Makna Simbolik dalam Komunitas Punk. Studi Kasus: Komunitas Street Punk Gonzo di Jalan Mandala By Pass Kelurahan Bandar Set Kecamatan Medan Tembung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksionisme Simbolik
Menurut seorang filsuf Amerika pada awal abad ke-19, George Herbert
Mead, orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari
dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang
lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi
simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol
yang terpenting, dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang
sudah jadi, simbol berada dalam proses yang berkelanjutan. Proses penyampaian
makna ini yang merupakan pokok dari sejumlah analisa kaum interaksionis
simbolis. Bagi Mead, pokok permasalahan sosiologi adalah interaksi para aktor
yang terorganisir dan terpola di dalam situasi-situasi sosial (Poloma, 2010: 257).
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik
dalam Symbolic Interactionism: Perspective and Method, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini
nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada
komunitas yang lebih besar yakni masyarakat.
1. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or
things on the basis of the meanings they assign to those people or things.
Maksudnya ialah manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang
lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada
pihak lain tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, di kota-kota besar jika ada seorang wanita yang berbusana
minim (sexy) ketika mengunjungi sebuah mall, ke tempat-tempat hiburan lain atau
ke acara-acara ekslusif seperti di gedung atau hotel-hetel mewah, maka orangorang yang berada di lingkungan tersebut akan menganggap itu hal yang wajar
dan sah-sah saja, atau bahkan malah mengagumi karena keberaniannya untuk
berbusana seperti itu. Lain hal nya jika seorang yang berbusana minim itu datang
ke desa, atau melakukan aktivitas-aktivitas disana dengan penampilan yang sexy,
masyarakat di desa tersebut akan melihat dan memperhatikannya dari atas sampai
bawah dengan tatapan aneh, mereka akan menganggap wanita tersebut tidak
mempunyai nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Maka dapat disimpulkan
bahwa interaksi-interaksi yang terjadi antara wanita berbusana sexy tersebut
dengan masyarakat kota dan desa dilandasi dengan pemikiran-pemikiran yang
berbeda.
Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari
apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal
tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang
sama apabila kita memaknai wanita yang berbusana sexy tersebut sebagai hal yang
wajar dan patut dikagumi maka kita menganggap bahwa pada kenyataannya
berbusana seperti itu memang hal yang wajar dan benar dan patut dikagumi,
begitu pula sebaliknya.
2. Premis kedua Blumer adalah meaning arises of the social interaction that
people have with each other (Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang
dipertukarkan di antara mereka).
Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari proses
Universitas Sumatera Utara
negosiasi
melalui
penggunaan
bahasa
(language)
dalam
perspektif
interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya
penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa
penamaan simbolik ini dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).
3. Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is
modified by his or her own thought process (interpretasi seorang individu
mengenai simbol disesuaikan dengan proses pemikiran individu itu sendiri).
Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir
sebagai
perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama seperti dalam
konteks wanita berbusana sexy tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita samasama menafsirkannya dengan cara atau maksud yang sama dengan orang lain.
Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran
simbolisasi itu sendiri.
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling
terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri
menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang
lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum
interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass
self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung
menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau
menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana
orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita.
Oleh karenanya konsep diri terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan
Universitas Sumatera Utara
terhadap harapan atau penafsiran orang lain tersebut kepada diri kita (Scott, 2012:
341).
Dikaitkan dengan teori, Komunitas Street Punk Gonzo ini sesuai dengan
namanya yang menonjolkan kata Punk yang merupakan simbol perlawanan
terhadap
kondisi sosial,
ekonomi,
politik dan
budaya di masyarakat,
mempengaruhi pemikiran dan ekspektasi masyarakat yang mendengar atau
melihat keberadaan mereka. Simbol-simbol perlawanan yang mereka lakukan
akan menjadi sorotan dan perbandingan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan
berkembang di dalam masyarakat.
2.2 Simbol Sebagai Representasi
Simbol merupakan suatu media yang menyampaikan makna di luar media
tersebut, fungsi simbol hadir ketika ekspresi membawa sebuah makna tertentu di
luar ekspresi tersebut (Eco, 2009: 69). Seperti hal nya lampu merah di jalan raya
yang bukan menitik beratkan pada warna melainkan pada arti yang hendak
disampaikan oleh warna tersebut, bahwa merah bukan berarti representasi warna
tetapi merah berarti berhenti.
