Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Agency Problem
Teori keagenan menjelaskan bahwa kepentingan manajemen dan
kepentingan pemegang saham seringkali bertentangan, sehingga bisa terjadi
konflik. Hal tersebut terjadi karena manajer cenderung berusaha mengutamakan
kepentingan pribadi. Pemegang saham tidak menyukai kepentingan manajer,
karena hal tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga akan
menurunkan keuntungan yang diterima. Konflik kepentingan antara manajer dan
pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan
yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait. Namun dengan
muculnya mekanisme tersebut akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost
(Jensen dan Meckling, 1976).
Ada beberapa jenis konflik keagenan yang terjadi, menurut Brigham
(1990) yaitu : (1) Konflik antara pemegang saham (stockholder) dan manager.
Konflik ini terjadi karena manjer memiliki atau memegang kurang dari 100%
saham perusahaan. Pada kondisi ini, manajer cenderung bertindak untuk
mengejar kepentingan dirinya sendiri dan sudah tidak memaksimalisasi nilai
perusahaan (kemakmuran pemegang saham) dalam pengambilan keputusan
pendanaan. Penyebab timbulnya konflik keagenan ini karena manajer adalah agen

yang tidak perlu menanggung risiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam
pengambilan keputusan bisnis atau tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Risiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal. Pada kondisi tersebut
13
Universitas Sumatera Utara

manajer cenderung memperbesar skala perusahaan dengan cara ekspansi atau
membeli perusahaan lain daripada memaksimumkan kemakmuran pemegang
saham, karena dengan semakin besarnya skala perusahaan akan dapat
meningkatkan keamanan posisi manajer dari ancaman pengambilalihan; (2)
Konflik antara pemegang saham (stockholder) dan pemegang utang atau kreditur.
Konflik ini akan muncul saat pemegang saham melalui manajer mengambil
proyek yang risikonya lebih besar dari yang diperkirakan kreditur. Pada saat
proyek tersebut berhasil maka sebagian besar keuntungan akan menjadi hak
pemegang saham sedangkan kreditur mendapatkan keuntungan dari bunga atas
utang yang bersifat tetap, tetapi bila proyek gagal maka kreditur ikut menanggung
kerugiannya.
Jensen dan Meckling (1976) mengelompokan biaya keagenan tersebut
dalam tiga bentuk yaitu : (1) Monitoring costs , yang merupakan biaya untuk
memonitori perilaku manajemen, (2) Bonding costs, yang merupakan biaya untuk

membentuk mekanisme untuk menjamin bahwa manajer akan bertindak sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dan (3) residual loss, yang merupakan
biaya untuk mendorong manajer bertindak sesuai dengan kemampuannya untuk
kepentingan saham.
Beberapa alternatif dapat digunakan untuk mengurangi agency cost,
pertama menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam penelitiannya menyatakan
untuk mengurangi agency costs adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan
saham perusahaan oleh manajemen maka dari itu manajer akan merasakan
langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan juga apabila kerugian yang

14
Universitas Sumatera Utara

timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Kepemilikan
ini mensejajarkan kepentingan manajamen dengan pemegang saham. Dengan
demikian maka kepemilikan saham oleh manajemen merupakan insentif bagi para
manajer untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Keedua menurut Crutchley dan Hansen (1989) dalam Fadah (2011) dapat
dengan menggunakan dividend payout ratio. Adanya dividend payout ratio maka
yang akan terjadi adalah tidak tersedianya cukup banyak arus kas bebas dan

manajemen tidak memiliki kesempatan untuk berinvestasi yang tidak sesuai
dengan keinginan pemegang saham.
Ketiga, menurut Jansen et al., (1992) dalam Faisal (2004) untuk
mengurangi agency cost adalah dengan cara meningkatkan pendanaan dengan
utang. Peningkatan utang akan menurunkan besarnya konflik antara pemegang
saham dengan manajemen. Di samping itu utang juga menurunkan arus kas bebas
yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan pemborosan dilakukan oleh
manajemen.
Keempat, menurut Moh’d et al., (1998) dalam Fadah (2011)

adanya

institusional investor sebagai monitoring agents. Dengan adanya distribusi saham
antara pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan shareholder
dispersion dapat mengurangi agency costs. Hal ini karena kepemilikan mewakili

suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk
mendukung atau sebaliknya menentang terhadap keberadaan manajemen. Adanya
kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank,


15
Universitas Sumatera Utara

perusahaan investasi atau institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan
yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.

