DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS NIKAH SIRI Nafi’ Mubarok

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM
DALAM KASUS NIKAH SIRI
N afi’ Mubarok
Universitas Islam N egeri Sunan Ampel | Jl. Jend. A. Yani N o. 117 Surabaya
nafi.mubarok@gmail.com

Abstract: this article discusses disparity of court verdict in unregistered
marriage cases. The abundance of unregistered marriage is caused by
among other things by the obscurity of legal substance of unregistered
marriage. Admittedly, unregistered marriage has cause negative
impacts, especially to wives and children. The obscurity is located not
only is norms, but also in of legal substance as passed by judges. This,
in turn, causes legal contradiction. Therefore, there should be a
uniformity of judge decree that will provides solution for this case,
either consider unregistered marriage as legal or illegal. Looking at the
centrality of court verdict as providing vacuum of law and a tool of
social engineering. Therefore, there will be legal certainty on
unregistered marriage.
Keywords: judge verdict, unregistered marriage, legal certainty
Abstrak: Artikel ini membahas tentang disparitas putusan hakim tentang
kasus nikah siri. Banyaknya perilaku nikah siri, salah satunya disebabkan

karena adanya kesamaran substansi hukum dari nikah siri, sedangkan
nikah siri sendiri telah banyak menimbulkan dampak buruk, terutama
bagi anak dan isteri. Kesamaran substansi hukum ini tidak hanya dalam
tataran norma saja (hukum in abst racto), tetapi juga dalam tataran
putusan hakim (hukum in concret o), dengan adanya ketidakseragaman
putusan hakim dalam nikah siri, bahkan cenderung kontradiktif. Karena
itu perlu adanya kondisi ideal berupa putusan hakim yang memberikan
solusi dengan memberikan keseragaman putusan berupa “nikah siri
merupakan nikah yang sah”, atau “nikah siri merupakan nikah yang
tidak sah”. Hal ini dengan melihat posisi strategis dari putusan hakim
yang berfungsi sebagai “pengisi kekosongan hukum” dan “ a t ool of
social engineering”. D engan demikian akan terwujud kepastian hukum
dari nikah siri.
Kata Kunci: putusan hakim, nikah siri, kepastian hukum

AL- DAULAH : JURNAL H UKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM
VOLUME 6, NOMOR 2, OKTOBER 20 16; ISSN 20 89- 0 10 9

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri


Pendahuluan
Tindakan akhir dari suatu peradilan adalah putusan hakim,
yang juga merupakan hasil dari proses peradilan tersebut. Sudikno
Mertokusumo mendefinisikan putusan hakim dengan “suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak”.1
Pada dasarnya, putusan hakim merupakan suatu karya
menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya
menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut
kehidupan dalam suatu negara hukum.2
Putusan hakim diperlukan untuk menyelesaikan suatu
perkara yang diajukan ke pengadilan. Dalam lapangan hukum
pidana, “putusan hakim” merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana; Pertama, putusan
hakim mencerminkan kepastian hukum bagi terdakwa, karena
memperoleh
kepastian
hukum

(rechtszekerheids)
tentang
”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah
berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Kedua, putusan
hakim merupakan ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilainilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan
hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta
visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan.3
Salah satu perbuatan hukum yang perlu mendapatkan
“kepastian hukum” dengan media “putusan hakim” adalah nikah
siri. Hal ini dikarenakan semakin maraknya pelaku nikah siri,
semisal yang terjadi di Bandung dengan banyaknya iklan yang

1
2

3

Sudikno Mertokusumo, H ukum Acara Perdat a, (Yogyakarta: Liberty, 1988), 167.
Lilik Mulyadi. Kompilasi H ukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, (Bandung:

Mandar Maju, 2010), 127.
Ibid., 119.

50 5

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

menawarkan jasa menikah siri, yang terhitung hampir 10 situs,4
dan “nikah siri” tengah di-gandrung-i oleh para mahasiswa
Bandung, dengan alasan “daripada zina, lebih baik nikah secara
agama”.5 Sedangkan di Kebumen, praktik nikah siri juga banyak
dijumpai, bahkan pelakunya banyak dari kalangan PNS dan
pejabat yang secara aturan sebenarnya dilarang.6
Yang mengagetkan adalah data dari Kementerian Agama,
bahwa tercatat 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari
proses nikah siri. Itu berarti sekitar 35 juta. Dengan demikian,
sekitar 35 juta anak di Indonesia sulit mendapatkan surat lahir,

kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan
sebagainya.7
Salah satu sebab dari masih banyaknya perbuatan “nikah siri”
adalah pandangan bahwa mencatatkan perkawinan bukan
merupakan suatu keharusan, akan tetapi yang terpenting adalah
melakukan perkawinan yang sah menurut agama atau
kepercayaan. Padahal nikah siri telah melahirkan beberapa akibat
hukum yang merugikan para pihak, antara lain:
1. Perkawinan dianggap tidak sah, karena belum dicatatkan di
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, sehingga
dianggap tidak pernah terjadi perkawinan.
2. Karena dianggap tidak ada perkawinan, maka (1) wanita tidak
mempunyai hubungan hukum dengan suaminya, (2) anak yang
dilahirkan dianggap anak tidak sah, sehingga hanya

4

Admin,

“H eboh


Iklan

Jasa

N ikah

Siri

di

Bandung”,

http://regional.liput an6.com/read/2592526/heboh-iklan-jasa-nikah-siri- di-bandung,
5

dalam
diakses

05/09/2016.

Admin, “Tren Baru, Banyak Mahasisw a Bandung Belum Lulus Pilih N ikah Siri”, dalam
http://plus.kapanlagi.com/t ak-raih-rest u-38-takut-zina- banyak- mahasiswa-bandung-nikah-siri4c7a01.html, diakses 05/09/2016.