Peran simbol hadir ketika kata-kata tidak cukup mampu menyampaikan
maksud tertentu, seperti hal nya fashion. Fashion telah menjadi salah satu wujud
simbol yang tak dapat dipisahkan dari tren sosial maupun pergerakan politik
(Danesi, 2010: 210). Fashion dapat menjadi simbol kemewahan, kemakmuran dan
wibawa bagi golongan tertentu namun disisi lain fashion juga dapat menjadi
sebuah simbol kehinaan, dan kesengsaraan. Tanpa diberitahu pun, kita dapat
Universitas Sumatera Utara
mengetahui bahwa seseorang adalah
kelompok atau
golongan
tertentu
berdasarkan fashion yang digunakan.
Meski demikian, peran fashion sebagai simbol tidak hadir dengan begitu
saja. Butuh proses produksi dan identifikasi tersendiri untuk dapat menjadikan
fashion sebagai simbol, selain itu juga butuh penempatan serta penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi tertentu. Memakai fashion untuk alasan yang bersifat
sosial merupakan ciri universal dalam budaya manusia (Danesi, 2010: 211).
Foucault (2001: 67) juga menyatakan bahwa “hal tersebut bukan dikarenakan
manusia memiliki semua tanda yang memungkinkan, melainkan karena tidak
pernah ada tanda hingga ada kemungkinan yang diketahui tentang tanda. Tanda
tidak menunggu dalam diam atas kedatangan manusia, melainkan dapat dibentuk
dan diciptakan hanya dengan sebuah tindakan dan kesadaran”. Beberapa orang
akan mengenakan setelan dan gaun mewah pada acara pesta demi memunculkan
citra dan derajat kemapanan yang lebih tinggi. Sebagian menghindari memakai
baju tidur di pusat perbelanjaan karena akan membuat mereka terlihat konyol.
Maka dari itu, penggunaan fashion sebagai simbol juga harus disesuaikan dengan
kondisi di sekitar jika ingin makna yang tersirat sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Dari situlah fashion memiliki peran penting dalam proses manifestasi
gagasan dan bahkan identitas.
2.3 Identitas Kelompok
Identitas atau konsep diri didefenisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan
perasaan tentang dirinya sendiri sebagai objek. Identitas menyangkut seluruh
aspek sosial dan budaya, jadi identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial
Universitas Sumatera Utara
yang dibentuk berdasarkan proses sosialisasi. Singkatnya identitas adalah tentang
diri dan sosial, tentang diri kita dan tentang relasi kita dengan orang lain. Identitas
bukanlah suatu hal yang paten yang kita miliki, melainkan suatu proses yang
merupakan hasil dari proses sosial, dan identitas sebagai produk sosial. Diri (self)
akan mempengaruhi masyarakat melalui perilaku secara individual yang dengan
demikian membentuk berbagai kelompok, organisasi, jaringan dan institusi.
Menggunakan ide-ide dari interaksionis simbolik dari George Herbert Mead,
Jenkins (dalam Anggraheni, 2009) berargumen bahwa identitas terbentuk melalui
proses sosialisasi. Melalui proses ini orang belajar untuk membedakan persamaan
dan perbedaan signifikan secara sosial antara mereka dengan orang lain. Identitas
seseorang selalu dibentuk dalam hubungan dengan orang lain
(Anggraheni,
2009).
Dengan menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, suatu
fenomena dalam lingkungan sosial akan lebih mudah dipahami melalui defenisi
individu atau interpretasi diri sendiri, orang lain dan bahkan situasi melalui
identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada lingkungannya, untuk
memahami mengapa melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri.
Istilah kelompok yang berarti sejumlah orang yang secara bersama-sama
memiliki aktivitas dan tujuan yang sama dalam bertindak. Identitas kelompok
merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Identitas kelompok bisa dilihat
sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok
(Lubis, 2012). Hal ini menyangkut beberapa dimensi yaitu:
1. Identifikasi diri sendiri
Universitas Sumatera Utara
2. Pengetahuan tentang budaya kelompok (tradisi, kebiasaan, nilai dan
perilaku)
3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok tertentu
Memiliki sebuah identitas kelompok berarti mengalami sebuah perasaan
memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang
dibagi pada anggota kelompok. Setiap kelompok masing-masing memiliki
identitas yang berbeda dan kategori komunitas (community) sebagai klasifikasi
orang-orang dalam konteks identitas umum yang paling dasar (basic most general
identity), yang ditentukan oleh kesamaan identitas di dalamnya. Simbol ataupun
atribut penting yang pada dasarnya mengidentifikasi kelompok adalah faktorfaktor primordial seperti aktivitas, atribut yang digunakan, nilai-nilai simbolik,
dan teritorial. Setiap kelompok dalam komunitas memiliki identitas umum yang
paling dasar yang membentuk kesamaan antara orang-orang dalam satu kelompok
tersebut.
