Profil struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga siswa dibedakan berdasarkan gaya kognitif objek dan spasial.
PROFIL STRUKTUR BERPIKIR
DALAM MEMECAHKAN MASALAH DIMENSI TIGA SISWA
DIBEDAKAN BERDASARKAN
GAYA KOGNITIF OBJEK DAN SPASIAL
SKRIPSI
Oleh
FauziyahWulandariSyafitri NIM D74213063
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
PROFIL STRUKTUR BERPIKIR DALAM MEMECAHKAN MASALAH
DIMENSI TIGA SISWA DIBEDAKAN BERDASARKAN GAYA KOGNITIF OBJEK DAN SPASIAL
Oleh:
FAUZIYAH WULANDARI SYAFITRI ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil struktur berpikir siswa dalam memecahkan masalah dimensi tiga dibedakan berdasarkan gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial. Struktur berpikir adalah diagram alur yang digambarkan melalui pengkodean dari bagian-bagian proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika. Ketika siswa memecahkan suatu masalah, siswa akan mengalami asimilasi dan akomodasi dalam proses berpikirnya. Asimilasi dan akomodasi tersebut akan berlangsung secara terus menerus sampai siswa mengalami disekuilibrasi atau ekuilibrasi. Proses yang dilalui siswa dalam memecahkan masalah juga dipengaruhi oleh gaya kognitifnya. Gaya kognitif yang dibahas dalam penelitian ini adalah gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial yang ditemukan oleh Blazenkova dan Khozevnikov. Sebelum Blazhenkova dan Khozevnikov, Paivo telah menemukan gaya kognitif visualize dan verbalizer. Namun pada tahun 2007 Blazhenkova dan Khozevnikov menemukan bahwa jika ditinjau dari data yang diperoleh dari teknologi neuroimaging, gaya kognitif visualizer terbagi menjadi dua, yaitu gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data menggunakan metode think aloud dan wawancara berbasis tugas. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Khadijah Surabaya pada semester genap tahun ajaran 2016/2017. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 3, dimana subjek dipilih berdasarkan skor tes OSIQ (Object Spatial Imagery Questionair). Subjek dalam penelitian ini terdiri dari dua siswa dengan gaya kognitif objek dan dua siswa dengan gaya kognitif spasial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur berpikir antara siswa dengan gaya kognitif objek dan siswa dengan gaya kognitif spasial berbeda. Struktur kognitif siswa bergaya kognitif objek dimulai dari memahami masalah, kemudian memodelkan masalah, lalu merencanakan pemecahan masalah, setelah itu memecahkan masalah, lalu mengecek hasil pemecahan masalah, kemudian kembali lagi ke tahap memahami masalah, lalu memodelkan masalah, kemudian memecahkan masalah, dan mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh. Sedangkan struktur berpikir siswa bergaya kognitif spasial dimulai dari memahami masalah, kemudian memodelkan masalah, lalu merencanakan pemecahan masalah, setelah itu memecahkan masalah, lalu mengecek hasil pemecahan masalah.
(7)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR BAGAN... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Batasan Penelitian ... 11
F. Definisi Operasional ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Struktur Berpikir dalam Memecahkan Masalah ... 13
1. Struktur Kognitif ... 13
2. Struktur Berpikir ... 15
3. Pemecahan Masalah ... 23
4. Keterkaitan antara Struktur Berpikir dan Pemecahan Masalah ... 28
B. Gaya Kognitif ... 30
1. Pengertian Gaya Kognitif ... 30
2. Macam-macam Gaya Kognitif ... 34
3. Gaya Kognitif Objek ... 35
4. Gaya Kognitif Spasial ... 37
C. Hubungan Struktur Berpikir Siswa dalam Memecahkan Masalah dengan Gaya Kognitif Objek dan Spasial ... 38
D. Dimensi Tiga ... 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 43
(8)
C. Subjek Penelitian ... 44
D. Data dan Sumber Data ... 47
E. Tahap-tahap Penelitian ... 48
F. Teknik Pengumpulan Data ... 49
G. Instrumen Penelitian ... 49
H. Teknik Analisis Data ... 51
I. Pengecekan Keabsahan Temuan... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Struktur Berpikir Subjek yang Memiliki Gaya Kognitif Objek dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga ... 55
1. Deskripsi Data Subjek Gaya Kognitif Objek-1 (OB1) ... 56
2. Analisis Data Subjek Gaya Kognitif Objek-1 (OB1) ... 62
3. Deskripsi Data Subjek Gaya Kognitif Objek-2 (OB2) ... 72
4. Analisis Data Subjek Gaya Kognitif Objek-2 (OB2) ... 77
5. Perbandingan Data Subjek Gaya Kognitif Objek ... 85
B. Struktur Berpikir Subjek yang Memiliki Gaya Kognitif Spasial dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga ... 87
1. Deskripsi Data Subjek Gaya Kognitif Spasial-1 (SP1) ... 87
2. Analisis Data Subjek Gaya Kognitif Spasial-1 (SP1) ... 91
3. Deskripsi Data Subjek Gaya Kognitif Spasial-2 (SP2) ... 97
4. Analisis Data Subjek Gaya Kognitif Spasial-2 (SP2) ... 102
5. Perbandingan Data Subjek Gaya Kognitif Objek ... 108
C. Perbedaan Struktur Berpikir dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga Subjek Bergaya Kognitif Objek dan Bergaya Kognitif Spasial ...108
BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Hasil Penelitian ... 111
1. Struktur Berpikir Subjek yang Memiliki Gaya Kognitif Objek dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga... 111
2. Struktur Berpikir Subjek yang Memiliki Gaya Kognitif Spasial dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga... 114
3. Perbedaan Struktur Berpikir dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga Subjek Bergaya Kognitif Objek dan Bergaya Kognitif Spasial ... 116
(9)
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ... 121
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 123
(10)
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia menjadi negara peserta dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) sejak tahun 1999. Keikutsertaan Indonesia tersebut menunjukkan capaian yang tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan oleh TIMSS. Hasil penilaian TIMSS 2011 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi rendah dan masih di bawah skor rata-rata Internasional. Hasil penilaian TIMSS oada tahun 2011 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor rata-rata 386, padahal skor rata-rata internasional adalah 500.1 Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penilaian TIMSS pada tahun sebelumnya. Pada TIMSS 2007, Indonesia menduduki peringkat ke-36 dari 49 negara peserta dengan skor rata-rata 397, sedangkan skor rata-rata internasional adalah 500.2 Hasil penilaian TIMSS 2003 menunjukkan Indonesia menempati posisi ke-35 dari 46 negara peserta dengan skor rata-rata 411, padahal skor rata-rata internasional adalah 467.3
Rata-rata skor tersebut menunjukkan kemampuan matematika siswa Indonesia berada pada tingkatan yang rendah
(low) di antara empat tingkatan yang distandarkan oleh TIMSS, yaitu rendah (low), lanjut (advanced), tinggi (high), dan menengah (intermediate).4 Jika ditinjau dari domain kognitif, siswa Indonesia berada pada domain kognitif mengetahui (knowing) yang merupakan domain terendah menurut kriteria domain kognitif dari Mullis.5 Domain kognitif dimaknai sebagai perilaku yang diharapkan dari siswa ketika mereka 1 Ina V.S Mullis, TIMSS & PIRLS 2011, (Unites States: International Association for the Evaluation of Educational Achievement, 2013), 46.
2 Ina V.S Mullis, TIMSS 2007 International Mathematics Report, (Unites States: International Association for the Evaluation of Educational Achievement, 2009), 47. 3 Ina V.S Mullis, TIMSS 2003 International Mathematics Report, (Unites States: International Association for the Evaluation of Educational Achievement, 2004), 44. 4 Ina V.S Mullis, TIMSS & PIRLS 2011, (Unites States: International Association for the Evaluation of Educational Achievement, 2013), 100.
