Kedudukan Anak Sumbang Dalam Penerimaan Harta Warisan ( Analisis Hukum Islam Terhadap PasaL 867 KUH Perdata )

BAB II
KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN KUHPERDATA

A.

Kewarisan Menurut Hukum Islam
1.

Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam

a.

Pengertian Waris Menurut Hukum Islam
Sebelum menguraikan mengenai waris menurut hukum islam, maka

sebelumnya perlu diuraikan tentang pengertian waris menurut hukum islam.
Waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah “Faraid”. Kata faraid adalah
bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan,
pemberian (sedekah). 23
Fardu


dalam

Al-Qur’an

mengandung beberapa

pengertian

yaitu

ketetapan, 24 Kewajiban. 25
Para ulama fikih memberikan definisi Ilmu Faraid sebagai berikut:
1.

Penentuan bagian bagi ahli waris. 26

2.

Ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh Syariat Islam. 27


23

Louis Makluf, Al Munjid fi al- Lugah wa al I’lam, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1986),

Hlm. 577
24

QS. Al-Baqarah (2) : 197.
QS. Al- Qasas (28) : 85
26
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Jld. III, ( Beirut: Dar al-Kitab al- Arabi, 1984), Hlm.

25

202.
27

Taqiyuddin AbunBakar, Kifayah al- Akhyar, Juz II, ( Beirut: Dar al-Fikri), Hlm. 17.


13

Universitas Sumatera Utara

3.

Ilmu Fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta
mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib
dimiliki oleh orang yang berhak. 28

Dengan singkat ilmu Faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang ketentuan- ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu Faraid ini disebut dengan “
Hukum Waris” yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan
harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. 29
Dalam Pasal 171 ayat a KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan ( tirkah ) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”. 30
Dari pengertian di atas kita bisa mengambil pengertian Hukum Kewarisan,

yaitu; Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris
yang berhak mewarisi harta peninggalan dari yang meninggal dunia.
b.

Dasar Hukum Kewarisan Islam

1) Al-Qur’an
Dalam Islam saling mewarisi antara kaum muslimin hukumnya adalah
wajib berdasarkan Al Quran dan hadist rasulullah. Diantaranya :
a)

Q.S.An-Nisa ayat 7
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)

28

Assyarbaini, Mugni al- Muhtaj, Juz III, ( Beirut: Dar al-Fikri,1984), Hlm. 3.
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), H lm. 50.
30
Pasal 171 ayat( a) KHI Tentang Hukum Kewarisan


29

14

Universitas Sumatera Utara

dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
b)

Q.S.An-Nisa ayat 8
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

c)

Q.S.An-Nisa ayat 11
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

d)

Q.S.An-Nisa ayat 12

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik lakilaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

15

Universitas Sumatera Utara

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
tetapi jika saudarasaudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang

sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun”.
e)

Q.S.An-Nisa ayat 33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu”.

f)

Q.S.An-Nisa ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”. 31

Berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa peralihan harta dari
yang meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris) jumlah
31

Al-Imam Abu Al-Husain bin Al-Hajaj Qusyari an-Naisaburi Muslim, Sahih Muslim,
(Semarang: Usaha Keluarga,t.t, Juz II, Hlm. 22

16


Universitas Sumatera Utara

bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas
kehendak Allah melalui Al-Qur’an. Ini berarti mengandung arti bahwa terjadinya
waris-mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat
memaksa. Dalam terminologi hukum dikenal adanya dua sifat hukum yaitu
hukum yang “memaksa” dan hukum yang “mengikat”.
2)

Al-Hadits
Sebelum diuraikan Hadits-Hadits dari para sahabat nabi, maka kita harus

mengetahui dulu apa itu arti dari Al-Hadits. Al-Hadits yang artinya “ Allah telah
menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang prempuan itu dan allah
telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari hartamu”.
a)

Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah
faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak,

dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki
yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, “bahwa dalam pembagian warisan, ahli waris
yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabulfurudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu), kemudian kalau ada
sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (ahli waris penerima
sisa)”.
b)

Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak
perempuannya.Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang
anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman
mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak
memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin

17

Universitas Sumatera Utara

tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum
dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan.
Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga
untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan
selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas, “bahwa dalam kasus pembagian warisan yang
ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka
kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman
menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya”.
c)

Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya
tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan
dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA
berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara
perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia
akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada
Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan
berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk
anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam
sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan."
(HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits di atas, “bahwa hadits tersebut menjadi dasar hukum
yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat
1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2
bagian. Sementara itu, saudara perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini,
saudara perempuan menjadi ‘ashabah ma’al-ghair dengan sebab adanya anak
perempuan dan/atau cucu perempuan)”.

18

Universitas Sumatera Utara

d)

Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri
majelis Nabi SAW yang memberikan hak nenek sebanyak
seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain selain
kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA
berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka
akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR
Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits di atas, “bahwa hadits tersebut menjadi dasar hukum
yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya
meninggal dengan syarat tidak ada ibu”. 32
c.

Asas-asas Kewarisan Islam
Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari ayat-

ayat hukum kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Adapun asas-asas dari
Kewarisan Hukum Islam yaitu :
1)

Asas Ijbari
Kata “ ijbari” secara etimologis mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hukum Kewarisan Islam dalam peralihan harta dari seseorang
yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada
kehendak pewaris atau ahli waris. 33 Asas Ijbari ini dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu :
a.

Dari peralihan harta.

32

https://achmadnosiutama.blogspot.co.id/2015/05/sumber-hukum-waris-islam-didalam-al.html diakses pada Hari Sabtu Tanggal 27 Mei 2017 Pukul 11.39 WIB
33
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI, ( Bandung: CV.
Mandar Maju, 2009), Cet. I Hlm.37.

19

Universitas Sumatera Utara

2)

b.

Dari segi jumlah harta yang beralih.

c.

Dari segi kepada siapa harta itu akan beralih.

Asas Individual Bilateral
Asas kewarisan secara individual ini terlihat, dengan arti bahwa
harta warisan dapat dibagi- bagi untuk dimiliki secara perseorang.
Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
mungkin dibagi- bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada
setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masingmasing. Ia berhak atas bagian yang didapatkannya tanpa terikat
kepada ahli waris yang lain, yang didasarkan kepada ketentuan
bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk
menerima hak dan menjalankan kewajiban. 34

3)

Asas Keadilan Berimbang
Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh
seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.

Dalam sistem kewarisan Islam, baik laki-laki maupun perempuan samasama dapat menjadi pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak dan
kaum kerabatnya, dengan tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asalusul silsilah kekerabatan bagi ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini,

34

Ibid, Hlm. 38.

20

Universitas Sumatera Utara

terletak pada jumlah perolehan mereka masing- masing, yakni bagian seorang
anak laki- laki sama besar dengan bagian dua orang anak perempuan. 35
4) Asas Kewarisan hanya Akibat Kematian
Asas ini menyatakan kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini
berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut
hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut
dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia. 36
2.

Rukun Dan Syarat Waris Hukum Islam
Pada dasarnya terdapat tiga unsur, yang merupakan rukun mewaris dalam

hukum kewarisan Islam, yakni :
1.

Pewaris (muwarrits)
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan
sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Berdasarkan prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli
waris berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka kata “pewaris”
itu sebenarnya tepat untuk pengertian “seseorang yang telah mati”.

2.

Ahli waris ( warits)
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai pertalian darah atau pertalian perkawinan dengan
pewaris. Dengan ketuntuan mereka juga harus beragama Islam,
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris dan pula

35
36

Ibid, Hlm. 43.
Ibid, Hlm. 48.

21

Universitas Sumatera Utara

tidak terdinding karena ada ahli waris lainnya. Dengan demikian
ahli waris itu adalah mereka yang pada waktu meninggal pewaris
mempunyai pertalian darah atau perkawinan dengan pewarisnya.
3.