2.1.2 Pengertian Kebijakan Utang
Kebijakan utang adalah segala jenis utang yang dibuat atau diciptakan oleh
perusahaan, baik utang lancar maupun utang jangka panjang (Indahningrum dan
Handayani, 2009).

Definisi lain kebijakan utang adalah total utang

jangka

panjang yang dimiliki perusahaan untuk membiayai operasionalnya (Yeniatie dan
Destriana, 2010). Jadi, kebijakan utang merupakan keputusan yang diambil oleh
manajemen untuk menentukan besarnya utang dalam sumber pendanaannya yang
berguna untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan.
Kebijakan utang merupakan proksi dari risiko yang dihadapi oleh

pemegang saham dan menjadi biaya keagenan dalam konflik kepentingan antara
pemegang saham dengan kreditur (Faisal, 2004). Myers (1977) dan Myers dan
Majluf (1984) dalam Faisal (2004) menjelaskan keterkaitan antara kebijakan
utang dengan profitabilitas perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan yang
lebih menguntungkan akan menurunkan utangnya karena memiliki sumber dana
internal yang lebih besar dari laba (earnings) untuk mebiayai pogram
investasinya.
Menurut Wiliandri (2011) kebijakan utang dalam perusahaan merupakan
kebijakan yang berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Struktur modal
diawali oleh Modigliani dan Miller (MM), pada tahun 1958 dalam Syahyunan
(2015) menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur

16
Universitas Sumatera Utara

modalnya. Dengan kata lain bahwa tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan
membiayai operasinya. Studi MM ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang
tidak realistis, antaran lain :
a. Tidak terdapat agency cost
b. Tidak ada pajak

c. Investor dapat berutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan
perusahaan
d. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen
mengenai prospek perusahaan di masa depan
e. Tidak ada biaya kebangkrutan
f. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari utang
g. Para investor adalah price-takers
h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar
(market value).

Penggunaan utang dapat mengurangi penghasilan kena pajak karena
perusahaan diwajibkan untuk membayar bunga pinjaman. Pengurangan pajak
dapat menambah laba perusahaan yang dimanfaatkan untuk reinvestasi ataupun
untuk pembagian dividen kepada para pemegang saham.

Reinvestasi dan

pembagian dividen akan meningkatkan penilaian investor sehingga dapat
meningkatkan minat mereka membeli saham.
2.1.2.1 Pecking Order Theory

Menurut Myers (1984) dalam Syahyunan (2015), pecking order theory
menyatakan “Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat

17
Universitas Sumatera Utara

hitungnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki
sumber dana internal yang melimpah”. Dalam pecking order theory ini tidak
terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai
urutan-urutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana. Menurut pecking
order theory dikutip oleh Smart, Meggison, dan Gitman (2004) dalam Syahyunan

(2015), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan,
yaitu :
a. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam
atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal.

Dana internal

tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan

operasional perusahaan.
b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih
pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang
paling rendah risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas
hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen dan yang terakhir saham

biasa.
c. Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan
menetapkan jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh
seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.
d. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan
dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta
kesempatan investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio
investasi yang lancar tersedia.

18
Universitas Sumatera Utara

Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal.
Pecking order theory menjelaskan urutan-urutan pendanaan.


Manajer

keuangan tidak memperhitungkan tigkat hutang yang optimal. Kebutuhan
dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat
menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang
tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.
Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam
menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai dengan
skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam pecking order theory.
Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid (1992) dan Sigh (1995)
dalam Syahyunan (2015) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di
negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada
berutang dalam membiayai perusahaannya”.

