ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET (STUDI PUTUSAN No. 1616 KPid.Sus2013 No. 2223 KPid.Sus2012) (Jurnal)

  

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP

TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET

(STUDI PUTUSAN No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012)

(Jurnal)

  

Oleh

THEO KRISHNANDA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

2015

  

ABSTRAK

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP

TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET

(STUDI PUTUSAN No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012)

Oleh

  

Theo Krishnanda, Heni Siswanto, Firganefi

(Email : TheoKrishnanda@Gmail.com)

  Disparitas putusan membawa dampak yang negatif bagi proses penegakan yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Wisma Atlet. (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan masalah melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan data primer dan data sekunder dimana masing-masing data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan di lapangan. Data penelitian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: (1) Terjadinya perbedaan putusan dalam Kasus M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh didasarkan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Dalam setiap pasal yang didakwakan dan terbukti pada persidangan memiliki perbedaan ancaman pidana, ada batas minimum dan maksimum sehingga memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara. (2) Pertimbangan hakim dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Wisma Atlet harus mempertimbangkan unsur yuridis, filosofis dan sosiologis.

  Kata kunci: Disparitas, Putusan, Korupsi, Wisma.

  

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF JUDGE’S DECISION DISPARITY TOWARD THE

CRIMINAL CASE OF CORRUPTION OF ATHLETES’ DORMITORY

(CASE STUDY OF JUDGE’S DECISION No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223

  

K/Pid.Sus/2012)

By

Theo Krishnanda, Heni Siswanto, Firganefi

(Email : TheoKrishnanda@Gmail.com)

  Disparity of decision brings a negative impact toward the process of implementing law, this triggers the dissatisfaction among the society as justice seekers that results in the lose of trust to the system of law implementation. The problems in this study are (1) Why there is a disparity in the judge’s decision toward the criminal case of athlete’s dormitory and (2) What becomes the base of judge’s consideration in sentencing the accused in the case of athlete’s dormitory. This research is based on normative juridiction and empirical juridiction with the primary and secondary data taken from the library and field study. The data were analysed based on the principles of descriptive qualitative research method. Based on the result of data analysis and discussion, it can be concluded that : (1) The difference that exists between the sentencing of M. Nazaruddin and Angelina Sondakh was resulted from the accusation of the prosecutor and facts during the hearing in form of information from witnesses, the suspect, and other proofs. In every article related to the case and proven during the trial there are different charges, there are also limits of minimum and maximum that allows the judges to be a bit flexible in deciding matters. (2) The consideration of the judges in this case should cover the elements of juridiction, philosophy, and sociology.

  Keywords : Disparity, Decision, Corruption, Dorm.

I. PENDAHULUAN

  Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana, maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan “pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

  adalah :

  kebijakan pidana, Bandung: Alumni, 1984,

  Praktik peradilan yang menangani perkara korupsi sering terjadi disparitas pidana yang tidak saja mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan tetapi juga mengenai jenis 3 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan

  2 putusan tersebut sebagaimana putusan Mahkamah Agung Angelina Patricia Pingkan Sondakh di vonis 12 tahun dengan denda Rp500.000.000,00 subsidiair 6 bulan sedangkan M. Nazaruddin di vonis 7 tahun dengan denda Rp300.000.000,00 subsidair 6 bulan, ada kesenjangan putusan tersebut yang ingin penulis teliti sehingga nantinya dapat dijadikan suatu penulisan ilmiah.

  Penelitian ini di fokuskan pada kesenjangan (disparitas) putusan hakim antara Terpidana Angelina Patricia Pingkan Sondakh dalam studi putusan (No. 1616 K/Pid.Sus/2013) dan Terpidana M. Nazaruddin dalam studi putusan (No. 2223 K/Pid.Sus/2012). Melihat dari

  C. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap mereka yang bersama- sama melakukan tindak pidana (deelneming, Pasal 55,56 KUHP)

  B. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang beratnya dapat diperbandingkan

  A. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama.

  3

  A. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; B. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan C. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in

  perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum”. Disparitas pidana menurut Muladi dan Barda Nawawi

  91 2 http://blog.konsultasi-

  Pasal 28D Ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, 1 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm.