Harta Warisan
Harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh
pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.
Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta peninggalan
dengan harta warisan. Harta peninggalan adalah apa- apa yang
ditinggalkan oleh yang meninggal, dengan arti lain ialah apa yang
berada pada seseorang yang meninggal saat kematiannya,
sedangkan harta warisan adalah harta yang berhak diterima dan
dimiliki oleh ahli waris. 37

Dalam Syariat Islam, ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada,
sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima
warisan yaitu :
1.

Orang yang mewariskan ( muwarris ) benar telah meninggal dunia
dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini
berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada
pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada
masa hidupnya, tidak termasuk kedalam kategori waris- mewarisi,
tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.

37

Rachmadi Usman, Op.cit, Hlm. 62

22

Universitas Sumatera Utara

2.

Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang
yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara
hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah :
a.

Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada
saat orang yang mewariskan meninggal dunia.

b.

Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang
kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim
yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam
waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian
warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris.

3.

Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yaitu :
a.

Hubungan nasab : ( keturunan, kekerabatan), baik pertalian
garis lurus keatas , seperti : ayah, kakek dan lainnya, atau
pertalian lurus kebawah seperti : anak, cucu, atau pertalian
mendatar/ menyamping seperti : saudara, paman, dan anak
turunannya.

b.

Hubungan pernikahan, yaitu seseorang dapat mewarisi
disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang
mewariskan.

c.

Hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak
mendapatkan warisan dari bekas budak yang telah
dimerdekakannya (dibebaskannya). Pembebasan seorang

23

Universitas Sumatera Utara

budak berarti pemberian kemerdekaan, sehingga budak
tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia
lainnya. Apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia
dan ia tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan
nasab

atau

pernikahan,

maka

bekas

tuan

yang

membebaskannya (mu’tiq) berhak menerima warisan
padanya.
d.

Karena hubungan agama islam, yaitu apabila seseorang
meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi,
maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (
perbendaharaan negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi
kemaslahatan umat islam. 38

3

Sebab-sebab Mewarisi Menurut Hukum Islam
Apabila dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang

yang telah meninggal dunia menurut Al-Qur’an, Hadits, dan KHI pada Pasal 174,
ditemukan adanya dua penyebab yaitu :
1.

Hubungan Kekerabatan
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab
ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan
darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seorang
anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari

38

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan KHI, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), Cet. I, Hlm. 71.

24

Universitas Sumatera Utara

oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya
sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara
seorang

anak

dengan

seorang

ibu

yang

melahirkannya.

Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya
maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si
ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui
perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka
hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir
dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya. 39
2.

Hubungan Perkawinan
Kalau hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum
kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut
hukum Islam. Apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan
harta warisan, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian
pula sebaliknya.

4.

Penghalang Mewaris (Mawani’ AL-IRS)
Yang dimaksud dengan Mawani’ AL-IRS adalah penghalang terlaksananya

waris-mewarisi, dalam istilah ulama Faraid adalah suatu keadaan/ sifat yang
menyebabkan orang tersebut tidak dapat menerima warisan padahal sudah cukup
syarat- syarat dn ada hubungan pewarisan. Pada awalnya seseorang sudah berhak
mendapat warisan, tetapi oleh karena ada suatu keadaan tertentu, berakibat dia
tidak mendapat harta.
39

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. I ,

Hlm. 111.

25

Universitas Sumatera Utara

Keadaan-keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris tidak dapat
memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut :
1.

Pembunuhan
Seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat
mewarisi harta orang yang terbunuh itu, sebagaimana sabda
Rasulullah Saw :
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata :
Rasulullah Saw. Bersabda: Orang yang membunuh tidak dapat
mewarisi sesuatu pun dari harta warisan orang yang dibunuhnya.”

Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil
jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang yang
mewariskan.
2.

