STUDI DESKRIPTIF KONSEP DIRI KORBAN GEMPA YANG MENJADI PENDERITA PARAPLEGIA

  

STUDI DESKRI PTI F KONSEP DI RI KORBAN GEM PA

YANG M ENJADI PENDERI TA PARAPLEGI A

  S k r i p s i Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Nama : Cyrillus Harry Setyawan

NIM : 029114126

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

<<<

á á

ha la m a n pe rse m ba ha n

dedicated to:

  

Bp. A.L Supardi

Ibu A. Mujiwati

Astrida Padma

  

M OT T O

Life is beautiful

  

H id u p la h s e ka ra n g u n tu k m a s a ya n g a ka n d a ta n g,

bu ka n u n tu k m a s a la lu

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

  Cyrillus Harry Setyawan

  

ABSTRAK

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan konsep diri korban gempa bumi di Yogyakarta, tanggal 27 Mei 2006, yang menjadi penderita paraplegia. Gempa bumi merupakan salah satu bentuk bencana pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi. Paraplegia adalah kecacatan fisik yang disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang, sehingga penderitanya akan mengalami kelumpuhan pada kaki dan bagian bawah tubuhnya. Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang tersebut.

  Penelitian ini mengambil 4 (empat) orang responden, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan tes grafis (tes BAUM, DAP dan HTP). Teknik wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara. Teknik observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan cara anecdotal. Analisis data penelitian bersifat deskriptif.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korban gempa yang menjadi penderita paraplegia memiliki konsep diri negatif. Subyek belum mampu menerima kondisi kelumpuhannya sehingga sering mengeluhkan akibat fisik yang ditimbulkan. Subyek juga merasa pesimis untuk kembali mampu bekerja. Kondisi paraplegia mengakibatkan gangguan fungsi seksual sehingga para subyek merasa tidak percaya diri dan rendah diri terhadap pasangan mereka. Subyek masih mengalami trauma terhadap gempa sebagai salah satu gejala Acute Stress Disorder (ASD). Kata kunci : konsep diri, gempa, paraplegia .

  

ABSTRACT

  The aim of this qualitative research is describing self concept of an

  th

  earthquake victims at Yogyakarta, on May 27 , 2006. Subjects of this research is focused on an earthquake victims which become a paraplegia sufferer. Earthquake is kind of disasters which cause some detriment and suffers for human and environment or ecology. Paraplegia is physical defect which is caused by spinal cord injure, and the sufferers will have some paralysis on the bottom area of their body or on their legs. Self concept is defined as people’s look frame of their self (how people describe their self), which are gotten from interaction with others who have an important means in their life.

  Subjects of this research are four respondent, two paraplegia men and two paraplegia women. Method of research used some technical of interview, observation, and graphic test (Draw A Tree, Draw A Person, and House-Tree-Person). Interview technique didn’t structured with some interview guide. Instead, observation technique were done by two observer with anecdotal technique. Data analysis is descriptively.

  Research’s result showed that an earthquake victims which become a paraplegia sufferers have negative self concepts. Subjects haven’t been accepted their paralysis condition yet, and often complains sickness which are raised. Subjects also felt pesimist to work back. Paraplegia condition caused some sexual function disorder, and they felt unconfident to be with their couple. Subjects still have some earthquake’s trauma as one of Acute Stress Disorder (ASD) symptom.

  Key words: self concept, eartquake, paraplegia

KATA PENGANTAR

  Puji syukur dan kemuliaan sepanjang masa penulis haturkan kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus atas segenap penyertaannya dalam sepanjang perjalanan hidup ini, teristimewa atas bimbingannya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ini.

  Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut serta memiliki andil sehingga terealisasikannya karya tulis ini, yaitu:

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas bimbingan dan motivasinya.

  2. Agustinus Vembrianta, S.Psi., peranmu sungguh besar sahabat. Tak akan kulupa sepanjang hidupku.

  3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., MSi., yang telah membantu dalam analisis tes grafis.

  4. Bu Yuni, Pak Supardi, Mas Hari, Bu Haryani. Matur nuwun atas keterbukaan dan waktunya.

  5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas segenap transfer ilmu selama masa pendidikan. Secara khusus saya haturkan terima kasih kepada Ibu A. Tanti Arini, M.Si. dan Bpk. YB. Cahyo Widiyanto, S.Psi. sebagai dosen penguji.

  6. Eka, mo kasih yo boleh pinjem komputernyo.

  7. Teman-teman di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta : Mbak Tia, Lia Alva, Mbak Lia, Lisna, Bona, Aan, Wawan, Vinsen. Juga yang sudah di tempat lain: Ike dan Pati.