  Sebagaimana Menurut UUD 1945

  2 .

  yang selalu diperhatikan, yaitu Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit)

  ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”. Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem.

  abstracto”, sedangkan tahap kedua dan

1 Penegakan hukum memiliki tiga unsur

  pidana serta praktek pelaksanaan pidana tersebut. Terjadinya disparitas pemidanaan yang tidak dilandasi dasar atau alasan yang rasional dapat membawa dampak yang negatif bagi proses penegakan hukum yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.

  Harkristusi Harkrisnowo

  4

  mengatakan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori,yaitu:

  A. Disparitas antara tindak pidana yang sama B. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama

  C. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu mejelis hakim D. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

  Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan yang dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana. Wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan sesuai kode etik tanpa 4 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta: UII-Press, 2011, hlm. pandang bulu dengan tidak membeda- bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (Equality Before Law) dan hakim.

  Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia dan secara vertikal dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

  5 Sebuah doktrin hukum “Res Judicate Pro Veritate Hebetur”, yang artinya

  bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain. Doktrin hukum diatas menempatkan Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dipandang sebagai

  Extraordinary Crime yaitu Kejahatan

  yang luar biasa yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula.

  6 Korupsi merupakan masalah utama

  yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Meski pemerintah telah 5 Budi Rizki Husin & Rini Fathonah, Studi

  Lembaga Penegak Hukum, Lampung, 2014 hlm. 65 6 berupaya untuk memberantas korupsi, namun usaha tersebut masih jauh dari kata berhasil. Perlawanan balik koruptor telah membuat lembaga- lembaga tersebut gagal untuk menjalankan fungsinya dan pada akhirnya jatuh bertumbangan. Kasus korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin terjadi kesenjangan putusan 5 tahun, sebagaimana amar putusan Mahkamah Agung No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012. Permasalahan tersebut, mereka memiliki peran masing masing dalam melakukan Tindak Pidana Korupsi kasus Hambalang (Wisma Atlet). Angelina Sondakh merupakan Anggota Badan Anggaran dan Koordinator Pokja Anggaran Komisi

  X DPR RI dan M. Nazaruddin merupakan pemilik Permai Grup dan juga Anggota Badan Anggaran DPR RI. M. Nazaruddin telah melakukan pertemuan dengan beberapa anggota komisi X DPR RI, Sesmenpora dan Menpora untuk melakukan pengaturan supaya Anggaran Proyek Wisma Atlet dapat di setujui oleh Badan Anggaran DPR RI. M. Nazaruddin sebagai pemilik Permai Grup, telah memberikan uang kepada Angelina Sondakh dengan bayaran 5% dari total Proyek Wisma Atlet. M. Nazaruddin bukan merupakan anggota dari komisi

  X DPR RI, tetapi ia merupakan teman satu partai politik dengan Angelina Sondakh. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Analisis Disparitas Putusan Hakim dalam Tindak Pidana

  Kasus Putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012 ) Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: A. Mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana

  Korupsi dalam kasus Wisma Atlet?

  B. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet?

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan penelitian kepustakaan yang memperoleh data sekunder yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen- dokumen resmi dan lain-lain. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang meliputi hasil penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara kepada para narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

  II. PEMBAHASAN

  A. Disparitas Putusan dalam Tindak Pidana Korupsi Kasus Wisma Atlet

  Disparitas pemidanaan yang tidak dilandasi dasar atau alasan yang rasional dapat membawa dampak yang yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.

  Menurut Eddy Rifai

  7

  , Adanya suatu perbedaan dalam suatu putusan didasari oleh adanya perbedaan dakwaan dan terbuktinya suatu dakwaan tersebut. Dalam Tindak Pidana Korupsi Kasus Wisma Atlet, setiap pasal yang didakwakan memiliki ancaman pidana yang berbeda dengan batas minimum dan maksimum yang berbeda sehingga menimbulkan adanya disparitas.

  Penerapan hukum pidana terdapat pidana minimal dan pidana maksimal yang mana keduanya sudah terdapat ketentuan masing-masing sesuai undang-undangnya. pidana minimal adalah ketentuan dimana batas minimal Hakim dalam memutus perkara berdasar undang-undang dan mempertimbangkan tuntutan jaksa. Pengaturan antara pidana maksimum dan minimum yang jauh memberikan keleluasan hakim dalam memutus suatu perkara.