6

Admin, “Praktek N ikah Siri Marak di Kebumen, Rambah PN S hingga Pejabat”, dalam
diakses
04/09/2016.
Admin,
“35
Juta
Anak
Lahir
dari
N ikah
Siri”,
dalam
http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p= 33012, diakses 18/03/2014.
http://www.kebum enekspres.com/2016/08/praktek-nikah-siri-marak- di-kebumen.ht ml,


7

50 6

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu,
dan (3) anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
3. Karena dianggap tidak sah oleh negera, maka negara tidak bisa
memberikan perlindungan hukum.8
Menurut Muntaha Luthfi yang menganalisa dengan
menggunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman,
banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya pencatatan
perkawinan, yaitu:
1. Dari sisi struktur hukumnya, karena pelaksana kebijakan
perkawinan sangat minim, ditambah dengan anggaran dana,
sarana dan prasarana yang minim.

2. Dari sisi substansi hukumnya, karena masih samarnya
substansi hukum dari pencatatan perkawinan, apakah menjadi
syarat sah perkawinan atau tidak. Juga, rendahnya sanksi
terhadap pelaku perkawinan tidak dicatatkan.
3. Dari sisi kultur hukumnya, karena adanya anggapan
masyarakat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah
merupakan syarat sah, yang terpenting adalah ijab kabul, wali
dan saksi. Bahkan, perkawinan akan lebih utama bila dilakukan
oleh seorang kiai, di samping adanya anggapan proses
birokrasi yang susah dan panjang.9
Dari tiga aspek tersebut, yang menarik untuk dibahas adalah
aspek substansi hukumnya, bahwa masih samarnya substansi
hukum dari pencatatan perkawinan. Karena kesamaran substansi
hukum ini, yang merupakan tataran hukum in abstracto, juga
samar dalam tataran hukum in concreto. Ini terlihat dari
“ketidakseragaman putusan hakim”, baik tingkat pertama
maupun tingkat akhir, berkenaan dengan nikah siri, bahkan
bersifat kontradiktif. Sebagai contoh adalah putusan MA No. 157
K/MIL/2010 pada tanggal 20 Agustus 2010, yang mengakui


8

Mardian

Alisyaban

H idayat,

“Makalah:

N ikah

Sirri”,

dalam

http://www.mardianaly.co.cc/2010/makalah-nikah- sirri.html, diakses 10/01/2010.
9

Muntaha Luthfi, “Abstrak: Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkaw inan di Baw ah Tangan di

Kecamatan Mondokan Kabupaten Sragen“, dalam www.digilib.uns.ac.id , diakses 17/11/2010.

50 7

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

keabsahan nikah siri. Namun jga terdapat putusan MA No. 17
K/MIL/2012 pada tanggal 6 Desember 2012, yang tidak mengakui
keabsahan nikah siri.
Padahal, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief,
ketidakseragaman putusan hakim dalam kasus pidana
mempunyai akibat yang mendalam terutama bagi terpidana, yakni
hilangnya rasa keadilan terpidana. Hal ini dengan mengkaitkan
pada “correction administration”, yaitu ketika seorang terpidana
memperbandingkan pidananya dengan pidana terpidana lain
yang dijerat pasal yang sama yang selanjutnya merasa menjadi
korban “the judicial caprice”.10 Di sisi lain, menurut Ogubazghi dan
Andemariam, bahwa kritikan yang sering diberikan pada
peradilan pidana adalah kurangnya keseragaman hukuman yang
dijatuhkan.11
Kesamaran Substansi Hukum Nikah Siri dan Ketidakseragaman
Putusan Pengadilan
Pembicaraan nikah siri, yang merupakan nikah sesuai agama
tanpa dicatatkan, bermula dari ketentuan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang keabsahan perkawinan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2). Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Sedangkan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Dari sinilah pembicaraan tentang nikah siri
dimulai, dengan menyatakan bahwa nikah yang sah adalah nikah
yang sesuai dengan agama dan kepercayaan meskipun tanpa
dicatatkan di hadapan petugas yang berwenang, menurut satu
pihak. Sedangkan menurut pihak yang lain bahwa nikah yang sah
10

11

Muladi dan Barda N aw aw i Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni. 1992),
54.
H abteab Y. O gubazghi and Senai W . Andemariam, “Eritrean Customary Laws: O ld-Modern’
Treasures For Introducing an Effective Sentencing Regime-the “Just D esert”, in System African
Journal of Criminology and Justice Studies: AJCJS, Vol. 7, N ovember 2013, 47.

50 8

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

adalah nikah yang sesuai dengan agama dan kepercayaan serta
harus dicatatkan di hadapan petugas yang berwenang.
Argumentasi pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan
yang sah jika dicatatkan di hadapan petugas yang berwenang
adalah:
1. Interpretasi sistematis, yaitu dengan membaca Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Perkawinan sebagai satu
kesatuan, sehingga hasil penafsirannya adalah bahwa
ketentuan sahnya perkawinan tidak hanya dihubungkan
dengan terpenuhinya rukun dan syarat menurut aturan agama
dan ajaran aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
akan tetapi juga dihubungkan dengan terpenuhinya tata cara
pencatatan nikah.12
2. Pencatatan perkawinan adalah bagian dari asas hukum
perkawinan nasional.13 Pernikahan yang tidak dicatatkan
merupakan pelanggaran terhadap asas hukum pernikahan
nasional yang tentunya mempengaruhi keabsahan pernikahan
tersebut.14
3. Akte perkawinan merupakan satu-satunya bukti dari suatu
perkawinan, sebagaimana dalam Pasal 100 BW dan Pasal 34
Peraturan Perkawinan Kristen Indonesia, Kristen Jawa,
Minahasa dan Ambon (HOCI).15
Sedangkan argumentasi dari pendapat yang menyatakan
bahwa nikah yang sah adalah nikah yang sesuai dengan agama
dan kepercayaan meskipun tanpa dicatatkan di hadapan petugas
yang berwenang adalah:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi
syarat dan rukun agamanya dan kepercayaannya, berdasarkan
12

Masruhan, “Pembaruan H ukum Pencatatan Perkaw inan di Indonesia Perspektif M aqasid alShari’ah” , dalam Al-Tahrir, Vol. 13, N o. 2 N ovem ber 2013, 238.