5
Dwi Cahya Sari, “Karakteristik Soal TIMSS”, Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY 2015, (November, 2015), 303.
(11)
2
berhadapan dengan domain matematika yang tercakup dalam dimensi konten (bilangan, aljabar, geometri, dan peluang).6 Mullis juga mengatakan bahwa siswa Indonesia juga belum dapat menerapkan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk memecahkan masalah (applying) serta belum mampu memahami dan menerapkan pengetahuan dalam masalah yang kompleks, membuat kesimpulan serta menyusun generalisasi (reasoning).7
Siswa berada pada domain rendah sebagai akibat dari ketidakmampuan atau kesalahan dalam memecahkan masalah yang diberikan, mengorganisasi dan menyimpulkan informasi.8 Siswa mempunyai pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk dapat memecahkan masalah rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) apalagi yang non-rutin (penalaran intuitif dan induktif berdasarkan pola dan kereguleran).9Artinya dalam otak siswa tidak ada atau kurang informasi atau skema yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Skema itulah yang disebut dengan struktur kognitif.10 Struktur kognitif yang kurang atau penempatan struktur kognitif yang tidak tepat akan mengakibatkan struktur berpikir yang tidak teratur sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.11 Struktur kognitif adalah skema-skema yang ada dalam otak seseorang. Ketika seseorang menyelesaikan masalah, terjadi proses berpikir yang melibatkan struktur kognitif manusia. Proses ini kemudian akan membentuk struktur berpikir. Dalam proses berpikir terjadi pengolahan antara masalah dengan skemata yang ada di dalam otak manusia. 6
Ina V.S Mullis, Op.Cit., hal 20.
7 http://litbang.kemdikbud.go.id/data/puspendik/HASIL%20RISET/TIMSS...pdf diakses pada tanggal 25 Desember 2016 pukul 20.03 WIB
8 Awaluddin Tjalla, Potret Mutu Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Hasil-hasil Studi Internasional, diakses melalui repository.ut.ac.id/2609/1/fkip201047.pdfpada tanggal 6 Agustus 2017 pukul 22.53 WIB, 8.
9 Ibid, halaman 6
10 Solso, Robert L, Psikologi Kognitif. Surabaya : Erlangga. 2007. hal 365 11 Taufiq Hidayanto – Subanji - Erry Hidayanto, “Deskripsi Kesalahan Konstruksi Penyelesaian Masalah Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, (Mei, 2016), 14.
(12)
3
Dalam proses pengolahan ini terjadi dua proses kognitif, yaitu asimilasi dan akomodasi.12
Asimilasi merupakan proses pengintegrasian informasi yang baru ke dalam struktur berpikir yang sudah terbentuk.13 Sedangkan akomodasi merupakan proses pengintegrasian informasi baru melalui pembentukan struktur berpikir baru atau pengubahan struktur berpikir lama untuk menyesuaikan dengan informasi yang diterima.14 Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung sampai terjadi kondisi equilibrium. Equilibrium
merupakan suatu kondisi yang seimbang antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan informasi luar dengan struktur berpikir yang dimilikinya. Disequlibrium
adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi.15
Penelitian terkait struktur berpikir telah dilakukan oleh Sandha Soemantri. Penelitian yang dilakukan oleh Sandha menyimpulkan bahwa empat dari enam subjek penelitian melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah volume bangun ruang. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi karena struktur berpikir siswa tidak teratur dan siswa kurang cermat dalam memecahkan masalah.16 Erna Gunawati juga melakukan penelitian yang membahas tentang kesalahan yang dilakukan siswa oleh sebab ketidakteraturan struktur berpikir siswa dalam memecahkan soal cerita pada materi balok.17 Berdasarkan fakta tersebut, peneliti tertarik untuk mengangkat struktur berpikir siswa sebagai variabel dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, siswa menganggap geometri sebagai bidang kajian matematika yang sulit. Ozerem dalam 12
Ibid, halaman 15.
13 Subanji, Proses Berpikir Penalaran Kovariasional Pseudo Dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik Berkebalikan, Disertasi unpublished Universitas Negeri Surabaya, (2007), 6.
14 Ibid, halaman 6.
15 Paul Suparno, Filsafat Kontrukstivisme dalam pendidikan. Yogyakarta : Kanisius, 1997, 33.
16 Sandha Soemantri, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Siswa pada Masalah
Geometri Bangun Ruang”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 55. 17 Erna Gunawati, Tesis: ”Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Refleksi untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Balok”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 45.
(13)
4
penelitiannya menemukan bahwa siswa mengalami miskonsepsi dalam memecahkan masalah geometri dan mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang objek-objek geometri misalnya garis, sudut, bangun datar, dan bangun ruang.18 Di waktu dan tempat yang berbeda, Kariadinata mengemukakan bahwa banyak persoalan geometri yang sulit diselesaikan oleh siswa, diantaranya adalah mengonstruksi bangun ruang.19 Selanjutnya, Mudakir mengatakan bahwa geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan di antara cabang matematika yang lain, mengingat sebesar 90,63% siswa mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep geometri dimensi tiga.20
Erlina Sari telah melakukan penelitian yang mengkaji tentang kesulitan siswa dalam memecahkan masalah dimensi tiga. Dari penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar geometri dimensi tiga. Hal tersebut dilihat dari kesalahan-kesalalan siswa dalam mengerjakan soal mengenai geometri dimensi tiga,21 misalnya pada saat menentukan sudut dalam bangun geometri (sudut antar garis dan sudut antar bidang). Erlina berpendapat bahwa siswa mengalami kesulitan berkaitan dengan prinsip sudut antar garis dalam ruang dan prinsip sudut antar bidang dalam ruang.22
Beberapa fakta yang dikemukakan oleh para peneliti yang telah disebutkan di atas tentang kesulitan yang dialami siswa sebagai subjek penelitian dalam memecahkan masalah dimensi tiga, menarik perhatian peneliti, sehingga peneliti
18 Aysen Ozerem, “Misconceptions In Geometry And Suggested Solutions For Seventh Grade Students”, International Journal of New Trends in Arts, Sports& Science Education, 1:4, (2012), 31.
19 Kariadinata dalam Pitriani, Tesis: “Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Komputer Cabri 3D Untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Dan Habit Of Thinking Flexibly Siswa SMA”, diakses melalui repository.upi.edu pada tanggal 7 Agustus 2017 pukul 11.48 WIB
20 Mudakir dalam Pitriani, Tesis: “Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Komputer Cabri 3D Untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Dan Habit Of Thinking Flexibly Siswa SMA”, diakses melalui repository.upi.edu pada tanggal 7 Agustus 2017 pukul 11.48 WIB
21
ibid, halaman 217. 22 Ibid, halaman 236.
(14)
5
mengambil materi geometri dimensi tiga sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini.
Keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah tentulah bergantung pada bagaimana cara siswa memecahkan masalah tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi cara seseorang dalam memecahkan masalah adalah gaya kognitif.23 Uno mengatakan gaya kognitif adalah cara yang khas yang dimiliki siswa dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berkaitan dengan
lingkungan belajar.24 Pada tahun 1971, Paivo
mengklasifikasikan gaya kognitif ke dalam gaya kognitif visualizer dan gaya kognitif verbalizer. Sementara itu, pada tahun 2006 Blazhenkova dan Kozhevnikov mengatakan jika ditinjau dari data yang diperoleh dari teknologi neuroimaging, gaya kognitif visualizer terbagi menjadi dua, yaitu gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial. Berdasarkan temuan tersebut, Blazhenkova dan Kozhevnikov mengklasifikasikan tiga kognitif, yaitu gaya kognitif objek, gaya kognitif spasial, dan gaya kognitif verbalizer.25
Beberapa penelitian terkait gaya kognitif visualizer dan verbalizer telah dilakukan oleh peneliti lain. Elen Mayanti Jiyat Sari pada tahun 2016 telah melakukan penelitian tentang siswa yang memiliki gaya kognitif verbalizer dan visualizer dalam memecahkan masalah.26 Ema Surahmi juga telah melakukan penelitian tentang representasi siswa yang memiliki gaya kognitif verbalizer dan visualizer dalam memahami konsep fungsi kuadrat.27 Di waktu dan tempat berbeda, penelitian tentang gaya kognitif verbalizer dan visualizer juga 23 Sandha Soemantri, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Siswa pada Masalah
Geometri Bangun Ruang”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 4. 24 Ibid, halaman 18.