Identitas umum tersebut juga membentuk perbedaan dengan orang-orang
di luar kelompok dan identitas tersebut terlihat sehingga menciptakan sesuatu
yang khas dan unik. Identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam, artinya
identitas bukanlah suatu hal yang statis, namun pada suatu saat bisa berubah.
Sama halnya dengan identitas komunitas yang bisa saja mengalami perubahan
bahkan menghilang.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian dari Arie
Fadjar Nugroho (dalam Jurnal Sosiologi Dialektika Masyarakat, 2012) FISIP
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Konstruksi Identitas Komunitas Punk
Maladaptif Terroe Crew di Kota Surakarta”. Penelitian ini mengangkat
permasalahan bagaimana fenomena pembentukan identitas dari Komunitas Punk
yang ada di kota Surakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Teknik
pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung dan wawancara secara
mendalam.
Dalam hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pembentukan identitas dari
Komunitas Punk Maladaptif Terroe Crew terdapat empat karakteristik simbol
yang melekat. Pertama, jenis tanda yang berkaitan dengan tanda-tanda periklanan.
Berdasarkan temuan di lapangan ditemukan tanda berupa identitas komunitas
yang diwujudkan dalam ikon atau gambar tengkorak. Secara konotatif tengkorak
dimaknai oleh komunitas Maladaptif Terroe Crew sebagai sebuah perlawanan
dengan kondisi sosial yang sudah lepas kendali dari norma-norma sosial yang
mengikat. Selain itu, temuan lainnya berkaitan dengan periklanan yaitu warna
hitam yang secara konotatif dimaknai sebagai bentuk tanda solidaritas kelompok
berdasarkan konvensi (kesepakatan) sosial dalam kelompok yang dibangun.
Kedua berkaitan dengan objek budaya material. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat dua temuan yaitu Flyer dan Zine. Secara konotasi Flyer
dimaknai sebagai salah satu alat komunitas underground yang mewakili
pengertian citra atau eksistensi sebuah komunitas terbentuk karena adanya
konvensi sosial diantaranya scene atau komunitas yang tersebar di Kota Surakarta.
Sedangkan Zine secara konotasi dipahami sebagai perwujudan representasi
identitas yang mewakili komunitas Punk yang masih mendapatkan labeling
Universitas Sumatera Utara
negatif oleh sebagian masyarakat. Melalui Zine komunitas ini dapat menyuarakan
aspirasi, opini, dan juga kritik terhadap persoalan yang ada di masyarakat.
Ketiga berkaitan dengan aktivitas dan penampilan. Terdapat dua temuan
yang berkaitan yaitu aksi sosial Food Not Bombs dan juga ekualitas kelompok
dalam bentuk minuman keras. Food Not Bombs merupakan aksi sosial yang
dilakukan komunitas Punk Maladaptif Terroe Crew dengan cara membagikan
makanan kepada orang-orang yang berada di jalanan seperti Tunawisma,
gelandangan dan sebagainya. Aksi tersebut sebagai wujud ironis dan apatis
mereka terhadap pemerintah khususnya Kota Surakarta yang berkewajiban
memelihara dan melindungi gelandangan, pengemis, Tunawisma dan sebagainya.
Sedangkan aktivitas ekualitas dalam bentuk minuman keras secara konotasi,
aktivitas tersebut dimaknai sebagai simbol solidaritas dan ikatan persahabatan,
serta ekualitas (kesamarataan) sosial.