Beda Agama
Beda agama dalam hukum waris Islam dimaksudkan bahwa
seorang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi kepada orang
non-muslim, demikian juga sebaliknya sebagaimana sabda
Rasulullah Saw:
“Dari Usamah bin Zaid ra, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “
Tidak mewarisi orang Islam kepada orang kafir dan orang kafir
tidak akan mewarisi kepada orang Islam.”

Menurut jamhur ulama fikih, yang menjadi ukuran dalam penetapan
perbedaan agama adalah pada saat meninggal orang yang mewariskan. Apabila
meninggal seorang muslim, sedangkan orang yang akan menerima warisan tidak

26

Universitas Sumatera Utara

beragama Islam, maka ia terhalang mendapat warisan walaupun kemudian ia
masuk agama Islam sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan.

3.

Perbudakan
Seorang budak milik dari tuannya secara mutlak, karena itu ia tidak
berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang
yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapa pun sesuai
dengan firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl [16]: 75.
“Allah memberikan perumpamaan dengan seorang hamba sahaya
yang dimiliki dan tidak dapat bertindak untuk sesuatu pun”. 40

B.

Kewarisan Menurut KUH Perdata
1.

Dasar Kewarisan Menurut Hukum Perdata

a.

Pengertian Waris Menurut Hukum Perdata
Sebelum

menguraikan

pengertian

waris

perlu

diketahui

bahwa

KUHPerdata yang berlaku di Indonesia terdiri dari empat buku yaitu :
1.

Buku kesatu tentang Orang.

2.

Buku kedua tentang Kebendaan.

3.

Buku ketiga tentang Perikatan.

4.

Buku keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa.

Adapun mengenai waris diatur di dalam buku kedua yang disebut di dalam
Pasal 830 yakni: “ Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jelasnya,
menurut Pasal ini rumusan/ definisi hukum waris mencakup masalah yang begitu

40

Amin Husein Nasution, Op.cit, Hlm. 78

27

Universitas Sumatera Utara

luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat tersebut ialah bahwa jika
seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibanya beralih/ berpindah
kepada ahli warisnya. 41
Hukum waris menurut KUHPerdata adalah peraturan yang mengatur
akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang
berwujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan
tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris
maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Karenanya kita baru berbicara
tentang masalah pewarisan apabila :
1.

Ada orang yang meninggal dunia

2.

Ada harta yang ditinggalkan

3.

Ada ahli waris

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
kekayaan, sedangkan Ahli Waris adalah mereka-mereka yang menggantikan
kedudukan si pewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya
pewaris.
Warisan yaitu kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si
pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Komples aktiva dan pasiva yang
menjadi milik bersama beberapa orang ahli waris disebut boedel. 42
b.

Dasar Hukum Kewarisan Perdata (BW)
Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumskan dalam

Pasal 830 KUHPerdata yaitu “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”,
41

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral ( Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet. I.

42

J. Satrio, op.cit, Hlm. 8-9

Hlm.11.

28

Universitas Sumatera Utara

pengertian yang dapat dipahami dari kalimat di atas adalah, bahwa jika seseorng
meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah
kepada ahli warisnya. 43
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama
Pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan
ketentuan dari Pasal 584 KUHPerdata menyangkut hak waris sebagai salah satu
cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku
ke-2 KUHPerdata (tentang benda). Penempatan hukum kewarisan dalam buku ke2 KUHPerdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena
mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai
hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum
perorangan dan kekeluargaan. 44
c.

Asas-Asas Dalam KUH Perdata
Dalam hukum waris asas bahwa hanyalah hak dan kewajiban dalam

lapangan hukum kekayaan harta benda yang dapat diwariskan ( dapat dinilai
dengan uang ). Selain itu juga dalam hukum waris berlaku asas ”le mort saisit le
vif”, yaitu apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga hak dan
kewajibannya beralih pada sekalian ahliwarisnya. Pada Asasnya tiap orang,
meskipun bayi yang baru lahir, adalah cakap untuk mewarisi.
Pengalihan segala hak dan kewajiban dari orang yang meninggal dunia
kepada para ahli waris itu dinamakan saisine, yaitu suatu asas di mana sekalian
ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak
43

Sudarsono, op,cit, Hlm. 11.
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH
Perdata), (Jakarta: Ghali indonesia, 1983), hlm. 10
44

29

Universitas Sumatera Utara

milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang
meninggal dunia.
Terdapat suatu asas dalam KUHPerdata (BW), adalah asas kematian
artinya pewarisan hanya karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata). Demikian
juga hukum kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
Burgerlijk Wetboek yang masih mengenal tiga asas lain, yaitu:
1.