  8. Teman-teman yang turut memberi masukan dan motivasi: Sius, Hani, Obeth, Devy, Dody (Wake up friend, everything is not perfect).

  9. Seluruh anggota komunitas Lektor Kotabaru, terutama Pijé,   Tata, Bertus, Viranty, Herman,dll terima kasih atas segenap perhatian dan motivasinya.

  Penulis menyadari sepenuhnya atas segala kelemahan dan kekurangan dalam karya tulis ini.Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang embangun dari para pembaca.

  Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi banyak pihak yang membutuhkan informasi yang serupa. Terima kasih.

  Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

  Cyrillus Harry Setyawan

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………..iii HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………………...iv HALAMAN MOTTO……………………………………………………………………v LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………………..vii ABSTRAK...…..………………………………………………………………………viii ABSTRACT………………………………………………………………………….....ix KATA PENGANTAR………………………………………………………………..….x DAFTAR ISI………………………………………………………………………...…xii DAFTAR TABEL……………………………………………………………………...xv DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................................xvi

  BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………1 A. Latar Belakang Permasalahan………………………………………....…..1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………….6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………………...…6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...…………………………………………………….8

  1. Pengertian Konsep Diri……………………………………………….8

  2. Terbentuknya Konsep Diri………..…………………………………11

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perkembangan Konsep Diri…………………………………………………………..13

  4. Jenis-jenis Konsep Diri……………………………………………....18

  5. Aspek-aspek Konsep Diri…………………………………………....21

  B. Paraplegia………………………………………………………...………21

  1. Definisi Paraplegia…………………………………...……………...21

  2. Tingkat atau Level Paraplegia………………………….……………23

  3. Jenis-jenis Paraplegia…………………………………….………….24

  4. Akibat Paraplegia……………………………………………………25

  C. Bencana Gempa………………………………………………………….30

  1. Pengertian Bencana………………………………………...………..30

  2. Dampak Bencana……………………………………….……………31

  D. Konsep Diri Korban Gempa yang Menjadi Penderita Paraplegia…….....34

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………………………..39 A. Jenis Penelitian…………………………………………………………...39 B. Identifikasi Variabel……………………………………………………...39 C. Subyek Penelitian………………………………………………………..40 D. Metode Pengumpulan Data………………………………………………41 E. Keabsahan Data Penelitian………………………………………………48

  G. Prosedur Penelitian……………………………………...……………….52

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………………..55 A. HASIL PENELITIAN…………………………………………………...55 B. PEMBAHASAN…………………………………………………….…130

  1. Aspek Fisik…………………………………………………………130

  2. Aspek Psikis…………………………………………………...…...132

  3. Aspek Sosial………………………………………………………..136

  4. Aspek Moral………………………...……………………………...139

  5. Dinamika Akhir Konsep Diri Korban Gempa yang Menjadi Penderita Paraplegia…………………………………………….….140

  BAB V. PENUTUP DAN SARAN……………………….…………………………146 A. PENUTUP……………………………………………………………...146 B. SARAN…………………………………………………………………148 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………150 LAMPIRAN……………………………………………………………………...…...151

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel III.1. Pedoman Wawancara…………………………..………………………….42 Tabel III.2. Pedoman Observasi…….………………………………………………….46 Tabel III.3. Kode dalam Wawancara…………………………………………………..51

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman Tes Grafis.......................................................................................................................153 Surat Penelitian..............................................................................................................169

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Permasalahan Bencana alam membawa berbagai dampak atau akibat yang sifatnya

  merugikan bagi para korban dan lingkungannya. Beberapa organisasi dunia, yaitu UNHCR, WHO dan Badan Koordinasi Nasional PBB, mengungkapkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006). Peristiwa gempa pada tanggal 27 Mei 2006 merupakan salah satu bencana yang terjadi di wilayah Indonesia ini, yaitu dengan pusat gempa di daerah Bantul, DI Yogyakarta (Kompas, 28 Mei 2006). Berdasarkan data dari Satuan Koordinasi Pelaksana Bencana DI Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 2006 menunjukkan bahwa terdapat korban meninggal 5.778 jiwa serta luka-luka ringan dan berat mencapai 37.903 jiwa yang berada dalam wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, sedangkan bangunan rusak berat dan roboh mencapai lebih dari 134.588 bangunan (Satkorlak Bencana, 2006). Crisis Center Fakultas psikologi UGM (2006) menjelaskan bahwa bencana akan membawa dampak secara fisik, sosial, ekonomi dan psikologis.

