GAMBARAN PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK RETARDASI MENTAL DI DUKUH GENTING KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

  

GAMBARAN PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP

ANAK RETARDASI MENTAL DI DUKUH GENTING KELURAHAN

METESEH KOTA SEMARANG

Manuscript

  

Oleh :

Silvi Malia Sinta

G2A216065

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

  

2018

  

GAMBARAN PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANAK

RETARDASI MENTAL DI DUKUH GENTING KELURAHAN METESEH KOTA

SEMARANG 1 2

2

Silvi Malia Sinta , MF. Mubin , Desi Ariyana

  1 Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes UNIMUS

  Silvimalia8@gmail.com

  2 Dosen Keperawatan Jiwa Fikkes UNIMUS Abstrak

Anak retardasi mental merupakan anak dengan keterbatasan intelektual yang

mempengaruhi kemampuan perilaku sehari-harinya. Dengan adanya anak retardasi

mental di lingkungan masyarakat, menimbulkan persepsi dan sikap yang beraneka ragam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi, sikap dan harapan

masyarakat terhadap anak retardasi mental di Dukuh Genting, Kelurahan Meteseh, Kota

Semarang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sampel penelitian

ini sebesar 5 partisipan. Teknik pengambilan data menggunakan teknik purposive

sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat memandang anak

retardasi mental sebagai anak yang mengalami keterlambatan perkembangan dan

mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan adanya stigma

pada masyarakat sehingga sebagian besar orang enggan mengajak bicara anak retardasi

mental karena dianggap berbeda dengan anak yang lain. Namun, ada juga masyarakat

yang memberikan dukungan sosial terhadap anak retardasi mental seperti

memperbolehkan untuk bermain kerumah dan mengajaknya berbicara. Meskipun

memiliki kemampuan intelektual yang terbatas, namun masyarakat berharap agar anak

retardasi mental dapat tumbuh menjadi anak yang lebih baik dan bisa meningkatkan

sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya melalui program pendidikan. Diharapkan

masyarakat mampu memberikan dukungan positif kepada anak retardasi mental untuk

menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak retardasi mental Kata kunci :Anak retardasi mental; Persepsi dan Sikap masyarakat Daftar Pustaka :52 (2004-2017) Abstract

A child's mental retardation is a child with intellectual limitations that affect his daily

behavioral abilities. The presence of a child's mental retardation within the society leads

to diverse perceptions and attitudes. The objective of this study is to determine the

description of perceptions, attitudes and expectations of the society toward child's mental

retardation in Genting Hamlet, Village of Meteseh, Semarang. Research method used is

qualitative research. The sample of this research is 5 (five) participants. Taking data using

purposive sampling technique. The results of this study indicate that the community

views the child's mental retardation as a child experiencing developmental delays and

  

experiencing limitations in communicating. This resulted in the stigma in the society so

that most people are disincline to talk to mentally retarded child because it is different

from the others. However, there are also societies that provide social support for children

with mental retardation such as allowing to come home and inviting them to speak. In

despite of having limited intellectual ability, but the society hopes for the child's mental

retardation to grow into a better child and can improve their socialization with the

surrounding environment through education program. It is that the community could give

posit ive support to the child’s mental retardation to stimulate their growth and development.

  Keywords: Child's mental retardation; perceptions and attitudes of society References: 52 (2004-2017)

A. PENDAHULUAN

  Anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, hambatan fisik dan komunikasi serta anak yang mengalami keterbelakangan (Anggraini, 2013). Keterbelakangan mental atau biasa disebut dengan retardasi mental adalah ketidakmampuan kognitif anak yang mempengaruhi tingkat kecerdasan secara menyeluruh seperti kemampuan sosial, motorik, dan bahasa. Kehadiran anak yang mengalami retardasi mental memunculkan dinamika kehidupan yang kompleks lebih berat bagi keluarga (Hidayati, 2011).

  Menurut catatan WHO pada tahun 2010 di Amerika 3% dari penduduknya mengalami keterbelakangan mental, di Belanda 2,6%, di Inggris 1-8% dan di Asia ±3%. Kasus retardasi mental di Indonesia terjadi sekitar 1-3% dari jumlah penduduknya dengan kriteria 80% retardasi ringan, 12% retardasi sedang, dan 8% retardasi mental tipe berat. Berdasarkan data Dinas Sosial di Jawa Tengah pada tahun 2008-2010 jumlah penyandang retardasi mental sekitar 8.066 jiwa. Menurut Riset Kesehatan Dasar prevalensi anak retardasi mental menunjukkan kenaikan 1% dari semula 0,12% pada tahun 2010 menjadi 0,13% pada tahun 2013. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SLB Negeri Semarang pada tahun ajaran 2016/2017 terdapat 463 siswa/i berkebutuhan khusus dengan 30 anak tuna netra, 107 anak tuna rungu, 304 anak tuna grahita, dan 22 anak dengan tuna daksa.

