Makna Simbolik Dalam Upacara Panggih Pada Pernikahan Adat Suku Jawa : Kajian Antropolinguistik

BAB II
KONSEP,LANDASAN TEORI,DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Irawati (2011 : 6) menyatakan bahwa konsep merupakan ide-ide, penggambaran halhal atau benda-benda ataupun gejala sosial yang dinyatakan dalam istilah atau kata.
2.1.1 Makna
Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama

oleh

pemakai

bahasa

sehingga

dapat

dimengerti.


Bolinger

(dalam

Aminuddin,1981:108) menyatakan bahwa suatu makna pada hakikatnya perlu dipelajari
bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti.
Menurut Homby (dalam Sudaryanto, 2009:13), secara linguistik makna dipahami
sebagai apa-apa yang diartikan atau dimaksud oleh kita. Makna berhubungan dengan nama
atau bentuk bahasa.
2.1.2 Simbol
Menurut Kleden-Probonegoro (dalam Nainggolan, (2015 : 6) pada dasarnya
kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki
kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi. Simbol sebenarnya merupakan salah satu
bentuk model dari teori bahasa bagi kajian penelitian sosial budaya.
Simbol pada umumnya mempunyai makna yang bersifat ganda. Simbol dalam arti
ganda ini diperoleh dengan menganalogikan arti pertama dan arti kedua. Pendekatan simbolik

7
Universitas Sumatera Utara


dalam arti di atas memang banyak digunakan dalam penelitian antropologi dari teori bahasa.
Hubungan antara simbol dengan sesuatu yang ditandai terdapat sifat yang konfensional.
Berdasarkan konvensi itu juga masyarakat pemakainya menafsirkan ciri dan
hubungan antar simbol dengan objek yang diacu dan maknanya. Berger (dalam Nainggolan,
2015 : 6) berpendapat bahwa salah satu karakteristik dari simbol adalah bahasa simbol tidak
pernah benar-benar menghasilkan makna baru dalam setiap konteks yang berbeda. Hal ini
bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda
dengan petanda seperti simbol keadilan yang berupa sebuah timbangan, tidak dapat
digantikan oleh identitas.
2.1.3 Upacara Panggih
Dalam upacara pernikahan adat Jawa banyak hal yang dilakukan, mulai dari persiapan
sampai akhir acara. Hal ini menyangkut tata cara yang digunakan, baik secara verbal maupun
non-verbal. Dalam melangsungkan upacara tersebut tentunya digunakan alat komunikasi
yang disebut dengan bahasa. Bahasa verbal digunakan secara lisan, sedangkan bahasa non
lisan tidak digunakan secara lisan, melainkan secara tulisan atau gerak tubuh. Segala yang
dilakukan secara verbal tentunya dapat dipahami oleh semua orang yang mendengar bahasa
yang diucapkan. Hal yang non-verbal tidak bisa dipahami oleh semua orang karena bahasa
non-verbal dapat berbeda bentuk dan maknanya bergantung pada nilai-nilai dan kesepakatan
suatu masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari salah satu upacara pernikahan adat Jawa
yaitu keluarnya pengantin yang didahului oleh kembar mayang. Pengantin pria datang

besertakan seluruh keluarga yang diiringi dengan musik gamelan dan berhenti tepat di depan
rumah pengantin wanita. Pengantin wanita keluar dari kamar pengantin dengan seluruh
anggota keluarganya. Kedua orang tua pengantin berjalan dibelakang pengantin wanita dan
pengantin pria. Di hadapan pengantin pria dan pengantin wanita ada seorang pria dan seorang

8
Universitas Sumatera Utara

wanita yang membawa kembar mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih. Dengan
dibantu dukun manten atau pamaes kembar mayang ditukar. Kembar mayang yang dibawa
pengantin pria ditukar dengan kembar mayang dari pengantin wanita.Selama upacara
pernikahan kembar mayang dibawa ke luar rumah dan diletakan di sisi kanan dan kiri kursi
pengantin. Ada juga kembar mayang yang diletakkan di persimpangan jalan.
2.1.4 Upacara Adat Pernikahan
Pernikahan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 1
menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Upacara pernikahan adalah upacara adat yang
diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai
peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang sehingga perlu ada

upacaranya.
Pernikahan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang kekasih untuk
menghalalkan semua perbuatan yang berhubungan dengan kehidupan suami-istri guna
membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan. Guna melakukan prosesi
pernikahan, orang Jawa selalu mencari hari baik, perlu dimintakan pertimbangan dari ahli
perhitungan hari baik berdasarkan patokan primbon Jawa. Setelah ditemukan hari baik, maka
sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk
menjalani hidup pernikahan, dengan cara dirunut perutnya dan diberi jamu oleh ahlinya. Hal
ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam
posisi yang tepat agar dalam persetubuhan pertama memperoleh keturunan dan minum jamu
Jawa agar tubuh ideal dan singset.