Terakhir berkaitan dengan berupa suara atau musik. Berdasarkan temuan
di lapangan terdapat dua macam yaitu bentuk sarkasme wicara oleh anggota
komunitas dan juga musik yang digunakan sebagai media propaganda pesan
sosial. Secara konotasi sarkasme wicara dimaknai sebagai bentuk ikatan atau
ingroup feeling terhadap anggota lain. Sedangkan musik digunakan sebagai media
propaganda pesan sosial dan untuk menyuarakan pandangannya terhadap realita
sosial yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya kepada komunitas atau scene
yang sama.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksionisme Simbolik
Menurut seorang filsuf Amerika pada awal abad ke-19, George Herbert
Mead, orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari
dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang
lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi
simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol
yang terpenting, dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang
sudah jadi, simbol berada dalam proses yang berkelanjutan. Proses penyampaian
makna ini yang merupakan pokok dari sejumlah analisa kaum interaksionis
simbolis. Bagi Mead, pokok permasalahan sosiologi adalah interaksi para aktor
yang terorganisir dan terpola di dalam situasi-situasi sosial (Poloma, 2010: 257).
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik
dalam Symbolic Interactionism: Perspective and Method, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini
nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada
komunitas yang lebih besar yakni masyarakat.
1. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or
things on the basis of the meanings they assign to those people or things.
Maksudnya ialah manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang
lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada
pihak lain tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, di kota-kota besar jika ada seorang wanita yang berbusana
minim (sexy) ketika mengunjungi sebuah mall, ke tempat-tempat hiburan lain atau
ke acara-acara ekslusif seperti di gedung atau hotel-hetel mewah, maka orangorang yang berada di lingkungan tersebut akan menganggap itu hal yang wajar
dan sah-sah saja, atau bahkan malah mengagumi karena keberaniannya untuk
berbusana seperti itu. Lain hal nya jika seorang yang berbusana minim itu datang
ke desa, atau melakukan aktivitas-aktivitas disana dengan penampilan yang sexy,
masyarakat di desa tersebut akan melihat dan memperhatikannya dari atas sampai
bawah dengan tatapan aneh, mereka akan menganggap wanita tersebut tidak
mempunyai nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Maka dapat disimpulkan
bahwa interaksi-interaksi yang terjadi antara wanita berbusana sexy tersebut
dengan masyarakat kota dan desa dilandasi dengan pemikiran-pemikiran yang
berbeda.
Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari
apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal
tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang
sama apabila kita memaknai wanita yang berbusana sexy tersebut sebagai hal yang
wajar dan patut dikagumi maka kita menganggap bahwa pada kenyataannya
berbusana seperti itu memang hal yang wajar dan benar dan patut dikagumi,
begitu pula sebaliknya.
2. Premis kedua Blumer adalah meaning arises of the social interaction that
people have with each other (Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang
dipertukarkan di antara mereka).
Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari proses
Universitas Sumatera Utara
negosiasi
melalui
penggunaan
bahasa
(language)
dalam
perspektif
interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya
penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa
penamaan simbolik ini dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).
3. Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is
modified by his or her own thought process (interpretasi seorang individu
mengenai simbol disesuaikan dengan proses pemikiran individu itu sendiri).
Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir
sebagai
perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama seperti dalam
konteks wanita berbusana sexy tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita samasama menafsirkannya dengan cara atau maksud yang sama dengan orang lain.
Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran
simbolisasi itu sendiri.
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling
terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri
menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang
lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum
interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass
self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung
menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau
menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana
orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita.
Oleh karenanya konsep diri terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan
Universitas Sumatera Utara
terhadap harapan atau penafsiran orang lain tersebut kepada diri kita (Scott, 2012:
341).
Dikaitkan dengan teori, Komunitas Street Punk Gonzo ini sesuai dengan
namanya yang menonjolkan kata Punk yang merupakan simbol perlawanan
terhadap
kondisi sosial,
ekonomi,
politik dan
budaya di masyarakat,
mempengaruhi pemikiran dan ekspektasi masyarakat yang mendengar atau
melihat keberadaan mereka. Simbol-simbol perlawanan yang mereka lakukan
akan menjadi sorotan dan perbandingan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan
berkembang di dalam masyarakat.
2.2 Simbol Sebagai Representasi
Simbol merupakan suatu media yang menyampaikan makna di luar media
tersebut, fungsi simbol hadir ketika ekspresi membawa sebuah makna tertentu di
luar ekspresi tersebut (Eco, 2009: 69). Seperti hal nya lampu merah di jalan raya
yang bukan menitik beratkan pada warna melainkan pada arti yang hendak
disampaikan oleh warna tersebut, bahwa merah bukan berarti representasi warna
tetapi merah berarti berhenti.