  Selain kematian, kerusakan lingkungan dan infrastruktur, dampak fisik bencana gempa ini juga mengakibatkan bertambahnya penyandang cacat tubuh. Pemerintah DI Yogyakarta mencatat bahwa ada lebih dari 500 korban gempa mengalami kelumpuhan di wilayah Bantul (Kedaulatan Rakyat, 19 Juli 2007).

  Sedangkan Dr. dr. Sunartini, SPA (2007) dari Fakultas Kedokteran UGM mengungkapkan bahwa dari lebih 1500 korban gempa yang mengalami kecacatan terdapat sekitar 300 orang mengalami kecacatan permanen. Para korban mengalami cacat tubuh akibat tertimpa runtuhan bangunan ketika ingin menyelamatkan diri pada saat gempa terjadi.

  Penyandang cacat tubuh atau fisik yang mengalami kelumpuhan disebut juga penderita paraplegia. Penderita paraplegia akan mengalami kelumpuhan atau kelayuan (plegia) pada kedua belah tungkainya sebagai akibat dari adanya trauma pada medulla spinalis (sumsum tulang belakang) karena berbagai penyebab, seperti jatuh dari pohon, tertimpa benda keras, tabrakan atau karena pengalaman-pengalaman traumatik lainnya (Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1970). Korban gempa yang menjadi penderita paraplegia umumnya mengalami patah tulang belakang akibat tertimpa runtuhan bangunan. Penderita paraplegia akan mengalami kelumpuhan tubuh pada bagian bawah (Noback, 1982 dan Mardjono, 1997).

  Dampak fisik gempa tersebut juga berpengaruh terhadap timbulnya dampak sosial, ekonomi dan psikologis. Orang yang mengalami bencana atau menjadi korban cenderung akan memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006). Para korban bencana akan menghadapi beban yang sangat berat sehingga dapat mengubah pandangan mereka terhadap kehidupan dan mengalami tekanan secara psikis atau pada jiwa mereka. Hal ini terjadi karena para korban berhadapan dengan adanya kematian, perpisahan, pengisoliran, dan kehilangan yang lainnya. Kondisi ini tentu akan lebih berat bagi para korban yang mengalamai kecacatan, apalagi hingga lumpuh. Kondisi fisik atau tubuh yang tidak lagi mampu untuk berdiri tegak dan berjalan dengan kakinya tentu akan membawa beban psikologis yang makin memberatkan. Secara sosial bencana akan membawa para korban pada pola hubungan sosial yang berubah dan juga membawa dampak ekonomi karena banyak individu yang kehilangan status sosial, posisi, dan peran dalam masyarakat.

  Para penderita paraplegia, seperti para penderita cacat yang lainnya, tentu akan mempunyai masalah ketika berhadapan sebagai bagian suatu masyarakat.

  Penderita paraplegia tentu akan mengalami masalah-masalah baru dan bahkan lebih kompleks jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kelumpuhan.

  Secara umum penderita permasalahan yang dihadapi oleh penderita paraplegia meliputi masalah pribadi yang berhubungan dengan jasmani dan rohani, masalah sosial yang menyangkut keluarga, pekerjaan, ekonomi dan kesejahteraan, serta beberapa permasalahan lainnya (Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1970).

  Dalam kaitannya dengan permasalahan pribadi, para penderita paraplegia tentu mengalami perubahan dalam aktivitas dan rutinitas sehari-hari. Keadaan sebelum mengalami kecacatan dan pada saat mengalami kecacatan tentu sangat berbeda. Keadaan yang berbeda tersebut membawa perubahan yang sangat besar bagi para penderitanya, dan perubahan tersebut berupa permasalahan yang sangat kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Penderita paraplegia akan menjalani kehidupannya dalam suatu rutinitas, dimana ada banyak hal yang harus dilakukan dalam waktu-waktu tertentu seperti waktu buang air besar dan air kecil, yang kemungkinan besar akan membuat bosan dan tertekan. Hal yang jelas adalah menyangkut mobilitas dan akses yang makin terbatas bagi penderita paraplegia. Para penderita paraplegia akan mengalami kesulitan dalam bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari.

  Secara sosial para penderita juga akan mengalami hambatan-hambatan Mobilitas yang terbatas akan membawa pada keterbatasan penderita paraplegia dalam mencari nafkah. Hal ini mempengaruhi pada produktivitas pada penderita paraplegia, terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pribadi dan atau bagi yang telah berkeluarga untuk kebutuhan keluarga. Ada kecenderungan penderita paraplegia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap keluarga atau lingkungan sekitarnya karena keterbatasannya tersebut.