9
Universitas Sumatera Utara

Ritonga (dalam Irawati, 2011 : 9 ) menyatakan bahwa salah satu adat yang dimiliki
oleh berbagai suku adalah pernikahan yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk upacara.
Anggota masyarakat hanya dapat melihat adat sebagai sesuatu yang konkret dalam bentuk
upacara yang harus diselenggarakan sebagai tradisi yang wajib dipatuhi. Pernikahan bukanlah
masalah seorang saja. Segala sesuatu yang bersangkutan dengannya juga menjadi tanggung

jawab bersama. Dalam melaksanakan pernikahan tentu ada berbagai cara atau proses
pelaksanaanya. Pernikahan berdasarkan adat berarti berlangsungnya acara pernikahan
tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma adat.
2.1.5 Masyarakat Suku Jawa
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang banyak ‘bergaul’, atau dengan
istilah ilmiah, saling ‘berinteraksi’. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasana
melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah
society yang berasal dari bahasa Latin socius, yang berarti ‘kawan’. Istilah masyarakat sendiri
berasal dari akar kata bahasa Arab syaraka yang berarti ‘ikut serta’ atau ‘berpartisipasi’.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang telah lama terbentuk dan memiliki identitas
bahasa sendiri, yaitu bahasa Jawa. Jumlah penutur bahasa Jawa memiliki jumlah penutur
terbanyak dibandingkan dengan jumlah penutur bahasa daerah lain di Indonesia. Masyarakat
Jawa tersebar di wilayah Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Di pulau Jawa, dengan basis
daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Khusus di daerah Jawa Timur, masyarakat Jawa
berbaur dengan komunitas masyarakat lain yang juga mempunyai identitas bahasa dan
karakter budaya yang berbeda. Ada masyarakat Madura, Osing dan masyarakat
pendatangyang jika diklasifikasikan dapat digolongkan ke dalam masyarakat pengguna
bahasa Indonesia.

10

Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Antropolinguistik
Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar
membicarakan dua tugas utama, yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2)
mempelajari bahasa dari konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsurunsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta
mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat, saling mempengaruhi, saling
mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan kebudayaan dan
bahasa adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat
dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik
mempelajari kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari
bahasa yang dikaitkan dengan budaya.
Harafiah (dalam Nainggolan, 2015 : 10) juga mengatakan bahwa antropolinguistik
menganggap bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa
merupakan fakta yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan
manusia. Inti masalah kajian antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, moral, tingkah
laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencoraki budaya suatu kumpulan masyarakat.


11
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Makna
Bolinger (dalam Nainggolan, 205 : 10) berpendapat bahwa makna adalah hubungan
antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga
dapat dimengeti. Dengan mempelajari suatu makna pada dasarnya juga mempelajari
bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat dapat saling mengerti.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui adanya unsur pokok yang tercakup di
dalamnya, yaitu:
1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar.
2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai.
3. Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat
saling mengerti.
Dalam penelitian ini, makna yang menjadi acuan peneliti untuk menganalisis simbolsimbol yang terdapat pada teks pada saat prosesi upacara panggih dalam pernikahan adat
suku Jawa. Upacara panggih pada upacara pernikahan adat suku Jawa merupakan sebuah
simbolil yang terdapat dalam teks dan memiliki makna pada tiap tuturan yang disampaikan.
2.1.3 Nilai-Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang ditanamkan atau disepakati oleh
masyarakat yang mengakar pada kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol dengan karakteristik

tertentu yang dapat dibedakan satu dengan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas
apa yang akan terjadi atau yang sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbolsimbol, slogan, motto, dan visi misi.