  Besarnya angka kejadian retardasi mental akan menimbulkan suatu dampak permasalahan bagi penderita. Menurut departemen sosial RI bidang kesejahteraan sosial dampak yang dirasakan bagi anak penyandang retardasi mental adalah adanya hambatan fisik bagi anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari, adanya gangguan keterampilan kerja produktif, dan adanya perasaan malu, kurang percaya diri, adanya hambatan dalam melakukan fungsi sosial dan tidak mampu berkomunikasi secara wajar (Merdekawati & Dasuki, 2017). Selain itu dampak lain yang dirasakan oleh keluarga adalah menanggung banyak beban perekonomian keluarga karena membutuhkan perawatan dan pengobatan secara terus menerus (Wulandari, 2016). Di lingkungan masyarakat muncul adanya stigma negatif terhadap anak retardasi mental karena adanya pembatasan sosial yang dilakukan kepada anak retaradasi mental karena menganggap perilaku anak retardasi mental berbeda dengan anak normal lainnya seperti kesulitan sejumlah kegiatan fisik, psikologi maupun sosial.

  Upaya pemerintah sebagai bentuk perhatian terhadap anak retardasi mental telah tercantum di dalam Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatakan bahwa setiap anak yang menyandang cacat fisik dan cacat mental berhak memperoleh pelayanan bantuan sosial dan pemeliharaan kesejahteraan sosial. Selain itu, menurut Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional setiap anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau yang berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus tetap memiliki kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan untuk membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti terhadap 2 tetangga yang tinggal disekitar anak retardasi mental tentang gambaran persepsi dan sikap terhadap anak retardasi mental mendapatkan hasil bahwa respon tetangga baik dan terkadang bersosialisasi dengan anak retardasi mental tersebut. B. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive

  sampling. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian

  fenomenologis. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar anak reatardasi mental di Dukuh Genting RT 02 dan 03 RW 06 Kelurahan Meteseh sejumlah 110 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 5 responden. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan alat rekam dan alat tulis. Dalam proses pengolahan data, sumber data yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni sampai Januari 2018.

  C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL Dalam penelitian yang telah dikumpulkan peneliti dari Dalam penelitian yang telah dikumpulkan peneliti dari partisipan ditulis selengkap-lengkapnya sesuai dengan hasil wawancara yang di rekam serta hasil catatan penelitian yang kemudian dikumpulkan. Dari data tersebut peneliti pahami yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel yang tersusun berdasarkan kata kunci, kategori dan tema.

  a.

Gambaran persepsi masyarakat terhadap anak retardasi mental

  Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari partisipan, masing-masing partisipan mengartikan dengan pendapat yang berbeda, Namun pada keseluruhannya oleh peneliti dikategorikan masyarakat memandang anak retardasi mental sebagai anak yang mengalami keterlambatan perkembangan dan menganggap anak yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi sehingga muncul stigma terhadap anak retardasi mental. Pendapat partisipan tentang persepsi atau gambaran tersebut selengkapnya terdapat pada kutipan hasil wawancara sebagai berikut :

  1) Keterlambatan perkembangan

  Tema Kutipan Hasil Wawancara Keterlambatan

  1.

  “Fiki yo di sekolahke wet ndek SD sampek saiki SMA

perkembangan kelas 1 tapi yo raisoh nulis raisoh moco, angel

mocone”

  (“Fiki juga di sekolahkan sejak SD sampai SMA kelas 1 mbak, tapi ya enggak bisa baca tulis, bacanya susah”)

  2.

  Misalkan anak yang lain sudah masuk SD dia belum apa-apa masih kayak anak kecil bahkan masih kayak

anak bayi gitu masih butuh apa-

apa sama orang tua”

  3. iyo mbak, wonge ki menengan, isinan ngono. Terus iseh koyo cah cilik mbak padahal wis gede”

  (“iya mbak, orangnya tuh pendiam, pemalu gitu, terus masih seperti anak kecil padahal sudah besar”)

  4.

  ra normalne yo piye yo mbek konco-koncone yo carane raisoh nganu lo mbak, gampange yo nek dolanan raisoh ngomong yowis ngono kui o mbak ra normal” (“enggak normalnya ya gimana ya mbak, beda sama temen-temennya ya gampangannya enggak bisa ngomong gitu mbak ya gitu enggak normal”)

  5.

