematoxilin Eosin. Perbesaran 100x. Bar 200 µm.

4.2.2. Derajat Gastritis

Rerata derajat gastritis lambung tikus jantan setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 4.2.2. Rerata Derajat Gastritis Tikus Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Manggis dan Perlakuan Kebisingan. P0= Kontrol (+) ekstrak kulit manggis hari 1-16, P1= Kontrol (-) akuades hari ke 1-16 dan kebisingan (85-110 dB) hari ke 9-16, P2, P3, P4= Perlakuan ekstrak kulit maggis hari ke 1-16 dan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) hari ke 9-16.

Keterangan: 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

P0 P1 P2 P3 P4

Rerata Derajat Gas tri tis Perlakuan

a

b

c

d

A ab

a a a

D C

B

b

a b

c

d

a

b

a

b

c

c d


(44)

30 Gambar 4.2.2. menunjukkan rerata derajat gastritis tikus setelah pemberian ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan. Rerata derajat gastritis P0 (3,56), P1 (26,68), P2 (4,56), P3 (4) dan P4 (14,5). Rerata derajat gastritis tertinggi pada P1 (26,68) dan rerata derajat gastritis terendah pada P0 (3,56).

Berdasarkan uji statistik diperoleh peningkatan derajat gastritis yang signifikan (P<0,05) antara kelompok P1 dengan kelompok kontrol, P2 dan P3, sedangkan pada kelompok P4 tidak ditemukan penurunan derajat gastritis yang signifikan (P>0,05) jika dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 4. Walaupun secara statistik tidak ditemukan penurunan derajat gastritis yang signifikan pada P4 yang diberi ekstrak kulit manggis dan perlakuan kebisingan (85-110 dB), namun pada gambar 4.2.2. dapat dilihat adanya penurunan derajat gastritis (sel radang). Penurunan derajat gastritis mungkin akibat pemberian ekstrak kulit manggis dimana ekstrak kulit manggis berfungsi sebagai antiinflamasi dan mengurangi radikal bebas dalam tubuh. Hasyim & Iswari (2008) menyatakan bahwa ekstrak kulit manggis mampu menghentikan inflamasi (radang) dengan cara menghambat produksi enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang menyebabkan inflamasi. Dalam penelitian Chen et al. (2007) juga ditemukan efek dari α- dan γ- mangostine pada ekstrak kulit manggis berfungsi sebagai antiinflamasi.

Tingginya derajat gastritis (sel radang) pada P1 (26,68) mungkin disebabkan oleh intensitas kebisingan tinggi (85-110 dB) yang menyebabkan tikus stres, dimana keadaan ini merangsang sel radang yang berperan sebagai proteksi dalam sistem pencernaan. Hal ini didukung oleh pernyataan Malik (1992) bahwa sistem pencernaan diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah sel-sel radang lokal saluran cerna (sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik.

Infiltrasi sel radang limfosit hampir menyeluruh dapat ditemukan pada kelompok kontrol dan perlakuan. Pada kelompok P0, P2 dan P3 infiltrasi sel radang yang ditemukan diduga bukan karena kelainan patologis. Menurut Brown


(45)

dan Hardisty (1990) dalam Puspitasari (2008), dalam keadaan normal pada lamina propia tikus ditemukan sejumlah sel limfosit, sel plasma, netrofil dan sel mast. Hal ini dikarenakan migrasi sel radang merupakan reaksi tanggap umum terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh dan merupakan reaksi patofisiologis untuk melawan segala agen yang merugikan.

Sel radang dan agen perusak jaringan juga merupakan mediator inflamasi yang bersifat kemotaktik dalam respon kerusakan mukosa lambung. Oleh karena itu sel radang merupakan indikator terjadinya inflamasi mukosa lambung (Basuki, 2008). Dalam perjalanan sel radang menuju lapis mukosa, sel radang turut terakumulasi pada lapis muskularis mukosa sebelum mencapai lamina propia. Sel radang juga menyebar hingga tunika muskularis dan serosa. Pada lapis tunika muskularis dan serosa ditemukan infiltrasi sel radang netrofil dan limfosit (Puspitasari, 2008).

Gambar 4.2.2.2. Gambaran Histologi Derajat Gastritis (sel radang) Lambung. Keterangan: (A) P0= Kontrol (+) ekstrak kulit manggis hari ke 1-16. (B) P1= Kontrol (-) akuades hari ke 1-16 dan kebisingan (85-110 dB) hari ke 9-16, (C) P2, (D) P3, (E) P4= Perlakuan ekstrak manggis hari ke 1-16 dan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) hari ke 9-16. Sel radang (panah merah). Pewarnaan

B A

E


(1)

Rusli. 2009. Pengaruh Kebisingan dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan Darah Masyarakat yang Tinggal di Pinggiran Rel Kereta Api Lingkungan XIV Kelurahan Tegal Sari. [Tesis]. Medan: USU.