25 Xenia Xistouri, “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 570.
26 Elen Mayanti Jiyat Sari, “Profil Berpikir Kritis Siswa Smp Dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Ditinjau Dari Gaya Kognitif Visualizer Dan Verbalizer”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 2:5, (2016), 39.
27 Ema Surahmi, “Representasi Siswa SMA dalam Memahami Konsep Fungsi Kuadrat Ditinjau dari Gaya Kognitif (Visualizer – Verbalizer)”, Jurnal Sigma, 1:2, (Maret, 2016), 57.
(15)
6
dilakukan oleh Rosidatul Ilma.28 Oleh sebab telah banyak penelitian terdahulu tentang gaya kognitif verbalizer dan visualizer, maka dalam penelitian ini peneliti hanya membahas tentang gaya kognitif visualizer, yaitu gaya kognitif objek dan spasial yang ditemukan oleh Blazhenkova dan Khozevnikov.
Object Imagery Cognitive Style atau gaya kognitif objek adalah gaya kognitif yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kecenderungan untuk memroses informasi dengan menggunakan sifat-sifat objektif, misalnya merepresentasikan bentuk yang tepat, ukuran, warna dan kecerahan.29 Spatial Imagery Cognitive Style atau gaya kognitif spasial terkait dengan kemampuan visual-spasial seseorang dalam menangkap detail, hingga memahami pengaturan detail-detail itu menjadi berbagai pola, sampai mencocokkan pola-pola tersebut ke dalam suatu landasan pengetahuan yang dapat dimengerti.30 Hasil penelitian tentang kreativitas matematika dan gaya kognitif yang dilakukan oleh Pitta-Pantazi dan Christou menunjukkan bahwa gaya kognitif spasial terkait dengan kemampuan matematika yang baik. Penelitian lain menyimpulkan bahwa gaya kognitif spasial memiliki relasi positif dengan pembelajaran matematika.31 Simpulan dari penelitian tersebut didukung oleh temuan dari penelitian lain yang menyimpulkan bahwa gaya kognitif spasial memiliki relasi positif dengan kemampuan geometri transformasi.32
Siswa yang memiliki gaya kognitif berbeda akan memecahkan masalah dengan cara berbeda pula, bahkan siswa 28 Rosidatul Ilma, Skripsi: “Profil Berpikir Analitis Siswa Dalam Menyelesaikan
Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer Dan Verbalizer Di Smpn 25 Surabaya”. (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), 161.
29
Olessia Blajenkova, Maria Kozhevnikov And Michael A. Motes, “Object-Spatial Imagery: A New Self-Report Imagery Questionnaire”, Appl. Cognit. Psychol, (2006), 240.
30 Lukman Abdul Rauf Laliyo, 2012, “Pengaruh Strategi Pembelajaran Dan Gaya Kognitif Spasial Terhadap Hasil Belajar Ikatan Kimia Siswa Kelas XI SMA Negeri Di Gorontalo”, Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 19:1, (April, 2012), 16. 31 Chusnul Khotimah Galatea, “Mental Computation Strategies By 5thgraders According To Object-Spatial-Verbal Cognitive Style”, Proceeding of International Conference On Research, Implementation And Education Of Mathematics And SciencesYogyakarta State University, (2014), 125.
32
Xenia Xistouri, “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 575.
(16)
7
dengan gaya kognitif tertentu disinyalir akan mengalami kesulitan dalam memecahkan suatu masalah matematika. Sebagai contoh, siswa dengan gaya kognitif objek menafsirkan grafik sebagai suatu gambar saja, sementara siswa dengan gaya kognitif spasial mengonstruksi gambar menjadi lebih skematik. Hal ini jelas bahwa siswa dengan gaya kognitif objek akan mengalami kesulitan memecahkan masalah matematika yang melibatkan grafik. Marilena dalam penelitiannya mengatakan, gaya kognitif spasial mempunyai relasi positif dengan masalah geometri, namun sebaliknya dengan gaya kognitif objek.33
Erhan Selcuk Haciomeroglu mengatakan dalam penelitiannya bahwa penelitian tentang hubungan antara gaya kognitif visualizer (gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial) dengan kemampuan matematika dan struktur berpikir siswa masih sangat sedikit.34 Kendati demikian, dalam penelitian ini peneliti dapat membuat suatu dugaan sementara terkait hubungan antara gaya kognitif siswa dengan struktur berpikirnya. Untuk menemukan keterkaitan tersebut, peneliti memulai dari pernyataan yang dikemukakan oleh Marilena Chrysostomou tentang keterkaitan gaya kognitif dengan kemampuan matematika yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Kemudian peneliti mengkaji keterkaitan kemampuan matematika siswa dengan struktur berpikirnya. Selanjutnya, dengan menggunakan silogisme, peneliti membuat suatu dugaan sementara tentang hubungan antara gaya kognitif dengan struktur berpikir siswa.
Marilena dalam penelitiannya mengatakan, gaya kognitif spasial mempunyai relasi positif dengan kemampuan geometri, namun sebaliknya dengan gaya kognitif objek. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Tyas Pramukti Kirnasari yang mengkaji tentang keterkaitan kemampuan matematika siswa dengan struktur berpikirnya. Dalam penelitian tersebut, ditemukan siswa yang memiliki kemampuan matematika rendah cenderung memiliki struktur 33 Marilena Chrysostomou, “Cognitive Styles And Their Relation To Number Sense And Algebraic Reasoning”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 288. 34 Erhan Selcuk Haciomeroglu, “Object-spatial Visualization and Verbal Cognitive Styles, and Their Relation to Cognitive Abilities and Mathematical Performance”,
Educational Sciences: Theory & Practice,16:3,(June, 2016), 988.
(17)
8
berpikir yang kurang teratur dibandingkan dengan struktur masalah yang dibuat oleh peneliti.35 Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan matematika tinggi cenderung memiliki struktur berpikir yang teratur sesuai dengan struktur masalah matematika yang diberikan.36
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menarik suatu dugaan sementara bahwa siswa yang mempunyai gaya kognitif spasial memiliki struktur berpikir yang lebih teratur jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya kognitif objek. Dugaan sementara yang dibuat oleh peneliti dengan menggunakan silogisme sebagai berikut:
P : Siswa memiliki gaya kognitif spasial
q : Siswa memiliki kemampuan matematika yang tinggi r : Struktur berpikir siswa teratur
→ → ∴ →
Berdasarkan silogisme tersebut, dapat ditarik suatu dugaan sementara bahwa jika siswa memiliki gaya kognitif spasial, maka struktur berpikirnya teratur. Sedangkan jika siswa memiliki gaya kognitif objek, maka struktur berpikirnya kurang teratur.
Blazhenkova dan Kozhevnikov telah membuat instrumen untuk mengklasifikasikan gaya kognitif siswa. Instrumen tersebut adalah Object-Spatial Imagery Questionnaire (OSIQ) dan Object-Spatial Imagery and Verbal Questionnaire (OSIVQ).37 Lebih lanjut, Xenia menyarankan adanya penelitian kualitatif yang membahas tentang bagaimana cara siswa yang memiliki gaya kognitif berbeda dalam memecahkan permasalahan geometri.38 Dari uraian di atas,
35 Tyas Pramukti Kirnasari, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Melalui
Pemetaan Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), 52. 36 Ibid, halaman 97.