  “bocahe yo ngono mbak, ora koyo anakku bedo (“anaknya ya gitu mbak, enggak kaya anakku, beda”)

  2) Hambatan dalam berkomunikasi Tema Kutipan Hasil Wawancara 1.

  

berkomunikasi mbak, nek ngomong mung sakkecap-sakkecap

(“kalau main sama teman-temannya enggak bisa ngomong mbak, kalau ngomong cuma sekata- sekata”) 2.

  Ngomonge ki susah, nek diajak ngomong ki meneng”

  (“Ngomongnya tuh susah, kalau diajak ngomong tu diem”)

  3.

  nek diajak ngomong ki kadang ora nyambung, ngomonge angel ngono lo mbak, mung sitik- sitik”

  (“kalau diajak ngomong gitu kadang enggak nyambung, ngomongnya susah gitu lo mbak cuma sedikit- sedikit”)

  4.

   “nek ditakoni ki yo jawab mbak, mung ki ora jelas, ngomonge ki kurang ngono lo mbak, ora jelas koyo gagap- gagao ngono”

  (“kalau ditanya tuh ya jawab mbak, Cuman tuh enggak jelas, ngomongnya tu kurang gitu lo mbak seperti gagap- gagap gitu”)

  5.

   “iyo mbak, wonge ki menengan, isinan ngono.

  Terus iseh koyo cah cilik mbak padahal wis gede” (“iya mbak, orangnya tuh pendiam, pemalu gitu, terus masih seperti anak kecil padahal sudah besar”) 1.

   “nek ngajak ngomong dek Fiki pisan pindo mbak, 2.

  Stigma ora sering. Aku rodo cuek mbek bocahe mbak soale yoo piye bocahe yo meneng dadi aku yo meneng wae mbak” (“kalo ngajak ngomong Fiki sesekali mbak, enggak sering. Aku agak cuek mbak sama orangnya soalnya anaknya diem jadi aku juga diem aja mbak”)

  2.

   “nek ngomong mbek Fiki yo biasa mbak, ning ki aku ora pernah ngajak ngomong Fiki mbak” (kalo ngomong sama Fiki ya biasa mbak, tapi aku enggak pernah ngajak ngomong Fiki mbak) b.

Gambaran sikap masyarakat terhadap anak retardasi mental

  Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari partisipan, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat terhadap anak retardasi mental. Dalam penelitian ini 60% dari jumlah partisipan memiliki dukungan sosial yang baik terhadap anak retardasi mental seperti memperbolehkan main, mengajak berbicara, dan memberikan makanan ringan. Dalam hal ini peneliti mendapatkan satu tema yaitu adanya dukungan sosial yang diberikan masyarakat terhadap anak retardasi mental. Pendapat partisipan tentang sikap tersebut terdapat pada kutipan hasil wawancara sebagai berikut ini :

  1) Memberikan dukungan sosial

  Tema Kutipan Hasil Wawancara 1.

  main (“kalau main kesini ya boleh mbak”) 2.

  ya boleh mbak, kan masih saudaranya” 3. Ya boleh mbak, enggak papa” 4.

  

ya tak bolehin main mbak”

1.

  

2. “yo angsal, yo di takokki tak takoki meh maem

Mengajak berbicara opo?”

  (ya boleh, ya aku tanyai, tanya mau makan apa?) 2.

   iya sering ngajak ngobrol mbak, biasa 3. yo tak ajaki ngomong mbak, meskipun nek diajaki ngomong kadang nyambung kadang ora”

  (“ya di ajaki ngomong mbak, meskipun kalau diajak ngomong kadang nyambung kadang enggak”)

  4.

  aku nek ngajak ngomong mbek bocahe yo biasa mbak podo wae karo bocah liyane” (“aku kalau ngajak ngomong sama anaknya ya biasa mbak, sama seperti ngomong sama anak lainnya”) 3.

  1. Memberikan “biasane nek dolan rene, yoo piye ya mbak wis biasa makanan ringan yo tak tawari makanan tak kei ngono mbak” (“biasanya kalau main kesini yaa gimana ya mbak, udah biasa ya tak tawari makanan, tak kasih makanan gitu mbak”)

  2.

