STUDI DESKRIPTIF KONSEP DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KRIMINAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO

STUDI DESKRIPTIF KONSEP DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KRIMINAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Disusun oleh : Nama : Octavia Dewi Alam Sari NIM : 009114131

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

J ika bukan Tuhan yan g m en olon g aku,

n yaris aku diam di tem pat sun yi

Ketika aku berpikir :

“ kakiku goyan g, ”

m aka kasih setiaMu, ya Tuhan ,

m en yokon g aku

  

Apabila bertam bah ban yak pikiran

dalam batin ku,

pen ghiburan Mu m en yen an gkan jiwaku

(Mazm ur 94 : 17-19)

  A Friend is one who st rengt hens you wit h prayers, blesses you wit h love, and encourages you wit h hope

  Karya ini ku persembahkan kepada : Tuhan Yesus yang menjadikan semuanya, sungguh amat baik ! Kekuatanku, Bapak dan Ibu yang tercinta

  Kakak dan sahabatku, Indra Putri Wijayasari Adik dan semangatku, Mesakh Ari Pamungkas

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini tidak memuat karya atau bagian karya lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

  Yogyakarta,

  7 Juli 2007 Penulis

  ( Octavia Dewi Alam Sari)

  

ABSTRACT

Octavia Dewi Alam Sari (2007). Self concept in teenagers who come from

criminal background at Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo.

Departement Of Psychology, Psychology School, Sanata Dharma University.

  The purpose of studies to obtain a description of the self concept of teenagers who come from criminal background. The self observed, experienced by the person is his self concept.

  The subject in the study were teenagers who come from criminal background and live in Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Their age range from 13-21 years old. The subject of this research is 61 subjects.

  Data on their self concept was collected using the self concept scale. The descriminate power used value limit rix > 0,30. on these scale there were 20 items being eliminated and 100 item were valid. The reliability coeficient was 0,9466. Percentages was computed to obtain a description of self concept profiles of teenagers from.

  General the teenagers who come from criminal background have positive self concept, 13 (21,3%) out of 61 subjects of this study were categorized into very high self concept. 40 (65,6%) on high categoty, 8 subjects (13,1%) on low category and no one else person on very low category.

  

ABSTRAK

Octavia Dewi Alam Sari (2007). Konsep Diri Pelaku Tindak Kriminal di

Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Jurusan Psikologi, Fakultas

Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang konsep diri remaja pelaku tindak kriminal yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kuotoarjo. Konsep diri adalah diri sebagaimana diamati dan dialami oleh orang tersebut.

  Subjek penelitian ini adalah remaja pelaku tindak kriminal yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Batasan usia yang digunakan adalah 13-21 tahun. Subjek yang digunakan dalam penelitian sebanyak 61 orang.

  Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan skala konsep diri. Daya diskriminasi dalam penelitian ini menggunakan batasan rix > 0,30. Pada skala konsep diri terdapat 20 aitem gugur dan 100 aitem yang sahih. Koefisien reliabilitas skala konsep diri sebesar 0,9466. Teknik analis deskriptif digunakan untuk menggambarkan konsep diri remaja peaku tidak kriminal yang berupa teknik statistik deskriptif presentase.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum subjek mempunyai konsep diri yang positif, 13 subjek (21,3%) dari 61 subjek penelitian berada pada kategori konsep diri yang sangat tinggi. 40 subjek (65,6%) berada pada kategori tinggi, 8 subjek (13,1%) berada pada kategori rendah dan tidak ada satupun subjek yang berada pada kategori sangat rendah.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang penuh kasih, karena berkat kehendak dan rahmatNya akhirnya karya ini dapat terselesaikan. Dalam penulisan ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar karya ini dapat selesai dengan baik. Tetapi penulis menyadari bahwa penulisan ini bukanlah sesuatu yang sempurna.

  Dalam penyusunan ini, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan berbagai pihak karya ini tidak akan dapat selesai. Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas dukungan baik dalam bentuk doa maupun moral kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran penulisan karya ini, terutama penulis ucapkan terima kasih kepada : 1.

  Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan perijinan penelitian bagi penulis.

  2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi masukan, ide, nasihat dan juga semangat kepada penulis.