37 Olesya Blazhenkova – Maria Kozhevnikov, “The New Object-Spatial-Verbal Cognitive Style Model: Theory and Measurement”, Applied Cognitive Psychology, (Mey, 2009), 642.
38
Xenia Xistouri, “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 577.
(18)
9
maka peneliti tertarik untuk mengangkat gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial sebagai variabel penelitian.
Beberapa penelitian terkait struktur berpikir siswa telah dilakukan oleh peneliti lain. Sandha Soemantri pada 2015 telah melakukan penelitian tentang defragmenting39 struktur berpikir siswa. Beliau berhasil menata dan memperbaiki struktur berpikir siswa yang awalnya salah menjadi struktur berpikir yang benar.40 Erna Gunawati juga telah melakukan penelitian tentang defragmenting struktur berpikir untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi balok pada tahun 2015. Erna Gumawati pun berhasil menata struktur berpikir siswa yang awalnya salah, menjadi struktur berpikir yang benar.41
Selanjutnya, pada tahun 2016 Tyas Pramukti telah melakukan penelitian serupa yaitu tentang defragmenting
struktur berpikir untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat. Tyas juga berhasil melakukan defragmenting struktur berpikir siswa yang awalnya kurang lengkap, menjadi struktur berpikir yang lebih lengkap.42
Namun, para peneliti terdahulu tidak menjelaskan letak asimilasi, akomodasi, ekuilibrasi, dan disekuilibrasi pada gambar struktur berpikir subjek penelitian. Sehingga gambar yang dihasilkan cenderung mirip dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dibentuk menjadi diagram alur dan bukan struktur berpikir. Menurut peneliti, jika menggambarkan struktur berpikir maka seharusnya tergambar pula proses asimilasi, akomodasi, ekuilibrasi, dan disekuilibrasi. Selanjutnya, Xenia menyarankan adanya penelitian kualitatif 39 Defragmenting
struktur berpikir merupakan teknik yang digunakan untuk mengubah struktur berpikir siswa dengan terlebih dahulu menganalisa kesalahan struktur berpikir siswa tersebut, kemudian dari bagan yang dihasilkan, alur yang terlewati (kesalahan siswa) akan diperbaiki.
40 Sandha Soemantri, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Siswa pada Masalah
Geometri Bangun Ruang”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015)
41 Erna Gunawati, Tesis: ”Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Refleksi untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Balok”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015)
42 Tyas Pramukti Kirnasari, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Melalui
Pemetaan Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan siswa dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat” (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016)
(19)
10
yang membahas tentang bagaimana cara siswa yang memiliki gaya kognitif berbeda dalam memecahkan permasalahan geometri.43 Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Profil Struktur Berpikir dalam Memecahkan Masalah Dimensi Tiga Siswa Dibedakan Berdasarkan Gaya Kognitif Objek dan Spasial”.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga siswa bergaya kognitif objek?
2. Bagaimana struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga siswa bergaya kognitif spasial?
3. Bagaimana perbedaan struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga siswa bergaya kognitif objek dan siswa bergaya kognitif spasial?
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga siswa bergaya kognitif objek.
2. Untuk mendeskripsikan struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga berpikir siswa bergaya kognitif spasial. 3. Untuk mendeskripsikan perbedaan struktur berpikir dalam
memecahkan masalah dimensi tiga siswa bergaya kognitif objek dan siswa bergaya kognitif spasial.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menambah khasanah keilmuan, khususnya dalam bidang pendidikan matematika mengenai profil struktur berpikir siswa dalam memecahkan masalah dimensi tiga dibedakan berdasarkan gaya kognitif objek dan spasial.
43
Xenia Xistouri, “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 577.
(20)
11
2. Dapat memberikan gambaran kepada guru tentang perbedaan struktur berpikir siswa dalam memecahkan masalah dimensi tiga dibedakan berdasarkan gaya kognitif objek dan spasial sehingga dapat digunakan guru dalam mendesain pembelajaran sebagai upaya perbaikan pengajaran di sekolah.
D. Batasan Penelitian
Adapun batasan penelitian dalam penelitian ini adalah: 1. Materi dimensi tiga yang dimaksud adalah sudut antar garis
dalam ruang.
2. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X semester genap tahun ajaran 2016-2017 di SMA Khadijah Surabaya.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut: 1. Profil adalah gambaran, sketsa atau penjelasan yang utuh tentang
subjek penelitian.
2. Struktur berpikir adalah diagram alur yang digambarkan melalui pengkodean dari bagian-bagian proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika.
3. Profil struktur berpikir dalam memecahkan masalah dimensi tiga adalah gambaran dari proses berpikir selama melakukan pemecahan masalah dimensi tiga dalam bentuk diagram alur. 4. Gaya kognitif objek adalah gaya kognitif yang dimiliki oleh
siswa yang mempunyai kecenderungan memroses sifat-sifat objektif ketika mendapatkan suatu informasi, seperti merepresentasikan bentuk dan ukuran yang tepat, warna-warna yang cerah, sehingga siswa yang memiliki gaya kognitif objek cenderung menggambar suatu bentuk bangun ruang atau sketsa yang berwarna-warni namun kurang skematik.
5. Gaya kognitif spasial adalah gaya kognitif yang terkait dengan kemampuan visual-spasial siswa dalam menangkap detail, sehingga siswa yang memiliki gaya kognitif spasial cenderung menggambar suatu bentuk bangun ruang atau sketsa yang skematik.
(21)
12
(22)
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Struktur Berpikir dalam Memecahkan Masalah
1. Struktur Kognitif
Benny H. Hoed dalam Wikipedia menyatakan bahwa struktur adalah bangun (teoritis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, struktur diartikan (1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangungan; (2) yang disusun dengan pola tertentu; (3) pengaturan unsur atau bagian suatu benda; (4) ketentuan unsur-unsur dari suatu benda.1
Kognitif berasal dari kata “cognoscere” yang artinya “mengetahui”, atau “sebagai pemahaman terhadap pengetahuan”, atau “kemampuan untuk memperoleh suatu pengetahuan tertentu”.2 Kognitif merupakan pemahaman terhadap suatu pengetahuan yang didasari oleh kemampuan memperoleh dan memproses suatu pengetahuan atau informasi. Kemampuan memperoleh dan memproses suatu pengetahuan atau informasi merupakan proses mental yang terjadi pada diri seseorang.
Definisi struktur kognitif merupakan subtansi serta sifat oganisasi yang signifikan keseluruhan pengetahuan sisiwa mengenai bidang mata pelajaran tertentu.3 Dalam ingatan seseorang, pengetahuan yang terpisah-pisah atau unsur-unsur berintegrasi ke dalam suatu unit konsep materitual. Unit ini didasarkan atas kesamaan penyandian atau keterkaitan informasi yang ada dengan pengetahuan. Keterkaitan yang terurut ini membentuk atau menstruktur menjadi suatu pengetahuan yang telah dipahami oleh siswa pada pelajaran tertentu.4
1 Erna Gunawati, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Refleksi untuk
Memperbaiki Kesalahan siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Balok” (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), 14.
2 Wowo Kuswana, Taksonomi Berfikir,( Bandung: Rosada Karya, 2012), 79. 3 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) 124.
4 Ahmad Fadlil Faruqi, Skripsi, “Identifikasi Struktur Kognitif Siswa Dibedakan
Berdasarkan Kemampuan Matematika Pada Materi Trigonometri”, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 10.