Hal ini berlawanan dengan

pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan memilih

menerbitkan utang terlebih dahulu daripada menerbitkan saham pada saat

membutuhkan pendanaan eksternal.
2.1.2.2 Trade-off Theory
Menurut trade-off theory yang dikemukakan oleh Myers (2001) dalam
Syahyunan (2015) bahwa “Perusahaan akan berutang sampai pada tingkat utang
tertentu, dimana penghematan pajak (tax shield) dari tambahan utang sama
dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)”. Biaya kesulitan keuangan
financial

distress

adalah

biaya

kebangkrutan

(bankruptcy

cost)


atau

19
Universitas Sumatera Utara

reorganization dan biaya keagenan (agency cost) yang meningkat akibat dari

turunnya kredibilitas suatu perusahaan.
Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam

kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam
penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas
yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknnya dengan cara
meningkatkan rasio utangnya, sehingga tambahan utang tersebut akan mengurangi
pajak.
2.1.3 Pengertian Kepemilikan Blockholder
Kepemilikan blockholder adalah kepemilikan saham yang diukur oleh
seberapa besar fraksi saham yang dimiliki termasuk kepemilikan saham oleh
owner yang besarnya lebih dari 5 % baik saham yang dipegang oleh manajemen,

direktur dan keluarganya, saham yang dipegang oleh perusahaan lain atau sering
disebut institusional, saham yang dipegang pemeritah atau saham yang dipegang
oleh dana pensiun (Thomsen et al., 2006).
Menurut Thomsen et al., (2006) kepemilikan blockholder adalah ukuran
kepemilikan saham dimana :
a. Kepemilikan saham yang jumlahnya lebih dari 5%.
b. Saham dimiliki oleh karyawan, direktur atau anggotanya
c. Saham dimiliki oleh bank
d. Saham dimiliki oleh perusahaan lain (kecuali perusahaan dalam status
digadaikan)
e. Saham dimiliki oleh seseorang karena adanya tunjangan pensiun.

20
Universitas Sumatera Utara

Penelitian sebelumnya mengandaikan bahwa kepemilikan blockholder
memiliki insentif yang lebih besar dan kemampuan untuk memonitor manajemen
(Mustapha dan Che Ahmad, 2013). Hal itu dikarenakan pemegang saham besar
juga diklaim memiliki insentif yang lebih besar untuk memantau manajemen dan
memiliki kekuatan yang diperlukan untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan
karena mereka akan menanggung proporsi yang signifikan dari kegiatan untuk
menghambat perilaku manajemen (Haniffa dan Hudaib, 2006 dalam Mustapha
dan Che Ahmad, 2013).
Dalam penelitian Sari dan Usman (2014) menjelaskan bahwa blockholder
berkontribusi terhadap kegiatan pengawasan manajemen perusahaan. Kehadiran
blockholder

memiliki efek positif pada nilai pasar perusahaan.

Blockholder

memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan karena memiliki
keterampilan yang relevan, waktu dan perhatian terhadap kinerja perusahaan.
Denis dan Mc.Connell (2003) menyatakan bahwa blockholder

memengaruhi

kinerja perusahaan secara positif, namun efek interaksi rumit yang mungkin
ketika perusahaan memiliki blockholder , manajemen biasanya menjadi kurang
bertanggungjawab kepada pemegang saham lainnya dan lebih bertanggungjawab
kepada pengendalian blockholder yang akan memiliki kontrol yang cukup besar
atas perusahaan.
Belkhir (2005) berpendapat bahwa kehadiran blockholder merupakan cara
lain untuk mengurangi moral hazard yang dilakukan manajemen, sehingga
pengawasan akan lebih efektif dan akan meningkatkan nilai perusahaan.
Kehadiran blockholder mungkin merupakan ancaman bagi manajemen perusahaan

21
Universitas Sumatera Utara

karena kekuatan dalam tawaran pengambilalihan cukup ekstrim. Blockholder
juga dapat mencalonkan seseorang untuk mewakilinya dalam suatu dewan, dalam
rangka untuk memastikan bahwa manajemen bertindak dalam kepentingan
pemegang saham.
Blockholder dapat mengurangi konflik agency antara pemegang saham

dan manajer, karena adanya kepemilikan saham yang terkonsentrasi akan
memberikan kemudahan dalam melakukan pengawasan manajemen perusahaan
melalui hak suara.

