Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam kurun tahun terakhir, keberadaan berbagai pasar modern sepertinya
kini telah menjadi salah satu pilihan utama bagi masyarakat (terutama di kota-kota
besar) sebagai tempat berbelanja. Adapun hypermarket, minimarket, dan berbagai
jenis tempat belanja (pasar modern) dengan istilah market yang mengikuti di
belakangnya kini semakin meningkat dengan pesat dan dalam jumlah yang relatif
besar. 1 Keberadaan berbagai pasar modern ini dapat dikatakan membuat para
pedagang pasar tradisonal semakin khawatir suatu waktu tidak ada lagi
pengunjung bagi mereka- para pedagang pasar tradisional. Bahkan, keberadaan
minimarket kini semakin tersebar di sekitar lingkungan permukiman warga. Pasar
yang tadinya dikuasai pedagang tradisional kini telah diambil alih oleh pasarpasar modern.
Di satu sisi, pasar tradisional sebenarnya berpotensi untuk tetap lebih
unggul dari pasar modern. Pasar tradisional memiliki ciri khas sebagai pasar
dengan aktivitas perdagangan yang mempertemukan para pembeli dan penjual
1

Pada tahun 2010 industri hipermarket di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan, total belanja ritel modern

tahun ini bakal mencapai Rp 100 trilyun. Sebanyak Rp 65 triliun merupakan belanja makanan dan
sisanya non-makanan. Dari jumlah belanja makanan ini, hipermarket mengambil porsi 35 persen,
minimarket 35 persen dan supermarket 30 persen. Potensi pengembangan pasar ritel modern di
Indonesia masih relatif besar terhadap jumlah populasi penduduk. Jumlah toko ritel modern per
satu juta penduduk Indonesia saat ini sekitar 52, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
tetangga lainnya seperti Malaysia 156 toko, Thailand 124 toko, Singapura 281 toko, dan China 74
toko. Jumlah toko ritel modern di Indonesia hanya menempati porsi yang sangat kecil (0,7%)
dibandingkan dengan jumlah toko tradisional per satu juta penduduk Indonesia yang mencapai
7.937 toko (http://retnohapsarini.blogdetik.com/index.php/2010/11/02/perkembangan-bisnis-riteldi-indonesia/).

1
Universitas Sumatera Utara

2

secara langsung dalam suatu transaksi jual beli, sehingga ada jalinan kekuatan
emosional yang erat di antara pedagang dan para pembeli atau pengunjung pasar.
Berbeda halnya dengan pasar modern yang dalam aktivitas perdagangannya tidak
ditemukan adanya pembeli dan penjual yang melakukan transaksi jual beli secara
langsung.

Para pembeli atau pengunjung pasar modern biasanya hanya melakukan
pembelian suatu barang dengan hanya memperhatikan harga yang telah tertempel
dalam kemasan atau label yang ada dari jenis barang yang telah ditentukan,
kemudian membawa barang yang hendak dibelinya langsung ke tempat
pembayaran (kasir) dan membayar harga sebagaimana tertera pada kemasan.
Tidak ditemukan adanya proses tawar menawar dalam transaksi jual beli seperti
pada pasar tradisional yang tentunya dapat menghadirkan kesan akrab antara
pembeli dan penjual, sehingga menghasilkan hubungan yang erat/intim antara
pedagang dan pembeli sebagai suatu nilai lebih bagi keunggulan pasar tradisional
dari pasar modern.
Meskipun begitu, pada kenyataannya kini pasar tradisional semakin
kehilangan perhatian dari masyarakat di kota-kota besar sebagai pilihan utama
untuk tempat berbelanja. Pasar modern dengan kekuatan modal yang begitu besar
dapat lebih leluasa dalam menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat dengan
variasi komoditi yang lebih beragam, dan juga dengan jumlah yang lebih besar
dibandingkan pasar tradisional. Fasilitas perdagangan pada pasar modern yang
jauh lebih memadai dibandingkan pasar tradisional yang kondisinya cenderung
kotor, becek, dan menyuguhkan bau tidak sedap menyebabkan para pengunjung

Universitas Sumatera Utara


3

jarang sekali bisa merasa betah untuk berlama-lama dalam berbelanja. Ditambah
lagi ancaman bahwa keadaan sosial masyarakat yang berubah, misalnya: kaum
perempuan selaku kelompok pengunjung pasar terbesar yang kini umumnya
berkarir dalam berbagai bidang professional, hampir tidak mempunyai waktu
untuk berbelanja ke pasar tradisional (Esther dan Dikdik, 2003).
Perihal senada juga diungkap oleh Ekapribadi (2007), bahwa kehadiran
pasar modern pada awalnya tidak mengancam pasar tradisional. Kehadiran pasar
modern yang menyasar konsumen dari kalangan menengah ke atas, saat itu lebih
sebagai alternatif terhadap pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar
yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas yang buruk, serta harga jual rendah
dan sistem tawar menawar konvensional. Namun sekarang ini kondisinya telah
banyak berubah. Supermarket dan hypermarket tumbuh seperti cendawan di
musim hujan. Kondisi ini muncul sebagai implikasi dari berbagai perubahan pada
masyarakat, khususnya yang berada di kota-kota besar. Sebagai konsumen,
masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktivitas berbelanja. Konsumen
menuntut para pedagang untuk memberikan nilai lebih dari setiap rupiah yang
dibelanjakan.