  Fallon (1985) mengungkapkan bahwa akibat rusaknya tulang belakang akan membawa pengaruh terhadap tubuh penderita paraplegia. Selain tidak dapat merasakan tekanan dan tidak dapat menggerakkan bagian tubuh yang lumpuh, tubuh penderita paraplegia juga mengalami kondisi tidak terkontrol lainnya. Penderita tidak dapat merasakan reaksi ketika akan buang air besar dan buang air kecil. Secara seksuallitas juga terjadi perubahan, yaitu wanita akan mengalami gangguan pada menstruasinya sehingga bisa saja datang lebih awal atau terlambat, bahkan kemungkinan besar tidak dapat merasakan sensasi ketika melakukan hubungan seks.

  Sedangkan pada laki-laki kemungkinan besar juga tidak mampu lagi untuk ereksi.

  Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melihat konsep diri korban gempa yang menjadi penderita paraplegia. Konsep diri seseorang terbentuk dari berbagai pengalaman yang dialami sepanjang hidup. Pengalaman menjadi korban gempa dan menjadi penderita paraplegia merupakan suatu pengalaman yang sangat berarti individu yang mengalaminya. Shavelson (dalam Pikunas, 1976) mengungkapkan bahwa konsep diri terbentuk dari pengalaman dengan lingkungan, interaksi dengan orang-orang yang memiliki arti dan atribusi perilaku seseorang. Menurut Hurlock (1992) konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri Gambaran ini merupakan gabungan keyakinan yang dimiliki diri sendiri yang mencakup citra fisik dan citra psikologis. Citra fisik berkaitan dengan penampilan seseorang, daya tariknya dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya dan berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri di hadapan orang lain. Sedangkan citra psikologis mencakup pikiran, perasaan dan emosi yang terdiri atas kualitas dan kemampuan mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, kepercayaan diri, dan berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Rogers (dalam Burns, 1999) menambahkan bahwa, selain menunjuk pada bagaimana cara seseorang memandang dan merasakan dirinya, konsep diri juga mengarah pada bagaimana seseorang mengendalikan dan mengintegrasikan tingkah lakunya. Maka konsep diri juga menjadi penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungannya Korban gempa yang menjadi penderita paraplegia telah mengalami perubahan secara fisik yang bersifat permanen dan terjadi dalam suatu peristiwa yang tidak terduga. Pada awalnya, sebelum gempa terjadi, seluruh bagian tubuh dapat bekerja secara baik tapi setelah gempa terjadi dan mengalami patah tulang belakang mengakibatkan bagian tubuh bagian bawah tidak dapat digerakkan dan mengalami kelumpuhan sehingga berakibat pula ada perubahan fisik lainnya seperti tersebut di atas. Kondisi ini tentu akan berpengaruh secara psikologis, yang menyangkut pikiran, perasaaan,emosi, harga diri, kepercayaan diri, dan lain-lainnya. Para penderita paraplegia korban gempa mengalami perubahan fisik dan sosial ke arah negatif sebab terjadinya kelumpuhan tersebut. Hal tersebut tentu akan berpengaruh pada perkembangan konsep dirinya karena banyaknya hambatan dan keterbatasan yang dialaminya.

B. Rumusan Masalah

  Bagaimana gambaran konsep diri para korban gempa yang menjadi penderita paraplegia?

C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan konsep diri para korban gempa yang menjadi penderita paraplegia

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang psikologi yaitu psikoterapi dan psikologi kepribadian

  2. Manfaat praktis

  a. Untuk Praktisi Psikologi Memberi gambaran tentang diri penderita paraplegia akibat gempa sehingga dapat berperan lebih baik dalam proses pendampingan psikologis bagi mereka b. Untuk Umum

  Memberi gambaran tentang diri penderita paraplegia, secara khusus akibat gempa, terutama berbagai hal yang memberi hambatan dan gangguan sehingga dapat turut serta memberi peran dalam proses pengembangan diri mereka c. Untuk Korban Gempa yang Menderita Paraplegia Memberi gambaran umum mengenai diri mereka sendiri sehingga dapat membantu dalam upaya memperbaiki tingkah laku menjadi lebih positif.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Diri

  1. Pengertian Konsep Diri Hurlock (1992) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Gambaran tersebut sebagai suatu kesatuan yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri yang mencakup citra fisik diri dan citra psikologi diri. Citra fisik terbentuk berkaitan dengan penampilan fisik seseorang, daya tariknya, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya dan berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri seseorang di hadapan orang lain. Sedangkan citra psikologis adalah perasaan, pikiran dan emosi yang terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, kepercayaan diri dan berbagai jenis aspirasi serta kemampuan.