Asas Individual
Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris
adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan
buka kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat
dalam Pasal 852 KUHPerdata.

2.

Asas Bilateral
Bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga
sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari
saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya, asas bilateral
ini dapat dilihat dari Pasal 850, 853, dan 856 KUHPerdata yang
mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri
yang meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik
laki-laki maupun saudara perempuan.

30

Universitas Sumatera Utara

3.

Asas Penderajatan
Asas penderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan
pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya maka untuk
mempermudah

perhitungan

penggolongan-penggolongan

ahli

waris. 45
Ada juga asas yang disebut dengan “Hereditatis petition”, yaitu hak dari
ahli waris untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si
pewaris terhadap orang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan
padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalam Pasal 834
KUHPerdata. 46
2.

Sebab-sebab Mewarisi Menurut Hukum Perdata
Undang-Undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu :
a.

Sebagai ahli waris menurut ketentuan UU (ab-intestanto).
Dalam hal mewarisi menurut Undang-Undang (ab-intestanto)
dalam Pasal 832 KUHPerdata.
Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak
menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah
maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.

b.

Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat
= testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata.

45

Nur Rokhmad , op.cit, Hlm. 53.
Anugrahjayautama.blogspot.co.id/2012/06.hukum-waris-menurut-bw.html?m=1
diakses pada hari Minggu pukul 20.33 WIB
46

31

Universitas Sumatera Utara

Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli
warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen. 47
Pewarisan

menurut

Undang-Undang

terdapat

pengisian

tempat

(plaatsveruulling) artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima
warisan telah mendahului meninggal atau karena sesuatu hal tidak patut menjadi
ahli waris, maka anak-anaknya berhak menggantikannya menjadi ahli waris.
Menurut Undang-Undang pembagian waris, menetapkan adanya keluarga
sedarah yang berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup paling
lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak menjadi pewaris ada empat
golongan: 48
a.

b.

c.

47
48

Golongan pertama, yang terdiri dari :
1)

Suami /istri yang hidup terlama.

2)

Anak.

3)

Keturunan anak.

Golongan kedua yang terdiri dari :
1)

Ayah dan Ibu

2)

Saudara.

3)

Keturunan.

Golongan ketiga yang terdiri dari :
1)

Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu.

2)

Orang tua Kakek dan nenek itu, dan seterusnya keatas.

Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), Hlm.4
Sudarsono,op.cit,Hlm.66

32

Universitas Sumatera Utara

d.

Golongan keempat yang terdiri dari :
1)

Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu.

2)

Keturunan Paman dan bibi sampai derajat keenam.

3)

Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai
derajat keenam dari si meninggal. 49

Karena adanya sistem plaatsvervulling, maka secara otomatis apabila ahli
waris golongan ke-1 sudah meninggal, maka hak kewarisan jatuh pada golongan
ke-2 dan seterusnya. Dan hal inilah yang membedakan sistem pembagian waris
Islam.
Ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat menurut Pasal 875
KUHPerdata yang berbunyi : “Surat wasiat atau testament adalah sebuah akta
berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia
meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya”. 50
Suatu testament menimbulkan suatu perikatan, dan karenanya ketentuanketentuan mengenai perikatan berlaku terhadap testament, sepanjang tidak secara
khusus ditentukan lain. Testament baru berlaku dan baru mempunyai effect kalau
si pembuat testament telah meninggal dunia. Itulah sebabnya seringkali suatu
testament disebut “Kehendak Terakhir”. Sebab sesudah matinya si pembuat
testament, maka wasiatnya tak dapat diubah lagi. Testament juga “dapat dicabut
kembali”, syarat ini penting, karena syarat inilah yang pada umumnya dipakai