3. Ibu Agnes Indar E., S.Psi., M.Si., Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi dukungan selama penulis menjadi mahasiswa.

  4. Bapak Y. Agung Santoso, S.Psi yang telah memberi masukan, ide, nasihat dan juga semangat kepada penulis terutama bila penulis mengalami

  5. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas ilmu dan pengajaran selama penulis berada di Universitas.

  6. Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Donni, Pak Gik, dan biro administrasi Universitas Sanata Dharma yang memperlancar proses pengurusan surat- surat penelitian.

  7. Bapak Nur Salim, Bc.IP, S.Pd, Msi selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang telah menyediakan waktu dan tempat bagi peneliti untuk mengadakan penelitian.

  8. Bapak Paiman beserta staff Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang membantu proses penelitian.

  9. Segenap responden khususnya teman-teman di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang menyediakan waktu untuk mengisi kuisioner.

  10. Bapak dan Ibu-ku yang merupakan sumber kekuatan penulis dalam menyelesaikan karya ini, matur sembah nuwun untuk segenap cinta dan motivasi yang tidak pernah habis buat penulis.

  11. Kakakku, Indra yang merupakan kakak dan juga sahabatku, terima kasih buat dukungannya. Buat adikku, Mesakh yang menyemangatiku selalu.

  Juga untuk Mbak Har, A’ Udin, iparku Lina, dan Edo terima kasih buat doanya.

  12. Keluarga di Solo : Pakde Nano, Budhe, Mbak Endang, Mas Agus, Mbak Puji, Mbak Widho, Mbak Merry serta sepupuku : Adi, Aryo, Ayu, dan Irna atas semangat dan doanya.

  13. Sahabat terbaikku, Felly Wangkay buat hati, cerita, waktu dan dukunganmu. Terima kasih juga karena mau menjadi tempat berbagi.

  Thank you , bos!!

  14. Keluarga besar Yayasan Joy Fellowship yang memberikan pelajaran iman kepada penulis.

  15. Sahabat imanku : Mr. Kyong sekeluarga, Bu Peggy, Mas Barkah, Mbak Yayuk, Bang Nuan, Kak Annie, Kak Ifa, Danger, Vonny, Yeri, Mbak Riana, Usi Flo. Terima kasih buat pelajaran memimpin yang kreatif dan iman yang sama kepada Yesus.

  16. Keluarga keduaku : San-san, Devita, Marhan, Samuel, Kiki, Nova, Bang Dedes, Masda, Bunga, Philip, Ellin, Bang Heru, Febri, Rona, Lanny, Benny, Irma, Yoel, Ricky, Vano, Esti dan K’ Ibeth, terima kasih atas cinta dan doanya.

  17. Sahabatku : Hendra ‘Sorong’, Sigit, Era, Dina, Icha, Sintha ‘Enthong’ ma Didi, Keke ‘thayank’ ma Pouly, Venta ‘si bungsu’, Ayu, Hananto, Wahyu

  ‘krete’ , Yudhi, Mas Seto, Agus, Yuni, Om Welly, Pakde Agus, Mas

  Bertus, Soni, Lyra, Restu, Uyee, K’ Ila, Nian, K’Fina, Lena, Nora, Radit, Linda, Tomi, Aini, Ridez, Bang Fatah, Pika, Fla, juga Melky ‘Suroto’.

  Aku bersyukur karena bisa mendapat banyak hati yang mau peduli dengan egoku.

  18. Teman-teman di PIN Creative : Mas Anto, K’ Mega, Mbak Denny, ‘Bos’, Lexy ‘botak’, Lea ’der’, Nonny ‘Kupang”, Itho ‘Spears??’, Koko Onald, dan Arya ‘Wati Kamandanu’ terima kasih buat pelajaran iman dan juga kerjasamanya.

19. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, terima kasih untuk dukungannya.

  Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi tambahan pengetahuan untuk semua yang membacanya.

  Yogyakarta,

  15 Juni 2007 Penulis

  

DAFTAR ISI

Halaman

  17 3. Lembaga Pemasyarakatan Anak/LAPAS Anak …

  45 D. Konsep Diri Pada Remaja Pelaku Tindak Kriminal ….

  41 5. Perkembangan Konsep Diri Remaja ……………..