(23)
14
Teori belajar kognitif menyatakan tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Teori belajar kognitif berlangsung berdasarkan struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai teori perkembangan kognitif, teori kognisi sosial, dan teori pemrosesan informasi.5
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu dalam perkembangan teori belajar kognitif yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton menyebutkan bahwa asimilasi adalah
“the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”. Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru.6
5 http://www.belajarbagus.net/2015/03/teori-belajar-kognitif.html diakses tanggal 6 Februari 2017 pukul 07.48 WIB
6
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/jan.prasetyokj/material/teoripiagetfasesensorimotorti ur.pdf diakses pada kamis 2 februari 2017
(24)
15
Individu mengorganisasikan makna informasi ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi kode-kode yang mengandung pengetahuan yang mengatur atau memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap perkembangan kognitif. Piaget menggunakan istilah skema dan adaptasi untuk menentukan struktur kognitif yang mendasari pola-pola tingkah laku yang terorganisir. Dengan kedua komponen ini berarti bahwa kognisi berarti sistem yang selalu diorganisir dan di adaptasi, sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya.7
Adapun tahapan perkembangan belajar menurut Piaget adalah: (a) sensorimotor inteligence (lahir sampai dengan usia 2 tahun): perilaku terikat pada panca indera dan gerak motorik. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati; (b) preoperation thought (2-7 tahun): tampak kemampuan berbahasa, berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati; (c) concrete operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu anak berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar benda, jumlah waktu, ruang, kausalitas; (d) formal operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif mencapai puncak perkembangan.8
2. Struktur Berpikir
Berpikir menurut Subanji merupakan aktivitas mental yang terjadi di dalam otak sebagai upaya untuk memecahkan masalah.9 Aktivitas mental yang terjadi dapat berupa mengingat, memahami, mencari/membuat strategi, menganalisis masalah, dan mensintesis masalah. Aktivitas mental tidak bisa dilihat 7
ibid
8 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta:Kencana Prenada Group.
2011, hal 72
9 Tyas Pramukti Kirnasari, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Pemetaan
Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan siswa dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat” (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), 14.
(25)
16
karena terjadi di dalam otak, hanya keluaran (output) dari aktivitas mental yang dapat dilihat. Bentuk keluaran tersebut dapat berupa proses atau langkah-langkah ketika menyelesaikan masalah. Dalam berpikir orang akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian-pengertian dan dari pengertian-pengertian-pengertian-pengertian tersebut akan ditarik kesimpulan.
Berpikir dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas mental yang terjadi di dalam otak siswa dan dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan masalah. Semua kegiatan berpikir yang dilakukan untuk dapat memecahkan masalah merupakan runtutan kegiatan atau proses, sehingga dapat disebut sebagai proses berpikir. Proses berpikir hanya dapat diamati dari cara pengerjaan soal yang berupa tulisan dan hasil wawancara mendalam mengenai proses pengerjaan yang sudah dilakukan.
Proses berpikir melibatkan struktur kognitif manusia, dimana unit kognitif dari struktur tersebut saling bekerja sama dengan ide-ide lain yang terkait pada waktu yang bersamaan. Proses ini kemudian akan membentuk struktur berpikir. Struktur berpikir dalam menyelesaikan masalah merupakan struktur kognitif yang terbentuk ketika siswa menyelesaikan masalah.
Proses berpikir membentuk struktur berpikir seseorang. Menurut Piaget, struktur berpikir merupakan kumpulan dari skema-skema (struktur-kognitif) yang ada dalam otak. Piaget menjelaskan bahwa ketika individu mendapatkan suatu stimulus yang berupa masalah, maka akan terjadi proses adaptasi struktur kognitif atau adaptasi skemata. Proses adaptasi struktur kognitif atau adaptasi skemata tersebut disebut proses berpikir.
Dalam proses berpikir terjadi pengolahan antara informasi yang masuk dengan skemata yang ada di dalam otak manusia. Ketika terdapat informasi yang baru maka terjadi proses adaptasi skemata. Dalam proses adaptasi skemata, terjadi perubahan sruktur berpikir yang telah dimiliki agar sesuai dengan struktur informasi yang diterima. Pada proses adaptasi skemata terjadi dua proses kognitif, yaitu asimilasi dan akomodasi.10
10 Taufiq Hidayanto – Subanji - Erry Hidayanto, “Deskripsi Kesalahan Konstruksi Penyelesaian Masalah Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, (Mei, 2016), 15.
(26)
17
Asimilasi merupakan proses pengintegrasian informasi yang baru ke dalam struktur berpikir yang sudah terbentuk. Sedangkan menurut Gagne, Berliner menjelaskan bahwa
assimilation is the process of changing what is perceived so that it fits presents cognitive structure. Asimilasi adalah suatu proses perubahan terhadap apa yang diketahui sehingga perubahan tersebut sesuai dengan struktur kognitif.11 Proses asimilasi terjadi ketika struktur berpikir siswa sudah sesuai dengan struktur masalah, sehingga siswa dapat mempresentasikan masalah yang dihadapi dengan struktur berpikir yang dimilikinya dengan benar. Proses ini dimulai dengan masuknya materi atau informasi baru pada ranah struktur kognitif. Proses masuknya materi dan informasi baru diuraikan menjadi kata-kata atau simbol – simbol yang akan dibuat sebagai kata kunci. Kata kunci tersebut disesuaikan dengan pemahaman yang juga memiliki kata kunci yang sama atau memiliki pengertian yang saling berhubungan. Kata kunci tersebut juga akan menempatkan dan menambahkan informasi baru ke dalam struktur pemahaman yang telah ada. Proses asimilasi ini akan berjalan terus. Menurut Wadsworh, asimilasi tidak menyebabkan perubahan/pergantian skemata, melainkan perkembangan skemata.12
Akomodasi merupakan proses pengintegrasian informasi baru melalui pembentukan struktur berpikir baru atau pengubahan struktur berpikir lama untuk menyesuaikan dengan informasi yang diterima. Dengan kata lain, proses akomodasi terjadi ketika struktur berpikir siswa belum sesuai dengan struktur masalah. Proses akomodasi akan berdampak (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.13
Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung sampai terjadi ekuilibrasi. Ekuilibrasi merupakan suatu kondisi yang seimbang antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang 11 Erna Gunawati, Tesis: ”Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Refleksi untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Balok”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 12.
12 Paul Suparno, Filsafat Kontrukstivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta : Kanisius, 1997), 31.
13 Ibid, halaman 32.
(27)
18
dapat menyatukan informasi luar dengan struktur berpikir yang dimilikinya.14 Sedangkan disekuilibrasi adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi juga bisa dicapai melalui dari disekuilibrasi dimana proses asimilasi dan akomodasi berjalan terus dalam diri seseorang.15
Piaget menginterpretasikan proses adaptasi skemata dengan menggunakan Bagan berikut:16
Bagan 2.1
Proses Adaptasi Skemata Menurut Piaget Berdasarkan bagan tersebut adaptasi dimulai dengan meninjau anak yang sudah memiliki pengalaman yang khas, yang berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada suatu keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa benda, peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalalui memorinya. Dalam memori anak terdapat 2 kemungkuinan yang dapat terjadi yaitu: 1) terdapat kesesuaian sempurna antara stimulus dengan skema yang sudah ada dalam pikiran anak; 2) terdapat kecocokan yang tidak sempurna, antara stimulus dengan skema yang ada dalam pikiran anak. Kedua hal itu merupakan kejadian asimilasi.
Menurut bagan, kejadian kesesuaian yang sempurna itu merupakan penguatan terhadap skema yang sudah ada. 14 Ibid, halaman 32.