Shahid, M. A. K., Bashir, H., Sabir, R and Awan, M. S. 2014. Physiological Effects of Noise Pollutions on Patiens at Faisalabad Institute of Cardiology, Faisalabad and Passive Noise Control Measures. Peak Journal of Physical And Enviromental Science Research. 2(1):13-20. Smith, J.B dan Mangkowidjoyo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Susanti, A., Briawan, D dan Uripi, V. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2(1):80-90.

Tortora, G.J. and Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th Edition. USA: John Wiley and Sons.

Zarena, A. S and Sankar, K. U. 2009. A Study of Antioxidant Properties From Garcinia mangostana L. Pericarp Extract. Journal Acta Scientiaium Polonorum, Technologia Aliment. 8(1):23-24.

Zheng, K.C and Ariizumi, M. 2007. Modulations of Immune Functions and Oxidative Status Induced by Noise Stress. Journal Occup Health. 49(1):32-38.


(2)

Lampiran 1

Tabel Konversi Laurance & Bacharach

Hewan dan BB rata-rata

Mencit 20 g

Tikus 200 g

Marmut 400 g

Kelinci 1,5 kg

Kucing 2 kg

Kera 4 kg

Anjing 12 kg

Manusia 70 kg Mencit

20 g

1,0 7,0 12,29 27,8 28,7 64,1 124,2 387,9

Tikus 200 g

0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 60,5

Marmut 400 g

0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5

Kelinci 1,5 kg

0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2

Kucing 2 kg

0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0

Kera 4 kg

0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1

Anjing 12 kg

0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1

Manusia 70 kg

0,0026 0,018 0,031 0,07 0,76 0,16 0,32 1,0


(3)

Lampiran 2

Analisis Statistik Rata-rata Berat Badan Tikus

ANOVA

Sum of

Squares df Square Mean F Sig. Berat_

Awal

Between Groups 1657,644 4 414,411 1,509 ,237 Within Groups 5490,776 20 274,539

Total 7148,420 24

Berat_ Akhir

Between Groups 4407,058 4 1101,765 2,697 ,060 Within Groups 8171,596 20 408,580

Total 12578,654 24

Multiple Comparisons

Bonferroni

Dependent Variable: Berat_Awal Berat_Akhir (I)

Perlakuan (J) Perlakuan Difference Mean (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower

Bound Bound Upper

P0

P1 -3,38000 10,47929 1,000 -36,4254 29,6654 P2 -20,00000 10,47929 ,708 -53,0454 13,0454 P3 -12,32000 10,47929 1,000 -45,3654 20,7254 P4 1,50000 10,47929 1,000 -31,5454 34,5454 P1

P0 3,38000 10,47929 1,000 -29,6654 36,4254 P2 -16,62000 10,47929 1,000 -49,6654 16,4254 P3 -8,94000 10,47929 1,000 -41,9854 24,1054 P4 4,88000 10,47929 1,000 -28,1654 37,9254 P2

P0 20,00000 10,47929 ,708 -13,0454 53,0454 P1 16,62000 10,47929 1,000 -16,4254 49,6654 P3 7,68000 10,47929 1,000 -25,3654 40,7254 P4 21,50000 10,47929 ,535 -11,5454 54,5454 P3

P0 12,32000 10,47929 1,000 -20,7254 45,3654 P1 8,94000 10,47929 1,000 -24,1054 41,9854 P2 -7,68000 10,47929 1,000 -40,7254 25,3654 P4 13,82000 10,47929 1,000 -19,2254 46,8654


(4)

P4

P0 -1,50000 10,47929 1,000 -34,5454 31,5454 P1 -4,88000 10,47929 1,000 -37,9254 28,1654 P2 -21,50000 10,47929 ,535 -54,5454 11,5454 P3 -13,82000 10,47929 1,000 -46,8654 19,2254

P0

P1 5,54000 12,78405 1,000 -34,7732 45,8532 P2 -24,18000 12,78405 ,731 -64,4932 16,1332 P3 -16,42000 12,78405 1,000 -56,7332 23,8932 P4 10,72000 12,78405 1,000 -29,5932 51,0332 P1

P0 -5,54000 12,78405 1,000 -45,8532 34,7732 P2 -29,72000 12,78405 ,307 -70,0332 10,5932 P3 -21,96000 12,78405 1,000 -62,2732 18,3532 P4 5,18000 12,78405 1,000 -35,1332 45,4932 P2