  36 4. Faktor_faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri .

  33 3. Aspek-Aspek Konsep Diri ……………………….

  32 2. Penggolongan Konsep Diri ………………………

  31 C. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri ………………………….

  28 6. Akibat Kriminalitas ……………………………...

  24 5. Penyebab Kriminalitas …………………………...

  21 4. Tindak Kriminal Remaja ………………………...

  14 2. Pengadilan Anak …………………………………

  

HALAMAN JUDUL ……………………………………….……….. i

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………….... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………... iii

HALAMAN MOTTO ..……………………………………………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………..... v

HALAMAN PERNYATAAN .…………………………………….. vi

ABSTRACT ……………………………………………….………... vii

ABSTRAK …………………………………………………………... viii

KATA PENGANTAR ……………………………………………… ix

DAFTAR ISI …………………………………………………............ xiii

DAFTAR TABEL ……………………………………………........... xv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………….……….. xvi

  13 B. Tindak Pidana 1. Kriminalitas ……………………………………...

  9 3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ……………...

  8 2. Ciri-Ciri Remaja ………………………………….

  Definisi Remaja …………………………………...

  A. Masa Remaja 1.

  7 BAB II LANDASAN TEORI

  6 C. Manfaat Penelitian ……………………………………

  6 B. Tujuan Penelitian ……………………………………..

  1 B. Rumusan Masalah …………………………………….

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………

  46

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ………………………………………..

  1. Uji Normalitas………………………………………

  86 DAFTAR PUSTAKA

  86 B. Saran ………………………………………………….

  77 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan …………………………………………...

  70 D. Pembahasan

  68 4. Dimensi Dan Sub Dimensi Konsep Diri …………...

  3. Kategorisasi Konsep Diri Remaja Pelaku Tindak Kriminal …………………………………………….

  67

  67 2. Deskriptif Data Penelitian ………………………….

  66 C. Hasil Penelitian

  51 B. Identifikasi Penelitian ………………………………...

  65 B. Pelaksanaan Penelitian ………………………………..

  63 BAB IV PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah ……………………………………..

  58 H. Analisis Data ………………………………………….

  53 G. Validitas Reliabilitas ………………………………….

  53 F. Instrumen Penelitian ………………………………….

  52 E. Metode Pengumpulan Data …………………………...

  51 D. Subjek Penelitian ……………………………………...

  51 C. Definisi Operasional ………………………………….

  LAMPIRAN

  

DAFTAR TABEL

Halaman

  72 Tabel 11 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Pelaku

  76 Tabel 19 : Hasil Statistik Deskriptif Pada Setiap Dimensi

  75 Tabel 18 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Akademi

  75 Tabel 17 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Moral

  74 Tabel 16 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Keluarga

  74 Tabel 15 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Sosial

  73 Tabel 14 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Pribadi

  73 Tabel 13 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Fisik

  72 Tabel 12 : Statistik Deskriptif Dimensi Eksternal Konsep Diri

  71 Tabel 10 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Penilaian

  Tabel 1 : Distribusi Item Pra Uji Coba Skala Konsep Diri menurut Aspek dan Sifat favorable / unfavorable

  71 Tabel 9 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Identitas

  70 Tabel 8 : Statistik Deskriptif Dimensi Internal Konsep Diri

  69 Tabel 7 : Kategorisasi Konsep Diri

  68 Tabel 6 : Kategorisasi Skala Konsep Diri

  62 Tabel 5 : Deskriptif Statistik

  61 Tabel 4 : Distribusi Item Uji Coba Skala Konsep Diri menurut Aspek dan Sifat favorable / unfavorable

  61 Tabel 3 : Hasil Analisis Uji Coba Skala Konsep Diri

  58 Tabel 2 : Hasil rix Skala Konsep Diri

  76

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran A. Skor Kasar Skala Konsep Diri Lampiran B. Uji Reliabilitas Uji Coba Alat Ukur Skala Konsep Diri Lampiran C. Data Penelitian Skala Konsep Diri Lampiran D. Hasil Analisis Uji Normalitas, Linearitas, Uji-t Lampiran E. Skala Uji Coba Penelitian Lampiran F. Angket Penelitian Lampiran G. Surat Ijin Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerawanan sosial terutama tindak kriminal menjadi suatu persoalan yang