13
14

15

Lihat Penjelasan U mum U U . N o. 1 Th. 1974.
H endra U mar, “D ilema H ukum Pencatatan N ikah di Indonesia”, dalam htt p://hendra-um arpenghulu.blogspot.com/2012/11/dilema-hukum-pencat atan-nikah- di.html, 10/04/2014.
Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan masalah Pelaksanaannya: Ditinjau dari Segi
H ukum Islam , (Bandung: Alumni 1981), 21.

50 9

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

penjelasan Pasal 2 dari Undang-undang Perkawinan: “ ... tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.16
2. Pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan, sebagaimana
dikutip oleh Neng Djubaidah, hanya bersifat administratif. Hal
ini berdasarkan penjelasan undang-undang tersebut mengenai
Pasal 2 ayat 2 menyatakan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian.”17
Kekaburan substansi hukum nikah siri menjadi semakin
kabur dengan disahkannya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang merupakan hukum
Islam positif yang bisa digunakan dan diterapkan oleh instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam
penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang
perkawinan, hibah, warisan dan wakaf.18 Di dalam KHI sendiri
terjadi bias, dengan:
1. Menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan
syarat sah perkawinan, seperti dalam Pasal 4 KHI, yaitu:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Dengan demikian, menurut
KHI bahwa keabsahan suatu perkawinan bagi umat Islam tidak
terletak pada syarat formilnya, yang berupa pencatatan
perkawinan, namun terletak pada syarat materiilnya, yang
berupa kesesuaian teknis pelaksanaan perkawinan dengan
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.
Meskipun tidak dicatatkan, perkawinan tersebut tetap sah di

16
17

18

Ibid., 22.
N eng D jubaidah. Pencat atan Perkawinan dan Perkainan Tidak Dicatat M enurut H ukum Tertulis di
Indonesia dan H ukum Islam , (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 158.
Yufi W iyos Rini, “Pandangan Politik H ukum Islam terhadap KH I di Indonesia”, dalam Jurnal Asas,
Vol. 3, N o.1, Januari 2011, 34.

510

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

mata hukum, sehingga akibat hukumnya juga harus dipandang
tetap terjadi.19
2. Menyatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat
sah perkawinan, seperti ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) KHI,
yaitu: “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.” Juga, Pasal 6 ayat (2)
KHI, yaitu: “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.”20
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keberadaan
pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya sebuah perkawinan
secara hukum masih belum jelas atau masih kabur, karena adanya
dua pendapat sebagaimana tersebut di atas.
Kekaburan atau ketidakjelasan dari ketentuan nikah siri
tersebut menjadi semakin kabur karena adanya ketidakseragaman
putusan hakim tentang nikah siri yang besifat kontradiktif. Di satu
sisi terdapat putusan hakim yang mengakui keabsahan nikah siri,
dan di sisi yang lain terdapat putusan hakim yang tidak mengakui
keabsahan nikah siri. Bahkan ada satu putusan hakim yang di
dalamnya mengakui keabsahan nikah siri sekaligus tidak
mengakuinya.
Putusan hakim yang mengakui keabsahan nikah siri antara
lain:
1. Putusan MA No. 157 K/MIL/2010 pada tanggal 20 Agustus 2010
dalam tindak pidana “telah kawin (menikah) sedang ia
mengetahui, bahwa perkawinannya sendiri yang telah ada
menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat (1) ke- 1 KUHP,
dengan terdakwa Sumarno. Dalam putusannya, MA menolak
kasasi terdakwa, sehingga menguatkan putusan Pengadilan
Militer Tinggi II Jakarta No.PUT/62-K/PMT-II/AD/VI/2010
tanggal 16 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan
19
20

Masruhan, “Pembaruan H ukum Pencatatan Perkaw inan di Indonesia”, 238.
H endra U mar, “D ilema H ukum Pencatatan N ikah di Indonesia”.

511

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

Militer ll-10 Semarang No. PUT/64-K/PM.II-10/AD/I/2010
tanggal 25 Januari 2010, yang menyatakan terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal
279 ayat (1) ke- 1 KUHP. Sedangkan perbuatan “telah kawin”
yang dilakukan terdakwa adalah “nikah secara siri”.
Pertimbangan Majelas Hakim adalah bahwa perkawinan siri
merupakan perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam
dan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, sehingga sebuh perkawinan sah jika perkawinan
itu dilakukan menurut hukum agama masing-masing.
2. Putusan PN Bangil No. 504/Pid.B/2011/PN.Bgl. pada tanggal 3
Oktober 2011 dalam tindak pidana “seorang pria yang telah
kawin yang melakukan gendak (overspel)”, sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 (1) ke-1 a KUHP, dengan terdakwa Khoiron
Ubaidillah. Dalam putusannya, PN Bangil membebaskan
terdakwa dari dakwaan. Pertimbangan Majelis Hakim adalah
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan
oleh agama atau kepercayaannya, sedangkan pencatatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan agar
perkawinan mempunyai kekuatan dan perlindungan hukum.
Dengan demikian, pernikahan terdakwa adalah sah, sehingga
persetubuhan mereka juga sah sebagai suami istri, sehingga
bukan sebagai “gendak”.
Sedangkan putusan hakim yang tidak mengakui keabsahan
nikah siri antara lain:
1. Putusan MA No. 17 K/MIL/2012 pada tanggal 6 Desember
2012 dalam tindak pidana “Barang siapa mengadakan
perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu” sebagaimana diatur dan
diancam dengan pidana dalam Pasal 279 (1) ke-1 KUHP
dengan terdakwa Ahmad Yusuf. Dalam putusannya, MA
menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi dari