Perubahan orientasi tempat berbelanja pada para konsumen (masyarakat)
cenderung dipengaruhi oleh kemudahan dan penjaminan mutu komoditi yang
diperdagangkan di pasar modern. Pertama, melalui skala ekonominya, pasar
modern dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga
yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan
dengan mudah dapat diakses oleh publik. Ketiga, pasar modern menyediakan

Universitas Sumatera Utara

4

lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih
panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit untuk
peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di pasar
modern, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan
dijual bila telah kadaluwarsa (Setiadi N., 2003).
Selain itu, keunggulan lainnya dari pasar modern juga diungkap oleh
(Suryadarma, 2007), bahwa salah satu strategi kemenangan pasar modern dari
pasar tradisional adalah dalam hal strategi penerapan harga, seperti: strategi limit
harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan

diskriminasi harga antar waktu (inter-temporal price discrimination). Misalnya
memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan
strategi non-harga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama,
khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan), dan
parkir gratis.
Kekhawatiran terhadap kehadiran pasar modern sebagaimana telah
diungkap sebelumnya, sepertinya juga terjadi pada para pedagang di salah satu
pasar tradisional di Kota Medan, yaitu Pasar Sembada 2. Sebagai pasar tradisional,
keberadaan Pasar sembada yang terletak di sekitar Padang Bulan ini cukup
strategis untuk dikunjungi masyarakat karena memiliki daya aksesibilitas yang
memadai: dari segi keterhubungan infrastruktur jalan raya yang dapat menjangkau
masyarakat dari berbagai wilayah, dan juga sarana transportasi berupa angkutan
2

Menurut informan, Pasar Sembada adalah berawal dari keinginan pihak kompleks
kaveleri (perumahan tentara) yang ingin mendapat akses pasar yang dekat dengan pemukiman
mereka, agar istri-istri para tentara tidak jauh untuk berbelanja, dan pihak kavaleri kemudian
menyerahkan tanah dari kakek Kasan untuk didirikannya pasar. Inilah awal terbentuknya Pasar
Sembada yang berlangsung pada sekitar ±40 tahun yang lalu.


Universitas Sumatera Utara

5

umum yang ramai melintasi lokasi keberadaan Pasar Sembada. Selain itu, lokasi
Pasar Sembada yang tidak jauh dari pemukiman masyarakat, terutama warga yang
bermukim di sekitarnya, semakin menegaskan betapa strategis keberadaannya
untuk dikunjungi masyarakat.
Hampir di setiap pagi, Pasar Sembada ramai dikunjungi para pembeli.
Rentang waktu berjualannya para pedagang di Pasar Sembada juga relatif
panjang, yaitu dimulai dari sekitar pukul 04.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB,
sehingga sepertinya masyarakat diberikan keleluasaan untuk menentukan waktu
berbelanja mereka. Meskipun demikian, seringkali beberapa pedagang masih
berjualan hingga barang dagangannya habis terjual. Jenis barang dagangan yang
diperjualbelikan biasanya berupa kebutuhan sembilan bahan pokok masyarakat,
dengan harga yang relatif lebih murah dari harga komoditi di pasar modern, dan
dengan kualitas barang dagangan yang tetap diupayakan memiliki kualitas cukup
baik pula. Jenis barang dagangan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan segar
biasanya didatangkan langsung dari ‘Berastagi’.
Akan tetapi, dalam dua hingga tiga tahun terakhir, para pedagang di Pasar

(tradisional) Sembada diketahui tengah direpotkan dalam hal perolehan
pendapatan hasil berjualan oleh keberadaan salah satu unit pasar modern yang
telah beroperasi di lokasi yang berdekatan dengan Pasar Sembada. Unit pasar
modern dimaksud adalah ‘Carrefour’ yang diketahui telah beroperasi selama
sekitar tiga tahun terakhir. Dari hasil wawancara singkat dengan beberapa
pedagang di Pasar Sembada, mereka menyatakan bahwa kehadiran ‘Carrefour’
cukup berpengaruh terhadap jumlah pengunjung Pasar Sembada. Lebih jauh lagi,

Universitas Sumatera Utara

6

mereka memiliki kekhawatiran bahwa bisa saja suatu waktu nanti Pasar Sembada
tidak lagi dapat beroperasi karena tidak ada lagi pedagang yang sanggup berjualan
diakibatkan jumlah pengunjung tidak lagi ramai untuk berbelanja di Pasar
Sembada.
Beberapa pedagang di Pasar Sembada sempat menyampaikan keluhannya
terhadap keberadaan ‘Carrefour’ yang mengakibatkan mereka harus menambah
durasi waktu berjualan. Jika mereka biasanya hanya berjualan selama 6-8 jam
setiap harinya, maka, kini mereka harus berjualan selama 10-12 jam agar barang

dagangannya dapat habis terjual. Kesulitan dalam menjual barang dagangan agar
laku terjual dengan cepat, terutama untuk jenis ikan, sayuran maupun buahbuahan

juga

berdampak

pada

berkurangnya

kualitas

komoditi

yang

diperdagangkan, seperti: ikan akhirnya dijual dengan kondisi yang tidak lagi
segar, sayur maupun buah yang akhirnya juga dijual dalam kondisi sudah mulai
membusuk, dan berbagai kerusakan kualitas komoditi lainnya.

Tidak hanya keberadaan ‘Carrefour’ yang tengah menyebabkan kesulitan
bagi para pedagang di Pasar Sembada, perubahan harga sewa ‘lapak’ 3 usaha di
Pasar Sembada yang semakin mahal dalam dua tahun terakhir turut menambah
kekhawatiran dan mempersulit para pedagang untuk tetap dapat bertahan
berjualan di Pasar Sembada. Sekelompok orang yang sementara ini diketahui
sering disebut oleh pedagang dengan istilah ‘Oknum/Agen Pasar’ merupakan
penyebab dari mahalnya harga sewa lapak usaha di Pasar Sembada.

3

Sebutan lain yang biasa digunakan untuk menyebut tempat berjualan.