Namun blockholder ownership juga dapat meningkatkan

konflik agency antara blockholder dengan pemegang saham minoritas (Becht et
al., 2002).

Hal tersebut dikarenakan blockholder memiliki dorongan untuk

menggunakan voting power mereka, sehingga dapat menikmati penghasilan atau
keuntungan-keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan pada pemegang saham
minoritas.
2.1.4 Pengertian Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)
Arus kas bebas adalah arus kas yang tersedia untuk distribusi kepada
pemegang saham, setelah perusahaan membuat semua keputusan investasi baik
dalam bentuk aset tetap maupun modal kerja (Hidayat, 2009).

Arus kas bebas

(Free cash flow) merupakan arus kas yang tersedia untuk pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan yaitu kreditor dan investor (Prihadi, 2012).
Arus kas bebas terbagi 2 yaitu:
1. Arus Kas Bebas untuk Perusahaan (Free Cash Flow to Firm /FCFF)
Menurut Prihadi (2012: 96), Free Cash Flow to Firm adalah kas yang
tersedia untuk membayar investor setelah perusahaan membayar biaya

22
Universitas Sumatera Utara

dalam melakukan bisnis, berinvestasi dalam aset jangka pendek seperti
persediaan, dan berinvestasi dalam aset jangka panjang seperti properti,
pabrik dan peralatan. Investor perusahaan mencakup pemegang obligasi
dan pemegang saham. Untuk menghitung free cash flow to firm dalam
Prihadi (2012) adalah :
FCFF = EBIT (1-t) + Depresiasi dan Amortisasi – Capital
Expenditure -Modal Kerja Bersih

Selain rumus diatas, Ross et al., (2000) menghitung cara free cash
flow to firm dengan rumus yang berbeda yaitu sebagai berikut:

FCFF = AKOit – PMit –NWCit
FCFF

= Free cash flow to firm

AKOit

= Aliran kas operasi perusahaan I pada tahun t

PMit

= Pengeluaran modal perusahaan I pada tahun t

NWCit

= modal kerja bersih perusahaan I pada tahun t

Aliran kas operasi adalah kas berasal dari aktivitas penghasil utama
pendapatan perusahaan dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas
investasindan aktivitas pendanaan. Pengeluaran modal adalah pengeluaran
bersih pada aset tetap yaitu aset tetap akhir periode dikurang aset tetap
awal periode. Sedangkan modal kerja bersih adalah selisih antara aset
lancar dengan utang lancar. Berdasarkan rumusan diatas dapat
disimpulkan bagian dari rumus Ross et al, (2000) yang menghitung free
cash flow sama penghitungannya dengan rumus untuk menghitung free
cash flow to firm.

23
Universitas Sumatera Utara

2. Arus Kas Bebas Untuk Ekuitas (Free Cash Flow to Equity /FCFE)
Menurut Damodaran (2002) dalam Ariyanto (2012) FCCE adalah
besarnya kas yang dapat dibayarkan oleh suatu perusahaan kepada
pemegang saham setelah dikurangi semua pengeluaran, reinvestment dan
pembayaran utang. FCFE dihitung dengan mengurangi laba bersih dengan
kebutuhan investasi dan menjumlahkan semua transaksi non-kas seperti
depresiasi, kemudian dikurangin modal kerja non-kas dan ditambahkan
dengan kas bersih dari penerbitan utang. Ada dua pendekatan dalam
menghitung FCFE dalam Ariyanto (2012) yaitu :
a.