  besar untuk dihadapi oleh bangsa Indonesia. Fenomena peningkatan angka kriminalitas di Jakarta menurut Polda Metro Jaya pada tahun 2002 misalnya,

  kasus perjudian naik 61,29 persen dari 248 kasus pada tahun 2001 menjadi 400 kasus pada tahun 2002. Kasus narkotika naik 44,29 persen dari 1.831 kasus pada tahun 2001 menjadi 2.642 kasus pada tahun 2002. Kasus pemerkosaan naik dari 89 kasus pada tahun 2001 menjadi 107 kasus pada tahun 2002 atau naik 20,22

persen. Jumlah tindak pidana tahun 2002 dibanding tahun 2001 mengalami

kenaikan dari 33.284 kasus pada tahun 2001 menjadi 34.270 kasus pada tahun 2002 atau naik 2,96 persen. Kasus lain yang juga meresahkan masyarakat adalah kasus bentrokan massa, anarkis massa dalam aksi main hakim sendiri, kejahatan di jalan, ancaman maupun peledakan bom (Tempo, Kamis 22 April 2004).

  Tindak kriminal dilakukan bukan hanya oleh orang dewasa saja melainkan juga dilakukan oleh remaja, contohnya pengedaran narkotika (Panggabean, 2003), aborsi (Buletin Al-falah, 1999), kasus pencurian dengan tindak kekerasan (Kedaulatan Rakyat, 2006), kasus pembunuhan (Kedaulatan Rakyat, 2005), dan beberapa kasus lain di masyarakat yang menunjukkan semakin memprihatinkannya kondisi remaja saat ini.

  Remaja yang melakukan tindak kriminal biasanya dikenakan sanksi berupa hukuman pidana (pemenjaraan). Moeljatno (1982) mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang atau diancam hukuman pidana. Proses pembuatan putusan perkara pidana oleh hakim dilakukan dengan melihat apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana atau tidak. Hakim juga akan meneliti apakah terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Jika hakim memandang perbuatan pidana sesuai dengan unsur-unsur dalam pasal perkara pidana dan terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatannya maka terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya (Rahayu,1995).

  Hukuman penjara yang sangat lama amat ditakuti oleh para penjahat sebab kehidupan dalam penjara itu memiliki kebudayaan sendiri (Kartono, 2003).

  Kebudayaan tersebut tercermin dari adanya norma-norma, hukum-hukum, kontrol dan sanksi sosial yang diterapkan oleh kalangan narapidana. Disana juga ada bahasa dengan logat dan kode-kode tersendiri, ada pengelompokan- pengelompokan stratifikasi yang heterogen sifatnya, juga banyak konflik-konflik sosial (konflik terbuka) dan konflik-konflik batiniah yang serius.

  Isolasi yang lama karena disekap oleh penjara itu dapat menimbulkan efek-efek sebagai berikut (1) Tidak adanya partisipasi sosial. Masyarakat narapidana dianggap sebagai masyarakat yang dikucilkan, masyarakat asing penuh dengan stigma-stigma atau noda-noda sosial, yang wajib disingkirkan; (2) dengan bertambahnya waktu pemenjaraan. Keadaan ini akan membuat kecenderungan-kecenderungan austistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang traumatik sifatnya; terutama pada narapidana yang baru masuk dalam penjara (3) Praktek-praktek homoseksual berkembang.

  Korbannya adalah narapidana-narapidana yang ”ayu” dan lemah. (4) Para narapidana mengembangkan reaksi-reaksi yang stereotype, yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat membenci dan mendendam; serta (5) Mendapat stempel “tidak bisa dipercaya” dan “tidak bisa diberi tanggung jawab”. Mereka akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan setelah mereka keluar dari penjara sehingga banyak diantara mereka yang lebih suka menetap di dalam penjara. Mereka dianggap sebagai warga masyarakat yang tuna-susila, dan kurang mampu memberikan partisipasi sosial (Kartono, 2003).