Universitas Sumatera Utara

7

Oknum/Agen Pasar ini merupakan sekelompok orang yang diketahui
sebagai pemilik dari sebagian besar lapak usaha yang terdapat di Pasar Sembada.
Mereka membeli lapak dalam jumlah yang besar dari para pewaris pemilik lapak
sebelumnya yang telah meninggal, dan kemudian menyewakannya kembali

kepada para pedagang. Namun ironisnya, mereka menaikkan harga sewa kepada
para pedagang dengan harganya yang bisa mencapai tiga kali lipat lebih mahal
dari harga sewa yang diberlakukan pemilik sebelumnya. Tarif sewa lapak yang
dulunya hanya berkisar Rp.300.000,- untuk setiap bulannya, sekarang menjadi
lebih bervariasi dan bisa mencapai jutaan rupiah hingga belasan juta rupiah.
Jumlah biaya kutipan (retribusi) yang terdiri dari biaya listrik, air, dan keamanan
juga mengalami kenaikan dari Rp.2.000,-/hari menjadi Rp.7.000,-/hari.
“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”, sepertinya merupakan rangkaian
kata yang tepat sebagai pengandaian terhadap situasi maupun kondisi kehidupan
para pedagang di Pasar Sembada. Di satu sisi, para pedagang sedang berhadapan
dengan ‘Carrefour’ yang keberadaannya sementara ini diduga berpengaruh
terhadap jumlah pengunjung maupun hasil pendapatan, dan di sisi yang lain
mereka juga harus menghadapi tekanan dari kehadiran Oknum/Agen Pasar yang
telah mengakibatkan kenaikan harga sewa lapak disertai dengan keterbatasan
lahan pasar untuk dimanfaatkan sebagai lapak usaha, seperti sedang hendak
mencabut peluang kehidupan mereka hingga ke akar-akarnya. Betapa hal tersebut
sangat mungkin terjadi karena dalam kurun waktu terakhir, diketahui bahwa
sejumlah pedagang yang tidak mampu lagi membayar sewa lapak maupun
berbagai retribusi akhirnya memilih untuk berjualan di luar (kompleks) Pasar


Universitas Sumatera Utara

8

Sembada, atau dengan kata lain berjualan sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
Meskipun keberadaan para ‘PKL’ di sekitar lokasi Pasar Sembada
sebenarnya juga sudah lama ada, dengan awalnya hanya terdiri dari sekitar 20
lapak ‘PKL’, namun kini pertumbuhan ‘PKL’ semakin meningkat hampir enam
kali lipat dari jumlah sebelumnya. Jumlah para pedagang yang kini memilih untuk
berjualan di luar (kompleks) Pasar Sembada, sejauh ini diperkirakan berjumlah
sekitar 150 pedagang (PKL). Jumlah dari mereka yang akhirnya menjadi ‘PKL’
dengan para pedagang yang tetap berjualan di dalam Pasar Sembada, dapat
dikatakan hampir berbanding setengah dari jumlah para pedagang yang tetap
berjualan di dalam (kompleks) Pasar Sembada.
Akan tetapi, bagi mereka yang akhirnya memutuskan untuk menjadi
‘PKL’, bukan berarti membuat mereka lepas dari berbagai tantangan
permasalahan dalam menjalani kehidupan sebagai pedagang pasar tradisional.
Hadirnya berbagai persoalan lain, seperti: penertiban pedagang pasar oleh
pemerintah yang tidak jarang mengakibatkan mereka harus menutup lapak karena
kehadiran pihak ‘Satpol PP 4’, masalah kebersihan, bahkan keamanan merupakan
rangkaian kompleksitas permasalahan lainnya yang tetap harus dihadapi oleh
mereka dalam menjalani kehidupan sebagai pedagang pasar tradisional.
Berbagai realitas permasalahan yang tengah dihadapi oleh para pedagang
pasar tradisional di Pasar Sembada tersebut menjadi alasan bagi peneliti untuk
memahami lebih jauh tentang kehidupan para pedagang tradisional di Pasar

4

Satpol PP merupakan singkatan dari Satuan Polisi Pamong Praja, yang merupakan unit
kerja dibawah pemerintahan kota yang bertugas mengawasi dan mengamankan kebijakan
pemerintahan kota; termasuk dalam mengamankan penggusuran bangunan, pasar dan juga turut
mengelola keamanan.

Universitas Sumatera Utara

9

Sembada, Padang Bulan, Medan. Bagaimana pandangan mereka tentang
keberadaan ‘Carrefour’ sebagai salah satu ritel pasar modern yang mengancam
kelangsungan hidup mereka sebagai pedagang pasar tradisional, kemudian
bagaimana pandangan mereka terhadap keberadaan para ‘Oknum/Agen Pasar’,
dan lantas bagaimana upaya mereka dalam menghadapi berbagai kemungkinan
permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan ‘Carrefour’ dan kehadiran
‘Oknum/Agen Pasar’, sementara ini merupakan rangkaian permasalahan yang
menjadi fokus terhadap rencana penelitian yang akan dilaksanakan peneliti.
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1 Konstelasi Pasar: Dari Tradisional, Hingga Modern
Berdasarkan sejarah, diketahui bahwa masyarakat Indonesia sudah
mengenal salah satu kegiatan ekonomi yang disebut pasar. Pasar biasanya
dicirikan oleh:
1) Berada pada lokasinya yang mudah didatangi dari berbagai arah;
2) berlangsung pada waktu-waktu tertentu;
3) mengutamakan benda keperluan hidup sehari-hari untuk keluarga.
Pada perkembangannya, sejalan dengan bertambahnya tuntutan dan
perkembangan masyarakat di beberapa tempat tertentu, terutama di kota-kota
besar, mulai tumbuh pasar yang melakukan kegiatan di setiap saat. Jika pada masa
awal terbentuknya lembaga pasar, kegiatan jual-beli cenderung bersifat tukarmenukar (barter) dengan orientasi subsistensi, kini pasar merupakan sarana
pertukaran antar barang dengan sejumlah uang tertentu, atau uang dengan jumlah
barang tertentu. Dengan demikian, jika pada awalnya yang terjadi adalah kegiatan