Pendekatan melalui Equity Earnings :
FCFE = Net Income – (Capital Expenditure-Depreciation) –
Δnon Cash Working Capital + (Debt Repayments – New Debt
Issuded)

b.

Pendekatan melalui Operating Income :
FCFE = EBIT (1-Tax rate) – Interest Exp (1-Tax rate) – Capital
Expenditure + Depreciation + ΔNon Cash Working Capital
+ (Debt Repayments – New Debt Issued)

Konsep arus kas bebas merupakan perluasan dari konsep biaya keagenan
ke dalam manajemen struktur modal (Indahningrum dan Handayani, 2009).
Jensen (1986) mengemukakan bahwa manajer akan menggunakan arus kas bebas
untuk berinvestasi pada proyek dengan net present value negatif daripada
mengembalikannya kepada para pemegang saham sebagai deviden. Dimana yang
diharapkan oleh pemegang saham adalah sisa dana dibagikan sebagai dividen,

24
Universitas Sumatera Utara

sedangkan manajer lebih menyukai untuk menginvestasikan dana yang tersedia
pada proyek-proyek yang menguntungkan dengan harapan dapat menambah
insentif bagi manajer di masa yang akan datang.
Permasalahan ini secara khusus akan buruk pada perusahaan yang sedang
berkembang dengan kesempatan pertumbuhan yang rendah.

Jensen (1986)

berpendapat bahwa salah satu solusi untuk mengurangi biaya keagenan yang
timbul akibat konflik keagenan ini adalah dengan utang. Peningkatan utang yang
tentunya diikuti dengan peningkatan pembayaran bunga, menjadikan para manajer
lebih bertanggungjawab terhadap janjinya untuk melakukan pembayaran kas di
waktu yang akan datang. Jensen (1986) mengindikasikan bahwa perusahaan yang
pertumbuhannya kecil akan menggunakan pendanaan utang untuk memonitoring
tujuannya. Dengan adanya utang, manajer termotivasi untuk bekerja lebih efisien
sehingga dapat meningkatkan efisiensi organisasi perusahaan.
Faisal (2004) menghasilkan perusahaan yang memiliki arus kas bebas
yang besar cenderung mempunyai tingkat utang yang lebih tinggi. Kemungkinan
munculnya asimetric information antara pemegang saham dengan para manajer
menyebabkan perusahaan memilih menggunakan utang dalam membiayai
kegiatannya. Perusahaan yang mempunyai tingkat arus kas bebas yang besar
kemungkinan juga akan mempunyai tingkat utang yang tinggi.

Hal ini

dikarenakan para pemegang saham mengkhawatirkan arus kas bebas yang besar
akan dipergunakan manajer untuk membiayai kegiatan perusahaan yang tidak
memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan pemegang saham.

25
Universitas Sumatera Utara

Adakalanya nilai arus kas bebas negatif, namun bukan berarti buruk. Hal
itu kemungkinan dikarenakan investasi perusahaan yang sangat tinggi pada modal
operasi mengakibatkan arus kas bebas bersifat negatif. Selain itu arus kas bebas
negatif bisa saja terjadi pada perusahaan yang baru berkembang dikarenakan
investasi pada aset operasi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan
perusahaannya (Brigham dan Houston, 2009).
2.1.5 Pengertian Ukuran Perusahaan
Menurut Hendriksen dan Eldon (2000) dalam Hasan (2014) mendefinisikan
ukuran perusahaan dimana ukuran perusahaan merupakan keseluruhan dari aktiva
yang dimilki oleh suatu perusahaan yang dapat dilihat dari sisi kiri neraca. Jadi
ukuran perusahaan (size) juga dapat diartikan sebagai keseluruhan kekayaan yang
dimiliki oleh perusahaan baik dalam bentuk aktiva lancar maupun aktiva tetap.
Ukuran perusahaan merupakan konsep penting bagi para investor karena
merupakan indikator bagaimana pasar menilai perusahaan secara keseluruhan.
Ukuran perusahaan sering dijadikan tolak ukur bagi investor dalam menentukan
keputusan investasi.