15 Ibid, halaman 33. 16
https://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya/ diakses pada 27 April 2017 pukul 20.53 WIB
Pengalam an baru (benda, kegiatan, masalah)
Sesuai Tidak sesuai
Keresahan Pemilahan
awal
Kesesua ian yang
lebih baik
Jalan buntu Akomodasi
(28)
19
Stimulus yang baru (datang) tidak sepenuhnya dapat diasimilasikan ke dalam skemata yang ada. Di sini terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan mental seperti keingintahuan, kepedulian, kebingungan, kekesalan, dsb. Dalam keadaaan tidak seimbang ini anak mempunyai 2 pilihan: 1) melepaskan diri dari proses belajar dan mengabaikan stimulus atau menyerah dan tidak berbuat apa-apa (jalan buntu); 2) memberi tanggapan terhadap stimulus baru itu baik berupa tanggapan secara fisik maupun mental, bila ini dilakukan anak mengubah pandangannya atau skemanya sebagai akibat dari tindakan mental yang dilakukannya terhadap stimulus itu. Peristiwa ini disebut akomodasi.
Subanji menguraikan kajian mengenai struktur berpikir dalam proses konstruksi pemecahan masalah matematika. Ketika struktur masalah yang dihadapi oleh siswa jauh lebih kompleks dibanding struktur berpikirnya, siswa akan mengalami kesulitan dalam proses konstruksi karena siswa akan mengalami kesulitan dalam proses asimilasi atau akomodasi. Untuk melakukan asimilasi, siswa belum memiliki skema yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan untuk melakukan akomodasi, yaitu mengubah skema lama atau membentuk skema baru, masih mengalami kesulitan karena belum cukup memiliki skema yang dapat digunakan untuk membentuk skema baru.17
Sementara itu, Erna dalam penelitiannya mendefinisikan struktur berpikir siswa sebagai diagram alur yang digambarkan melalui pengkodean dari bagian-bagian proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika.18 Sedangkan Tyas dalam penelitiannya mendefinisikan struktur berpikir sebagai representasi dari proses berpikir siswa selama melakukan pemecahan masalah dalam bentuk diagram alur. Struktur berpikir yang 17 Subanji, Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 3.
18 Erna Gunawati, Tesis: ”Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Refleksi untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Balok”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 15.
(29)
20
dimaksud dalam penelitian ini adalah diagram alur yang digambarkan melalui pengkodean dari bagian-bagian proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika.19
Taufiq Hidayanto dalam penelitian yang mengkaji tentang struktur berpikir menyimpulkan bahwa semua subjek mengalamai mislogical construction dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi karena siswa mengalami kesalahan logika berpikir dalam melakukan prosedur pemecahan masalah. Lubang Konstruksi juga terjadi karena terdapat skema-skema yang belum terkontruksi dalam struktur berpikir siswa. Adapun instrumen penelitian tersebut disajikan pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1
Instrumen Penelitian oleh Taufik Hidayanto
Hasil dan pembahasan didapatkan dari hasil wawancara dengan siswa subjek setelah mengerjakan masalah yang diberikan. Selanjutnya, struktur berpikir siswa dipetakan dan dideskripsikan. Subjek S1 dalam penelitian yang dilakukan Taufiq berhasil mengasimilasi informasi dari masalah yang diberikan. Siswa tersebut mampu menyebutkan bahwa masalah yang diberikan melibatkan bentuk setengah lingkaran dan memiliki diameter 10 cm, akibatnya jari-jarinya adalah 5 cm. Selain itu, siswa mampu menyebutkan bahwa masalah yang dicari adalah luas daerah yang diarsir, yaitu berbentuk segitiga siku-siku. Namun, siswa gagal mengakomodasi salah satu bagian segitiga. Berikut kutipan wawancara peneliti menggali informasi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah.
19 Tyas Pramukti Kirnasari, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Melalui Pemetaan
Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan siswa dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat” (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), 16.
(30)
21
P : Kemarin gimana ini kamu ngerjakannya? S1 : saya mencari panjangnya ini [AB], karena
ini [AD] panjangnya 10, berarti ini [AB] panjangnya 8. Trus saya cari tingginya tu [BC], 10 ini diameter trus saya bagi 2, kayak jari-jarinya gitu,
P : berarti luas daerah yang diarsir gimana? S1 : ya pakai luas itu, setengah alas kali tinggi.
Yaitu setengah kali 8 kali tingginya 5, jadinya 20.
Berdasarkan wawancara dengan S1, siswa telah mengetahui alas segitiga dan tinggi segitiga, namun penentuan ukuran tinggi segitiga masih salah. S1 menganggap tinggi segitiga adalah 5 cm, yaitu sama dengan jari-jari setengah lingkaran. Akibatnya, S1 menghasilkan jawaban salah. Berdasarkan teori kesalahan konstruksi menurut Subanji, S1 mengalami mislogical construction, yaitu terletak pada kesalahan logika siswa dalam menentukan ukuran tinggi segitiga (BC) yang dianggap sama panjang dengan jari-jari. Lubang Konstruksi juga terjadi karena terdapat skema-skema yang belum terkontruksi dalam struktur berpikir siswa. Kesalahan struktur berpikir siswa tersaji pada Bagan 2.2 berikut:20
20 Taufiq Hidayanto – Subanji - Erry Hidayanto, “Deskripsi Kesalahan Konstruksi Penyelesaian Masalah Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, (Mei, 2016), 16.
(31)
22
Bagan 2.2
Struktur Berpikir Salah Satu Subjek Penelitian yang dilakukan Taufik
Di tempat dan waktu yang berbeda, Sandha Soemantri melakukan penelitian yang berjudul
defragmenting struktur berpikir siswa pada masalah geometri bangun ruang. Erna Gunawati melakukan penelitian tentang defragmenting struktur berpikir melalui refleksi untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi balok. Selain Erna Gunawati, Tyas Pramukti Kirnasari juga melakukan penelitian tentang defragmenting struktur berpikir melalui pemetaan kognitif untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat.
Defragmenting struktur berpikir merupakan teknik yang digunakan untuk mengubah struktur berpikir siswa dengan terlebih dahulu menganalisa kesalahan struktur berpikir siswa tersebut, yang digambarkan sebagai suatu bagan peta kognitif, kemudian dari bagan yang dihasilkan, alur yang terlewati akan diperbaiki.
Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Hidayanto, Sandha Soemantri, Erna Gumawati, dan Tyas Pramukti Kirnasari tersebut sangat membantu peneliti dalam memahami apa yang dimaksud dengan struktur berpikir. Namun, dalam penelitian ini peneliti tidak mengkonstruk
(32)
23
kesalahan siswa yang diakibatkan oleh struktur berpikirnya. Peneliti juga tidak melakukan defragmenting struktur berpikir siswa seperti yang dilakukan Erna Gunawati, Sandha Soemantri, dan Tyas Pramukti Kirnasari. Namun, dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan struktur berpikir siswa dalam memecahkan masalah dimensi tiga berdasarkan gaya kognitif objek dan spasial.
3. Pemecahan Masalah
Suatu pertanyaan akan menjadi suatu masalah jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Menurut Suherman, suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi seseorang itu tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Suatu soal matematika dikatakan sebagai suatu masalah jika soal tersebut menarik siswa untuk menyelesaikannya dan bersifat tidak rutin, yaitu soal yang dalam penyelesaiannya menuntut siswa untuk menggabungkan beberapa konsep matematika yang telah dipelajarinya.21
Pemecahan masalah merupakan proses berpikir yang dilakukan untuk menentukan apa yang harus dilakukan, ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi strategis yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model. Oleh sebab itu, pemecahan masalah tidak terlepas dari pengetahuan seseorang akan substansi masalah tersebut, apakah pemahamannya terhadap inti masalah, langkah yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, maupun aturan
21 Tyas Pramukti Kirnasari, Loc. Cit., 24.
(33)
24
atau rumus yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.22
Sumarmo mengatakan terdapat dua makna yang terkandung dalam pemecahan masalah matematis, yaitu:23 a. Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan
pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika.
b. Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi: mengidentifikasi kecukupan; membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari hari; memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah; menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban; menerapkan matematika secara bermakna.