Universitas Sumatera Utara

10

antara sesama produsen, setelah dikenal alat tukar berupa uang, maka, terjadilah
kegiatan antara produsen dengan konsumen (Hamilton, 1995).
Selanjutnya, moderasi terhadap pengertian pasar dalam pengertian teori
ekonomi, Kini pasar dapat diartikan sebagai situasi di mana pembeli (konsumen)
dan penjual (produsen dan pedagang) melakukan transaksi setelah kedua pihak
telah mengambil kata sepakat tentang harga terhadap jumlah (kuantitas) barang
dengan kuantitas tertentu yang menjadi objek transaksi. Kedua pihak, pembeli dan
penjual mendapatkan manfaat dari adanya transaksi atau pasar. Pihak pembeli
mendapatkan barang yang diinginkan untuk memenuhi dan memuaskan
kebutuhannya sedangkan penjual mendapatkan imbalan pendapatan untuk
selanjutnya digunakan untuk membiayai aktivitasnya sebagai pelaku ekonomi
produksi atau pedagang (Kotler, 1987 ).
Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini pasar mengalami
transformasi sistem ekonomi pasar yang dikenal dengan istilah dualisme sistem
ekonomi pasar, yaitu “pasar tradisional” dan “pasar modern”. Pasar tradisional
dicirikan oleh organisasi pasar yang sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi
yang rendah, volume barang relatif sedikit, bentuk bangunan yang apa adanya,
terkesan sempit, kotor, cara perbelanjaannya dengan sistem tawar menawar
dengan model interaksi transaksi secara langsung, barang-barang yang
diperdagangkan adalah barang kebutuhan sehari-hari dengan mutu barang yang
kurang diperhatikan, harga barang relatif murah, para pedagangnya sebagian besar
adalah golongan ekonomi lemah dan cara berdagang yang kurang profesional.
Sebaliknya, pasar modern dicirikan dengan organisasi pasar yang lebih kompleks,

Universitas Sumatera Utara

11

volume barang yang tinggi, kepastian harga, barang-barang yang dijual biasanya
adalah barang yang tahan lama, dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang
menawarkan kenyamanan ketika berbelanja, seperti: penyejuk udara, iringan
musik, transaksi elektronik (ATM dan kartu kredit, dan tersedianya tempat parkir
yang luas. Beberapa bentuk dari pasar modern adalah hypermarket, supermarket,
minimarket, dan departemen store (Kotler, 1987: Pangestu, 2007).
Pasar tradisional dan pasar modern dapat dikatakan memiliki fungsi yang
sama karena merupakan tempat perbelanjaan yang menyediakan dan menjual
barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat. Akan tetapi, di antara
keduanya memiliki perbedaan dalam kelas mutu pelayanan. Selain itu, pasar dari
sisi sosial ekonomi dapat dibedakan pengertiannya secara kultural, administrasi,
dan fungsional. 1) Secara kultural, pasar merupakan tempat kegiatan perdagangan
eceran berbagai jenis barang dan jasa tanpa memandang apakah tempat itu
disediakan secara resmi atau tidak oleh pemerintah setempat; 2) Secara
Administrasi, pasar adalah tempat kegiatan perdagangan eceran yang dibedakan
atas pasar resmi dan tidak resmi, tidak diakui secara hukum, namun
keberadaannya (secara de facto) tetap dipungut biaya retribusi; 3) Secara
Fungsional, pasar adalah tempat berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari
yang dibutuhkan oleh penduduk secara keseluruhan, tempat bekerja (berdagang)
yang memberikan pendapatan kepada pedagang, dan sebagai fasilitas perkotaan
yang memberi pendapatan bagi pemerintah kota (Malau, 2009: Sinaga, 2006:
Simbolon, 2005: Slamet, 2001)

Universitas Sumatera Utara

12

Pasar dapat menjadi lebih dinamis disebabkan adanya pelaku (aktor) pasar
yang dapat menjalankan setiap perannya dalam rangka bekerjanya sistem pasar
secara keseluruhan. Namun demikian, bergeraknya kinerja pasar dipengaruhi oleh
tiga unsur penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yakni, penjual,
pembeli dan barang (Damsar, 2002: Elida, 2005). Tidak hanya itu, dinamika pasar
sebagai pusat penjualan juga dapat dipahami terkait rangkaian mekanisme
ekonomi dalam pemeliharaan dan pengatur arus barang maupun jasa (Geertz,
1989).
Selanjutnya, Geertz (1989) juga mengatakan bahwa dari segi arus barang
dan jasa pada pasar tradisional: yang paling menonjol adalah jenis barang yang
diperjualbelikan umumnya berupa bahan pangan, sandang, dan berbagai barang
yang mudah diangkut dan disimpan. Hasil-hasil produk pertanian untuk
kebutuhan sehari-hari merupakan komoditi yang paling banyak diperjualbelikan
di pasar tradisional, walaupun tidak menutup kemungkinan ditemukannya jenisjenis barang lainnya yang bersifat tahan lama, seperti: perabot rumah tangga, dan
bahan material untuk bangunan rumah. Hal ini sangat tergantung pada besar
kecilnya pasar tradisional tersebut.
1.2.2 ‘Carrefour’ & ‘Oknum/Agen Pasar’: Ancaman Terkini Bagi
Pedagang Pasar Sembada
Keberadaan ‘Carrefour’ sebagai salah satu ritel pasar modern yang kini
telah beroperasi di lokasi yang berdekatan dengan Pasar Sembada dapat dikatakan
merupakan salah satu ancaman terbesar bagi para pedagang di Pasar Sembada.
Dikatakan demikian karena terkait dengan kecurigaan pedagang Pasar Sembada

Universitas Sumatera Utara

13

terhadap penurunan jumlah pengunjung di Pasar Sembada. Salah satu dugaan
utama mereka mengapa terjadi penurunan jumlah pengunjung Pasar Sembada
disebabkan ‘Carrefour’ menyediakan tempat berbelanja yang lebih bersih dan
menawarkan kenyamanan dalam berbelanja.
Kecurigaan para pedagang Pasar Sembada tersebut sepertinya seturut
dengan pernyataan Pangestu (2007), bahwa secara umum, tempat yang nyaman,
aman dan memadai akan menjadi pilihan utama bagi kebanyakan pembeli.
Kondisi ini harus bisa menjadi perhatian serius dari para pedagang di pasar
tradisional. Walaupun pasar tradisional tetap memiliki daya tarik untuk dikunjungi
oleh para calon pembeli, namun pedagang harus mengetahui bahwa persaingan
tidak hanya terbatas pada kualitas dan harga produk, tetapi juga sudah pada
tataran lain, yaitu bagaimana memuaskan pelanggan dari faktor yang lain, seperti
adanya kenyamanan berbelanja dan adanya nuansa khusus menarik lainnya yang
kini lebih dapat ditemukan pada pasar modern (Mahyuni, 2007; Pangestu, 2007).
Selain itu, Indrawan (2009) juga mengatakan perihal yang senada, bahwa
meskipun pasar tradisional merupakan simbolisasi dari kemandirian ekonomi
rakyat, namun keberadaan pasar modern yang kini semakin menggeser peran
pasar tradisional disebabkan oleh berubahnya pilihan konsumen dari pasar
tradisional yang terkesan bau, kumuh, kotor, becek, dan dengan harga yang tidak
pasti, kepada pasar modern yang bersih, nyaman, dengan harga yang pasti.
Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, sepertinya
turut menegaskan keberadaan ‘Carrefour’ sebagai ancaman bagi keberlangsungan

