T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Orientasi Gender dengan Perilaku Asertif Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana T1 BAB II

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Orientasi Gender
2.1.1 Pengertian Orientasi Gender
Menurut Bem (1974) Orientasi gender merupakan karakteristik kepribadian laki-laki
dan perempuan yang dklasifikansikan kedalam 4 peran, yaitu :
1. Maskulin
Maskulin yaitu individu yang memiliki sifat kelaki-lakian diatas rata-rata
dan sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan
gender maskulin yang lebih umum ditemukan pada laki-laki atau suatu gender
maskulin yang dibentuk oleh budayanya. Dengan demikian gender maskulin
adalah sifat dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi
laki-laki.
2. Feminin
Feminine yaitu individu yang memiliki sifat keperempuanan diatas rata-rata
dan sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan
gender feminine yang lebih umum ditemukan pada perempuan atau suatu gender
feminine yang dibentuk oleh budayanya.
3. Androgin
Androgin


yaitu

individu

yang

memiliki

sifat

kelaki-lakian

dan

keperempuanan yang seimbang. Individu akan berperilaku fleksibel yang
memiliki mental yang sehat dibandingkan feminin dan maskulin.

7

4. Undifferentiated

Undifferentiated merupakan individu yang tidak terbedakan/ tidak
teridentifikasikan karena memiliki sifat kelaki-lakian dan keperempuanan
dibawah rata-rata.
2.1.2 Pengukuran Gender
Pengukuran gender dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur sebagai berikut :
1. The Personal Attributes Questionnaire (PAQ)
PAQ umumnya digunakan untuk membantu menggolongkan gender
seseorang dalam maskulinitas atau feminitas (Spence, Helmreich & Stapp, 1973).
Kuisioner ini berisi 24 pernyataan bertentangan yang dinilai dalam 5 skala poin.
Skala ini adalah nilai feminine, nilai maskulin dan sex specific. Total skor dari 3
skala (maskulin, feminine dan maskulin-feminin) ditentukan oleh penjumlahan
dari setiap item(Smith, 1983).
2. The Cecco-shively Social Sexrole Inventory (CSI)
The Cecco-shively Social Sexrole Inventory adalah inventori yang memiliki
empat kategori, yaitu : 1) personality/ kepribadian, 2) appearance/ penampilan, 3)
speech/ ucapan dan 4) mannerisms/ tingkah laku. Ciri-ciri dari setiap kategori
tersebut membantu menggolongkan gender femininitas dan maskulinitas
seseorang. Setiap karakteristik yang ada dalam skala maskulin dan skala feminine
disediakan 4 alternatif jawaban (1 sampai 4) yang dapat dipilih responden untuk
memilih satu jawaban yang sesuai dengan keadaan sebenarnya(Smith, 1983).

3. PRF-Andro Scale

8

PRF-Andro Scale adalah usaha untuk mengukur maskulinitas, feminitas,
dan androgini, memanfaatkan 63 item dari Jackson Personality Research Form
(PRF). Skala ini memiliki 29 item subskala maskulinitas dan 27 item subskala
feminitas. Skala ini menurunkan skor maskulinitas dan feminitas setiap individu
dan membandingkan skor tersebut dengan nilai median maskulinitas dan
feminitas dari skor total kelompok. Subyek yang memiliki skor diatas median
feminitas dan median maskulinitas dikategorikan sebagai "androgin", subjek
yang memiliki skor diatas median maskulinitas dan di bawah median feminitas
dikategorikan sebagai”maskulin”, subjek yang memiliki skor diatas median
femininitas dan di bawah median maskulinitas dikategorikan “feminine”, dan
subjek yang memiliki skor di bawah median maskulinitas dan median feminitas
dikategorikan sebagai ”undifferentiated” (Smith, 1983).
4. Bem Sex Role Inventory (BSRI)
Bem Sex Role Inventory (Bem, 1974, 1977,1979, 1985) adalah sebuah
instrument pengukuran yang akan mengidentifikasi individu dalam kelompok sex
typed (maskulin atau feminin). Bem Sex Role Inventory dalam pendistribusiannya

