BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak - KAJIAN HUKUM TRANSFER PRICING (PENENTUAN HARGA TRANSFER) PAJAK PENGHASILAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak 1. Pengertian Pajak Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

  orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Anastasia Diana & Lilis Setiawati. 2010: 1).

  Sedangkan Rochmat Soemitro, mendefinisikan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (R. Santoso Brotodiharjo. 2010: 2).

  Adapun menurut UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), Pasal 1 angka (1) menegaskan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasar undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

  10

2. Fungsi Pajak

  Menurut Thomas Sumarsan (2013:15) pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a.

  Fungsi Penerimaan (budgetair) Pajak berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara, yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran - pengerluaran pemerintah. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.

  b.

   Fungsi Mengatur (Regulerend)

  Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara para pelaku ekonomi.

  Fungsi mengatur ini sering menjadi tujuan pokok dari sistem pajak, paling tidak dalam sistem perpajakan yang benar, tidak terjadi pertentangan dengan kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi dan sosial.

  3. Wajib Pajak Wajib Pajak dapat diartikan sebagai orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ( Mardiasmo. 2013: 23).

  Subyek pajak pribadi dalam negeri menjadi Wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subyek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

  Subyek pajak luar negeri baik pribadi maupun badan, menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (Mardiasmo. 2013: 157).

  4. Pemungutan Pajak Asas pengenaan pajak ini untuk mencari jawaban atas permasalahan siapa, atau pemerintah negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu yang menyangkut yurisdiksi suatu negara terhadap negara lain.

  a.

  Asas Pemungutan Pajak 1)

  Asas Negara Tempat Tinggal Asas ini sering disebut asas Domisili. Asas negara tempat tinggal ini mengandung arti bahwa negara tempat tinggal seseorang bertempat tinggal tanpa memandang kewarganegaraanya, mempunyai hak yang tak terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang orang itu atas semua pendapatan yang mereka peroleh tanpa menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.

  2) Asas Negara Asal

  Asas Negara Asal mendasarkan pemajakan pada tempat tinggal dimana sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat kegiatan di suatu negara. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu. Dalam hal ini, penghasilan yang dapat dikenakan pajak oleh negara tempat penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut. Dengan demikian sasaran pengenaan pajak menjadi sangat terbatas.

  3) Asas Kebangsaan

  Asas ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status kewarganegaraanya. Jadi pemajakan dilakukan oleh negara asal wajib pajak. Yang dikenakan pajak ialah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya. Apabila asas ini digunakan oleh suatu negara maka sasaran pengenaan pajaknya adalah seluruh penghasilan dan kekayaan dari mana pun asalnya (Y. Sri Pudyatmoko. 2009: 43-44). b.

  Sistem Pemungutan Pajak 1)

  Official Assessment System adalah pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Sistem ini mempunyai beberapa ciri-ciri antara lain sebagai berikut: a)

  Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.

  b) Wajib Pajak bersifat pasif.

  c) Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

  2) Self Assessment System adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem ini mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut: a)

  Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.

  b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

  c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3)

  With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak uang terutang oleh Wajib Pajak. Sistem ini mempunyai ciri- ciri yaitu wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak (Mardiasmo. 2013: 7-8).

B. Pajak Penghasilan 1.

  Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Resmi (2014: 75), definisi Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.

  Sedangkan menurut Suandy (2011: 36), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan, dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.

2. Subyek Pajak Penghasilan

  Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang menggantikan yang berhak, badan, bentuk usaha tetap.

  Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri. Subyek Pajak Dalam Negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subyek Pajak Luar Negeri sekaligus menajdi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (Muhammad Rusjdi. 2007: 2-4).

  Dalam Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dijelaskan bahwa Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: a.

  Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

  b.

  Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. 2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

  Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

  3) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

  c.

  Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

  Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, menjelaskan tentang Subyek Pajak Luar Negeri yaitu: a.

  Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

  b.

  Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 1)

  Subyek Pajak Penghasilan Badan

  a) Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Yang termasuk sebagai badan adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainya, lembaga, dan bentuk badan lainya termasuk kontrak inventasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

  b) Subyek pajak atas badan dapat berupa:

  (1) Wajib Pajak dalam Negeri berupa Badan Usaha, Badan Usaha tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

  (2) Wajib Pajak Luar Negeri berupa Badan atau bentuk Usaha Tetap (BUT), Badan tersebut tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (Anastasia Diana & Lilis Setiawati. 2010: 131). 2)

  Obyek Pajak Penghasilan Dalam Pasal 4 yata (1) UU PPh, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

  a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang, pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

  b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.

  c) Laba usaha.

  d) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

  e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

  f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

  g) Dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

  h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

  j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k)

  Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu. l) Keuntungan selisih mata uang asing. m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktifa. n) Premi Asuransi. o)

  Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha. p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q) Penghasilan dari usaha yang berbasis Syariah. r)

  Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. s) Surplus Bank Indonesia.

C. Transfer Pricing (Penentuan Harga Transfer) 1.

   Pengertian Transfer Pricing

  Berdasarkan Kamus Inggris Indonesia (John M. Echols dan Hassan Shadily. 1998: 446, 600) kata transfer mempunyai beberapa makna, yaitu pergantian, serah-terima, pemindahan, beralih. Sedangkan kata pricing yang dengan kata dasar price mempunyai arti harga, dan hadiah. Menurut Inayatun Na’mah, Dosen Bahasa Inggris Fakultas Sastra Inggris, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Transfer Pricing berasal dari kata Transfer dan Price serta bentuk tambahan –ing yang dalam bahasa Inggris disebut Gerund, dimana salah satu fungsi Gerund tersebut adalah membentuk nomina atau kata benda dalam hal ini adalah kata price

  ”, dan tambahan

  • –ing menjadi kata kerja. Bentuk penambahan –ing sendiri mempunyai pemahaman fleksibel sehingga kata pricing tidak lantas berarti “menghargai” namun menjadi “penentuan harga” karena dalam Bahasa
Inggris sudah ada kata tersendiri untuk menerangkan kata kata yang diikutinya.

  Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/ atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaanya, Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi afiliasi, sedangkan pihak afiliasi tersebut diartikan sebagai pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak.

  Menurut Simamora (2000: 70) Transfer Pricing didefinisikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Organization for Economic

  

Corporation and Development (OECD) mendefinisikan Transfer Pricing

  sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota grup dalam sebuah Perusahaan Multinasional dimana Transfer Pricing yang ditentukan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya.

  Mohammad Zain (2008: 294) mendefinisikan Transfer Pricing sebagai harga yang diperhitungkan untuk mengendalikan manajemen atas transfer barang dan jasa antar pusat pertanggungjawaban laba termasuk determinasi harga barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.

  Ditinjau dari aspek perpajakan, Susan M. Lyons (1996: 312) dalam International Tax Glossary, mendefinisikan Transfer Pricing yaitu

  

adjustment made by the tax authorities after making a determination that a

transfer price in a controlled transaction between associated enterprises is

incorrect or where an allocation of profits fails to conform to an arm’s

length principle.

  Gunadi memberikan definisi Transfer Pricing dalam pengertian netral sebagai penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai Hubungan Istimewa. Sedangkan dalam pengertian negatif, Transfer Pricing didefinisikan sebagai suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artificial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara. Berdasarkan tersebut, pada dasarnya Transfer Pricing merupakan harga transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa (Gunadi. 1994: 3).

2. Metode Transfer Pricing

  In general, there are three methods of Transfer Pricing, namely : a.

   Traditional transaction methods ( i.e. comparable uncontrolled price method (CUP) , Cost plus method, resale price method).

  b.

   Transactional profit methods (i.e. profit split method, and transactional net margin method).

  c.

   Other Methods that are non-transactional profit-based (i.e. formulary apportionment, and global profit split method).

  The latter method is not allowed under the OECD Guidelines

because they do not reflect arm’s length principle. According to the OECD

Guidelines, traditional transaction method is preferable to other method.

But, if it difficult to obtained comparable uncontrolled prices, it may

become necessary to address wheter and under what conditions other

methods may be used. On other word, the traditional transaction methods

should be applied unless these methods do not give a reliable measure of

the terms and conditions that independent enterprise would apply (John

Hutagaol, Darussalam, Dany Septriadi. 2006: 168).