  Burns (Metcalfe dalam Pudjijogyanti, 1985) juga mengungkapkan bahwa konsep diri adalah hubungan sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.

  Pada bagian lain Cawagas (dalam Pudjijogyanti, 1985) berpendapat bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi, karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian, kegagalan, dan lain sebagainya. Penjelasan Brooks (dalam Rakhmat, 1999) tentang konsep diri adalah keseluruhan pandangan individu terhadap keadaan fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh dari pengalaman interaksi dengan orang lain. Jadi konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri.

  Konsep diri dapat pula didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri (Grinder dalam Rakhmat, 1999). Persepsi tersebut terbentuk melalui penarikan kesimpulan dari pengalamannya dan secara khusus dipengaruhi oleh reward dan punishment yang berarti dalam kehidupan orang yang bersangkutan. Seorang individu akan memandang diri dirinya meliputi fisik, jenis kelamin, kognisi sosial, pekerjaan, motivasi, tujuan atau emosi dalam rangka melakukan persepi tersebut.

  Scheneider & Furhann (dalam Pikunas, 1976) mengungkapkan bahwa konsep diri digunakan untuk mengevaluasi persepsi pada diri individu yang bersangkutan. Konsep diri juga dapat membantu seseorang dalam melakukan interaksi sosial. Konsep diri pada akhirnya sebagai kualitas organisasi yang merupakan penggambaran seseorang sebagai individu (Kinch dkk, dalam Pikunas, 1976). Keseluruhan persepsi mengenai kualitas, kemampuan, impuls dan sikap-sikap seseorang atau juga ke seluruhan persepsi tentang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain akan diterima di dalam konsep kesadaran yang diorganisir oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri seseorang terbentuk tidak lepas pengalamannya selama hidup.

  Menurut Shavelson (dalam Pikunas, 1976) konsep diri terbentuk dari pengalaman dengan lingkungan, interaksi dengan orang-orang yang memiliki arti dan atribusi perilaku seseorang. Konsep diri menurut Grinder dapat digunakan sebagai bukti atau dasar dalam melakukan tindakan oleh orang yang bersangkutan.

  Menurut Mead (dalam Burns, 1999) konsep diri merupakan hasil perhatian individu yang berupa perkiraan-perkiraan mengenai lingkungan dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap yang bersangkutan. Seseorang dapat mengantisipasi agar perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan bila memahami lingkungannya. Maka konsep diri juga menjadi penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungannya. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Rogers (dalam Burns, 1999) bahwa konsep diri selain menunjuk pada bagaimana cara seseorang memandang dan merasakan dirinya juga mengarah pada bagaimana seseorang mengendalikan dan mengintegrasikan tingkah lakunya.

  Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang tersebut. Konsep diri juga digunakan seseorang untuk melakukan evaluasi persepsi terhadap dirinya sendiri dan sebagai sarana untuk mengembangkan hubungan dengan orang lain.

  2. Terbentuknya Konsep Diri Konsep diri tumbuh melalui proses internalisasi pengalaman psikologis.

  Individu akan melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya dan refleksi terhadap dirinya sendiri atas reaksi dan perilaku orang lain yang berpengaruh sehingga membentuk pengalaman tersebut. Konsep diri timbul dari interaksi sosial dengan orang-orang lain dan konsep tentang diri pun menuntun bagi individu untuk bertingkah laku. Maka konsep diri merupakan hasil pengalaman belajar dan bukan pembawaan sejak lahir sehingga akan berkembang secara bertahap sebagai hasil pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman (Burns, 1993).

  Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Raimy (dalam Burns, 1993), dimana konsep diri sebagai sesuatu yang dipelajari. Konsep diri seseorang merupakan keterlibatan yang memiliki pola dan bersifat gestalt, sebagai suatu percampuran-percampuran konsep-konsep tersendiri mengenai individu yang bersangkutan. Konsep diri seseorang ini merupakan dirinya sendiri dari titik pandangnya sendiri.

  Individu mulai belajar mengenal berbagai perasaan, sikap dan nilai-nilai dalam kontak dengan orang-orang terdekat, seperti dengan orang tua, teman sebaya, dan sanak saudara (Hurlock, 1992). Konsep-konsep positif tentang dirinya akan dikembangkan oleh individu jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dan pengalaman-pengalaman awal terbebas dari tekanan traumatik. Namun hal yang sebaliknya akan terjadi, yaitu pengembangan konsep-konsep negatif tentang diri, apabila terjadi penolakan dan diremehkan sehingga mengakibatkan munculnya perasaaan kurang dihargai, tidak menyenangkan dan tidak berguna. Dengan demikian, konsep diri positif atau negatif tidak terbentuk secara otomatis, melainkan melalui pengalaman-pengalaman belajar.