Peran simbol hadir ketika kata-kata tidak cukup mampu menyampaikan
maksud tertentu, seperti hal nya fashion. Fashion telah menjadi salah satu wujud
simbol yang tak dapat dipisahkan dari tren sosial maupun pergerakan politik
(Danesi, 2010: 210). Fashion dapat menjadi simbol kemewahan, kemakmuran dan
wibawa bagi golongan tertentu namun disisi lain fashion juga dapat menjadi
sebuah simbol kehinaan, dan kesengsaraan. Tanpa diberitahu pun, kita dapat
Universitas Sumatera Utara
mengetahui bahwa seseorang adalah
kelompok atau
golongan
tertentu
berdasarkan fashion yang digunakan.
Meski demikian, peran fashion sebagai simbol tidak hadir dengan begitu
saja. Butuh proses produksi dan identifikasi tersendiri untuk dapat menjadikan
fashion sebagai simbol, selain itu juga butuh penempatan serta penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi tertentu. Memakai fashion untuk alasan yang bersifat
sosial merupakan ciri universal dalam budaya manusia (Danesi, 2010: 211).
Foucault (2001: 67) juga menyatakan bahwa “hal tersebut bukan dikarenakan
manusia memiliki semua tanda yang memungkinkan, melainkan karena tidak
pernah ada tanda hingga ada kemungkinan yang diketahui tentang tanda. Tanda
tidak menunggu dalam diam atas kedatangan manusia, melainkan dapat dibentuk
dan diciptakan hanya dengan sebuah tindakan dan kesadaran”. Beberapa orang
akan mengenakan setelan dan gaun mewah pada acara pesta demi memunculkan
citra dan derajat kemapanan yang lebih tinggi. Sebagian menghindari memakai
baju tidur di pusat perbelanjaan karena akan membuat mereka terlihat konyol.
Maka dari itu, penggunaan fashion sebagai simbol juga harus disesuaikan dengan
kondisi di sekitar jika ingin makna yang tersirat sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Dari situlah fashion memiliki peran penting dalam proses manifestasi
gagasan dan bahkan identitas.
2.3 Identitas Kelompok
Identitas atau konsep diri didefenisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan
perasaan tentang dirinya sendiri sebagai objek. Identitas menyangkut seluruh
aspek sosial dan budaya, jadi identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial
Universitas Sumatera Utara
yang dibentuk berdasarkan proses sosialisasi. Singkatnya identitas adalah tentang
diri dan sosial, tentang diri kita dan tentang relasi kita dengan orang lain. Identitas
bukanlah suatu hal yang paten yang kita miliki, melainkan suatu proses yang
merupakan hasil dari proses sosial, dan identitas sebagai produk sosial. Diri (self)
akan mempengaruhi masyarakat melalui perilaku secara individual yang dengan
demikian membentuk berbagai kelompok, organisasi, jaringan dan institusi.
Menggunakan ide-ide dari interaksionis simbolik dari George Herbert Mead,
Jenkins (dalam Anggraheni, 2009) berargumen bahwa identitas terbentuk melalui
proses sosialisasi. Melalui proses ini orang belajar untuk membedakan persamaan
dan perbedaan signifikan secara sosial antara mereka dengan orang lain. Identitas
seseorang selalu dibentuk dalam hubungan dengan orang lain
(Anggraheni,
2009).
Dengan menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, suatu
fenomena dalam lingkungan sosial akan lebih mudah dipahami melalui defenisi
individu atau interpretasi diri sendiri, orang lain dan bahkan situasi melalui
identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada lingkungannya, untuk
memahami mengapa melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri.
Istilah kelompok yang berarti sejumlah orang yang secara bersama-sama
memiliki aktivitas dan tujuan yang sama dalam bertindak. Identitas kelompok
merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Identitas kelompok bisa dilihat
sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok
(Lubis, 2012). Hal ini menyangkut beberapa dimensi yaitu:
1. Identifikasi diri sendiri
Universitas Sumatera Utara
2. Pengetahuan tentang budaya kelompok (tradisi, kebiasaan, nilai dan
perilaku)
3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok tertentu
Memiliki sebuah identitas kelompok berarti mengalami sebuah perasaan
memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang
dibagi pada anggota kelompok. Setiap kelompok masing-masing memiliki
identitas yang berbeda dan kategori komunitas (community) sebagai klasifikasi
orang-orang dalam konteks identitas umum yang paling dasar (basic most general
identity), yang ditentukan oleh kesamaan identitas di dalamnya. Simbol ataupun
atribut penting yang pada dasarnya mengidentifikasi kelompok adalah faktorfaktor primordial seperti aktivitas, atribut yang digunakan, nilai-nilai simbolik,
dan teritorial. Setiap kelompok dalam komunitas memiliki identitas umum yang
paling dasar yang membentuk kesamaan antara orang-orang dalam satu kelompok
tersebut.