512

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

Pemohon Kasasi (Oditur Militer), sehingga menganggap
berlaku putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang Nomor:
67-K/PM.II-10/AD/X/2011 tanggal 5 Desember 2011, yaitu
“terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana tersebut.” Dengan
demikian, MA hanya mengakui perkawinan kedua dan tidak
mengakui perkawinan pertama, dikarenakan perkawinan
yang pertama merupakan perkawinan siri.
2. Putusan Pengadilan Tingi Banten No. 114/PID/2007/PT.BTN.
pada tanggal 19 Pebruari 2008 dalam tindak pidana “seorang
pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel )”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 a KUHP,
dengan terdakwa Dani Kusmarahadi. Dalam putusannya,
Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Tangerang Nomor: 1223/Pid.B/2007/PN.TNG. tanggal
20 September 2007, yang menyatakan bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak
pidana
“perzinaan”.
Sedangkan
perbuatan
“perzinaan” yang dilakukan terdakwa sudah didahului
dengan nikah siri. Pertimbangan Majelis Hakim adalah
perkawinan siri meskipun sah secara agama bukanlah
merupakan perkawinan secara hukum nasional, sehingga
dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, hubungan
suami isteri yang dilakukan dengan landasan perkawinan
siri dianggap tidak sah, sehingga disebut sebagai perzinaan.
Sedangkan putusan hakim yang mengakui keabsahan dari
nikah siri sekaligus tidak mengakuinya adalah putusan
Pengadilan
Militer
Tinggi-I
Medan
No.
21-K/PMTI/BDG/AD/II/2012 pada tanggal 5 Maret 2012 dengan terdakwa
Ramlan yang didakwa dengan dua tindak pidana, yaitu:
1. “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui
bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang
telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, sebagaimana
diatur dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP

513

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

2. “Setiap orang dilarang menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut”, sebagaimana diatur dalam Pasal 49
huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Dalam putusannya, Pengadilan Militer Tinggi I Medan
menguatkan putusan Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh Nomor:
PUT/157-K/PM.I-01/AD/XI/2011 tanggal 26 Januari 2012, yaitu:
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP.
2. Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan
tindak pidana “menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya”.
Pertimbangan majelis hakim adalah bahwa terdakwa sudah
menikah dengan Neneng Firdayanti, yang berdasarkan pasal 2
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 mengatakan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya”,
sehingga
perkawinannya adalah sah. Dengan demikian, akibat hukum dari
perkawinan berupa kewajiban memberikan nafkah berlaku,
sebagaimana Pasal 34 ayat (1), yaitu “suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Padahal
“perkawinan” yang dilakukan terdakwa, baik perkawinan
pertama maupun perkawinan kedua adalah sama-sama
pernikahan siri (perkawinan di bawah tangan). Jika perkawinan
yang pertama dianggap sah, maka seharusnya perkawinan yang
kedua-pun dianggap sah, sehingga terdakwa seharusnya
dinyatakan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP. Dan, jika perkawinan kedua
dianggap tidak sah, sehingga terbebas dari dakwaan pertama,

514

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

maka perkawinan pertama pun harus dianggap tidak sah,
sehingga terdakwa harus terbebas dari dakwaan kedua berupa
penelantaran anggota keluarga, karena anggota keluarga tersebut
merupakan hasil dari perkawinan di bawah tangan.
Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa terdapat
kekaburan substansi hukum dalam nikah siri, baik dalam norma
hukumnya yang merupakan hukum in abstracto maupun dalam
penerapan hukumnya berupa putusan hakim yang merupakan
hukum in concreto.
Putusan Hakim dan Posisi Strategisnya
Pengertian yuridis dari putusan hakim terdapat dalam Bab I
Pasal 1 Angka 11 KUHAP, yaitu pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Salah satu fungsi dari putusan hakim adalah terjadinya
pemberlakuan dan penerimaan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat bersangkutan. Ini
berarti adanya pengaturan kembali peranan serta hubungan antar
peranan dalam masyarakat.
Di samping itu, putusan hakim juga berfungsi sebagai pengisi
kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur
atau telah ketinggalan jaman. Hal ini dikarenakan bahwa hakim
dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya,
sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.” Sedangkan cara untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut dengan cara menggali nilai-nlai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, sebagaimana ketentuan Pasal 5
ayat (1) bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

515

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup di dalam masyarakat”.
Putusan hakim, putusan peradilan atau yurisprudensi
merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan
hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga
bersifat kongkret. Inilah letak perbedaannya dengan undangundang yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang.
Dengan menggunakan The Pure Theory of Law dari Hans
Kelsen, kedudukan putusan hakim dalam sistem hukum
Indonesia, menurut Khudzaifah, dianggap sebagai norma khusus.
Norma khusus di sini diartikan sebagai norma yang ditujukan bagi
peristiwa konkret di mana penerapan dan pembentukannya
bersandar pada norma umum berupa undang-undang dan
kebiasaan. Dengan demikian, maka putusan hakim merupakan
pembuat dan penerap hukum, sebagaimana pembuat undangundang.21
Di samping itu, yurisprudensi mempunyai posisi strategis,
yaitu dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa
dikemudian hari, yang biasa disebut dengan hukum hakim,
rechterrecht, atau judge made law.22 Pengakuan judge made law ini
baik dalam sistem hukum Civil-Law maupun Common-Law,
meskipun daya kekuatan mengikatnya berbeda.23 Perbedaannya,
pada sistem hukum Civil-Law, di mana secara historis Indonesia
juga sangat dipengaruhinya, maka asas yang berlaku adalah
adanya kebebasan bagi hakim untuk tidak merasa terikat pada
putusan yang sebelumnya dalam kasus yang serupa. Namun
dalam kenyataannya, asas kebebasan hakim tersebut tidak berlaku
mutlak sama sekali, dikarenakan banyak hakim rendahan yang
sering mengikuti putusan hakim sebelumnya yang secara hierarkis
21

22

23

Khudzaifah D imyati (dkk), Potret Profesionalisme H akim dalam Putusan, (Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2010), 21-24.
A. Salman Maggalatung, “H ubungan antara Fakta, N orma, Moral, dan D oktrin H ukum dalam
Pertimbangan Putusan H akim”, dalam Jurnal Cita H ukum , Vol. I N o. 2 D esember 2014, 190.
Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi sebagai Sum ber H ukum , (Jakarta: BPH N D epartemen Kehakiman, 1998), 10.