  Selain itu, beberapa metode Transfer Pricing yang sering digunakan oleh Perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah:

  a. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing) Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya, menetapkan Transfer Pricing atas biaya variabel dan tetap, dapat memilih 3 bentuk, yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah

  mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

  b. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing) Metode Transfer Pricing atas dasar harga pasar merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar terkadang menjadi kendala dalam menggunakan transfer pricing berdasarkan harga pasar.

  c. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices) Beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan Transfer Pricing untuk menegosiasikan Transfer Pricing yang diinginkan. Transfer Pricing hasil negosiasi ini mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas Transfer Pricing yang dinegosiasikan tadi (Harimurti. 2007: 53).

3. Motif dan Tujuan Transfer Pricing

  Menurut Simamora tujuan penetapan Transfer Pricing adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain. Selain itu, Transfer Pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan (Ita Salsalina Lingga. 2012: 3).

  Prinsip dari Transfer Pricing adalah membuat perencanaan pajak bagi Perusahaan Multinasional. Terjadi perubahan sudut pandang perencanaan pajak Perusahaan Multinasional di dunia, dari manajemen pajak yang berdiri sendiri menjadi pengurangan pajak secara global dan terintegrasi dari seluruh dunia, pengurangan pajak impor, pengurangan pajak pemotongan dan pemungutan serta peningkatan kredit pajak luar negeri (Eko Yunianto Prabowo. 2010: 15-16).

  Dalam jurnal Transfer Pricing: Challenges and Solutions Within The

  

Asian Regime, disebutkan motif Perusahaan Multinasional melakukan

Transfer Pricing yaitu: First, the nature of MNEs is an integrated business

group which consist of associated affiliates in other countries, under

common con- trol, with common goals, and sharing a common pool of

resources.

  Theoretically, MNEs are only subjected to domestic law of the

different states in which they operate in, but during transactions, MNEs

must comply with the different from country to country’s laws &

regulations and administrative requirements. Many foreign affiliates of

MNE are run as the profit centres, which the income of the top strata of

the MNEs depend on their affiliates’ profit. In this case, it is internally

driven that the setting of transfer price within the intra-group transactions

  is to increase the overall efficiency within the firm and monitor the perfor mance of one’s entity within the MNEs group, especially on determin- ing the profitability and income of entities involved in the transactions. Extern ally, MNEs’ main purpose on conducting transfer pricing is to optimize the tax arrangement and minimize the taxes paid. By conducting transfer pricing, MNE as a whole, paid a lower tax rate due to the profit shifting in the lower tax jurisdiction and consequently, having the tax liability of the relevant company distorted in consequent. Also, the profit gained by MNE is much higher as the transfer price is depending on the price at which the intrafirm transaction takes place. However, still, they are amounted to double taxation, in which they are obliged to pay corporate income taxes for both domestic and foreign source income as they conduct a transfer pricing on the cross-border transaction (Jane Florence. 2016: 62-63).

D. Perusahaan Multinasional 1.

  Pengertian Perusahaan Multinasional Terdapat beberapa definisi Perusahaan Multinasional atau

  Transnasional. Para pakar Ekonomi Internasional lebih sering menggunakan istilah Multinational Enterprise sebagaimana pernyataan dalam pertemuan OECD, yaitu sebagai berikut:

  “Multinational Enterprise usually corporise of companies or other

entities whose ownership is private, state, or mixed, established in

different countries and so linked that one or more of them may be able to

exercise of significant influence over the activities of other and in

particular, to share knowledge and resources with the others

  (Sumantoro. 1987: 35).

  Menurut Robert L. Hulbroner, Perusahaan Multinasional adalah perusahaan yang mempunyai cabang dan anak perusahaan yang terletak di berbagai negara. Sedangkan menurut Sumantoro, Perusahaan Multinasional pada dasarnya mengacu pada sifat-sifat melampaui batas- batas negara baik dalam kepemilikan maupun dalam kegiatan usahanya.

  (Juajir Sumardi. 2017: 10-11).

  Dalam Kamus Ekonomi, Multinational Corporation (MNC) adalah sebuah perusahaan yang wilayah operasionalnya meliputi sejumlah negara dan memiliki fasilitas produksi dan service di luar negaranya sendiri. (Winardi. 1998: 332).