Universitas Sumatera Utara

14

kegiatan ekonomi pedagang Pasar Sembada. Pada peraturan pemerintah ini
terdapat dua persoalan yang mendasar, yaitu: Pertama, Permasalahan zonasi yang
di dalam peraturan ini pemerintah tidak mengatur tentang zona mana saja yang
boleh dibangun untuk hypermarket, sehingga banyak pengelola ritel hypermarket
yang membangun semaunya dengan mendirikan bangunannya berada di dekat
pasar-pasar tradisional. Kedua, pemerintah daerah semakin banyak menarik
retribusi kepada para pedagang pasar tradisional. Sehingga hal ini membuat para
pedagang enggan untuk berdagang kembali di pasar tradisional (Setiadi, 2003).
Penarikan retribusi oleh pemerintah terhadap para pedagang pasar
tradisional yang semakin tinggi sepertinya menjadi peluang yang dimanfaatkan
oleh para pemilik lapak (oknum/agen pasar) di Pasar Sembada dalam menaikkan
harga sewa lapak. Sebagaimana telah dikemukakan pada pargaraf-paragraf
sebelumnya, bahwa tantangan lainnya bagi para pedagang di Pasar Sembada
untuk tetap bertahan berjualan di Pasar Sembada adalah kenaikan harga sewa
lapak yang begitu tinggi, dan juga berbagai biaya retribusi yang semakin tidak
karuan.
Realitas tantangan (kendala) para pedagang Pasar Sembada tersebut
sepertinya dapat dipahami dengan menilik pandangan Hefner (2000) yang
menyatakan, bahwa eksistensi pedagang pasar sangat dipengaruhi oleh hubungan
sosial yang mendukung terhadap suatu kedinamikaan lingkungan pasar dalam
menghadirkan

norma-norma,

kepercayaan,

dan

jaringan-jaringan

dalam

kehidupan ekonomi yang merepresentasikan keunikan suatu pasar. Gambaran
tentang organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma, dan jaringan-

Universitas Sumatera Utara

15

jaringan dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan menyiapkan tindakan
yang terkoordinasi, atau justru sebaliknya, dapat mengakibatkan kesimpangsiuran
dalam praktik ekonomi pasar; seluruh hal tersebut mewakili suatu modal
masyarakat yang sama vitalnya bagi kehidupan ekonomi seperti modal fisik itu
sendiri (Hefner, 2000: 339).
1.2.3. Pedagang Pasar Sembada: Dari Liminal, Hingga Adaptasi
Realitas tantangan (kendala) yang tengah dialami oleh pedagang Pasar
Sembada sepertinya dapat dipahami sebagai realitas sosial-kultural yang berada
pada dua sisi yang saling bertentangan, namun tidak bisa dipisahkan: yakni sisi
yang mapan, dan sisi yang memberi peluang bagi perubahan. Sebagaimana
pandangan Dimyati (2004), bahwa sisi yang mapan berbicara tentang kehidupan
dalam pengaturan kebudayaan dominan yang berisi norma atau aturan sebagai
pedoman untuk bertingkah laku anggota suatu masyarakat, sedangkan sisi yang
lainnya merupakan potensi-potensi yang mendesak keluar untuk menjadi aktual.
Di antara kedua sisi itu, ada ruang yang tak ada di mana-mana, tapi juga ada di
mana-mana, yakni ruang liminal. Ruang liminal itu semacam ambang, in-between,
yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan.
Selanjutnya, Dimyati (2004) juga mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ruang liminal tersebut merupakan tempat teraktualisasikannya potensipotensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ia berada di ruang liminal, sebab ia
tak lagi berupa potensi, tapi juga kehadirannya ditolak oleh sisi yang mapan
(dominan) karena mengingat sifatnya yang ‘subversif’, berbeda, dan dianggap
menganggu ketertiban, keharmonisan dan kenormalan yang telah berjalan.

Universitas Sumatera Utara

16

Pandangan Dimyati (2004) tersebut sepertinya dapat menjelaskan tentang
bagaimana situasi maupun kondisi para pedagang Pasar Sembada yang di satu sisi
memiliki potensi untuk tetap bertahan sebagai pedagang Pasar Sembada, namun
harus berada di bawah pengaruh tekanan kehadiran pasar modern (Carrefour) dan
juga para ‘Oknum/Agen Pasar’ yang menciptakan budaya dominan dalam
pengaturan aktivitas perdagangan mereka; dan sisi yang lain mereka terdesak
keluar dari Pasar Sembada untuk tetap dapat melanjutkan kehidupan ekonominya,
namun sebagai pedagang kaki lima yang keberadaannya cenderung dianggap
mengganggu ketertiban, keharmonisan, dan kenormalan praktik aktivitas
perdagangan kekinian di Pasar Sembada.
Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa hubungan manusia selalu
dijembatani oleh pola-pola kehidupan sebagai representasi atas kebudayaan yang
merupakan keseluruhan atas sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Manusia di dalam kelompok atau masyarakat selalu mempunyai
kebudayaan, dengan kebudayaan yang demikian mereka tidak hanya mampu
beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi juga mampu mengubah lingkungan
menjadi sesuatu yang berarti dengan apa yang mereka jalani. Dengan demikian,
kebudayaan itu mencakup totalitas dari pengalaman manusia dalam berupaya
untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang bersifat dinamis.
Upaya penyesuaian diri manusia di dalam kehidupan merupakan bentuk
strategi keberlangsungan kehidupan yang diatur oleh sistem sosial budaya yang
ada sekaligus sebagai proses strategi adaptasi. Budaya sebagai pola strategi