516

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

lebih tinggi kedudukannya dalam kasus-kasus yang sama.24 Di
sinilah posisi yurisprudensi yang strategis, yaitu sebagai salah satu
sumber hukum.25
Menurut Paulus Efendi, selain berkedudukan sebagai sumber
hukum, yurisprudensi juga mempunyai berbagai fungsi, yaitu:
a. Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang
serupa, maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang
sama, dalam hal undang-undang tidak mengatur atau belum
mengatur pemecahan kasus yang bersangkutan.
b. Dengan adanya standar hukum yang sama itu, maka dapat
diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat.
c. Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan
hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan
bersifat dapat diperkirakan (predictable) dan ada transparansi.
d. Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah
kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam
berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang
sama.26
Antara Ketidakseragaman Putusan Pidana dan Kepastian
Hukum
Ketidakseragaman putusan dalam hukum pidana dikenal
dengan istilah “disparitas pemidanaan”, yang diartikan sebagai
penjatuhan pidana yang tidak sama kepada terpidana dalam kasus
yang sama atau kasus yang hampir sama tingkat kejahatannya,
baik itu dilakukan bersama-sama maupun tidak tanpa dasar yang
dapat dibenarkan. Adanya disparitas pemidanaan pada dasarnya

24
25

26

Ibid., 12.
M. N aufal Fileindi, “Asas Legalitas, Kebebasan H akim Menafsirkan H ukum, dan Kaidah
Yurisprudensi”, dalam http://www.hukum online.com/klinik/det ail/lt514810646f40f/asas-legalitas-kebebasan-hakim -menafsirkan-hukum-- dan- kaidah-yurisprudensi, diakses 10/09/2016
Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi sebagai Sum ber H ukum , 17.

517

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

merupakan hal yang wajar, dikarenakan hampir tidak ada perkara
yang memang benar-benar sama.27
Sedangkan menurut Sudarto, sebagaimana dikutip Hamidah
Abdurrachman, salah satu sebab disparitas pemidanaan
dikarenakan KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana
(straftoemetingsleiddraad) yang umum, yang menyebabkan hakim
mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, cara
pelaksanaan pidana dan tinggi atau rendahnya pidana. Yang ada
adalah suatu pedoman yang memuat asas-asas yang perlu
diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Tentunya ini
bisa menimbulkan bahwa dalam suatu delik yang sama atau sifat
berbahayanya sama tetapi pidananya tidak sama.28
Di samping itu, disparitas pemidanaan sangat mungkin
terjadi dikarenakan sistem pengaturan sanksi pidana yang dianut
Indonesia berasal dari Belanda melalui penerapan KUHP, di mana
dalam sistem pengaturan sanksi pidana tersebut rumusan
sanksi/ancaman pidana dirumuskan dalam bentuk ancaman
maksimum. Dengan model rumusan demikian, maka hakim
diberikan kebebasan yang cukup besar untuk menentukan besaran
hukuman dalam masing-masing perkara sepanjang tidak melebihi
ancaman maksimum tersebut.29
Inilah salah satu sebab munculnya disparitas pemidanaan,
yaitu ketika perbuatan yang di hadapkan kepada hakim pidana
menunjukkan adanya perbedaan dan bahwa di antara para hakim
sendiri terdapat suatu perbedaan pandangan penilaian terhadap
data-data dalam perkara yang sama ataupun yang dapat
disamakan.30
Saat ini, di negeri Belanda sendiri, disparitas pemidanaan
merupakan masalah yang cukup serius. Tak hanya di Belanda,
27

28

29
30

Tama S. Langkun (et.al.), Studi at as Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta: Indonesia Corruption W atch, 2014), 10.
H amidah Abdurrachman (dkk.), “D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N arkoba “, dalam
Pandecta, Volume 7. N omor 2. Juli 2012, 219.
Tama S. Langkun, Studi atas Disparitas Putusan Pemidanaan, 10
H amidah Abdurrachman, Disparitas Putusan H akim dalam Kasus N arkoba, 217.

518

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

bahkan di banyak negara disparitas pemidanaan menjadi
perhatian yang cukup besar. Permasalahan dari disparitas
pemidanaan muncul adalah ketika rentang perbedaan hukuman
yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga
menimbulkan ketidakadilan serta dapat menimbulkan kecurigaankecurigaan di masyarakat. Apalagi jika masing-masing putusan
hakim tersebut saling bertentangan dan kontradiktif. Oleh
karenanya, diskursus mengenai disparitas pemidanaan dalam
ilmu hukum pidana dan kriminologi tidaklah pernah
dimaksudkan untuk menghapuskan perbedaan besaran hukuman
terhadap para pelaku kejahatan, namun memperkecil rentang
perbedaan penjatuhan hukuman tersebut.31
Problematika disparitas pemidanaan juga merupakan suatu
yang dilematis dalam penegakan hukum. Di satu sisi, disparitas
pemidanaan merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam
menjatuhkan putusan, akan tetapi di sisi lain disparitas
pemidanaan juga membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, muncullah kecemburuan
sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi
peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat.32
Situasi demikian pada akhirnya menjadi penghambat bagi
kelancaran pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan dan tujuan
dari pemidanaan itu sendiri. Terjadinya disparitas pemidanaan
akan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan terpidana
terhadap hukum dan institusi penegak hukum, bahkan dalam
tatanan tertentu secara proyektif sangat mungkin akan
menimbulkan sikap anti rehabilitasi dan anti resoalisasi di
kalangan terpidana. Sehingga hal ini tentu tidak menguntungkan
di dalam konteks upaya menumbuhkan kepercayaan terpidana
terhadap hukum.33
31
32
33

Tama S. Langkun, Studi atas Disparitas Putusan Pemidanaan, 10
H amidah Abdurrachman, Disparitas Putusan H akim dalam Kasus N arkoba, 217.
Ibid.