  Pembentukan konsep diri menurut Sullivan (dalam Hall dan Linzey, 1993) merupakan hasil hubungan antar manusia dengan ibu yang terjadi sejak individu masih kecil. Anak akan belajar memahami bagaimana harapan orang tua terhadapnya untuk berperilaku tertentu dan untuk menjauhi perilaku yang lain, melalui hukuman dan pujian yang diterimanya. Hal tersebut dilakukan oleh anak untuk menghindari kecemasan dan merupakan usaha untuk memenuhi rasa aman. Sullivan pun mendefinisikan konsep diri (dalam Burns, 1993) sebagai suatu pemahaman diri yang diperoleh individu untuk meminimalkan kesalahan dalam berperilaku yang mungkin dilakukannya sehingga menimbulkan kecemasan dan rasa tidak aman.

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perkembangan Konsep Diri Konsep diri individu berkembang dengan dipengaruhi banyak faktor tertentu. Menurut Hurlock (1992) perkembangan konsep diri dipengaruhi beberapa faktor, antara lain : cacat tubuh, bentuk tubuh, nama, julukan, emosi, status sosial keluarga, emosi, intelegensi, jenis sekolah dan teman bergaul atau tokoh “signifikan” dalam hidup (significant others), dan lain- lain. Pengaruh masing-masing faktor tergantung dari perasaan yang dialami oleh individu yang bersangkutan sesuai dengan faktor yang dimilikinya. Apabila individu yang bersangkutan memiliki perasaan bangga atau senang maka faktor tersebut membawa pengaruh positif bagi individu tersebut.

  Fitts mengemukakan lima faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut: a. Diri Fisik (Physical Self)

  Penilaian diri sendiri oleh seorang individu dilihat dari segi fisik akan dipengaruhi oleh kesehatan, penampilan luar dan gerakan motoriknya.

  Penilaian yang positif terhadap keadaan fisik seseorang, baik oleh diri sendiri maupun dari orang lain, akan mempengaruhi pembentukan perkembangan ke arah positif. Sebaliknya, penilaian negatif terhadap segi fisik akan mengarah pada pembentukan perkembangan yang negatif pula.

  Pendapat tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Burns (1993) bahwa penilaian terhadap keadaan fisik seseorang secara positif, baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, akan sangat membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Penilaian positif akan menumbuhkan rasa puas terhadap diri sehingga individu mampu menerima dirinya sendiri dan meningkatkan harga dirinya. Harga diri merupakan nilai yang diberikan oleh individu terhadap dirinya. Sedangkan pandangan negatif terhadap fisik akan mengakibatkan individu sulit untuk menerima dirinya, minder atau rendah diri dan kurang percaya diri. Kepercayaan diri adalah perasaan yakin yang dimiliki individu terhadap kemampuan dan segala sesuatu yang terdapat dalam dirinya, termasuk daya tarik fisik.

  b. Diri Pribadi Pandangan terhadap diri pribadi akan memberi pengaruh terhadap perkembangan konsep diri individu. Pandangan yang positif terhadap diri sendiri akan membuat individu lebih mudah dalam menerima keberadaan dirinya, dimana individu tersebut tidak merasa malu dan takut untuk mengungkapkan diri pribadinya, baik kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sebaliknya, individu yang memiliki pandangan rendah terhadap dirinya sendiri akan mengalami kesulitan untuk menerima dirinya sendiri dan orang lain serta memiliki rasa takut. Rogers (dalam Hall dan Linzey, 1993) memperkuat pendapat tersebut, bahwa penilaian yang positif terhadap diri melalui berbagai bentuk sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan sehingga individu akan menghormati, menerima dan menghargai diri sendiri sehingga akan membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Hal yang sebaliknya akan terjadi, yaitu individu akan merasa tertekan, tidak akan menyenangi, tidak dapat menghargai dan tidak menerima dirinya sendiri apabila memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sendiri akibat menerima ejekan, cemoohan, kritikan dan telalu banyak menuntut sehingga perkembangan konsep dirinya akan cenderung negatif.