49
50

Effendi Perangin, op.cit,Hlm. 34
Ibid, Hlm. 232

33

Universitas Sumatera Utara

untuk menetapkan apakah suatu tindakan hukum harus dibuat dalam bentuk surat
wasiat atau cukup dalam bentuk lain. 51
Suatu testament dapat berisi “pengangkatan waris untuk seluruh atau
sebagian”, daripada harta pewaris, misalnya 1/2, 1/3, 1/5. Sebenarnya lebih tepat
kalau di sini berkata tentang “ suatu bagian yang sebanding” daripada harta
peninggalan. Karena, kalau pemberian melalui wasiat atas sebagian daripada harta
peninggalan itu berupa suatu barang tertentu. 52

Yang paling lazim suatu

testament berisi apa yang dinamakan suatu erfsteling, yaitu penunjukkan seorang
atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian
dari warisan. Orang yang ditunjuk itu, dinamakan: testamentaire erfgenaam yaitu
ahli waris menurut wasiat. Dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut
Undang-Undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban yang meninggal
orderalgemeene title suatu testament juga dapat berisikan suatu legaat, yaitu suatu
pemberian suatu legaat dinamakan legataris. 53
Suatu erferstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu
syarat atau voorwaarde, yaitu: Suatu kejadian di kemudian hari yang pada saat
pembuatan testament itu belum tentu akan datang atau tidak. 54
Pasal 931 KUHPerdata menetapkan bahwa surat wasiat boleh dinyatakan,
baik dengan akta yang ditulis sendiri atau olograpis, baik dengan kata umum,
dengan akta rahasia atau tertutup. Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa
Undang-Undang pada dasarnya mengenal 3 macam bentuk surat wasiat, yaitu:
51

J. Satrio, op.cit, Hlm.181.
Ibid, Hlm. 193.
53
Idris Ramulyo, op,cit, Hlm. 63.
54
Subekti, op.cit, Hlm. 109.
52

34

Universitas Sumatera Utara

1.

Surat wasiat olograpis.
Adapun yang dimaksud dengan surat wasiat olograpis adalah surat
wasiat yang dibuat dan ditulis sendiri oleh testateur. Surat wasiat
yang demikian harus seluruhnya ditulis sendiri oleh testateur dan
ditanda tangani olehnya (Pasal 932 KUHPerdata). Kemudian surat
wasiat tersebut dibawa ke Notaris untuk dititipkan/disimpan dalam
protokol Notaris. Notaris yang menerima penyimpanan surat wasiat
olograpis, wajib, dengan dihadiri oleh 2 orang saksi, membuat akta
penyimpanan atau disebut akta van depot. Sesudah dibuatkan akta
van depot dan ditanda tangani oleh testateur, saksi-saksi dan
notaris (Pasal 932 ayat 3), maka surat wasiat tersebut mempunyai
kekuatan yang sama dengan wasiat umum, yang dibuat dihadapan
seorang Notaris (Pasal 933 KUHPerdata).

2.

Surat wasiat umum.
Surat wasiat umum adalah surat wasiat yang dibuat oleh testeur
dihadapan Notaris. Ini merupakan bentuk testament yang paling
umum, yang paling sering muncul, dan paling sering dianjurkan
(baik), karena Notaris, sebagai seorang yang ahli dalam bidang ini,
kesempatan dan malahan wajib, memberikan bimbingan dan
petunjuk, agar wasiat tersebut dapat terlaksana sedekat mungkin
dengan kehendak testateur.

35

Universitas Sumatera Utara

3.

Surat wasiat rahasia
Wasiat ini dibuat oleh testateur sendiri dan kemudian diserahkan
kepada Notaris dalam keadaan tertutup/ tersegel. Notaris yang
menerima penyerahan surat wasiat yang demikian, harus membuat
akta pengamatan atau akta super scriptie, dengan dihadiri 4 orang
saksi.