Universitas Sumatera Utara

17

adaptasi sepertinya relevan dalam memahami bagaimana upaya pedagang Pasar
Sembada menyikapi keberadaan ‘Carrefour’ maupun para ‘Oknum/Agen Pasar’
yang sementara ini dianggap mengancam keberlangsungan kegiatan ekonomi
mereka selaku pedagang pasar tradisional (Sembada).
Salah satu konsep adaptasi yang sepertinya relevan untuk digunakan
terkait fokus penelitian di sini adalah pemahaman adaptasi yang dikemukakan
oleh Bennett yang dimodifikasi oleh Ahimsa-Putra (2003), bahwa salah satu
pengertian adaptasi merupakan siasat-siasat (adaptif) yang menunjuk pada
rencana, pedoman, petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan, dan bisa pula
berarti perilaku atau tindakan-tindakan yang telah diwujudkan. Ahimsa-Putra
(2003) kemudian juga mendefinisikan siasat adaptasi dengan mengacu pada
aturan-aturan, pedoman, petunjuk, norma-norma untuk berperilaku, yang
semuanya berada pada tataran ide, pengetahuan.
Siasat-siasat (adaptif) itu sendiri dapat dikatakan merupakan suatu proses
usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan.
Perubahan situasi maupun kondisi lingkungan (sosial-kultural, ekonomi) yang
dialami para pedagang di Pasar Sembada, tentunya membuat para pedagang harus
menerapkan suatu strategi dalam mempertahankan usahanya serta untuk tetap
bertahan hidup. Mereka dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan
yang baru di tengah ancaman yang datang, seperti kehadiran ‘Carrefour’, dan
masuknya ‘Oknum/Agen Pasar’ yang meningkatkan harga sewa sehingga
mendesak mereka hingga harus berjualan (sebagai PKL) di luar kompleks Pasar
Sembada. Dengan demikian, siasat (adaptif) para pedagang Pasar Sembada

Universitas Sumatera Utara

18

tersebut menurut penulis adalah cara atau taktik para pedagang Pasar Sembada
dalam menjalankan suatu rencana agar mampu mencapai tujuan yang diinginkan.
Dengan strategi itu mereka bisa tetap bertahan terhadap berbagai permasalahan
baru yang tengah dihadapi mereka, pasca kehadiran ‘Carrefour’ maupun para
‘oknum/agen pasar’ yang mengancam eksistensi mereka sebagai pedagang Pasar
Sembada.

1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka, permasalahan yang
akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah ‘bagaimana para pedagang di Pasar
Sembada menghadapi tantangan (ancaman) kekinian terkait kehadiran ‘Carrefour’
dan ‘Oknum/Agen Pasar’ demi mempertahankan eksistensi mereka sebagai
pedagang Pasar Sembada”. Untuk lebih memudahkan upaya pemahaman terhadap
fokus penelitian, maka, permasalahan utama tersebut diuraikan dalam beberapa
pertanyaan penelitian yang dirincikan sebagai berikut:
2. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh para pedagang Pasar Sembada
terkait kehadiran ‘Carrefour’ dan para Agen Pasar ?
3. Bagaimana pengaruh kehadiran ‘Carrefour’ dan Agen Pasar terhadap
eksistensi para pedagang Pasar Sembada?
4. Lantas, bagaimana siasat (adaptif) yang diterapkan oleh para pedagang
Pasar Sembada dalam mempertahankan eksistensi mereka sebagai
pedagang di Pasar Sembada?

Universitas Sumatera Utara

19

1.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu pasar tradisional di Kota Medan,
Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Pasar Sembada yang berlokasi di Jalan
Kapten Jamin Ginting/Jalan Sembada, Pasar V, Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan
Medan Baru. Penelitian ini direncanakan akan dilakukan selama ± 3 bulan, yaitu
dari bulan Agustus hingga Oktober 2014. Pasar Sembada dipilih menjadi lokasi
dari penelitian ini disebabkan keberadaan para pedagang di Pasar Sembada dalam
enam bulan terakhir senantiasa diributkan oleh persoalan penggusuran dan
sekelumit permasalahan lainnya yang diduga berkaitan dengan kenaikan harga
sewa lapak berdagang, dan juga kehadiran ritel pasar modern (Carrefour).
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagai fokus penelitian
yang telah dipaparkan sebelumnya, maka, tujuan utama dari penelitian ini adalah:
menghasilkan suatu pemahaman analitis-deskriptif secara etnografis yang
dilakukan antara Agustus hingga Oktober 2014, tentang pedagang Pasar
(Tradisional) Sembada dalam menghadapi tantangan (ancaman) kekinian terhadap
eksistensi aktivitas perdagangan mereka terkait dengan kehadiran ‘Carrefour’
sebagai salah satu ritel pasar modern, dan juga para ‘Oknum Pajus’ sebagai
kelompok penguasa lapak berdagang di Pasar Sembada.

Universitas Sumatera Utara

20

1.5.2 Manfaat Penelitian
Tidak hanya itu, penelitian ini diharapkan dapat turut berkonstribusi
menghadirkan berbagai konsep maupun pendekatan secara antropologis, dalam
upaya menjelaskan bagaimana adaptasi maupun eksistensi para pedagang pasar
tradisional dalam menghadapi gempuran kehadiran pasar modern sebagai
tantangan yang berasal dari luar, dan kehadiran para penguasa lapak perdagangan
di pasar tradisional sebagai tantangan yang berasal dari dalam konstelasi pasar
tradisional itu sendiri.