  8 Pasal 1 poin ke 8 dan 9 KUHAP

  ditegaskan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili yaitu serangkaian 7 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan

  Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung 8 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Maroni, responden dari Dosen

  tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdsarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak didalam sidang pengadilan.

  Eddy Rifai

  9

  berpendapat bahwa terjadinya disparitas pidana dalam memutus suatu perkara termasuk kasus wisma atlet ialah dapat dilihat dari kedudukan pelaku. Siapakah menjadi pelaku utama dalam kasus tersebut atau turut serta dalam suatu tindak pidana. Menurut Maroni

  10 Faktor

  pelaku juga ikut mempengaruhi berat ringannya suatu putusan, pelaku pemula dan profesional menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana dalam Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet dalam Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2223 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 adalah faktor hukum dan faktor hakim.

  1. Faktor Hukum Mengenai lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi “(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara 9 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan

  Responden Eddy Rifai responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung 10 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Maroni, responden dari Dosen selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidupdan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalah hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52. (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.” Pasal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum pidana penjara adalah paling sedikit satu hari dan paling lama dua puluh tahun kecuali apabila hakim memilih pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara seumur hidup, maka pidana seumur hidup dapat dijatuhkan. Tetapi dalam KUHP juga dalam setiap rumusan pasal demi pasal terdapat maksimum khusus pidana penjara untuk masing- masing tindak pidana.

2. Faktor yang bersumber dari diri

  Hakim Peranan hakim dalam sidang pengadilan adalah mencari kebenaran materiil tanpa meninggalkan kebenaran formilnya dari suatu tindak pidana dan menentukan salah satu atau tidaknya terdakwa, sehingga dengan adanya peranan hakim ini dapat terciptanya kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya adil. Hakim bukan hanya memeriksa berkas perkara dan mendengarkan keterangan dari para pihak saja, sehingga kebenaran materiil dan kebenaran formil dari suatu perkara dapat ditemukan. Sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System) pidana menempati posisi sentral, hal ini disebabkan karena keputusan didalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas, baik yang menyangkut langsung terhadap pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas, lebih-lebih jika putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat. Hakim sebagai pejabat yang menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai faktor yang sangat menentukan terjadinya disparitas pidana. Terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana korupsi yang bersumber dari diri hakim disebabkan karena hakim didalam memeriksa suatu perkara khususnya perkara korupsi, menggunakan pertimbangan sebelum memutus perkara tersebut. Terjadinya perbedaan putusan didasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi- saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Perbedaan ancaman pidana dapat memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara.

  B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara Korupsi Kasus Wisma Atlet.

  Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur pada Pasal 24 dan Pasal 24A, Pasal tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pelaksaaan operasional kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud merupakan suatu kaidah yang berisi suatuhak, yaitu hak untuk menentukan hukum. Sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah yang mengandung maknda perkenaan atau kebolehan untuk bertindak.

  Motif melakukan suatu tindak pidana bisa menjadi hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, pada dasarnya Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin memiliki motif dalam melakukan suatu tindak pidana korupsi.

  korupsi dalam kasus Wisma Atlet dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing-masing secara sistematis sehingga kasus ini Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin memiliki perannya masing-masing.

  Hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga menjadi dasar berat ringannya suatu putusan. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan penting dicantumkan dalam suatu putusan karena pada dasarnya itu menjadi pertimbangan hakim yang bersifat NonYuridis.

  12

  Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung 12 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen

  Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi berbeda beda satu sama yang lainnya walaupun pasal yang dikenakan sama tetapi ada perbedaan kerugian yang ditimbulkan dan juga sebagaimana kerugian tersebut telah dinikmati atau belum sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mempertimbangkan aspek kerugian yang bersifat materiil maupun non materiil yang ditimbulkan terkait putusan M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh

  13 Penanggulangan korupsi di Indonesia,

  bukan semata-mata menjadi urusan pemerintah atau para penegak hukum, melainkan merupakan persoalan semua rakyat dan urusan bangsa. Peran serta masyarakat tertuang sangat jelas dalam rumusan pasal 41 Ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tndak pidana korupsi. Maroni berpendapat