kepada responden tidak akan terlihat jelas tetapi sebenarnya dalam butir-butir ciri
kepribadian mengandung 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang
maskulinitas, 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang femininitas, dan
20 ciri yang merefleksikan sifat pribadi yang netral artinya ciri tersebut dimiliki
oleh keduanya sehingga total butir keseluruhan adalah 60 butir ciri kepribadian.
Konstruksi rancangan Bem Sex Role Inventory oleh Bem didasarkan pada
dua asumsi teoritis khusus yang sesuai dengan teori skema gender:

9

a) Sebagian besar sebagai hasil dari kecelakaan sejarah, budaya telah
mengelompokkan koleksi sifat-sifat kepribadian yang heterogen menjadi dua
kategori yang eksklusif satu sama lain, tiap kategori dianggap oleh budaya
lebih khas dan lebih diinginkan untuk satu atau yang lain dari dua jenis
kelamin. Harapan-harapan budaya ini sebenarnya telah dikenal baik oleh
semua anggota budaya tersebut.
b) Banyak individu akan berbeda satu sama lainnya dalam menggunakan
definisi-definisi budaya mengenai kepantasan gender sebagai standar yang
ideal dari maskulinitas dan femininitas untuk mengevaluasi kepribadian dan
perilaku mereka sendiri. Khususnya individu-individu sex typed, mereka akan

sangat

sesuai

dengan

definisi

budaya

itu

dan

termotivasi

untuk

mempertahankan perilaku, supaya tetap sesuai dengan standar peran jenis
kelamin yang berlaku. Dengan demikian Bem Sex Role Inventory dibuat untuk

memberikan individu koleksi sifat yang heterogen kemudian individu akan
menilai dan mengelompokkan sifat-sifat tersebut ke dalam kategori maskulin
atau feminin(Bem, 1974).
Dari 4 instrument yang mengukur gender, peneliti menggunakan Bem Sex Role
Inventory (BSRI) karena item karakteristik kepribadian dalam BSRI lebih banyak
dibandingkan The Personal Attributes Questionnaire (PAQ) dan PRF-Andro Scale sehingga
semakin lengkap karakteristik yang mendukung pengkategorian individu ke dalam orientasi
gender.

10

2.2 Perilaku Asertif
2.2.1 Pengertian Perilaku Asertif Menurut Para Ahli.
Rathus dan Nevid (1983) perilaku asertif adalah perilaku yang menampilkan
keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan
pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak
permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar
yang berlaku pada suatu kelompok.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi

perkembangan perilaku asertif, yaitu:
1) Jenis kelamin.
Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan perilaku asertif. Wanita pada
umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran
dibandingkan dengan laki-laki. Rakos (1991: 13), jenis kelamin lebih dipengaruhi
oleh stereotype masyarakat dimana anak perempuan memiliki sifat yang
femininim, pasif, manis dan pasrah. Sedangkan laki-laki lebih bersifat maskulin,
aktif, dominan dan rasional. Oleh karena itu, laki-laki dianggap lebih asertif dari
pada perempuan. Albert & Emmons (2002: 16) laki-laki yang asertif dipandang
tinggi dalam kehidupannya. Keluarga dan teman-temanpun mendekat dan
memiliki rasa hormat lebih besar kepada laki-laki yang cukup nyaman dengan
dirinya dan tidak perlu merendahkan orang lain untuk menaikkan dirinya.

11

2) Self esteem.
Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah individu yang harus
memiliki keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki
kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan
perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.