P0 24,18000 12,78405 ,731 -16,1332 64,4932 P1 29,72000 12,78405 ,307 -10,5932 70,0332 P3 7,76000 12,78405 1,000 -32,5532 48,0732 P4 34,90000 12,78405 ,129 -5,4132 75,2132 P3

P0 16,42000 12,78405 1,000 -23,8932 56,7332 P1 21,96000 12,78405 1,000 -18,3532 62,2732 P2 -7,76000 12,78405 1,000 -48,0732 32,5532 P4 27,14000 12,78405 ,464 -13,1732 67,4532

P4

P0 -10,72000 12,78405 1,000 -51,0332 29,5932 P1 -5,18000 12,78405 1,000 -45,4932 35,1332 P2 -34,90000 12,78405 ,129 -75,2132 5,4132 P3 -27,14000 12,78405 ,464 -67,4532 13,1732


(5)

Lampiran 3

Analisis Statistik Rata-rata Tingkat Keparahan Ulkus Lambung Tikus

ANOVA

Tingkat_Keparahan_Ulkus

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 21,030 4 5,258 21,132 ,000 Within Groups 4,976 20 ,249

Total 26,006 24

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Tingkat_Keparahan_Ulkus Bonferroni

(I)

Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Interval Confidence Lower

Bound Upper Bound

P0

P1 -2,32000* ,31547 ,000 -3,3148 -1,3252

P2 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P3 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P4 -1,04000* ,31547 ,036 -2,0348 -,0452 P1

P0 2,32000* ,31547 ,000 1,3252 3,3148

P2 2,32000* ,31547 ,000 1,3252 3,3148

P3 2,32000* ,31547 ,000 1,3252 3,3148

P4 1,28000* ,31547 ,006 ,2852 2,2748

P2

P0 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P1 -2,32000* ,31547 ,000 -3,3148 -1,3252

P3 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P4 -1,04000* ,31547 ,036 -2,0348 -,0452

P3

P0 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P1 -2,32000* ,31547 ,000 -3,3148 -1,3252

P2 ,00000 ,31547 1,000 -,9948 ,9948 P4 -1,04000* ,31547 ,036 -2,0348 -,0452

P4

P0 1,04000* ,31547 ,036 ,0452 2,0348

P1 -1,28000* ,31547 ,006 -2,2748 -,2852

P2 1,04000* ,31547 ,036 ,0452 2,0348 P3 1,04000* ,31547 ,036 ,0452 2,0348

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(6)

Lampiran 4

Analisis Statistik Rata-Rata Gastritis (Sel Radang) Lambung

ANOVA

Rata_Gastritis

Sum of

Squares df Square Mean F Sig. Between Groups 2079,402 4 519,850 9,030 ,000 Within Groups 1151,360 20 57,568

Total 3230,762 24

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Rata_Gastritis Bonferroni

(I)

Perlakuan (J) Perlakuan Difference Mean (I-J)

Std.

Error Sig. 95% Confidence Interval Lower

Bound Bound Upper

P0

P1 -23,12000* 4,79867 ,001 -38,2521 -7,9879

P2 -1,00000 4,79867 1,000 -16,1321 14,1321 P3 -,44000 4,79867 1,000 -15,5721 14,6921 P4 -12,36000 4,79867 ,180 -27,4921 2,7721 P1

P0 23,12000* 4,79867 ,001 7,9879 38,2521

P2 22,12000* 4,79867 ,002 6,9879 37,2521

P3 22,68000* 4,79867 ,001 7,5479 37,8121

P4 10,76000 4,79867 ,364 -4,3721 25,8921 P2

P0 1,00000 4,79867 1,000 -14,1321 16,1321 P1 -22,12000* 4,79867 ,002 -37,2521 -6,9879

P3 ,56000 4,79867 1,000 -14,5721 15,6921 P4 -11,36000 4,79867 ,281 -26,4921 3,7721 P3

P0 ,44000 4,79867 1,000 -14,6921 15,5721 P1 -22,68000* 4,79867 ,001 -37,8121 -7,5479 P2 -,56000 4,79867 1,000 -15,6921 14,5721 P4 -11,92000 4,79867 ,220 -27,0521 3,2121 P4

P0 12,36000 4,79867 ,180 -2,7721 27,4921 P1 -10,76000 4,79867 ,364 -25,8921 4,3721 P2 11,36000 4,79867 ,281 -3,7721 26,4921 P3 11,92000 4,79867 ,220 -3,2121 27,0521 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) diban

1 68 118

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

4 100 106

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 58 58

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Fungsi Hati, Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Tikus (Rattus norvegicus) yang Dipapari dengan Karbon Tetraklorida (CCl4)

3 53 59

Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan

0 7 58

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 1 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan - Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 0 10

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 0 12

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 0 12

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 0 12