Perusahaan-perusahaan besar cenderung lebih mampu

memberikan berbagai informasi mengenai kondisi internal perusahaan yang
dibutuhkan

investor

pada

perusahaan

kecil,

sehingga

investor

dapat

mempertimbangkan keputusan investasi yang dilakukan (Rajan dan Zingales,
1995).
Ukuran perusahaan merupakan ukuran besar kecilnya perusahaan yang diukur
melalui logaritma natural dari total asset (Ln total asset). Total asset dijadikan
sebagai indikator ukuran perusahaan karena sifatnya jangka panjang dibandingkan

26
Universitas Sumatera Utara

dengan penjualan.

Semakin besar suatu perusahaan maka kecenderungan

penggunaan dana eksternal juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena
perusahaan yang besar memiliki kebutuhan dana yang besar dan salah satu
pemenuhan dana yang tersedia menggunakan penggunaan eksternal (Titman dan
Wessels, 1988 dalam Pujiani dan Prasetiono 2012). Perusahaan yang memiliki
total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap
kedewasaan dalam tahap ini arus kas sudah positif dan dianggap memiliki prospek
yang baik dalam jangka relatif waktu yang relatif lama, selain itu juga
mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan mampun menghasilkan
laba dibandingkan dengan total aset yang kecil.
Ukuran perusahaan juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan
perusahaan dalam menentukan level utang perusahaan. Perusahaan – perusahaan
besar cenderung lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga
karena kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki
berupa aset bernilai besar dibandingkan perusahaan kecil. Hal ini dikarenakan
nilai aktiva yang dijadikan jaminan lebih besar dan tingkat kepercayaan bank juga
cukup tinggi.
Aktiva yang dijaminkan dapat berupa aktiva tetap berwujud serta aktiva
lainnya seperti piutang dagang dan persediaan. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Moh’d et al., (1998) dan Sudarman (2004) dalam Wiliandri (2011)
yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan
dan berhubungan positif dengan rasio hutang.

27
Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Pengertian Set Kesempatan Investasi
Myers (1977) mengemukakan suatu konsep mengenai investment
opportunity set/IOS (set kesempatan investasi).

Dalam konsep ini dikatakan

bahwa pada dasarnya IOS merupakan kombinasi assets in place (aktiva riil yang
dimiliki) yang sifatnya tangible dengan kesempatan investasi
pertumbuhan

yang sifatnya intangible.

atau peluang

Keduanya akan sangat menentukan

keputusan pendanaan di masa depan. Gaver dan Gaver (1993) menyatakan bahwa
opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya
proyek-proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan, tetapi juga
dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan
mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam
suatu kelompok industrinya. Menurut Chung dan Charoenwong (1991) dalam
Hidayat (2010) bahwa esensi pertumbuhan bagi suatu perusahaan adalah adanya
kesempatan investasi yang menghasilkan keuntungan. Jika terdapat kesempatan
investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluang peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham karena
semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan, maka investasi yang
dilakukan akan semakin besar.
Klasifikasi set kesempatan investasi terbagi tiga yaitu : (1) Proksi
berdasarkan harga, proksi ini percaya pada gagasan bahwa proyek yang tumbuh
dari suatu perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Perusahaan yang
tumbuh akan mempunyai nilai pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
aktiva riilnya. (2) Proksi berdasarkan investasi, proksi ini percaya pada gagasan

28
Universitas Sumatera Utara

bahwa satu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara positif pada nilai
set kesempatan investasi suatu perusahaan.

Kegiatan ini diharapkan dapat

memberikan peluang investasi pada masa berikutnya yang semakin besar pada
perusahaan yang bersangkutan. (3) Proksi berdasarkan varian, proksi ini percaya
pada gagasan bahwa suatu opsi akan lebih bernilai jika menggunakan variabilitas
return yang mendasari peningkatan aktiva.