  c. Diri Keluarga (Family Self) Keluarga merupakan lingkungan pertama yang menanggapi perilaku individu, baik orang tua, saudara kandung, atau orang lain yang tinggal satu atap dengan individu (Burns, 1993). Stoot (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa adanya penerimaan, rasa saling percaya dan kecocokan antara orang tua dan anak, pemberian kebebasan untuk berkembang, pemberian batasan perilaku yang tegas, pengajaran tentang kemandirian yang terdapat dalam pola asuh anak dalam keluarga akan membawa anak lebih baik dalam kemampuan penyesuaian diri, kemandirian, dan lebih memiliki pandangan positif mengenai diri mereka. Hal ini akan membawa pada konsep diri yang positif. Sedangkan anak yang terlalu dimanja dan dilindungi akan menjadi pribadi yang tergantung dan kurang memiliki kepercayaan diri sehingga membawa pada konsep diri yang negatif. Hasil interaksi antara individu dengan keluarga akan memberi pengalaman kepada anak tentang bagaimana keberadaannya di dalam keluarga, bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga.

  d. Diri Etika Moral (Moral Ethical Self)

  Moral ethical self adalah perasaan mengenai hubungan individu dengan

  Tuhan, tentang bagaimana pandangan hidup dan penilaian terhadap benar dan salah serta baik dan buruk. Hurlock (1992) mengemukakan bahwa individu yang memiliki etika moral yang matang akan mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga bila tidak memenuhi harapan sosial maka individu tersebut tidak akan merasa bersalah terhadap perilakunya, mampu memilih dan menentukan perilaku yang diinginkan. Sebaliknya, individu akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya terhadap standar-standar moral yang telah ditetapkan oleh lingkungan dan penerimaan dirinya menjadi rendah apabila tidak memiliki etika moral yang matang e. Lingkungan Sosial (Social Self)

  Faktor sosial juga mempengaruhi perkembangan konsep diri. Interaksi dengan individu lain di sekitarnya mempengaruhi konsep diri seorang individu. Konsep diri dipengaruhi oleh persepsi individu lain terhadap individu tersebut. Seorang individu dengan status sosial yang tinggi akan memiliki konsep diri yang tinggi. Sedangkan individu dengan status sosial yang rendah akan memiliki konsep diri yang rendah. Konsep diri juga dipengaruh oleh kelompok, ras, atau golongan. Terdapat asumsi bahwa kelompok minoritas akan memiliki konsep diri yang rendah. Prasangka sosial yang terdapat dalam masyarakat yang menganggap bahwa kelompok minoritas sebagai kelompok individu yang memiliki kemampuan yang rendah mempengaruhi asumsi tersebut (Rosenberg dalam Pudjijogyanti, 1985). Faktor lingkungan, yaitu bagaimana reaksi orang lain terhadap diri seorang individu atau terhadap tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas prestasi yang dicapai atau pun berbagai hukuman atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan akan membentuk konsep tentang dirinya.

  Sedangkan Calhoun dan Acocella (dalam Mathilda, 2004) mengemukakan bahwa konsep diri dipengaruhi beberapa faktor berikut: a. Perluasan perasaan diri, yaitu pengembangan yang dilakukan individu terhadap seluruh kemampuan yang dimiliki, baik kognitif, afektif, dan perilaku

  b. Hubungan interpersonal, yaitu interaksi yang dilakukan oleh individu terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya c. Kestabilan emosi, yaitu ekspresi perasaan yang dapat disalurkan secara proporsional oleh individu d. Pandangan realistik, penilaian yang dilakukan secara efektif oleh individu terhadap suatu permasalahan e. Keterampilan dan tugas, yaitu kemampuan yang dimiliki individu dalam menyelesaikan pekerjaan atau tanggung jawab yang dibebankan kepada dirinya

  f. Pemahaman diri, yaitu kesadaran yang dimiliki individu akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dirinya dan mengenal dirinya yang sebenarnya

  g. Tujuan jangka panjang, yaitu harapan atau cita-cita individu yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu

  4. Jenis-jenis Konsep Diri Konsep diri pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan negatif, atau dapat disebut juga sebagai konsep diri tinggi dan rendah. Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama.

  a. Konsep diri positif Identifikasi individu dengan konsep diri yang positif menurut Brooks dan Emmert (dalam Rukyat, 1999) sebagai berikut: 1) yakin mampu untuk mengatasi masalah 2) merasa setara dengn orang lain 3) mampu memperbaiki diri

  4) menerima pujian tanpa rasa malu 5) menyadari bahwa setiap individu memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat sekitar