  Pemberian lebel negatif dari masyarakat, isolasi yang lama di penjara dan juga konflik batin yang hebat dapat membuat remaja menjadi putus asa dan merasa tidak berguna. Kegagalan dalam menjalankan peran di masyarakat dan kegagalan sebagai pribadi akan mempengaruhi penerimaan diri remaja yang nantinya akan mempengaruhi keberhasilan remaja dalam penyesuaian diri dan juga pembentukan konsep diri mereka.

  Remaja yang dapat menerima perubahaan-perubahan berkaitan dengan proses isolasinya di penjara akan menerima kenyataan dengan hati yang lapang.

  Hal ini disebabkan remaja dengan penerimaan diri memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan, menganggap dirinya berharga

  4 merasa malu akan keadaan dirinya, menempatkan dirinya sebagaimana manusia yang lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya, bertanggung jawab atas segala perbuatannya, menerima pujian atau celaan atas dirinya secara objektif, mempercayai prinsip-prinsip atau standar-standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain, tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang ada pada dirinya (Sheerer dalam Sari, 2002).

  Sebaliknya bila individu mempunyai penerimaan diri negatif, mereka cenderung untuk menyalahkan lingkungan apabila ada sesuatu yang salah, melihat dunia sebagai suatu perlawanan yang kompetitif, menyalahkan diri sendiri, memiliki hubungan sosial yang buruk, dan sangat depresi (Riechard’s dalam Sari, 2002).

  Dari penjelasan diatas tampak bahwa penerimaan diri terkait erat dengan penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya. Individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik, mampu beradaptasi secara objektif. Sebaliknya individu yang tidak dapat menerima keadaan dirinya akan sukar untuk melihat secara objektif lingkungan sekitarnya, mereka biasanya menarik diri dari interaksi sosial serta mempunyai perasaan tidak berharga lagi karena tidak mampu memberikan sumbangan apapun dibandingkan mereka yang berhasil.

  Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sendiri ditentukan oleh interaksi yang dibentuk antara individu dengan lingkungannya. Ini berhubungan dengan umpan balik yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya

  5 lingkungan sekitar akan mempengaruhi konsep diri individu. Rogers (dalam Byron dan Bryrne,1994) mengatakan bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting. Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Konsep diri, termasuk harga diri merupakan aspek yang sangat penting dalam berfungsinya manusia, sebagian karena manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain- lain.

  Konsep diri dibentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya. Hubungan antara individu dengan lingkungan, pengalaman, dan pola asuh memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri. Oleh sebab itu umpan balik dari lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi remja untuk menilai dirinya.

  Jika umpan balik yang diberikan orang-orang di lingkungannya menunjukkan penerimaan maka individu akan merasa diterima dan akan membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Tetapi jika umpan balik yang diberikan oleh orang-orang di lingkungannya menunjukkan penolakan maka individu akan merasa terasing, terabaikan, mempunyai harga diri rendah, dan akan

  6 Rangkaian uraian tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti tentang konsep diri remaja yang sedang menjalani masa hukuman di penjara karena melakukan tindak kriminal. Pemilihan penjara sebagai tempat penelitian dikarenakan secara kondisional remaja dihadapkan pada satu kegagalan peran di masyarakat dan berada pada tempat yang terisolasi, akses terhadap hiburan, materi belajar, serta orang-orang yang dipandang berpengaruh amat terbatas. Dengan mengetahui konsep diri mereka, maka akan lebih mudah untuk melakukan pembinaan dan memungkinkan untuk perencanaan terapi sehingga fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pendidikan dan pembinaan untuk pengembalian narapidana pada masyarakat dapat terwujud.

B. Rumusan Masalah

  Bagaimana konsep diri remaja pelaku tindak kriminal di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo? C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri remaja pelaku tindak kriminal yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo.

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan yang terkait dengan bahasan mengenai konsep diri pada remaja yang berada dalam masa hukuman penjara.

  2. Manfaat Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai konsep diri kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo sebagai tempat penelitian khususnya tentang kondisi psikologis para narapidana. Dari informasi tersebut dapat di usahakan terapi, program-progam dan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi mereka sehingga fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pendidikan dan pembinaan untuk pengembalian narapidana pada masyarakat dapat terwujud.