   “kalau misal maen kesini ya tak kasih makanan mba k, tak tawari dek mau ini engga?. gitu”

  3.

   “meskipun bocahe koyo ngono yo tetep tak takoni wis maem durung? Nek aku ndue jajan yo tak kei mbak

   (“meskipun anaknya seperti itu, yaa tetep tak tanya i sudah makan belum? Kalau aku punya jajanan ya saya kasih mba k”) c.

  Gambaran harapan masyarakat terhadap anak retardasi mental Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari partisipan mengenai gambaran harapan terhadap anak retardasi mental, peneliti mendapatkan dua tema yaitu belajar atau bersekolah dan dapat bersosialisasi. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut :

  Tema Kutipan Hasil Wawancara Bersekolah

  1.

  “mm asline nek kepengenku yo butuhe tak kon normal, sing apik butuhe kumpul-kumpul karo koncone ora diserik mbak” (“mm aslinya kalo kepengenku ya jadi normal mbak, yang baik kalau misal kumpul sama temen-temennya enggak di benci ”)

  2.

  “Mas Fiki kan yo sekolah ya mbak, jadi yo ben dadi bocah sing apik dibanding saiki”

  (“mas Fiki kan ya sekolah ya mbak, jadi ya biar jadi anak yang lebih baik di banding sekara ng”) 3.

  “pengenku yo nek isoh normal koyo anak-anak sing laine mbak” (“pengenku ya kalau bisa normal sama seoerti anak- anak lainnya mbak”)

  Dapat bersosialisasi 1.

  “yo isoh gabung, kumpul karo konco-koncone mbak(“ya bisa gabung, kumpul sama temen-temennya mbak ”) 2.

  “yo sebagai tonggone kepengenku Fiki kui yo isoh sosialisasi koyo konco-koncone mbak,

komunikasine lancar

   (“ya sebagai tetangganya kepengenku Fiki itu ya bisa sosialisasi sama teman-temannya mbak, komunikasinya lancar”) 3.

  penegnku ya isoh dolanan karo konco-koncone mbak, ben isoh sosialisasi

   (“pengenku ya bisa main sama teman-temannya mbak,

komunikasinya lancar”)

2.

  PEMBAHASAN a.

Gambaran persepsi masyarakat terhadap anak retardasi mental

  Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa pada umumnya partisipan memandang anak retardasi mental sebagai anak yang mengalami keterlambatan perkembangan dan hambatan dalam berkomunikasi.

  Keterlambatan perkembangan yang dialami anak retardasi mental menurut partisipan yaitu keterlambatan dalam berfikir dan berbicara. Partisipan mengatakan anak retardasi mental mengalami keterlambatan kognitif dan intelektual seperti keterlambatan dalam bersekolah. Anak retardasi mental sudah berusia 18 tahun namun masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) selain itu anak juga mengalami keterlambatan dalam berbicara dan merespon. Keterlambatan yang dialami anak retardasi mental ini tergolong kedalam retardasi mental sedang atau imbisil.

  Anak retardasi mental merupakan suatu keadaan perkembangan mental yang terganggu sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, seperti kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Apriyanto, 2012). Kelemahan kecerdasan tidak hanya berakibat pada kelemahan fungsi kognitif, tetapi juga berpengaruh pada sikap dan keterampilan lainnya. Fungsi kognitif dan psikomotorik anak retardasi mental sangat berbeda dengan anak normal lainnya, maka pembelajaran yang diberikan cenderung melalui proses analisis psikomotorik (Santrock, 2007).

  Retardasi mental taraf sedang memiliki tingkat Intelligence

  

Quotient (IQ) 35 sampai 55 memiliki karakteristik mampu

  mempelajari komunikasi sederhana, keterampilan tangan sederhana dan perawatan diri yang mendasar. Pada tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat berfungsi didalam lingkungan sosial (Wong, 2009). Proses pembelajaran yang diberikan berfokus pada kegiatan melatih anak dengan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk dapat berfungsi pada lingkungan sosial, salah satunya dengan dilakukan terapi bermain. Pelatihan yang diberikan ini mengarah ke suatu permainan yang melatih bicara, keterampilan sederhana dalam lingkup aspek kognitif, psikomotor, dan aspek sosial adaptif.