11 Tindak pidana

  14

  bahwa opini masyarakat terhadap kasus M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh sangat mempengaruhi berat ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim, semakin banyak masyarakat berpendapat tentang suatu kasus maka semakin berat putusannya begitu juga sebaliknya. 13 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan

11 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan

  Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung 14 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Maroni, responden dari Dosen Memutus suatu perkara tidaklah Atlet harus mempertimbangkan mudah, hakim harus dituntut adil dan unsur yuridis, filosofis dan bijaksana. Undang-undang bukan sosiologis. Nilai kerugian yang hanya menjadi corong hukum dalam ditimbulkan oleh pelaku baik itu memutus suatu perkara. Hakim selain sifatnya materiil atau non materiil, menilai aspek yuridis, ia juga harus kedudukan pelaku dalam suatu melihat pada sistem hukum Indonesia tindak pidana, motif melakukan serta tuntutan perkembangan hukum suatu tindak pidana tersebut dan dalam masyarakat. Para hakim harus faktor masyarakat dalam peka melihat tipe budaya hukum, berpendapat atau memberikan keadaan sosial serta nilai-nilai yang opini dalam suatu tindak pidana, diakui dalam masyarakat yang khususnya dalam kasus Wisma bersangkutan. Hakim yang merdeka Atlet yang dilakukan oleh M. merupakan hakim yang melihat hati Nazaruddin dan Angelina Sondakh nurani masyarakat sehingga dapat dapat menjadi tolak ukur hakim terwujudnya cita-cita keadilan sosial. dalam menjatuhkan pidana.

DAFTAR PUSTAKA

III. SIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian dan

  A. Literatur

  pembahasan mengenai Disparitas Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana kasus Wisma Atlet sebagaimana Korupsi Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung No. 1616 Yogyakarta, UII-Press. K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012, maka dapat ditarik Husin, Budi Rizki dan Rini Fathonah, kesimpulan sebagai berikut: 2014, Studi Lembaga Penegak

  Hukum, Bandar Lampung.

  perbedaan putusan

  A. Terjadinya

  Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Teori-

  dalam Kasus M. Nazaruddin dan

  teori dan Kebijakan Pidana,

  Angelina Sondakh didasarkan Bandung, Alumni. terhadap dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta dalam

  • , 1992, Bunga Rampai persidangan berupa keterangan

  Hukum Pidana, Bandung,

  saksi-saksi, keterangan terdakwa Alumni. dan alat bukti lainnya. Dalam setiap pasal yang didakwakan dan

  B. Sumber Hukum

  terbukti pada persidangan memiliki Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang- perbedaan ancaman pidana, ada

  Undang Hukum Pidana (KUHP).

  batas minimum dan maksimum Jakarta: Sinar Grafika. sehingga memberikan keleluasaan

  Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang- hakim dalam memutus perkara.

  Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: Sinar Grafika.

  B. Pertimbangan hakim dalam kasus

  Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

  Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

  Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

A. Website:

  http://blog.konsultasi-skripsi.org

Dokumen yang terkait

PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus di Polda Metro Jaya) Desy Dwi Katrin, Diah Gustiniati, Rini Fathonah email: (desydwikatrinyahoo.co.id)

0 0 11

PELAKSANAAN SURAT EDARAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR: SE.8PSLB3PSPLB.052016 TENTANG PENGURANGAN SAMPAH PLASTIK MELALUI PENERAPAN KANTONG BELANJA PLASTIK SEKALI PAKAI TIDAK GRATIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG (Jurnal)

0 0 15

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFICKING) Windy Astria, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: windyastria11gmail.com, Erna Dewi, Eko Raharjo, Bagian Hukum Pidana Fa

0 0 13

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN ( Studi Putusan: No.202Pid.Sus2012PN.KTA ) Yogi Arsandi, Erna Dewi, Diah Gustiniati M. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univer

0 0 11

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

0 0 16

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA

0 0 9

PENEGAKAN HUKUM OLEH BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP AIR MINUM DALAM KEMASAN TANPA IZIN EDAR

1 2 23

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

0 0 12

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAM

0 0 8

ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB PROSTITUSI PADA ANAK

0 0 8