1.6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif 5 dengan tipe representasi penelitian berupa etnografi 6 yang dalam
pelaksanaannya meliputi: partisipasi etnografer yang bersifat terbuka ataupun
tertutup tentang kebiasaan-kebiasaan hidup manusia dalam periode waktu yang
panjang, memahami hal yang dilihat, mendengar apa yang mereka katakana,
menanyakan kejadian yang terjadi dengan mengamati tingkah laku mereka dan
dengan mempelajari berbagai artefak dan manfaatnya (Spradley, 1997:10). Dalam
upaya memperoleh data secara maksimal, maka, peneliti menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data, yaitu: wawancara mendalam (indepth interview),

5

Penelitian dengan metode kualitatif di sini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif,
yaitu penelitian yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik. Penelitian kualitatif
didasarkan pada upaya untuk membangun pandagan mereka yang diteliti secara rinci, dibentuk
dengan kata-kata, gambaran holistic dan rumit (Moleong, 2006:6).
6
Etnografi adalah pelukisan yang sistematis dan analitis suatu kebudayaan kelompok,
masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang lama
(Bungin, 2007: 181).

Universitas Sumatera Utara

21

observasi mendalam (participant observation), dan pengumpulan data sekunder.
Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap informan
yang merupakan bagian dari aktivitas perdagangan di Pasar Sembada. Penentuan
informan akan dilakukan berdasarkan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Spradley (2007), yaitu: 1) Enkulturasi penuh, 2) Keterlibatan langsung informan
dengan suasana budayanya, 3) Latar belakang budaya yang berbeda dengan
peneliti, 4) Ketercukupan waktu, dan 5) Non analitik.
Dengan demikian, dapat diperoleh data-data seperti: nilai, norma, dan
aturan-aturan, serta pengetahuan atau persepsi mengenai aktivitas aktivitas
perdagangan di Pasar Sembada. Wawancara dilakukan dengan pedoman
wawancara yang bersifat semi-struktur, atau dengan mengkombinasikan antara
pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya dan sesuai proses
berlangsungnya wawancara dalam penelitian ini. Wawancara ditujukan kepada
beberapa kelompok informan, seperti: para pedagang Pasar Sembada (selaku
subjek utama penelitian), pengunjung pasar, pemilik lapak dagang (Oknum
Pajus), dan pihak pengelola ‘Carrefour’.
Teknik pengamatan terlibat (participant observation) merupakan salah
satu metode utama dalam pengumpulan data yang digunakan. Pengamatan
dilakukan untuk dapat turut mengalami, merasakan, melihat, dan terlibat dalam
aktivitas perdagangan para pedagang Pasar Sembada. Pengamatan dilakukan
secara langsung untuk mengamati berbagai aspek kehidupan para pedagang Pasar
Sembada dan lingkungannya, seperti: lokasi penelitian secara umum, kondisi
tempat berjualan, kegiatan dan tindakan mereka ketika berjualan maupun berbagai

Universitas Sumatera Utara

22

aktivitas perdagangan lainnya, serta berbagai peristiwa lainnya yang memiliki
relevansi dengan fokus penelitian ini.
Selain itu, untuk mendukung data primer yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi sebagaimana telah diungkap sebelumnya, peneliti juga
mengumpulkan data-data sekunder yang berkaitan dengan fokus penelitian. Datadata tersebut dapat berupa profil Pasar Sembada yang diperoleh dari pihak
Pemerintah Kecamatan atau Kelurahan, dan instansi terkait yang memiliki data
profil pasar tersebut. Informasi dari media massa, jurnal ilmiah, berbagai laporan
hasil penelitian, dan juga penelurusan informasi on-line akan menjadi sumbersumber data sekunder dalam penelitian ini.
1.7 Metode Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data
kualitatif sebagai dasar deskripsi. Data-data yang diperoleh kemudian
diklasifikasi, dianalisis, diinterpretasi, dan dideskripsikan secara terus-menerus
sesuai dengan topik, tema dan sub-sub tema dari permasalahan penelitian.
Keseluruhan kegiatan analisis ini dapat mempercepat ditemukannya rangkaian
makna yang menjadi suatu satuan pengetahuan (sistem budaya), sebagai suatu
kesimpulan analisis dan representasi dari kegiatan penelitian yang dilakukan
(Spradley, 2007: 132-133).

Universitas Sumatera Utara

23

1.8 Pengalaman Lapangan
Pengalaman lapangan merupakan kumpulan proses yang penulis alami
dalam kegiatan kerja lapangan dalam lingkup menyusun penulisan skripsi ini,
mencakup kedekatan antara peneliti dengan informan penelitian, observasi atau
pengamatan terhadap kegiatan informan yang berkaitan dengan tujuan penulisan
skripsi ini serta jawaban ataupun data yang diperoleh melalui serangkaian kerja
lapangan.
Proses kerja lapangan dimulai pada bulan Agustus 2014 setelah penulis
menyelesaikan proses seminar proposal penelitian secara akademik, selanjutnya
penulis

melakukan

pencarian

data

literatur

sebagai

pendukung

dari

keberlangsungan penelitian dan penulisan skripsi ini dan melakukan kerja
lapangan sebagai bentuk data faktual lapangan.
Penelitian lapangan yang penulis lakukan dimulai dengan mencari
informasi mengenai keberadaan Pajak Sembada, dimana penulis mencari dan
menemui beberapa pedagang maupun masyarakat sekitar Pajak Sembada dengan
melakukan serangkaian pertanyaan mengenai sejarah dan keberadaan Pajak
Sembada. Dari hal ini penulis mendapatkan keterangan bahwa pada awalnya
lokasi penelitian merupakan wilayah militer atau tepatnya disebut kavaleri.
Pertama sekali penulis menemui pedagang bernama Bapak Bangun, hal ini
dikarenakan barang dagangannya merupakan barang dagangan yang berkaitan
dengan keperluan sekolah (tas, baju seragam, dan lain sebagainya) sehingga
penulis mengharapkan dapat menjalin proses komunikasi yang cukup lancar