2. Status Hukum Perusahaan Multinasional

  Dengan banyaknya aturan perusahaan di berbagai negara dengan perbedaan satu sama lainya, maka PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) merintis suatu prinsip umum yang bersifat universal melalui salah satu badanya yang disebut ECOSOC (United Nations of Economic and Social

  Council

  ), aturan tersebut disebut “Code of Conduct on Transnational Corporations”.

  Menurut Mochtar Kusumaatmaja, Code of Conduct on

  

Transnational Corporations merupakan sumber hukum tambahan yang

  akan mengikat sebagai hukum (legally binding) apabila digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum untuk memecahkan sengketa internasional mengenai perusahaan Multinasional. Dalam hal ini aturan tersebut tidak mengikat langsung membentuk unsur psikologis dalam hukum kebiasaan internasional (Juajir Sumardi. 2017 : 12-13).

  Dalam hukum nasional, Perusahaan Multinasional ini diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang mengatur sebagai berikut: a.

  Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  b.

  Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. c.

  Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan: 1)

  Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.

2) Membeli saham.

  3) Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  Berdasarkan UU nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kekuasaan tertinggi dalam suatu Perseroan Terbatas tetap berada pada Rapat Umum Pemegang Saham, di mana Perseroan Terbatas yang dibentuk oleh Perusahaan Transnasional umumnya saham terbesarnya dimiliki oleh Perusahaan Transnasional yang berkedudukan di negara asal mula dibentuknya Perusahaan Transnasional tersebut (Juajir Sumardi.

  2004: 15-16).

3. Bentuk Badan Hukum Perusahaan Multinasional

  Bentuk badan hukum Multinasional menurut Sumantoro (1987: 187) dapat dibedakkan menjadi 5, yaitu: a.

  Perusahaan Cabang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Perusahaan Multinasional induknya.

  b.

  Perusahaan Subsidiary merupakan anak perusahaan yang berbadan hukum sendiri. Saham sepenuhnya milik induknya.

  c.

  Perusahaan Patungan merupakan perusahaan yang sahamnya dimiliki dua atau lebih perusahaan sebagai partner. d.

  Perusahaan Go Public merupakan perusahaan yang berkedudukan lokal dan sebagian sahamnya dipegang oleh masyarakat.

  e.

  Perusahaan dengan bentuk lain pembentukannya berdasarkan perundangan yang ada, seperti di bidang perbankan, pertambangan minyak dan gas bumi, perdagangan ataupun jasa lainnya.

  Sedangkan menurut Rochmat Soemitro, bentuk badan hukum Multinasional dibagi menjadi 2, yaitu: a.

  Perusahaan Cabang merupakan bagian yang secara formal tidak terpisahkan dari kantor atau pusatnya. Dengan demikian bukan merupakan badan yang berdiri sendiri.

  b.

  Subsidiary merupakan perseroan anak yang merupakan badan hukum yang berdiri sendiri, terlepas dari perseroan induknya dan lazimnya didirikan berdasarkan hukum yang berlaku (Panji Anarogo. 2004: 87- 88).

4. Tujuan Perusahaan Multinasional

  John Dunning mengklasifikasikan beberapa dorongan utama mengapa sebuah Multinational Corporation (MNC) terlibat aktivitas bisnis di luar negara asalnya. Motivasi ini menentukan jenis investasi asing (FDI) yang dilakukan oleh sebuah MNC, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah MNC mempunyai lebih dari satu motif dalam aktivitas internasionalnya.

  Menurut Dunning ada empat alasan utama mengapa sebuah perusahaan melakukan aktivitas produksi di luar negeri. Empat motif ini yang mendorong perusahaan untuk melakukan kegiatan yang bersifat produksi (mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi) di luar negara asalnya. Sehingga kesamaan dari empat jenis motif tersebut adalah sama-sama mendorong perusahaan untuk berinvestasi dengan memiliki fasilitas produksi di luar negeri. Motif-motif tersebut adalah: a.