519

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

Apalagi menurut Anderson, sebagaimana dikutip oleh Agus
Maksum Mulyohadi, bahwa terdapat beberapa dampak kebijakan
putusan hakim, di antaranya adalah putusan hakim yang adil akan
berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat.34 Begitu juga jika
putusan hakim dianggap tidak adil maka akan berpengaruh
terhadap
kepercayaan
masyarakat,
dengan
merosotnya
kepercayaan tersebut.
Disparitas
pemidanaan
juga
akan
menimbulkan
“ketidakpastian hukum”, atau tidak adanya kepastian hukum.
Ketidakpastian hukum di sini berarti bahwa “hukum tidak bisa
diprediksikan” atau un-predictable. Ini sebagaimana pengertian
“kepastian hukum” yang dikemukakan oleh Elina Paunio, bahwa
kepastian hukum adalah ketika hukum dan ajudikasi khususnya
harus dapat diprediksi: hukum harus memenuhi imperatif
kejelasan, stabilitas, kejelasan, dan prediktabilitas sehingga mereka
yang peduli dapat menghitung dengan akurasi relatif konsekuensi
hukum dari tindakan mereka serta hasil dari proses hukum.35
Atau, kepastian hukum menurut Groussot, bahwa kepastian
hukum sebagai pencerminan “kebutuhan utama kejelasan,
stabilitas dan kejelasan hukum”, sehingga prinsip fundamentalnya
adalah para subyek hukum harus tahu hukum agar mampu
merencanakan tindakan mereka sesuai dengan itu. Dengan
demikian, hukum memerlukan tingkat prediktabilitas tertentu
sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui terlebih dahulu
apa konsekuensi hukum dari tindakan yang mereka perbuat.36
Di sisi lain, kepastian hukum merupakan tujuan hukum,
sehingga ketidakpastian hukum berarti telah menyalahi tujuan
hukum. Hal ini dikarenakan bahwa ketertiban atau keteraturan
tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku
34

35

36

Agus Maksum Mulyohadi, Disparitas Pidana Put usan H akim atas Perkara Pidana Anak dalam
Perspektif Perlindungan H ak-hak Anak, (Surakarta: PPs-U niversitas Muhammadiyah Surakarta,
2015), 13
Elina Paunio, Legal Certainty in M ultilingual EU Law, (Surrey-England: Ashgate Publishing
Limited, 2013), 51.
Ibid., 52.

520

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada
kepastian, dan hal tersebut baru terwujud ketika ada kepastian
hukum.37
Asas kepastian hukum juga merupakan salah satu asas dalam
negara hukum, yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan negara. Asas kepastian hukum harus
diterapkan dalam setiap peraturan. Tanpa adanya asas tersebut
dapat dipastikan suatu peraturan akan menimbulkan banyak
masalah dikemudian hari. Hukum harus diwujudkan dengan
bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar
manusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk
mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku.38
Oleh karena itu, keberadaan negara hukum harus bertujuan
untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Kepastian hukum merupakan prinsip utama dari
aturan hukum sebagaimana yang dipahami di seluruh dunia.
Bahkan, para Menteri Luar Negeri dari negara-negara yang
tergabung dalam G8 menyatakan dalam pertemuan mereka di
Potsdam Tahun 2007, bahwa “aturan hukum sebagai prinsip
utama dalam membangun kemitraan dan merupakan upaya untuk
mempromosikan perdamaian abadi, keamanan, demokrasi dan
hak asasi manusia serta pembangunan berkelanjutan di seluruh
dunia.” Dalam hal ini, mereka menyatakan bahwa, “penting untuk
mematuhi prinsip kepastian hukum.”39
Indonesia sebagai negara hukum sudah menegaskan akan
pentingnya kepastian hukum. Hal ini dalam rangka mewujudkan
amanah konstitusi yang tercantum dalam Penjelasan Undangundang Dasar Republik Indonesia bahwa “Negara Indonesia yang
37
38

39

Lili Rasjidi, H ukum Sebagai Suatu Sistem , (Bandung: Mandar Maju, 2003), 184.
Ali D ahw ir dan Barhamudin, “Penyimpangan Asas Legalitas dalam U ndang-undang N o. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan H ak Asasi Manusia”, dalam Jurnal Ilmu H ukum , Vol. 4 N o. 2
Februari-Juli 2014, 121.
James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The Globalization of The Rule of
Law ”, in H oust on Journal of International Law, Vol. 31: 1, 2008, 28.

521

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.
Selanjutnya, dalam menjaga kepastian hukum tersebut maka
peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pengadilan di
sini dipersonifikasian dengan putusan hakim. Di samping itu,
penyebab putusan hakim harus mencerminkan kepastian hukum
adalah karena kepastian hukum merupakan salah satu dari tiga
asas yang harus ada dalam hukum, selain keadilan dan
kemanfaatan, sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch.40
Menurut Fence M. Wantu, perlunya kepastian hukum dalam
putusan hakim dikarenakan bahwa putusan hakim yang
mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
hukum. Hal ini disebabkan bahwa putusan hakim yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari
hakim itu sendiri yang memutuskan perkara, tetapi sudah
merupakan pendapat dari institusi pengadilan. Putusan hakim
merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan
untuk mencapai salah satunya kebenaran hukum atau demi
terwujudnya kepastian hukum. Putusan hakim merupakan
produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang
relevan secara hukum dari hasil proses secara sah di persidangan,
di samping bahwa pertimbangan hukum yang dipakai oleh para
hakim sebagai landasan dalam mengeluarkan amar putusan
merupakan kualitas putusan.41
Dampak Hukum Ketidakseragaman Putusan Nikah Siri
Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan di atas, bahwa
putusan hakim merupakan tindakan akhir dari suatu peradilan,
atau hasil dari proses peradilan tersebut. Dengan putusan hakim

40

41

Fence M. W antu, “Mew ujudkan Kepastian H ukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan
H akim di Peradilan Perdata”, dalam Jurnal Dinamika H ukum, Vol. 12 N o. 3 September 2012,
479.
Ibid., 483.