BAB II LANDASAN TEORI A. Masa Remaja

1. Definisi Remaja

  Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Namun masa remaja sering disebut sebagai masa adolescence. Santrock (2003) mengatakan bahwa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan trasnsisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis kognitif, dan sosial emosional. Hurlock (1980) mengatakan bahwa istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental emosional, sosial, dan fisik.

  WHO pada tahun 1974 (Sarlito, 1989) mendefinisikan tentang remaja, yaitu remaja adalah suatu masa dimana : a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya. Seksual sekunder merupakan tanda-tanda kelamin sekunder, yaitu tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi (Monks, 1989).

  b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

  c.

  Terjadi peralihan dari masa ketergantungan sosial ekonomi yang penuh Monks (1989) mengatakan bahwa Fase-fase masa remaja secara global berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun : masa remaja awal, 15-18 tahun : masa remaja pertengahan, 18-21 tahun : masa remaja akhir. Santrock (2003) mengatakan bahwa walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, di Amerika dan kebanyakan budaya lain sekarang ini, masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun.

  Hamzah (dalam Dewi, 2002) menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Hukum Pidana, arti dan kriteria seseorang dikatakan remaja sebagai berikut, remaja atau anak-anak adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Bila seorang anak belum mencapai usia 21 tahun tetapi sudah menikah dan cerai, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai remaja lagi. Ini berarti bahwa kriteria seorang yang dianggap remaja adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

  Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa trasisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana individu mengalami kematangan secara jasmani terutama seks sekunder, mental, emosional dan sosialnya.

2. Ciri-ciri Remaja

  Hurlock (1980) mengatakan bahwa masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri

  10 a.

  Masa remaja sebagai periode yang penting.

  Pada masa remaja, ada periode yang penting karena akibat fisik dan psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

  b.

  Masa remaja sebagai periode peralihan.

  Masa remaja merupakan suatu periode peralihan di mana remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Hal tersebut menyebabkan status individu menjadi tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Namun di lain pihak, status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

  c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

  Pada masa remaja, ada empat perubahan yang bersifat universal di mana tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Empat perubahan tersebut yakni : 1)

  Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

  2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan, menimbulkan masalah baru.

  3) Dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga

  4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, di mana mereka menuntut kebebasan tetapi takut untuk bertanggung jawab akan akibat yang ditimbulkannya.

  d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

  Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, karena mereka merasa mandiri sehingga ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain. Namun karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

  e.

  Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

  Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting. Namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi jika sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

  f.

  Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

  Adanya stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja mudah takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

  g.

  Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik.

  Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita- cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi.

  h. Masa remaja sebagai ambang dewasa.

  Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa karena dianggap dapat memberikan citra yang mereka inginkan.

  Dari penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Perubahan dalam masa ini menimbulkan banyak goncangan sehingga dapat menimbulkan penyesuaian yang negatif dalam diri remaja karenanya masa ini sering disebut masa badai dan tekanan.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

  Nuryoto (1992) menyebutkan bahwa kematangan fisik dan sosial yang telah dicapai pada masa remaja akhir, juga akan diikuti oleh kematangan psikis yang ditandai dengan sikap :

  a. Tidak lagi bersikap kekanak-kanakan b.

  Mampu bersikap objektif, tidak subjektif

  c. Mampu bersikap rasional, tidak egois d.

  Dapat menerima kritikan yang kemudian diolah untuk dapat bertindak lebih lanjut e. Bersikap konsekuen terhadap tindakan yang dilakukan f.

  Tidak melarikan diri dari tantangan yang dihadapi Havighurt (dalam Nuryoto, 1992) mengatakan bahwa pada masa remaja ada tugas-tugas yang harus diselesaikan agar tidak mengganggu tugas perkembangan selanjutnya, tugas perkembangan remaja tersebut adalah : a.

  Menerima kondisi fisiknya dan dapat menunjukkan peran jenisnya

  b. Membentuk hubungan baru dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan c.

  Mencapai kemandirian dalam bidang emosi, tidak tergantung lagi pada orang tuanya maupu orang dewasa lainnya d.