  Adler dan kawan-kawan (dalam Trefina, 1990) juga melakukan identifikasi terhadap kedua jenis konsep diri tersebut. Beberapa elemen yang terdapat dalam konsep diri positif adalah: 1) rasa aman, bentuk kepercayaan yang kuat terhadap suatu kebenaran perbuatan dan nilai-nilai yang dimiliki individu,kepercayaan tersebut berhubungan dengan kepercayaan yang relatif kebal terhadap penilaian orang lain

  2) penerimaan diri, yaitu seorang individu yang mampu utuk menerima segala sesuatu yang ada dalam dirinya, pada umumnya dapat mengubah pandangan mereka sehingga menjadi lebih mudah untuk menerima pendapat dan perasaan orang lain serta lebih terbuka

  3) harga diri, individu yang memiliki harga diri yang tinggi biasanya mempunyai popularitas, tidak nervous, tidak inferior, dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat

  b. Konsep diri negatif Individu yang memiliki konsep diri negatif menurut Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 1999) mempunyai tanda-tanda antara lain:

  1) responsif sekali terhadap pujian 2) peka terhadap kritik 3) cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan bersikap pesimis terhadap kompetisi, yang terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi

  Sedangkan elemen yang terdapat dalam konsep diri negatif menurut Adler kawan-kawan (dalam Trefina, 1990) adalah sebagai berikut: 1) adanya perasaan tidak aman karena tidak memiliki kepercayaan diri sehingga selalu khawatir terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya 2) kurangnya penerimaan diri, individu yang harga dirinya rendah biasanya tidak popular, nervous, inferior dan tidak percaya diri

  Berdasarkan uraian tentang jenis konsep diri di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang positif memiliki kepercayaan diri, penerimaan diri yang baik, optimis, harga diri yang tinggi, dan adanya perasaan aman. Sebaliknya sifat khas yang dimiliki individu dengan konsep diri yang negatif adalah tidak percaya diri, penerimaan diri yang kurang, pesimis, harga diri yang rendah, tidak aman dan peka terhadap kritikan.

  5. Aspek-aspek Konsep Diri Individu dapat melakukan penilaian terhadap “diri”nya untuk mengerti konsep diri yang dimilikinya (Berzonsky, 1983). Penilaian tersebut meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

  a. Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, pakaian,benda miliknya.

  b. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri, misal: saya merasa yakin dengan kemampuan yang saya miliki.

  c. Aspek sosial, meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu dan penilaian individu terhadap peranan tersebut, misal: saya sering membantu teman-teman dalam mengerjakan tugas.

  d. Aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu, misal: menegakkan kebenaran dan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.

B. Paraplegia

  1. Definisi Paraplegia Paraplegia merupakan salah satu bentuk kecacatan. Istilah paraplegia masih cukup asing bagi sebagian besar dari kita. Namun beberapa tokoh telah menjelaskan mengenai paraplegia. Fallon (1985) mengatakan bahwa seorang paraplegia adalah orang yang kakinya dan bagian batang tubuhnya lumpuh sebagai akibat dari kerusakan atau penyakit sumsum tulang belakang. Fallon (1985) juga menjelaskan bahwa paraplegia berarti bahwa sumsum tulang belakang lumpuh di bawah leher. Hal tersebut mengakibatkan gangguan pada informasi yang dikirimkan melalui syaraf-syaraf, baik untuk gerakan maupun untuk perasaan, bahkan gangguan tersebut mungkin penuh (informasi terhenti).

  Balai Penelitian dan Penunjauan Sosial (1970) juga memberi pengertian tentang paraplegia, yaitu bahwa panderita paraplegia adalah penderita cacat tubuh yang mengalami kelumpuhan atau kelayuan (plegia) pada kedua belah tungkainya yang disebabkan karena adanya trauma pada medulla spinalis (sumsum tulang belakang) yang dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, misalnya jatuh dari pohon, tertimpa benda keras, tabrakan atau karena pengalaman-pengalaman traumatik lainnya. Sedangkan Noback (1982) mengungkapkan bahwa paraplegia adalah keadaan dengan kelumpuhan anggota badan bawah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mardjono (1987) yang mengatakan paraplegia adalah kelumpuhan yang melanda bagian bawah tubuh.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa paraplegia adalah salah satu jenis kecacatan fisik dengan keadaan lumpuh padabagian tubuh bawah, dari bawah leher sampai ke bawah atau kaki, karena adanya kerusakan pada sumsum tulang belakang yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit. Kerusakan pada tulang belakang tersebut mengakibatkan terganggunya pengiriman informasi melalui yaraf, baik gerakan maupun perasaan, bahkan informasi tersebut dapat terhenti sama sekali.