Pemecahan masalah matematis adalah pemecahan masalah sebagai sebuah kegiatan. Melalui pemecahan masalah ini, siswa akan memiliki kemampuan dasar yang bermakna, lebih dari sekedar kemampuan berpikir, sebab dalam proses pemecahan masalah, siswa dituntut untuk terampil dalam menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya.24
Menurut Hudojo, pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikannya.25 Mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan seorang guru dimana guru tersebut memotivasi siswanya 22 Tuti Alawiyah, “Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Pemecahan Masalah Matematik”, Paper Presented at Seminar Nasional Pendidikan Matematika PPS STKIP SiliwangiBandung, (2014), 181.
23 David – McKlip dalam Desti Haryani, “Pembelajaran Matematika Dengan Pemecahan Masalah Untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, (Mei 2011), 122.
24 Abdul Muin dan Siska Amelia, “Strategi Think Aloud Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa”, KNPM V Himpunan Matematika Indonesia, (Juni 2013), 41.
25 Tyas Pramukti Kirnasari, Op. Cit., hal. 58
(34)
25
untuk menerima dan merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan kemudian guru membimbing siswanya untuk menemukan penyelesaian masalah yang diberikan. Dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses menyelesaikan masalah tersebut dan menjadi terampil dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian, dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya.
Di dalam NCTM ditunjukkan bahwa pemecahan masalah berkaitan dengan tugas matematika dimana penyelesaiannya belum diketahui sebelumnya. Untuk mencari penyelesaian dari tugas yang diberikan, siswa harus mengumpulkan pengetahuan mereka sehingga pemahaman matematika yang baru akan berkembang. Siswa harus diberi kesempatan untuk merumuskan masalah dan memecahkan masalah dengan usahanya sendiri, kemudian siswa harus didorong utnuk merefleksikan pemikiran mereka. NCTM juga menunjukkan bahwa standar pemecahan masalah siswa bertujuan agar siswa dapat membangun pengetahuan baru melalui pemecahan masalah, memecahkan masalah yang berkaitan dengan matematika dan konteks lainnya, menerapkan dan menyesuaikan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, serta memantau dan merefleksikan proses pemecahan masalah matematika.26
Dalam menyelesaikan suatu masalah matematika perlu adanya tahap-tahap memecahkan masalah. Menurut Polya terdapat tahapan pemecahan masalah yang bersifat umum yang terdiri dari empat langkah, yaitu:27
a. Memahami masalah
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah siswa memahami apa yang diketahui (apa yang menjadi permasalahan), apakah informasi yang diberikan sudah 26 Syarifah Fadillah, “Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dalam Pembelajaran Matematika”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, (Mei 2009), 554.
27 Polya dalam Zainullah Zuhri, Skripsi: “Analisis Koneksi Matematika Siswa Dalam
Menyelesaikan Masalah Dibedakan Dari Kecenderungan Gaya Berpikir”, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 14.
(35)
26
cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, serta menyatakan masalah asli ke dalam bentuk yang lebih operasional sehingga dapat diselesaikan.
b. Merencanakan penyelesaian
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah mencari masalah yang telah diselesaikan sebelumnya dan memiliki kemiripan dengan masalh yang akan diselesaikan, serta mencari pola dan menyusun langkah penyelesaian.
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
Hal yang dilakukan yaitu melanjutkan langkah yang ada pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Mengecek kembali prosedur dan hasil penyelesaian Hal yang dilakukan yaitu menganalisis dan mengevaluasi kembali apakah ada prosedur yang prosedur yang lebih efektif. Apabila memperoleh prosedur yang lebih efektif maka dapat disubstitusikan kembali agar lebih yakin dalam memperoleh jawaban.
Musser juga menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan ketika seseorang mendapatkan masalah matematika yang biasanya berbentuk soal cerita yaitu menerjemahkan kata-kata dalam masalah tersebut ke dalam suatu masalah yang ekuivalen menggunakan simbol-simbol matematis, kemudian menyelesaikan masalah yang ekuivalen tersebut, dan selanjutnya menginterpretasikan jawaban. Musser merumuskan langkah-langkah tersebut dalam Bagan berikut:28
28
Sandha Soemantri, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Siswa pada Masalah Geometri Bangun Ruang”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 57.
(36)
27
Bagan 2.3
Alur langkah-langkah Penyelesaian Masalah Menurut Musser
Pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah aktivitas melakukan langkah-langkah kerja memahami masalah, merencanakan strategi penyelesaian, melaksakan rencana penyelesaian, dan mengecek kembali hasil yang dilakukan berdasarkan tahap-tahap pemecahan masalah Polya. Peneliti memilih langkah-langkah pemecahan masalah Polya karena tahap ini telah diketahui oleh siswa. Tahap-tahap tersebut adalah:
a. Memahami masalah
Menyebutkan informasi-informasi yang diketahui dan yang ditanyakan pada masalah, serta memahami keterkaitan antar keduanya.
b. Merencanakan strategi penyelesaian
Menyatakan informasi menggunakan sketsa/gambar, diagram, tabel, persamaan atau kalimat matematika yang sesuai, mengaitkan masalah dengan materi yang suda dipelajari, serta memilih strategi penyelesaian dan merumuskannya.
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
Melakukan strategi langkah-langkah penyelesaian yang telah direncanakan dengan menggunakan keterampilan matematika yang telah diperoleh untuk memperoleh hasil pemecahan masalah yang benar.
d. Mengecek kembali
Original problem
Mathematical version of
Solution to the mathematical Answer to
original
Translat
Solve
Interpret Check
(37)
28
Memeriksa kembali langkah-langkah penyelesaian dan hasil pemecahan masalah yang telah diperoleh dengan cara mensubstitusikan hasil tersebut ke dalam masalah semula sehingga dapat diketahui nilai kebenarannya, serta mengkomunikasikan kesimpulan jawaban berdasarkan apa yang ditanyakan.
4. Keterkaitan antara Struktur Berpikir dan Pemecahan Masalah
Struktur berpikir tidak lepas dengan skema yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah. Nunokawa memberikan pernyataan terkait pembelajaran berdasar teori skema. Pengetahuan dasar siswa tidak hanya memuat pengetahuan prosedural maupun konseptual namun juga pengetahuan mengenai situasi yang sesuai dengan pengetahuan matematis lain yang terkait. Siswa yang kaya dengan skemata dapat menyelesaikan berbagai masalah menggunakan pengetahuan tersebut dengan mudah. Siswa menggunakan skema-skema tersebut dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.29
Derry menyatakan bahwa semua pemahaman logis-matematis dan konseptual yang baru dikonstruksi berdasarkan skema yang terkonstruksi sebelumnya. Selanjutnya, siswa menggunakan struktur pengetahuannya sebagai upaya untuk mengonstruksi pemahamannya terhadap situasi yang mereka observasi dan kaji. Proses ini melibatkan asimilasi pola aktivitas skema mental yang terkonstruksi sebelumnya, selanjutnya menggunakan skema tersebut dalam menyelesaikan masalah dan berfikir lain secara langsung. Selanjutnya, Chinnappan dan Thomas berpendapat bahwa skema yang terstruktur dengan baik dapat memberi manfaat bagi siswa dalam mengasimilasi ide matematis baru karena skema dapat 29 Taufiq Hidayanto, Subanji, Erry Hidayanto, 2016, “Deskripsi Kesalahan Konstruksi Penyelesaian Masalah Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, (Mei 2016), 16.