Universitas Sumatera Utara

24

mengingat penulis memperkenalkan diri sebagai mahasiswa.
Dalam proses percakapan atau wawancara yang berlangsung lancar
tersebut, penulis menanyakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan proses
penelitian yang penulis lakukan seperti sudah berapa lama berdagang di pasar
Sembada, dan dari keterangan Bapak Bangun juga diperoleh cerita mengenai
sejarah keberadaan pasar Sembada yang telah dimulai sejak tahun 1970-an
sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di kompleks
militer kavaleri yang kemudian berubah menjadi perumahan Citra Garden.
Pertanyaan demi pertanyaan yang penulis lontarkan kepada informan
dijawab secara mendetail bahkan melalui cerita-cerita yang berkembang ditengah
pedagang pasar tradisional Sembada, proses wawancara ini penulis lakukan
dengan menggunakan teknik wawancara bebas dan tidak berstruktur untuk
menghindari kesan monoton dan akhirnya proses wawancara pun berjalan dengan
lancar.
Melalui proses wawancara terhadap Bapak Bangun, penulis kemudian
disarankan untuk menemui pedagang yang kiosnya berada tak jauh dari kios
Bapak Bangun, yaitu Bapak Tambunan. Menurut Bapak Bangun, Bapak
Tambunan tentu memiliki cerita yang lebih lengkap atau melengkapi cerita yang
telah disampaikan oleh Bapak Bangun.
Bapak Tambunan yang kemudian penulis wawancarai ternyata memiliki
sifat terbuka dan cenderung terbuka sehingga proses wawancara berjalan dengan
lancar dan diselingi lelucon yang menyebabkan proses wawancara tidak terlalu
terikat, bahkan dalam proses wawancara tersebut Bapak Tambunan juga turut

Universitas Sumatera Utara

25

bercerita mengenai anaknya yang juga menempuh pendidikan tinggi di USU dan
kini telah tamat.
Proses wawancara terhadap Bapak Tambunan yang berjualan Sembako
(sembilan bahan pokok) terasa begitu cair ketika berbicara mengenai harga jual
beras, proses tawar-menawar hingga pada keberadaan Carrefour yang persis
bersebelahan dengan pasar tradisional Sembada walaupun terkadang proses
wawancara harus berhenti beberapa saat dikarenakan ada pembeli yang datang
dan menawar dagangannya.
Penulis

setidaknya

memerlukan

beberapa

hari

untuk

melakukan

wawancara terhadap pedagang yang berjualan di pasar tradisional Sembada begitu
pula dengan mengikuti proses kegiatan berjualan di pasar tradisional Sembada
yang dimulai pada pagi hingga sore hari. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa
pedagang tradisional pasar Sembada terbagi atas dua bagian besar, yakni
pedagang yang berada didalam lokasi pasar tradisional Sembada dan dikelola
pihak pemerintah serta pedagang yang membuka kios jualan diluar lokasi pasar
atau tepatnya di bangunan pribadi ataupun sewaan yang terdapat di pinggir jalan
Sembada.
Proses wawancara penelitian ini yang berjudul “Eksistensi Pedagang
Sembada” dan mencakup strategi adaptasi antara pedagang tradisional pasar
Sembada dan pasar modern Carrefour Citra Garden tentu memerlukan wawancara
terhadap pihak Carrefour Citra Garden. Proses wawancara terhadap Carrefour
Citra Garden berbeda dengan proses wawancara terhadap pedagang tradisional
pasar Sembada yang berlangsung cair dan lancar, dimana pihak Carrefour

Universitas Sumatera Utara

26

mensyaratkan beberapa hal yang cenderung menyulitkan karena sistem kerja
Carrefour yang merupakan perusahaan sehingga membutuhkan beragam izin.
Penulis kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan wawancara lepas
terhadap beberapa karyawan Carrefour, baik karyawan Carrefour langsung
maupun tenaga tenant yang bertugas di Carrefour Citra Garden. Inisiatif ini
ternyata memberikan hasil yang positif dikarenakan proses observasi dan
pendekatan dimana penulis memposisikan diri sebagai pengunjung, secara tidak
langsung hal ini menjadikan proses wawancara dapat dilakukan dengan baik
walaupun informan yang merupakan karyawan langsung maupun tenaga tenant
Carrefour memperingatkan penulis untuk tidak menulis nama secara langsung dan
pendapat yang mereka sampaikan bukan keterangan resmi dari pihak Carrefour,
akan tetapi penulis berpendapat bahwa keterangan dan pendapat mereka dapat
dijadikan sebagai sebagai bagian dari penelitian ini karena berkaitan dengan
penelitian yang penulis lakukan dan penulis pun menghargai keterangan tersebut
dengan merahasiakan identitas karyawan Carrefour tersebut.
Proses pengalaman lapangan yang penulis lakukan dan alami memberikan
gambaran mengenai proses pendekatan, pengamatan dan wawancara yang selama
ini

penulis dapatkan diperkuliahan.

Proses

pengalaman

lapangan

juga

memberikan pengetahuan mengenai tata cara memulai pembicaraan hingga pada
proses mendekatkan diri terhadap informan agar bersifat terbuka terhadap
wawancara yang penulis lakukan. Pada akhirnya, pengalaman lapangan yang
penulis jalani dan lakukan merupakan bagian dari penyusunan data yang penulis
dapatkan sehingga dapat berbentuk penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Etos Kerja Pedagang tradisional Ditengah Maraknya Pasar Modern

9 78 96

Pengaruh Kehadiran PT. Carrefour Indonesia Terhadap Perekonomian Keluarga Pedagang Pasar Sembada Kelurahan Titi Rantai Kecamatan Medan Baru Kota Medan

4 44 104

Dampak Kehadiran Pasar Ritel Modern terhadap Omzet Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung

0 11 80

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

1 11 117

JARINGAN SOSIAL PEDAGANG PASAR TRADISIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI (Studi Terhadap Pedagang Pasar Raya Inpres Di Kota Padang).

0 0 1

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

0 0 14

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

0 2 1

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

0 0 22

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

0 1 4

Eksistensi Pedagang Sembada (Studi Etnografi Mengenai Strategi Adaptasi Pedagang Tradisional Pasar Sembada Terhadap Kehadiran Carrefour Dan Agen Pasar Di Kota Medan)

0 0 2