3) Kebudayaan.
Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yang muncul. Kebudayaan dibuat
sebagai pedoman batas-batas perilaku setiap individu. Biasanya kebudayaan
berhubungan dengan norma-norma, di mana setiap kebudaayaan mempunyai
aturan atau norma yang berbeda dan perbedaan ini mempengaruhi perbedaan
pribadi individu. Senada dengan Townend, Alberti & Emmons (2002:17),
mengatakan bahwa perubahan-perubahan pribadi menuntun kesadaran yang lebih
dari latar belakang budaya yang berbeda.
4) Tingkat pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan
berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih
terbuka.
5) Tipe kepribadian.
Seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu kepribadian lain.
6) Situasi tertentu di lingkungan sekitarnya.
Rathus & Nevid (1983), dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi
dan situasi dalam artian luas. Lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku
asertif seperti sekolah dan tempat kerja.

12


7) Kemampuan komunikasi.
Rakos (1991: 18), komunikasi akan membuat kita dapat memahami apa
yang dimaksud orang lain melalui kata-kata, dengan begitu kita dapat
mengekspresikan perilaku asertif dengan bebas dan langsung.
8) RAS mempengaruhi perilaku asertif, di mana menurut Garrison dan Jenkins
(Rakos, 1991: 78) ras kulit putih lebih asertif dibandingkan dengan ras kulit
hitam.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
menunjukkan perilaku asertif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kebudayaan, gender, tipe kepribadian, kemampuan komunikasi, lingkungan sekitar,
dan ras.
2.2.3 Aspek-aspek Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (1983) ada 10 aspek perilaku asertif, yaitu :
1) Bicara Asertif.
2) Mampu mengungkapkan perasaan.
3) Memberikan salam kepada orang lain.
4) Mampu menampilkan cara yang efektif dan jujur dalam menyatakan rasa tidak
setuju.
5) Mampu menanyakan alasan bila diminta untuk melakukan sesuatu.

6) Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara yang
menarik.
7) Menghargai pujian orang lain dengan cara yang sesuai.

13

8) Menolak untuk menerima begitu saja yaitu mengakhiri percakapan yang berteletele dengan orang yang memaksakan pendapatnya.
9) Mampu menatap lawan bicara.
10) Respon melawan takut.
2.3 Penelitian Relevan Hubungan Antara Gender dengan Perilaku Asertif Mahasiswa
Penelitian Tolor, Kelly dan Stebbins (1976) tentang Assertiveness, Sex-role
Stereotyping, and Self-Concept. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
gender, konsep diri dengan sikap asertif. Hasil tanggapan dari 61 mahasiswa laki-laki dan 73
mahasiswa perempuan berdasarkan instrumen Rathus Assertivenees Schedule, College Self
Expression Scale, List of Stereotypic Items dan Tennessee Self Concept Scale menemukan
adanya hubungan yang positif antara gender maskulin dan feminine dengan perilaku asertif
dan konsep diri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan yang feminimnya
rendah secara signifikan lebih asertif daripada pria yang maskulinnya rendah dan perempuan
yang femininnya rendah memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada laki-laki yang
maskulinnya rendah.

Penelitian Currant, Dickson, Anderson, dan Faulkender (1978) tentang Sex Role
Stereotyping and Assertive Behavior. Penelitian ini menggunakan instrumen Bem Sex-Role
Inventory untuk mengklasifikasikan gender mahasiswa sebagai maskulin, feminin, atau
androgini dan menggunakan instrumen Rathus Assertiveness Schedule untuk mengetahui
perilaku asertif mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan. Subjek yang terlibat
sebanyak 80 mahasiswa laki-laki dan 80 mahasiswa perempuan. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat diketahui bahwa stereotipe gender perempuan (feminin) dan laki-laki
(maskulin) memiliki hubungan yang signifikan untuk pernyataan ekspresif dan asertif

14

sedangkan androgini tidak memiliki hubungan yang signifikan. Stereotipe feminine secara
signifikan memiliki kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan asertif, sedangkan untuk
androginus tidak ada hubungan yang signifikan.
Hal yang berlawanan adalah stereotype maskulin memiliki kecamasan yang lebih
tinggi dengan asertif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan untuk respon ukuran probabilitas dari perempuan atau laki-laki androgini
(ts=

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24