522

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

akan diperoleh “kepastian hukum”, terutama bagi terdakwa.
Minimal kepastian hukum secara normatif, yaitu ketika suatu
putusan hakim bersifat jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian ia menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma
yang ditimbulkan dari ketidakpastian hukum tersebut bisa
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.42
Namun yang terjadi tidaklah demikian. Justru dengan adanya
putusan hakim tentang nikah siri telah menimbulkan
ketidakpastian hukum dari nikah siri, karena adanya
ketidakseragaman putusan yang saling bertolak belakang, baik
dalam pengadilan tingkat pertama atau terakhir, sebagaimana
pemaparan sebelumnya. Dan ini akan semakin menambah
kekaburan substansi hukum dalam tataran in concreto, yang
sebelumnya sudah ada kekaburan substansi hukum dalam tataran
in abstracto. Padahal ketika terjadi “kekaburan substansi hukum”,
maka akan sulit penegakan hukumnya, yang pada akhirnya
semakin banyaknya “pelanggaran hukum” tersebut, ketika
perbuatan tersebut dianggap sebagai “pelanggaran hukum”. Hal
ini bisa dibuktikan dengan memperhatikan latar belakang
terjadinya nikah siri dari berbagai hasil penelitian, yang salah
satunya dipastikan karena faktor hukum. Semisal hasil penelitian
dari Muntaha Lutfi, bahwa salah satu penyebab nikah siri adalah
sisi substansi hukumnya, karena masih kaburnya substansi hukum
dari pencatatan perkawinan, apakah menjadi syarat sah
perkawinan atau tidak,43 sebagaimana pemaparan dalam
Pendahuluan. Juga, sebagaimana dikemukakan oleh Saeroni dan
Indiah Wahyu Andari, bahwa faktor-faktor pendukung terjadinya
nikah siri adalah:

42

43

Aan Eko W idiarto, “Ketidakpastian H ukum Kew enangan Lembaga Pembentuk U ndang-U ndang
Akibat Pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 12, N omor
4, D esem ber 2015, 746.
Muntaha Luthfi, “Abstrak: Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkaw inan”.

523

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

a. Kesadaran hukum, karena tidak mengetahui konsekuensi
hukum yang harus dihadapi, semisal terkait status anak jika
terjadi kehamilan, dan kemungkinan suami tidak mengakui
kehamilan tersebut.
b. Pemahaman
agama,
bahwa
anggapan
bahwa
bila
pernikahannya telah disahkan atau dilangsungkan secara
agama maka telah dianggap legal dan sah.
c. Keluarga dan lingkungan, bahwa nilai-nilai yang bekembang di
dalam keluarga sangat mempengaruhi cara pandang, sikap dan
perilaku pasangan.
d. Kekerasan terhadap perempuan, semisal pemaksaan hubungan
seksul yang berakibat kehamilan tidak dikehendaki,
perselingkuhan, kehilangan virginitas, ketergantungan emosi
dan ekonomi.44
Sedangkan nikah siri mempunyai dampak merugikan yang
luar biasa, terutama pada anak dan isteri. Di antaranya menurut
Dewi Chandraningrum, sebagaimana dikutip oleh Fina ‘Ulya,
dampak sosial dari nikah siri adalah meletakkan perempuan
dalam posisi yang sangat lemah, karena rentan mengalami
berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan
seksual. Menurutnya, beberapa hal yang membuat nikah siri
sangat merugikan perempuan dan anak adalah sebagai berikut:
a. Nikah siri rentan terhadap praktik-praktik eksploitasi
b. Nikah siri rentan terhadap praktik-praktik penyalahgunaan
kekuasaan.
c. Nikah siri rentan terhadap praktik-praktik kekerasan terhadap
perempuan.
d. Nikah siri menyebabkan anak yang dilahirkan mengalami
kesulitan dalam pengurusan administrasi dan hukum, serta
mengalami beban psikologis.45

44

45

Saeroni dan Indiah W ahyu Andari, “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Relasi Pernikahan
Sirri”, dalam M usâwa, Vol. 12 N o 1 Januari 2013, 152-154.
Fina ‘U lya, “N ikah Sirri: D imana Perempuan?”, dalam Jurnal M usâwa, Vol. 12 N o 1 Januari
2013, 12.

524

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

Menurut Suhaeri, dampak sosial dari nikah siri, yaitu:
“Kesulitan-kesulitan anak tersebut merupakan kesulitan berlipat
bagi ibu, karena siapa lagi yang akan mengurus masalah
prosedural anak jika suami meninggal, pergi tanpa keterangan
yang jelas, atau menikah lagi dengan wanita lain. Status anak yang
dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak
tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan si Ibu. Bila
ada akta kelahiran, statusnya dianggap sebagai anak ibu, sehingga
hanya dicantumkan nama ibu tanpa nama ayah. Anak juga tidak
berhak atas biaya kehidupan, biaya pendidikan dan hak waris dari
ayahnya.”46
Sedangkan dampak hukum dari nikah siri yaitu:
a. Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah,
sehingga isteri dan anak-anaknya dianggap isteri dan anak
tidak sah;
b. Isteri tidak berhak mendapatkan nafkah;
c. Isteri tidak berhak atas harta gono-gini;
d. Isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam
persoalan rumah tangganya;
e. Anak-anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu
dan keluarga ibunya;
f. Status anak-anak dapat disangkal sebagai anak bapaknya, dan
begitu pula sebaliknya;
g. Anak-anak tidak berhak mendapat biaya hidup dan biaya
pendidikan dari ayahnya;
h. Anak-anaknya yang perempuan tidak memiliki wali nasab
dalam perkawinannya, wali nikah yang berhak adalah wali
hakim (kepala KUA setempat);
i. Isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan
dari suami atau bapaknya, dan begitu pula sebaliknya;

46

Suhaeri, “Mengurai Benang Kusut D ualisme N ikah Sirri (U paya MeratifikasiRancangan U ndangU ndang N ikah Sirri)”, dalam M usâwa, Vol. 12 N o 1 Januari 2013, 95.