Meskipun terdapat tiga proksi set kesempatan investasi, namun Gull
(1999) mengemukakan bahwa set kesempatan investasi merupakan variabel yang
tidak dapat diobservasi, sehingga diperlukan suatu proksi untuk bisa dilakukan
analisis, namun demikian tidak ada suatu kesepakatan yang reliabel untuk suatu
proksi pertumbuhan. Tarjo dan Jogyanto (2003) mengemukakan bahwa rasio
market to book value of equity (MVEBVE) atau sering disingkat dengan price to
book value (PBV) dapat digunakan sebagi salah satu proksi set kesempatan

invetasi. Berdasarkan penelitian Kallapur dan Trombley (1999), rasio tersebut
merupakan rasio yang paling valid digunakan selain itu rasio tersebut merupakan
rasio yang paling banyak digunakan oleh peneliti di bidang keuangan.

2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian adalah penelitian yang
dilakukan Hasan (2014) yang berjudul “Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Free
Cash Flow, dan Ukuran Perusahaan terhadap kebijakan hutang (Studi Pada

Perusahaan-Perusahaan Industri Dasar dan Kimia yang Terdaftar di BEI)”
menghasilkan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap
kebijakan hutang dengan nilai thitung = -2,867 dan nilai signifikansi 0,000 lebih
29
Universitas Sumatera Utara

kecil dari 0,05, free cash flow berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan
utang dengan nilai thitung = 2,644 dan nilai signifikansi 0,003 lebih kecil 0,05 dan
ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang
dengan nilai thitung = 2,086 dan nilai signifikansi 0,039 lebih kecil dari 0,05.
Lestari (2014) yang berjudul “Pengaruh Blockholder Ownership, Ukuran
Perusahaan, Risiko Bisnis, dan Nondebt Tax Shield terhadap Kebijakan Hutang
Perusahaan yang Masuk di Jakarta Islamic Index” menhasilkan kepemilikan
Blockholder mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan utang dengan

koefisien regresi sebesar -0.674. Hasil nilai thitung -3,114 < ttabel –2,001 dan nilai
probabilitas 0,003 < 0,05 membuktikan bahwa Blockholder
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang.

ownership

Ukuran

perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan utang dengan
koefisien regresi 1.917. Hasil uji t membuktikan ukuran perusahaan berpengaruh
positif dan signifikan dengan nilai thitung 2,338 > t

tabel

2,001 dan nilai probabilitas

0,023 < 0,05. Risiko bisnis mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan utang
dengan koefisien regresi 0.137. Berdasarkan hasil uji t menunjukkan bahwa risiko
bisnis tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung 1,603 <
ttabel 2,001 dan nilai probabilitas 0,115 > 0,05. Non-debt tax shield mempunyai
pengaruh negatif terhadap kebijakan utang dengan koefisien regresi sebesar 0.355. Hasil uji t membuktikan Non-debt tax shield berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung -4,470 < -t tabel 2,001 dan
nilai probabilitas 0,000 < 0,05.

30
Universitas Sumatera Utara

Hardiningsih dan Oktaviani (2012) yang berjudul “Determinan Kebijakan
Hutang (dalam Agency Theory dan Pecking Order Theory)” memiliki hasil free
cash flow tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan nilai signifikansi

0,120, profitabilitas tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadp kebijakan
utang dengan nilai signifikansi 0,000, ntotal aset berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai signifikansi 0,0000, struktur
aktiva berpengaruh positif signifikan dengan nilai signifikansi 0,004 dan
kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan nilai
signifikansi 0,389.
Fitriyah dan Hidayat (2011) yang berjudul “Pengaruh Kepemilikan
Institusional, Set Kesempatan Investasi dan arus Kas Bebas terhadap Hutang”
berdasarkan hasil penelitian nilai signifikasi sebesar 0,000000 lebih kecil dari 0,05
menunjukkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap kebijakan utang.