  Mencapai kemandirian baik dalam bidang ekonomi

  e. Mempersiapkan diri untuk memilih suatu pekerjaan

  f. Mengembangkan kemampuan intelek dan menyusun konsep yang perlu g.

  Mampu bertingkah laku yang dapat dipertanggung jawabkan pada masyarakat h.

  Mempersiapkan diri membentuk keluarga i. Membangun nilai-nilai hidup yang harmonis sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pendapat umum

  Dari uraian diatas, maka apabila perkembangan pada masa remaja itu berjalan sesuai dengan normal tanpa adanya penyimpangan-penyimpangan maka seseorang telah memiliki kematangan dalam fisik, psikis, dan sosialnya. Sebaliknya, apabila perkembangan pada masa remaja tidak berjalan dengan baik maka remaja akan mengalami suatu krisis identitas yang selanjutnya akan berakibat pada terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku remaja.

  Dengan adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi, maka tugas utama yang diperlukan untuk menghadapi hal tersebut adalah dengan mengembangkan konsep diri yang merupakan gabungan keyakinan yang dimiliki orang langsung dari diri mereka sendiri, baik yang menyangkut segi positif maupun negatif dalam manentukan perilaku selanjutnya.

B. Tindak Pidana

1. Kriminalitas

  Kriminalitas atau kejahatan merupakan tantangan besar bagi negara dan masyarakat. Tindak kriminalitas sendiri dapat dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria, baik yang muda maupun yang tua. Itu sebabnya dalam kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain sehingga tidaklah mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri.

  Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan

  melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Di dalam perumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum : Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP. Misalnya pembunuhan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal 338 KUHP, mencuri memenuhi bunyi pasal 362 KUHP, sedang kejahatan penganiayaan memenuhi pasal 351 KUHP (Kartono, 2003).

  Sosiologi hukum menjelaskan kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi, jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu kejahatan adalah hukum. Sutherland (dalam Santoso, 2002) menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.

  Sedangkan pengertian secara yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukuman pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputuskan oleh pengadialan atas perbuatannya tersebut (Santoso, 2002). Narapidana harus dibedakan dari tahanan meskipun kadang-kadang bisa sebagai titipan kepolisisan, jaksa atau hakim. Dalam artian ini bisa dikatakan bahwa narapidana adalah orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.

  Berdasarkan status hukumnya, narapidana adalah orang yang dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan karena telah dijatuhi pidana dengan perampasan kemerdekaan (Kamus Peristilahan Hukum Dalam Praktek, 1985)

  Hukum pidana sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan- aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; menentukan kapan dan dalam hal- hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah dicantumkan; dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, dalam Atmasasmita, 1992).

  Proses pembuatan putusan perkara pidana oleh hakim dilakukan dengan melihat apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana atau tidak. Hakim juga akan meneliti apakah terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Jika hakim memandang perbuatan pidana sesuai dengan unsur-unsur dalam pasal perkara pidana dan terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatannya maka terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya

  17 Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan norma sosial sehingga akan mendapatkan sanksi sesuai perbuatannya dan kejahatan sifatnya merugikan masyarakat.

2. Pengadilan Anak

  Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang bekualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan pelanggaran hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari pembangunan yang begitu cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan gaya hidup sebagian orang tua, telah membawa peubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atu orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

  Hubungan orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap tuanya. Apabila karena hubungan anatara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar. Disamping pertimbangan tersebut diatas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman hukuman pidanannya. Dalam hubungan ini pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang penjatuhan pidanya ditentukan ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.

  Pembedaan perlakuan dana ancaman yang diatur dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyosong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

  Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-Undang ini ditentukan berdasarkan pembedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur diatas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.

  Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.

  Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.

  Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan Lembaga Pemasyarakatan Anak, berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum.

  Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak (Penjelasan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

3. Lembaga Pemasyarakatan Anak / Lapas Anak

  Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Anak / Lapas Anak adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Warga binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Klien Pemasyarakatan, dan Anak Didik Pemasyarakatan.

  Narapidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Balai Pemasyarakatan). Anak didik Pemasyarakatan adalah:

  a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai c.