12
Universitas Sumatera Utara

Nilai budaya merupakan lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini
adalah ide-ide yang mengkonsepkan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan.
Kluckhohn (dalam Nainggolan, 2015 : 12) mendefinisikan bahwa nilai budaya
sebagai konsepsi umum yang terorganisasi dan mempengaruhi prilaku yang berhubungan
dengan alam, kedudukan manusia dengan alam, hubungan orang dengan orang lain, dengan
hal-hal yang diinginkan atau tidak diinginkan yang mungkin bertahan dengan hubungan
orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Nilai-nilai budaya bersifat umum, luas, dan tidak konkret. Oleh sebab itu, nilai budaya
tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat.
Sibarani (2004:178) membagi nilai-nilai budaya menjadi dua bagian, (1) kedamaian,
ialah yang terdiri dari : kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan,
komitmen, pikiran positif dan rasa syukur; dan (2) kesejahteraan, ialah yang terdiri dari :
kerja keras, disiplin, pendidikan,kesehatan, gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian,
kreativitas budaya, dan peduli lingkungan.

2.2.4 Sistem dan Orientasi Nilai Budaya
Sistem merupakan istilah dari bahasa Yunani system yang memiliki arti himpunan
bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.
Sistem budaya merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam adat-istiadat. Hal itu
disebabkan oleh nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang dianggap bernilai dan penting dalam
hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
pada kehidupan masyarakat itu sendiri.

13
Universitas Sumatera Utara

Kahl (dalam Nainggolan, 2015 : 13) menyatakan bahwa dalam masyarakat ada
sejumlah nilai budaya yang satu dan lainnya saling berkaitan sehingga merupakan suatu
sistem. Secara fungsional, sistem nilai ini mendorong individu untuk berprilaku seperti apa
yang ditentukan. Mereka percaya bahwa hanya dengan berprilaku seperti itu mereka akan
berhasil.
Orientasi nilai budaya dalam penelitian ini akan diikuti orientasi yang berhubungan
dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia.


2.3 Tinjauan Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),(2009 : 1198) menjelaskan bahwa tinjauan
pusataka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari.
Pustaka adalah kitab-kitab; buku-buku. Tinjauan pustaka adalah hal-hal atau pengetahuan
yang berhubungan dengan penelitian si peniliti sebagai referensi yang mendukung penelitian
tersebut.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, ada 6 sumber yang relevan untuk dikaji
dalam penelitian ini. Adapun sumber tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa buku sebagai referensi, antara
lain buku Ritonga (1997) yang berjudul Makna Simbolik Upacara Mangupa Masyarakat
Angkola-Sipitok di Tapanuli Selatan. Beliau menyatakan bahwa mangupamerupakan acara
yang terdapat pada setiap upacara adat masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan.
Debora (2004) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat
Mengulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Panguguran Kabupaten Samosir membahas mengenai makna simbolik pemberian ulos
14
Universitas Sumatera Utara

tersebut dan membahas tentang tahapan pemberian ulos. Metode penelitian yang dilakuka
ialah metode kualitatif dan deskriptif dan dengan teknik pengumpulan data studi pustaka dan

observasi.
Ralisah (2005), dalam skripsinya yang berjudul Tanda-Tanda pada Upacara
Perkawinan Aceh Singkil membahas tentang tanda-tanda yang ada dalam adat-istiadat
perkawinan Aceh Singkil. Metode yang digunakan adalah metode simak libat cakap dengan
teknik yang digunakan berupa teknik pancing, teknik semuka, dan teknik catat. Sebagai
bahan kajian semiotika dengan menggunakan teori Ferdinand de Saussure.
Irawati (2011), dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Pernikahan
Adat Jawa di Hajoran Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
membahas tentang makna simbolik yang terdapat pada pernikahan adat jawa seperti makna
baju pengantin, makna pelaminan dan lain-lain. Metode penelitian yang dilakukan ialah
menggunakan metode simak, metode padan dan menggunakan teknik simak bebas libat
cakap, teknik rekam dan teknik catat.
Indrayadi (2014), dalam skripsinya yang berjudul Konsep Laki-Laki dalam Leksikon
Tuturan Palang Pintu Betawi di Kampung Setu Babakan DKI Jakarta : Kajian
Antropolinguistik,membahas tuturan yang terdapat dalam perkawinan adat Betawi.
Penelitian tentang upacara perkawinan adat Batak Toba pernah dilakukan oleh Melisa
Nainggolan (2015). Beliau membahas tentang Makna Ucapan dalam Pemberian Ulos pada
Perkawinan Adat Suku Batak Toba dalam skripsinya. Metode yang digunakan adalah metode
simak libat cakap yang dilanjutkan dengan teknik analisis data. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan makna simbolik pemberian ulos dalam upacara perkawinan adat
Batak Toba.

15
Universitas Sumatera Utara