  Terapi bermain ini digunakan untuk memberikan stimulus dalam mengembangkan potensi kecerdasannya (Chelly, 2006).

  Anak retardasi mental mengalami keterlambatan perkembangan dilihat dari usianya yang sudah tua namun segala aktifitasnya masih tergantung dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian menurut Hakim (2013), menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh usia yang signifikan terhadap perkembangan motorik kasar anak retardasi mental. Anak retardasi mental mempunyai tingkat kemandirian yang rendah dan ketergantungan yang tinggi terhadap orang tua maupun pengasuhnya. Berbeda dengan hasil penelitian Ramawati (2012), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan kondisi fisik anak (kekuatan motorik dan hipersalivasi) dengan kemampuan perawatan diri anak tuna grahita. Usia anak yang lebih tua (≥12 tahun) mempunyai kemampuan lebih baik dibandingkan anak dengam usia lebih muda (≤12 tahun).

  Upaya untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak retardasi mental menurut penelitian Lisnawati (2014) menjelaskan bahwa terapi bermain penyusunan bentuk bangun dasar memiliki pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan pengembangan kemampuan kognitif pada anak retardasi mental. Hasil penelitian lain, menurut Adhani (2017) menjelaskan bahwa pendekatan montessori memiliki pengaruh untuk melatih Daily Life Skill anak retardasi mental agar menjadi anak yang mandiri. Pendekatan montessori ini merupakan program pendidikan yang diberikan kepada anak retardasi mental dengan melatih kehidupan yang praktis seperti materi sensorik untuk pelatihan indera dan materi akademik untuk pengajaran menulis, membaca dan berhitung.

  Selain mengalami keterlambatan kognitif, anak retardasi mental juga mengalami keterlambatan dalam berbicara. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, partisipan mengatakan bahwa kosa kata anak retardasi mental kurang. Anak hanya mampu mengucapkan satu suku kata saja bahkan terkadang anak hanya diam dan tidak menjawab apabila diajak berinteraksi.

  Menurut Kemis & Rosnawati (2013) menjelaskan bahwa karakteristik psikis anak retardasi mental sedang adalah mengalami gangguan berbicara, mengalami penurunan bahasa, serta sulit untuk mempelajari kata-kata yang bersifat abstrak, bahkan anak retardasi mental cenderung menarik diri dan malu ketika berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan karakteristik anak retardasi mental menurut partisipan.

  Hasil penelitian menurut Febrisma (2013) upaya untuk meningkatkan perkembangan bahasa dan kosa kata anak retardasi mental bisa dilakukan dengan metode bermain peran. Metode bermain peran ini melatih anak retardasi mental untuk meningkatkan perkembangan bahasa dan kosa kata yang dimiliki lewat peran yang dimainkannya.

  Keterlambatan perkembangan yang dialami oleh anak retardasi mental ini menimbulkan stigma di lingkungan masyarakat yang menganggap bahwa anak retardasi mental merupakan anak yang berbeda dengan yang lain sehingga masyarakat enggan untuk mengajaknya berbicara. Hal ini dibuktikan dengan salah satu pernyataan partisipan sebagai berikut :

  “Dek Fiki menurut saya anak yang berbeda dengan anak yang lainnya dan

pemalu jika bertemu dengan orang lain, jadi saya cenderung diam dan tidak

pernah tegur sapa ketika saya bertemu dengan dek Fiki.”

  Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajeng (2014) mengenai pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus hasilnya masih beragam. Secara umum masyarakat yang tinggal di luar lingkungan SLB mempunyai tanggapan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang aneh sehingga ketika mereka bertemu dengan anak tersebut akan menjauhinya, tetapi adapula masyarakat yang lebih memilih cuek dan merasa tidak peduli dengan keberadaan mereka. Hal ini terjadi karena adanya faktor pemahaman mengenai anak berkebutuhan khusus kurang baik.

  Meskipun anak retardasi mental mengalami hambatan dalam berkomunikasi namun, sebagian masyarakat masih mau mengajak berinteraksi dengan menggunakan komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal yang dilakukan partisipan ketika mengajak berbicara anak retardasi mental adalah dengan cara berhadapan langsung dan adanya kontak mata. Sedangkan komunikasi verbal yang dilakukan adalah berbicara biasa dengan menggunakan nada suara yang keras, jelas dan berulang-ulang apabila partisipan tidak memahami apa yang di maksud anak retardasi mental tersebut.

  Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanun (2013) mengenai komunikasi antarpribadi tunagrahita di Asrama Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB) mendapatkan hasil bahwa meskipun mereka tersembunyi dan termarginalkan tetapi kehidupan didalam asrama menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecerdasan rendah mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan membentuk kesepahaman bersama sebagai inti dari komunikasi.

  Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Damara (2017) mengenai interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat desa Sidoharjo baik sesama orang idiot maupun orang idiot dengan orang normal, keduanya berinteraksi menggunakan komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal digunakan orang idiot melalui bahasa istilah dan penyingkatan bahasa sedangkan komunikasi non verbal berupa gerakan tubuh yang digunakan ketika simbol verbal mengalami kesulitan untuk di mengerti. Kedua komunikasi tersebut digunakan oleh orang idot dalam menjalin komunikasi sesama orang idiot maupun orang normal. Sebaliknya orang normal meresponnya juga menggunakan komunikasi verbal dan non verbal.

  Hasil penelitian Prasetyoningsih (2014) strategi untuk mengatasi keterlambatan berbicara pada anak retardasi mental yaitu dengan cara pemanggilan. Pemanggilan dilakukan secara berulang-ulang sampai mendapatkan fokus dan respon secara benar. Strategi yang kedua yaitu pemberian petunjuk, menggunakan tuturan langsung dalam memberikan perintah dan penjelasan. Strategi yang terakhir yaitu visual atau model dengan cara menggunakan bentuan gambar, model, atau tiruan tindakan.

  b.

Gambaran sikap masyarakat terhadap anak retardasi mental

  Berdasarkan hasil penelitian, menjelaskan bahwa sikap masyarakat terhadap anak retardasi mental tergolong baik, Seperti memperbolehkan main ke rumah bersama anaknya, mengajak ngobrol dan memberikan makanan ringan sebagai bentuk perhatian kepada anak retardasi mental. Dalam hal ini peneliti mengkategorikan kedalam satu tema yaitu adanya dukungan sosial yang diberikan masyarakat terhadap anak retardasi mental.

  Bermain merupakan terapi bagi anak retardasi mental yang berfungsi sebagai pengembangan sensorimotorik, intelektual, moral, sosial dan kreativitas. Aktifitas bermain bersama teman sebaya juga memberikan peluang bagi anak untuk mengembangkan keterampilan bahasa, keterampilan sosial dan meningkatkan interaksi dan sifat positif lainnya (Wong, 2009).

  Berdasarkan hasil penelitian, partisipan mengatakan memperbolehkan anak retardasi mental untuk main kerumahnya dan mengajaknya untuk berinteraksi. Partisipan beranggapan bahwa ketika anak retardasi mental datang kerumah mereka akan memberikan respon positif sebagai bentuk dukungan sosial yang diberikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2016) mengenai sikap masyarakat terhadap warga retardasi mental ditunjukkan dengan adanya sikap menerima warga retardasi mental secara positif, menerima sebagai bagian dari dirinya dan berusaha membantunya agar mampu menjalankan aktivitas pribadi, keluarga, dan sosialnya.

  Memberikan makanan ringan juga dilakukan masyarakat sebagai bentuk dukungan sosial nyata yang diberikan kepada anak retardasi mental. Partisipan mengatakan apabila anak retardasi mental main kerumah, partisipan akan menawarkan makanan yang dia punya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elysa dan Notosrijoedono (2014) bahwa dukungan sosial yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus berupa tas, sepatu, seragam, dan alat-alat tulis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya sekolah dan juga pemerintah untuk mendukung anak berkebutuhan khusus agar termotivasi dan semangat dalam belajar.

  c.

  Gambaran harapan masyarakat terhadap anak retardasi mental Berdasarkan hasil penelitian, menjelaskan bahwa masyarakat memiliki harapan terhadap anak retardasi mental untuk belajar atau bersekolah agar dapat bersosialisasi bersama anak seusianya.

Menurut Undang Undang No 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, “Pendidikan khusus dapat dilaksanakan melalui lembaga

  pendidikan khusus (SLB) atau inklusif (terintegrasi kedalam lembaga pendidikan reguler). Hal ini berarti bahwa pemerintah mendukung adanya upaya intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan memberikan layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus yang terintegrasi dalam lembaga pendidikan reguler dengan beberapa prasyarat tertentu. Selain itu berdasarkan Pasal 1 Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009 menjelaskan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan, memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan dan pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Sunaryo, 2009).

  Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, partisipan mengatakan bahwa partisipan sebagai tetangga anak retardasi mental berharap agar anak retardasi mental di sekolahkan untuk menjadikan suatu kegiatan yang positif bagi anak retardasi mental, selain itu partisipan berharap dengan adanya sekolah bisa menjadikan anak lebih baik dan bisa bersosialisasi dilingkungan masyarakat. Melalui program pendidikan ini anak retardasi mental juga bisa belajar, melatih keterampilan dan bisa mendapatkan lingkungan psikososial yang positif.

  Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Diahwati (2016) bahwa siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah memiliki beberapa keuntungan diataranya dapat membangun relasi yang positif, memiliki keterampilan sosial yang lebih baik, lebih sering berinteraksi dengan teman sebaya dan dapat berperilaku yang lebih diterima oleh orang lain.

  Pada tahap perkembangan dan pertumbuhan anak retardasi mental, bermain merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk membantu anak dalam proses bersosialisasi. Sosialisasi merupakan suatu proses individu untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan dan pembentukan kepribadian yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sebagai anggota kelompok dimasyarakat yang efektif.

  Berdasarkan hasil wawancara, partisipan mengatakan bahwa selain anak retardasi mental sekolah, harapan yang lain yaitu agar kemampuan bersosialisasi anak retardasi lebih baik dan dapat diterima di lingkungan meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan analisa peneliti di lapangan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental sudah baik dilihat ketika anak retardasi mental mau bermain bersama teman-temannya meskipun usianya jauh lebih muda daripada usia anak retardasi mental tersebut.

  Berdasarkan hasil penelitian Chusairi (2004) terapi bermain sosial dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan sosial anak. Metode terapi bermain ini dilakukan secara berkelompok yang melibatkan anak normal untuk memberikan stimulasi yang variatif dan adekuat terhadap anak retardasi mental.

  Dukungan positif yang diberikan masyarakat terhadap anak retardasi mental melalui proses penerimaan anak di lingkungan akan memberikan dampak positif pula bagi pertumbuhan dan perkembangan anak retardasi mental tersebut. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2016) bahwa bentuk dukungan masyarakat yang diberikan melalui proses kegiatan pemberdayaan warga retardasi mental memiliki pengaruh agar mampu dan kuat menjalani aktivitas hidupnya dengan tetap memperkuat proses potensi yang dimilikinya meskipun terbatas.

D. KESIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan dapat disimpulkan tentang gambaran persepsi dan sikap masyarakat terhadap anak retardasi mental bahwa masyarakat memberikan persepsi tentang anak retardasi mental sebagai anak yang mengalami keterlambatan perkembangan dan mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan stigma muncul didalam masyarakat sehingga ada sebagian masyarakat yang enggan mengajak berbicara anak retardasi mental tersebut. Meskipun masyarakat yang tinggal di lingkungan anak retardasi mental mengganggap anak retardasi mental sebagai anak yang berbeda dengan anak yang lain namun sebagian partisipan masih memberikan dukungan sosial kepada anak retardasi mental seperti memperbolehkan anak retardasi mental bermain kerumah, mengajaknya berbicara dan memberikan makanan ringan. Masyarakat juga memiliki harapan kepada anak retardasi mental agar disekolahkan sehingga anak retardasi mental tumbuh menjadi anak yang lebih baik dan bisa meningkatkan sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya meskipun dengan kondisinya yang terbatas.

E. SARAN

  Hasil penelitian diharapkan untuk keluarga lebih memberikan perhatian dan stimulasi terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak retardasi mental dengan cara tetap memperhatikan kebutuhan dan keperluan sehari-hari seperti memberikan pendidikan meskipun di sekolah luar biasa, keluarga juga tetap memberikan dukungan sosial kepada anak retardasi mental agar bisa tumbuh di lingkungan masyarakat dengan baik. Dukungan positif bagi masyarakat juga sangat diperlukan anak retardasi mental dengan cara tidak melakukan stigma negatif terhadap anak retardasi mental, tidak membeda-bedakan anak retardasi mental dengan anak normal lainnya dan memberikan respon positif sehingga anak retardasi metal merasa diterima di lingkungan masyarakat. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan penelitian ini, peneliti dapat mengembangkan ide-ide penelitian selanjutnya sehingga dapat memberikan variasi pada penelitian berikutnya, seperti pemilihan topik bahasan dan pemilihan partisipan atau responden dengan beberapa anak yang menderita retardasi mental kemudian dibandingkan anak satu dengan anak yang lainnya. Diharapkan lebih bisa memperdalam dan memperbanyak penggunaan kosa kata untuk menggunakan penelitian dengan metode kualitatif. F. KEPUSTAKAAN Adhani, D. N., Mayangsari, D., & Fitroh, S. F. (2017). Mengajarkan Daily