Diluar ketiga macam surat wasiat tersebut di atas, Undang-Undang masih
mengenal satu macam lagi surat wasiat, yaitu surat wasiat yang dibuat dalam
keadaan darurat (vide Pasal 946, 947, 948 B.W). 55
Dalam hukum waris yang berhubungan dengan wasiat terkenal juga istilah
fidie commis dan fidie commis de resiiduo. Fidie berarti kepercayaan. Fidie
commis berarti: Suatu pemberian warisan kepada ahli waris dengan ketentuan
bahwa ahli waris itu diwajibkan menyimpan warisan itu. Setelah ahli waris itu
meninggal dunia, harta peninggalan itu harus diserahkan kepada orang lain yang
ditetapkan dalam surat wasiat. Dalam Undang-Undang, fidie commis ini juga
dinamakan pemberian warisan secara melangkah atau lompat tangan. 56
Pada umumnya, fidie commis ini dilarang oleh Undang-Undang (Pasal879
ayat 1) dengan alasan bahwa: Dianggap suatu rintangan bagi kelancaran lalu lintas
hukum seolah-olah harta ini disingkirkan dari lalu lintas hukum, yang
diperbolehkan adalah fidie commis de residuo (Pasal 973 ayat 1). 57
Pasal 973 ayat 1 KUHPerdata (BW): “Barang-barang yang dikuasai
sepenuhnya oleh orangtua, boleh mereka hibah wasiatkan, seluruhnya atau
55
56
57

J. Satrio, op.cit, Hlm.185-186
Subekti, op.cit, Hlm. 112.
Idris Ramulyo, op.cit, Hlm. 64.

36

Universitas Sumatera Utara

sebagian, kepada seorang anak mereka atau Iebih, dengan perintah untuk
menyerahkan barang-barang itu kepada anak-anak mereka masing-masing, baik
yang telah lahir maupun yang belum lahir. Bila seorang anak telah meninggal
lebih dahulu, maka penetapan wasiat yang sama boleh dibuat untuk keuntungan
satu orang cucu mereka atau lebili, dengan perintah menyerahkan barang-barang
itu kepada anak-anak mereka masing-masing, baik yang telah lahir maupun yang
belum lahir”. 58
Jadi, pewarisan perdata disini juga memberikan kebebasan kepada pewaris
untuk menunjuk seseorang (berwasiat) baik itu keluarga sendiri atau bukan untuk
dijadikan pewaris, dan pembagian warisan seperti ini pula tidak terdapat dalam
pewarisan Islam, karena dalam pewarisan Islam wasiat berdiri sendiri di luar ahli
waris.
3

Penghalang Mewaris Menurut Hukum Perdata
Dalam hukum perdata terdapat orang-orang yang tidak pahit (tidak pantas)

menerima warisan. Orang-orang ini adalah orang-orang mempunyai pertalian
darah dengan pewaris, tetapi karena perbuatannya tidak patut menjadi waris.
Adapun orang-orang yang terhalang untuk mewarisi dimuat dalam Pasal 838 dan
Pasal 912 KUHPerdata.
Menurut pasal 838 KUHPerdata orang yang terhalang mewarisi adalah:
a.

Mereka yang telah dihukum (telah ada keputusan hakim) karena
mencoba membunuh pewaris.

58

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, op.cit, Hlm. 254.

37

Universitas Sumatera Utara

b.

Mereka yang dengan keputusan hakim dipersalahkan dengan fitnah
mengajukan pengaduan terhadap pewaris tentang sesuatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun lamanya.

c.

Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat
atau mencabut testament.

Disamping itu Undang-Undang juga mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan anak dan pergantian mawaris bagi seseorang yang tidak patut (tidak
pantas) menjadi ahli waris (pasal 840-848) KUH Perdata. Misalnya, pasal 840,
anak dari seseorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris atas diri sendiri
mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah mereka karena
kesalahan orang tuanyalah yang tidak boleh ikut menikmati.

38

Universitas Sumatera Utara