  Mencari Sumber Daya (Natural Resource Seekers) Perusahaan Multinasional yang masuk kategori ini adalah mereka yang melakukan investasi asing demi memperoleh sumberdaya tertentu yang lebih bermutu maupun lebih murah dibanding yang ada di negara asalnya. Tujuan mereka melakukan Foreign Direct Investment (FDI) adalah memaksimalkan keuntungan dan daya saing di pasar yang mereka layani. Semua atau bahkan sebagian besar output dari cabang Perusahaan Multinasional yang beroperasi di negara tujuan investasi itu akan diekspor ke negara industri maju. Ada tiga jenis Perusahaan Multinasional yang melakukan FDI karena didorong oleh motif mencari sumber daya. Yang pertama adalah Perusahaan Multinasional melakukan investasi asing karena mencari fisik/sumber daya alam. Mereka biasanya terdiri dari para produsen utama dan perusahaan-perusahaan manufaktur yang mencari bahan baku di luar negara asalnya. Yang kedua adalah Perusahaan Multinasional yang mencari sumberdaya manusia/karyawan yang murah.

  Terdiri dari perusahaan-perusahaan manufaktur atau jasa yang berasal dari negara dengan upah pegawai yang tinggi sehingga mereka melakukan investasi ke negara dengan upah lebih rendah. Jenis yang ketiga yaitu perusahaan yang melakukan FDI karena terdorong kebutuhan untuk memperoleh kemampuan teknologi tinggi, maupun keahlian manajemen atau marketing dan kecakapan organisasional.

  b.

  Mencari/Memperluas Pasar (Market Seekers)

  Multinational Corporation (MNC) bisa melakukan investasi asing

  di negara atau region tertentu karena terdorong oleh keinginan untuk menyediakan produk barang atau jasanya di kawasan tersebut. Investasi dengan motif market-seeking ini bisa dilakukan demi melindungi pasar yang sudah ada maupun untuk mengeksploitasi pasar yang baru.

  Terlepas dari besarnya pasar dan potensi pertumbuhan pangsa pasar, ada empat alasan sebuah Perusahaan Multinasional melakukan investasi yang bersifat market-seeking. Yang pertama adalah karena suplier ataupun konsumen utama mereka telah mendirikan fasilitas produksi di luar negeri sehingga mereka harus mengikutinya supaya tetap bisa mempertahankan bisnisnya. Yang kedua adalah karena seringnya suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh Perusahaan Multinasional perlu disesuaikan dengan kultur atau cita rasa lokal. Yang ketiga adalah alasan untuk meminimalisasi biaya produksi dan transaksi. Dan alasan terakhir yang tak kalah penting bagi sebuah MNC sebagai bagian dari strategi produksi dan pemasaran global mereka adalah demi memperkuat kehadiran mereka di pasar yang juga dilayani oleh pihak kompetitor.

  3. Melakukan Efisiensi (Efficiency Seekers) Motivasi dari FDI yang bersifat effieciency-seeking adalah demi merasionalisasi struktur dari investasi yang telah ada sebelumnya baik yang bersifat resource-seeking maupun market-seeking sehingga perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari penguasaan bersama atas aktivitas-aktivitas bisnis yang terpisah secara geografis. Investasi yang bersifat mencari efisiensi ini manfaat utamanya adalah menekan skala dan sekup ekonomi serta diversifikasi resiko perusahaan. Tujuan dari Perusahaan Multinasional yang melakukan investasi yang bersifat effieciency-seeking adalah untuk mengambil keuntungan dari perbedaan faktor-faktor sumberdaya, budaya, susunan institusional, pola permintaan, kebijakan ekonomi dan struktur pasar dengan cara mengkonsentrasikan produksi di sejumlah lokasi terbatas untuk memenuhi bermacam- macam pasar.

  4. Mencari Aset Strategis (The Strategic Asset Seekers) Motivasi keempat dari Perusahaan Multinasional dalam melakukan FDI adalah demi mencapai tujuan-tujuan strategis jangka panjang mereka utamanya mempertahankan atau meningkatkan daya saing global mereka dengan cara memperoleh/mengakuisisi aset- aset perusahaan asing di luar negara asalnya. Alasan investasi ini biasanya tidak terlalu memfokuskan diri pada minimalisasi biaya produksi melainkan lebih kepada mengeksploitasi aset dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Hampir sama seperti investasi yang bertujuan mencari efisiensi, Perusahaan Multinasional yang berinvestasi dengan mencari aset strategis berusaha memaksimalkan keuntungan dari kepemilikan bersama atas aktivitas dan kapabilitas bisnis yang bermacam-macam, maupun dari aktivitas dan kapabilitas bisnis yang sama yang berada pada lingkungan ekonomi dan potensi yang bermacam-macam (John H. Dunning dan Sarianna M. Lundan. 2008: 67-73).