  Pada Anak Usia 6 Tahun Yang Menderita Retardasi Mental

  Life Skill

  Dengan Pendekatan Montessori. Jurnal Anak Usia Dini Dan Pendidikan Anak Usia Dini , Volume 3. Ajeng, R. (2014). Kepedulian Masyarakat Terhadap Anak Berkebutuhan

  Khusus di Lingkungan SLB NEGERI B Sumedang. Jurnal Ilmu Keperawatan . Anggraini, R. R. (2013). Persepsi Orang Tua Terhadap Anak

  Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1, 258 –265. Apriyanto, N. (2012). Seluk-beluk Tunagrahita dan Strategi Pembelajarannya . Yogyakarta: Javalitera.

  Chelly, J., & Khelfaoui, M. (2006). Genetics and pathophysiology of mental retardation . Eur J Hum Genet. Chusairi, A., Hamidah, & Leonardi, T. (2004). Efektivitas Terapi Bermain

  Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan dan Keterampilan Sosial Bagi Anak Dengan Gangguan Autism. Damara, D. (2017). Interaksi Sosial Pada Wong Mendo : Studi di Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo, 05 Nomor 0.

  Diahwati, R., Hariyono, & Hanurawan, F. (2016). Keterampilan Sosial Siswa Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Inklusi. Jurnal

Pendidikan , 1 Nomor 8, 1612 –1620

  Elysa, Y., & Notosrijoedono, A. (2014). Dukungan Sosial Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi (Studi Kasus pada 3 Siswa ABK di SDN Depok Baru 8).

  Febrisma, N. (2013). Upaya Meningkatkan Kosa Kata Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Tuna Grahita Ringan (PTK Kelas DV Di SLB Kartini Batam). Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, Volume 1.

  Hakim, A. R., & Soekardi, S. (2013). Pengaruh Usia Dan Latihan Keseimbangan Terhadap Kemampuan Motorik Kasar Anak Tunagrahita Kelas Bawah Mampu Didik Sekolah Luar Biasa. Physical Education

  and Suport .

  Hanif, M. (2016). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menyikap Warga Retardasi Mental (Studi Kasus Di Kampung Idiot Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo). Jurnal Sosiologi Pedesaan, Hal 242-248.

  ________ (2016). Partisipasi masyarakat Dalam Memperdayakan Warga Retardasi Mental Dengan Model Asanti Emotan. Jurnal Studi Sosial, 1. Hanun, A. N. (2013). Komunikasi Antarpribadi Tunagrahita. Jurnal Komunikasi , Volume 16. Hidayati, N. (2011). Dukungan Sosial Bagi Keluarga Anak Berkebutuhan Khusus. INSAN, 13 No 01. Kemis, & Rosnawati, A. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita . Jakarta Timur. Lisnawati, L., Shahib, M. N., & Wihayanegara, H. (2014). Analisis

  Keberhasilan Terapi Bermain terhadap Perkembangan Potensi Kecerdasan Anak Retardasi Mental Sedang Usia 7-12 Tahun, Volume 46 .

  Merdekawati, D., & Dasuki. (2017). Hubungan Pengetahuan Keluarga dan Tingkat Retardasi Mental dengan Kemampuan Keluarga Merawat.

  Endurance 2 , 2, 186 –193.

  Prasetyoningsih, L. S. A. (2014). Tindak Bahasa Terapis Dalam Intervensi Klinis Pada Anak Autis, 13. Ramawati, D., Allenidekania, & Besral. (2012). Kemampuan Perawatan

  Diri Anak Tuna Grahita Berdasarkan Faktor Eksternal Dan Internal Anak. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 15, 89 –96. Santrock, J. (2007). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Kensana Prenada Media Group.

  Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan

  Implementasinya) dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa . Bandung: Jurusan PLB FIP UPI. Wong, D. L., & Hockenberry, M. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (6th ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Wulandari, R. A., Soeharto, S., & Setyoadi. (2016). Pengaruh

  Psikoedukasi Keluarga Terhadap Harga Diri Rendah dan Beban Keluarga Dengan Anak Retardasi Mental. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4 (2).