525

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

j. Isteri dan anak-anaknya menemui kesulitan untuk memperoleh
dokumen keimigrasian.47
Idealnya dampak hukum sebagaimana tersebut di atas bisa
dihindarkan jika terdapat keseragaman dari putusan hakim
berkenaan dengan nikah siri. Baik seragam bahwa “nikah siri
adalah nikah yang sah”, atau “nikah siri bukanlah nikah yang
sah”.
Hal ini dengan melihat posisi strategis dari putusan hakim
sebagai pengisi “kekosongan hukum”. Menurut ketentuan Pasal
10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa hakim dilarang menolak perkara karena
hukumnya tidak ada atau kurang jelas,48 sedangkan caranya
dengan menggali nilai-nlai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.49
Jika dalam kondisi “kekosongan hukum” adalah demikian,
tentunya dalam kondisi “kekaburan hukum” adalah juga seperti
itu, bahkan lebih utama. Dalam konteks nikah siri, hakim harus
berani membuat keseragaman putusan berdasarkan nilai-nila yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat bahwa nikah siri
merupakan “nikah yang sah”, atau “nikah tidak sah”, sehingga
ada kepastian hukum berkenaan dengan nikah siri.
Di samping itu, karena sifatnya yang terus ada dan akan ada
dengan memperhatikan dan mendasarkan pada nilai-nila yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat, maka putusan
pengadilan bisa menjadi alat rekayasa sosial (a tool of social
engineering). Dalam hubungan ini, putusan hakim di pandang
sebagai mekanisme yang menghubungkan penegakan dan
perubahan hukum dengan kehidupan sosial dan kebutuhan47

Endang Ali Ma’sum, “Pernikahan yang Tidak D icatatkan dan Problematikanya”, M usawa, Vol. 12
N o 2 Juli 2013, 210-211.

48

49

Pasal 10 ayat (1): “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahw a hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
w ajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Pasal 5 ayat (1): “H akim dan hakim konstitusi w ajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”

526

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

kebutuhan masyarakat. Dalam pertautan yang demikian,
dijelaskan bagaimana upaya penegakan dan perubahan
merupakan tahap-tahap dari sebuah proses pembentukan
hukum.50
Juga, putusan hakim sebagai alat rekayasa sosial menunjuk
kepada fungsi hukum selain dari pada undang-undang, dengan
melihat bekerjanya badan peradilan dalam membawa perubahan
masyarakat mengingat juga badan peradilan merupakan salah
satu saluran yang digunakan untuk melakukan perubahan sosial.
Peran badan peradilan menjadi sangat penting apabila badanbadan lain yang dapat mengubah masyarakat mengalami
kemacetan.51
Menurut Achmad Ali, putusan hakim sebagai alat rekayasa
sosial mempunyai potensi sebagai “penyeimbang” antara
kekuatan dan kestatisan hukum tertulis dengan keadaan
ketertinggalan undang-undang terhadap karakter "judge made law''
yang elastis serta lebih mudah menyesuaikan diri dengan
kebutuhan masyarakat. Dalam keadaan demikian, seperti halnya
hukum tertulis, hukum produk hakim pun dapat difungsikan
sebagai a tool of social engineering.52
Selanjutnya, Achmad Ali menggambarkan bahwa tiga
kategori dari putusan hakim sebagai perwujudan a tool of social
engineering, yaitu:
1. Putusan hakim yang hanya sekedar penerapan hukum
terhadap kasus konkret;
2. Putusan hakim yang menyesuaikan diri (hukum) terhadap
perubahan masyarakat; dan
3. Putusan hakim yang bersifat a tool of social engineering.53

50

51
52

53

Joko Sriw idodo, “Putusan H akim sebagai “ a Tool of Social Engineering” dan Pembinaan H ukum
N asional”, dalam M ajalah H ukum N asional, tt ., 63.
Ibid., 67.
Achmad Ali, M enguak Tahir H ukum : Suat u Kajian Filosifis dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), 219.
Ibid.

527

al- Daulah
Vol. 6, No.2, O ktober 20 16

N afi’ Mubarok

Dengan memandang putusan hakim sebagai a tool of social
engineering, justru di sini hakim bisa semakin tegas dengan
melahirkan putusan yang seragam berkenaan nikah siri karena
adanya kepastian hukum. Ujungnya, telah terjadi perubahan
norma dalam nikah siri yang pada tahun 1974 dengan Undangundang Perkawinan bersifat “kabur”, menjadi “pasti dan jelas”
pada saat ini, karena adanya putusan hakim yang memberikan
kepastian hukum dan sebagai a tool of social engineering, bahwa
nikah siri adalah “nikah yang sah” atau “tidak sah”. Dengan
demikian maka akan terwujud kepastian hukum dari nikah siri.
Penutup
Disparitas pemidanaan merupakan suatu yang wajar.
Disparitas pemidanaan baru bermasalah ketika rentang perbedaan
hukuman yang dijatuhkan sedemikian besar, bahkan kontradiktif,
yang bisa menimbulkan “ketidakpastian hukum”.
Terdapat kesamaran dan kekaburan substansi hukum dari
pengaturan nikah siri. Di samping itu juga terdapat ketidak
seragaman putusan hakim tentang nikah siri, bahkan
konstradiktif. Disparitas pemidanaan dalam nikah siri telah
menimbulkan “ketidakpastian hukum”, sehingga semakin
banyaknya perilaku nikah siri. Padahal begitu banyak dampak
buruk dari nikah siri, baik dampak hukum maupun dampak
sosial, terutama bagi anak dan isteri.
Pada posisi seperti ini, putusan hakim bisa memberikan solusi
dengan memberikan keseragaman putusan berupa “nikah siri
merupakan nikah yang sah”, atau “nikah siri bukan merupakan
nikah yang sah”. Ini dengan melihat posisi strategis dari putusan
hakim yang berfungsi sebagai “pengisi kekosongan hukum” dan
sarana dari a tool of social engineering. Dengan demikian maka akan
terwujud kepastian hukum dari nikah siri.

528

al- Daulah
Vol. 6. No. 2. O ktober 20 16

D isparitas Putusan H akim dalam Kasus N ikah Siri

Daftar Pustaka
‘Ulya, Fina. “Nikah Sirri: Dimana Perempuan?”, dalam Jurnal
Musâwa, Vol. 12 No 1 Januari 2013.
Abdurrachman, Hamidah (dkk.). “Disparitas Putusan Hakim
dalam Kasus Narkoba “, dalam Pandecta, Volume 7. Nomor 2.
Juli 2012.
Admin. “35 Juta Anak Lahir dari Nikah Siri”, dalam
http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012,
diakses
18
Maret 2014.
Admin. “Heboh Iklan Jasa Nikah Siri di Bandung”,
dalam