E. Hubungan Istimewa

  Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 7 tentang Pengungkapan Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan istimewa mendefinisikan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional.

  Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 8 tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2010, Hubungan istimewa dianggap ada apabila: 1.

  Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir.

  2. Pengusaha menguasai pengusaha lainnya atau dua atau lebih pengusaha berada di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.

  Pasal 9 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan mitra perjanjian menyatakan perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, apabila: 1.

  Suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan turut berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan.

  2. Terdapat orang/badan yang sama yang turut berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan, atau modal suatu perusahaan dari Negara Pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dan dalam setiap kasus di atas, terdapat kondisi-kondisi yang dibuat atau diberlakukan diantara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagang atau hubungan keuangannya yang berbeda dengan kondisi-kondisi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai kedudukan bebas, maka atas laba yang karena kondisi- kondisi tersebut tidak diakui, dapat ditambahkan pada laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak (L.Y Hari Sih Advianto. 2011).

F. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) 1.

  Pengertian Tax Treaty Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dikenal dengan beberapa istilah yaitu Perjanjian Perpajakan (Tax treaty), Tax Convention,

  Double Tax Agreement , atau Double Tax Treaty.

  A “Treaty” is an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, wheter embodied in a single instrument, or in two or nore related instruments and whatever its particular designation (John Hutagaol, Darussalam, Dany Septriadi.

  2006: 138).

   Tax treaty is a colloquial term to denote an agreement two (or more) countries for the avoidance of double taxation as result of negotiation between respective countries and is ratified by each country according to its domestic law (Lyons. 1996: 248).

  Menurut Ottmar Buhler, terdapat pengertian Tax Treaty dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Pengertian dalam arti luas manakala suatu

  tatbestasnd yang sama dan pada saat yang sama, oleh beberapa negara

  yang dikenakan pajak yang sama atau yang sifatnya sama. Sementara itu yang dimaksud sebagai Tax Treaty dalam arti sempit adalah apabila pajak yang bersangkutan dikenakan pada subyek yang sama (Y. Sri Pudyatmoko. 2009: 207).

2. Timbulnya Tax Treaty

  Pajak Berganda terjadi karena adanya pertemuan dari kedua negara yang menggunakan kedua azas yang berbeda. Selain menimbulkan double

  

tax , pertemuan kedua azas yang berbeda dari kedua negara tersebut juga

dapat menyebabkan adanya pembebasan berganda (double exemption).

  Untuk mengatasai adanya double tax atau double exemption tersebut, maka diperlukan adanya perjanijian penghindaran pajak berganda (Djoko Muljono. 289: 2010).

  Menurut Ottmar buhler dan Teichner, adanya pajak berganda internasional dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: a.

  Perbedaan Asas yang Dipakai (Kedaulatan Negara) Perbedaan asas yang dipakai oleh masing-masing negara dapat menimbulkan pajak ganda internasional. Asas domisli bertemu dengan asas sumber, asas kebangsaan bertemu dengan asas sumber, dan seterusnya.

  b.

  Domisili Rangkap Dalam asas domisili pengenaan pajak dikaitkan dari subyek pajaknya. Dalam hal ini yang dikenai pajak adalah semua orang atau badan yang berdomisili di negara tersebut dimanapun asalnya. Oleh karena itu, kalau seseorang dianggap berdomisili di negara yang bersangkutan oleh lebih dari satu negara, dapat mengakibatkan adanya pajak berganda internasional. c.

  Kebangsaan Rangkap Kebangsaan rangkap terjadi karena adanya perbedaan batasan pengertian “warga negara” yang dipakai. Apabila penentuan kewarganegaraan di suatu negara menggunakan dasar tempat kelahiran (ius soli) sementara yang lain menggunakan dasar aliran darah/ keturunan (ius sunguisnis), maka hal tersebut dapat menyebabkan kewarganegraan ganda (Y. Sri Pudyatmoko. 2009: 209-211).