Kepemilikan institusional berpengaruh

negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung =-2.330266 dan pvalue = 0,0072 dengan tingkat kepercayaan 95%, arus kas bebas berpengaruh
positif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung = 2.499575 dan

p-

value = 0,0003 dengan tingkat kepercayaan 95% dan set kesempatan investasi
berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung =2.178227 dan p-value = 0,0003 dengan tingkat kepercayaan 95%.
Prayudi (2010) yang berjudul “Pengaruh Institusional Ownership,
Investment Opportunity Set (IOS), Firm Size, Cash From Operation dan
Profitability terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan (Studi Empiris pada

31
Universitas Sumatera Utara

Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)”, menghasilkan kepemilikan
isntitusional berpengarug positif dan tidak signifikan dengan thitung sebesar 0,084
dan nilai signifikansi 0,456, investement opportunity set berpengaruh positif dan
tidak signifikan dengan thitung 0,747 dan nilai signifikansi 0,933, ukuran
perusahaan berpengaruh positif signifikan dengan thitung sebesar 7,043 dan nilai
signifikansi 0,000, profitabilitas berpengaruh negatif signifikan dengan thitung 7,066 dan nilai signifikansi 0,000 dan cash from operation berpengaruh negatif
signifikan dengan thitung -2,330 dengan nilai signifikansi 0,021.
Susanto (2011) yang berjudul “Kepemilikan Saham, Kebijakan Deviden,
Karekteristik Perusahaan, Risiko Sistematik, Set Peluang Investasi dan Kebijakan
Hutang” menghasilkan set peluang investasi berpengaruh negatif signifikan
terhadap kebijakan utang dengan thitung = -3,429 dan p-value = 0,001 dibawah
0,05, profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang
dengan thitung = -4,674 dan p-value = 0,000 dibawah 0,05, kebijakan dividen
berpengaruh negatif signifikan dengan terhadap kebijakan utang dengan thitung = 1,912 p-value 0,058 dibawah 0,1, struktur aktiva berpengaruh positif signifikan
terhadap kebijakan utang dengan thitung = 5,360 dan p-value = 0,000 dibawah 0,05,
risiko sistematik tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan p-value =
0,887, kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang
dengan p-value = 0,37 dan kepemilikan manajerial bepengaruh negatif signifikan
terhadap kebijakan utang dengan thitung = -2,427 dan p-value = 0,017 dibawah
0,05.

32
Universitas Sumatera Utara

Wiliandri (2011) yang berjudul “Pengaruh Blockholder Ownership dan
Firm Size terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan” menghasilkan nilai signifikasi

sebesar 0,000 dimana p-value lebih kecil dari 0,05 yang bearti terdapat pengaruh
yang signifikan variabel blockholder ownership dan firm size secara bersamasama terhadap DER. Berdasarkan uji hipotesis nilai probabilitas dari variabel
blockhoder ownership sebesar 0,069 dimana p-value>0,05 dengan tingkat

kepercayaan 95% maka disimpulkan blockholder ownership tidak berpengaruh
secara signifikan dengan koefisien pengaruh negatif sebesar -0,196 terhadap DER
secara parsial. Nilai probabilitas variabel firm size sebesar 0,000 dimana p-value

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Free Cash Flow, Kepemilikan Manajerial, Set Kesempatan Investasi, dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

2 52 101

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

5 35 135

Pengaruh Likuiditas, Ukuran Perusahaan, Arus Kas Bebas, dna Kesempatan Investasi Terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014.

0 5 26

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 1 11

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 0 2

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Chapter III V

0 1 57

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 2 6

Pengaruh Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 0 18

PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEPEMILIKAN MANAJERIAL, SET KESEMPATAN INVESTASI, ARUS KAS BEBAS, KEBIJAKAN DEVIDEN TERHADAP KEBIJAKAN HUTANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR - Perbanas Institutional Repository

0 0 16