Identitas umum tersebut juga membentuk perbedaan dengan orang-orang
di luar kelompok dan identitas tersebut terlihat sehingga menciptakan sesuatu
yang khas dan unik. Identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam, artinya
identitas bukanlah suatu hal yang statis, namun pada suatu saat bisa berubah.
Sama halnya dengan identitas komunitas yang bisa saja mengalami perubahan
bahkan menghilang.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian dari Arie
Fadjar Nugroho (dalam Jurnal Sosiologi Dialektika Masyarakat, 2012) FISIP
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Konstruksi Identitas Komunitas Punk
Maladaptif Terroe Crew di Kota Surakarta”. Penelitian ini mengangkat
permasalahan bagaimana fenomena pembentukan identitas dari Komunitas Punk
yang ada di kota Surakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Teknik
pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung dan wawancara secara
mendalam.
Dalam hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pembentukan identitas dari
Komunitas Punk Maladaptif Terroe Crew terdapat empat karakteristik simbol
yang melekat. Pertama, jenis tanda yang berkaitan dengan tanda-tanda periklanan.
Berdasarkan temuan di lapangan ditemukan tanda berupa identitas komunitas
yang diwujudkan dalam ikon atau gambar tengkorak. Secara konotatif tengkorak
dimaknai oleh komunitas Maladaptif Terroe Crew sebagai sebuah perlawanan
dengan kondisi sosial yang sudah lepas kendali dari norma-norma sosial yang
mengikat. Selain itu, temuan lainnya berkaitan dengan periklanan yaitu warna
hitam yang secara konotatif dimaknai sebagai bentuk tanda solidaritas kelompok
berdasarkan konvensi (kesepakatan) sosial dalam kelompok yang dibangun.
Kedua berkaitan dengan objek budaya material. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat dua temuan yaitu Flyer dan Zine. Secara konotasi Flyer
dimaknai sebagai salah satu alat komunitas underground yang mewakili
pengertian citra atau eksistensi sebuah komunitas terbentuk karena adanya
konvensi sosial diantaranya scene atau komunitas yang tersebar di Kota Surakarta.
Sedangkan Zine secara konotasi dipahami sebagai perwujudan representasi
identitas yang mewakili komunitas Punk yang masih mendapatkan labeling
Universitas Sumatera Utara
negatif oleh sebagian masyarakat. Melalui Zine komunitas ini dapat menyuarakan
aspirasi, opini, dan juga kritik terhadap persoalan yang ada di masyarakat.
Ketiga berkaitan dengan aktivitas dan penampilan. Terdapat dua temuan
yang berkaitan yaitu aksi sosial Food Not Bombs dan juga ekualitas kelompok
dalam bentuk minuman keras. Food Not Bombs merupakan aksi sosial yang
dilakukan komunitas Punk Maladaptif Terroe Crew dengan cara membagikan
makanan kepada orang-orang yang berada di jalanan seperti Tunawisma,
gelandangan dan sebagainya. Aksi tersebut sebagai wujud ironis dan apatis
mereka terhadap pemerintah khususnya Kota Surakarta yang berkewajiban
memelihara dan melindungi gelandangan, pengemis, Tunawisma dan sebagainya.
Sedangkan aktivitas ekualitas dalam bentuk minuman keras secara konotasi,
aktivitas tersebut dimaknai sebagai simbol solidaritas dan ikatan persahabatan,
serta ekualitas (kesamarataan) sosial.
Terakhir berkaitan dengan berupa suara atau musik. Berdasarkan temuan
di lapangan terdapat dua macam yaitu bentuk sarkasme wicara oleh anggota
komunitas dan juga musik yang digunakan sebagai media propaganda pesan
sosial. Secara konotasi sarkasme wicara dimaknai sebagai bentuk ikatan atau
ingroup feeling terhadap anggota lain. Sedangkan musik digunakan sebagai media
propaganda pesan sosial dan untuk menyuarakan pandangannya terhadap realita
sosial yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya kepada komunitas atau scene
yang sama.
Universitas Sumatera Utara