3. Model Tax Treaty

  Model Tax Treaty yang sering digunakan adalah United Nation Model dan OECD Model. United Nation Model banyak digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai negara yang mempunyai sumber penghasilan. Sedangkan, OECD Model banyak digunakan oleh negara maju yang cenderung menganut azas domisili. Perbedaan kepentingan antara kedua negara yang akan melaksanakan tax treaty, tidak memungkinkan untuk secara mutlak menggunakan salah satu model tersebut, sehingga dalam prakteknya kedua model tersebut akan diadopsi untuk terjadinya perjanjian penghindaran pajak berganda (Djoko Muljono.

  290: 2010).

G. BEPS (Based Erosion and Profit Shifting) 1.

  Definisi BEPS

  Base erosion and profit shifting (BEPS) merupakan istilah yang

  digunakan oleh negara- negara anggota G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktik usaha yang dilakukan oleh banyak Perusahaan Multinasional (MNCs) untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema Transfer Pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol. Secara umum, selain melalui

  

Transfer Pricing , praktik BEPS juga dapat terjadi karena adanya praktek

hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap

  negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose entities

  

(SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada Perusahaan Multinasional

untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain (Wells dan Lowell.

  2013: 3).

  2. Penyebab Isu BEPS a.

  Praktik Profit Shifting yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka dan memaksimalkan

  profit mereka merupakan penyebab utama BEPS.

  b.

  Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks.

  c.

  Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong Perusahaan Multinasional untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya.

  d.

  Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh Perusahaan Multinasional telah memberikan keunggulan kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan kepatuhan pajak. e.

  Saat ini telah berkembang praktek di mana Perusahaan Multinasional tidak membayar kewajiban pajaknya di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha.

  f.

  Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini.

3. Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS:

  a. Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi.

  b. Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax

  

jurisdiction oleh Perusahaan Multinasional. Perbedaan tarif pajak

  menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang pada umumnya dimanfaatkan oleh Perusahaan Multinasional dalam tax planning-nya.

  c. Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang bahwa Perusahaan Multinasional dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini akan mengganggu kepatuhan wajib pajak lainnya (Nanang Zainal Arifin. 2014:2-3).

  4. Produk BEPS Perlu diketahui produk BEPS yang dikeluarkan OECD adalah berupa:

  a. Laporan kesimpulan sementara yang menandakan permulaan perdebatan atas isi laporan BEPS.

  b. Rekomendasi bagi ketentuan domestik, seperti ketentuan CFC. c Rekomendasi untuk Model Convention, seperti ketentuan Permanent Establishment .

  d. Rekomendasi ketentuan Transfer Pricing, seperti intangibles.

  e. Proposal Mutual Agreement Procedure (MAP) (Deborah. 2014: 107).

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH BEBAN PAJAK, TUNNELING INCENTIVE, DAN MEKANISME BONUS TERHADAP TRANSFER PRICING PERUSAHAAN MULTINASIONAL YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA

17 152 97

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sistem Pendukung Keputusan - APLIKASI PEMILIHAN KACAMATA DENGAN METODE SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING (SAW) - repository perpustakaan

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - KAJIAN STRENGTH, WEAKNESS, OPPORTUNITIES, THREATS (SWOT) PADA DEVELOPER REAL ESTATE INDONESIA (REI) DI KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sistem Informasi Geografi - SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB UNTUK PEMETAAN PENYEBARAN PENYAKIT DI KECAMATAN AJIBARANG - repository perpustakaan

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rantai Pasok - RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP - repository perpustakaan

0 1 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. SISTEM PAKAR - SISTEM PAKAR UNTUK MENDIAGNOSA PENYAKIT HATI MENGGUNAKAN METODE FORWARD CHAINING - repository perpustakaan

0 1 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KABUPATEN PURBALINGGA - INFORMASI TEMPAT WISATA KABUPATEN PURBALINGGA BERBASIS ANDROID - repository perpustakaan

0 10 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR KIMIA - PENGEMBANGAN APLIKASI SISTEM PAKAR MENGENALI UNSUR ZAT KIMIA BERBASIS ANDROID - repository perpustakaan

0 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PENGARUH TERAPI LINGKUNGAN : BERKEBUN TERHADAP PENINGKATKAN HARGA DIRI PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RSUD BANYUMAS - repository perpustakaan

2 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi - PERSEPSI KEPALA PUSKESMAS TERHADAP PERAN APOTEKER DI PUSKESMAS KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 4 8