(38)
29
mengaitkan banyak pengetahuan. Dengan kata lain, skema memberikan banyak manfaat untuk menginterpretasikan perkembangan pengetahuan dan makna matematis.30
Selanjutnya, dalam penelitian penyusunan wawancara akan digunakan untuk menungkap struktur berpikir ini didasarkan pada tahapan pemecahan masalah matematika Polya. Indikator struktur berpikir dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan tahapan Polya disajikan dalam tabel 2.1:
Tabel 2.1
Indikator Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Tahapan Polya
30 Ibid, halaman 17.
Tahapan Polya
Indikator Pemecahan Masalah Matematika
Memahami Masalah
Membedakan bagian yang penting dalam soal meliputi:
a. Menyebutkan apa yang diketahui b. Menyebutkan apa yang ditanyakan Membedakan bagian yang relevan dalam soal yaitu menjelaskan keterkaitan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan Merencana
kan Penyelesai-an
Menyatakan kembali masalah ke dalam bentuk atau model matematika
Memilih konsep matematika dalam memecahkan masalah matematika
Memilih strategi pemecahan masalah matematika
Melakukan Rencana Pemecahan
Menggunakan konsep matematika dalam memecahkan masalah matematika
Menjelaskan keterkaitan konsep
(39)
30
B. Gaya Kognitif
1. Pengertian Gaya Kognitif
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat pasti lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.31 Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Israa’ ayat 84 yang berbunyi:
Artinya:
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya32 masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa setiap orang mempunyai jalan masing-masing untuk memperoleh suatu informasi dengan cara penerimaan, pengolahan informasi dengan keadaan masing-masing. Alam sekitar juga mempunyai pengaruh untuk memperoleh informasi. Sedangkan Witkin sebagaimana yang dikutip Rahman,
31 Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 180.
32 Termasuk dalam pengertian “keadaan” disini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya Masalah matematika dengan yang ditanyakan
Menggunakan strategi penyelesaian Melihat
Kembali Langkah-langkah Pemecahan Masalah
Membuktikan bahwa hasil penyelesaian sesuai dengan yang ditanyakan
Menarik kesimpulan dari hasil penyelesaian
(40)
31
mengatakan bahwa gaya kognitif adalah perbedaan cara siswa memproses informasi dan membelakukan lingkungan. Gaya kognitif merujuk pada bagaimana seseorang memproses informasi dan menggunakan strategi untuk merespon suatu tugas.33
Woolfolk mengatakan bahwa di dalam gaya kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan mengorganisasi informasi. Setiap individu akan memilih cara yang disukai dalam memproses dan mengorganisasi informasi sebagai respons terhadap stimuli lingkunganya.34
Riding, Glass, and Douglass mendefinisikan gaya kognitif adalah suatu karakteristik yang tetap dan wajar dari individu statis dan relatif dalam membangun pribadi dirinya. Sedang Kogan mendefinisikan gaya kognitif sebagai variasi individu dalam gaya merasa, mengingat, dan berpikir, atau sebagai cara membedakan, memahami, menyimpan, menjelmakan, dan memanfaatkan informasi.35 Witkin menguraikan empat karakteristik gaya kognitif, Pertama, lebih menaruh perhatian pada bentuk daripada isi aktivitas kognitif. Hal ini mengacu pada perbedaan individu bagaimana, merasa, memiliki, memecahkan masalah, belajar dan berhubungan dengan orang lain. Kedua, gaya kognitif merupakan dimensi yang menembus. Ketiga, gaya kognitif bersifat tetap; tidak berarti tidak bisa berubah. Pada umumnya jika orang memiliki gaya kognitif tertentu pada suatu hari, gaya kognitif tersebut pada hari, bulan, dan bahkan tahun berikutknya relatif tetap. Keempat, dengan mempertimbangkan nilai, gaya kognitif bersifat bipolar.36
Gaya kognitif sering dikonotasikan sama dengan gaya belajar. Morgan membedakan gaya kognitif dengan 33 Abdul Rahman, Disertasi tidak diterbitkan: “Profil Pengajuan Masalah Matematika
berdasarkan gaya kognitif”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2009) , 8.
34 Anita E. Woolfolk, Educational Phsychology Fifth Edition, (Boston: Allyn & Bacon, 1993), 128.
35 Warli, “Pembelajaran Kooperatif Berbasis Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif (Studi Pendahuluan Pengembangan Model Kbr-I)”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, (Mei 2009), 567.
36 Ibid, halaman 568.
(41)
32
gaya belajar dengan menjelaskan bahwa gaya kognitif perlu untuk dibedakan dari strategi belajar. “Suatu gaya adalah karakteristik hampir tetap pada seorang individu, sadang strategi merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi dan tugas yang sulit.” Gaya kognitif tentang bagaimana pelajar memproses informasi, yaitu bagaimana ia menganalisis, merasa, menalar tentang informasi yang diperoleh, sedang gaya belajar tentang bagaimana pelajar menggunakan/memanfaatkan informasi.
Sementara itu, Ausburn mengatakan ”cognitive style historically has referred to a psychological dimension representing consistencies in an individual’s manner of cognitive functioning, particularly with respect to acquiring and processing information”.37Secara historis gaya kognitif telah menunjuk pada dimensi psikologis yang menyatakan konsistensi cara individu dalam memfungsikan kognitifnya khususnya dalam pemerolehan dan pemrosesan informasi. Aiken mendefinisikan gaya kognitif sebagai koleksi strategi atau pendekatan untuk menerima, mengingat, dan berpikir yag cenderung digunakan individu untuk memahami lingkungannya.
Menurut Gagne yang dikutip Hamzah, gaya kognitif merupakan salah satu variabel kondisi belajar yang menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam merancang pembelajaran. Pengetahuan tentang gaya kognitif dibutuhkan untuk merancang atau memodifikasi materi pembelajaran, tujuan pembelajaran, serta metode pembelajaran. Diharapkan dengan adanya interaksi dari faktor gaya kognitif, tujuan, materi, serta metode pembelajaran, hasil belajar siswa dapat dicapai semaksimal mungkin.38
Keefe, mengemukakan bahwa gaya kognitif merupakan bagian dari gaya belajar, dan gaya belajar berhubungan (namun berbeda) dengan kemampuan 37 Maria Kozhevnikov, “Cognitive Styles in the Context of Modern Psychology: Toward an Integrated Framework of Cognitive Style”, Psychological Bulletin of American Psychological Association, 133: 3, 464.
38
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 185.
(42)
33
intelektual. Terdapat perbedaan antara kemampuan
(ability) dan gaya (style). Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan macam informasi apa yang telah diproses, dengan langkah bagaimana, dan dalam bentuk apa. Sedangkan gaya lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi tersebut diproses.39
Robbin juga mengungkapkan adanya perbedaan antara kemampuan (ability) dan gaya (style). Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan mengacu pada ranah kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang telah diproses, dengan langkah bagaimana dan dalam bentuk apa informasi itu diproses, atau dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif mengacu pada hal-hal yang orang mampu melakukannya. Sedangkan gaya (style) lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi itu diproses.40 Dengan kata lain, gaya adalah cara seseorang menggunakan kemampuannya.
Di sisi lain, Ridding dan Cheema menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan dimensi bipolar (holistik-analitik). Gaya kognitif berada dalam satu rentangan kontimum dengan tiap ujungnya memiliki perbedaan ekstrim, yaitu satu ujung cenderung berpikir secara menyeluruh, sedangkan ujung lainnya cenderung analitik. Meskipun demikian, gaya kognitif dapat berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan serta pengaruh lingkungan.41
Dari berbagai macam definisi dan pendapat para ahli, dalam tulisan ini peneliti menyimpulkan bahwa gaya kognitif adalah karakteristik individu yang bertahan lama dan konsisten dalam mempersepsi, mengingat, berpikir, dan menyelesaikan masalah. Namun, meskipun gaya kognitif cenderung konsisten dan bertahan lama, gaya kognitif dapat
39 Ibid, halaman 187.
40 Sandha Soemantri, Tesis: “Defragmenting Struktur Berpikir Siswa pada Masalah
Geometri Bangun Ruang”, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), 18. 41 Ibid, halaman 18.
(43)
34
berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan serta pengaruh lingkungan.
2. Macam-macam Gaya Kognitif
Banyak sekali peneliti yang berpendapat tentang macam-macam gaya kognitif. Nasution membedakan gaya kognitif menjadi empat, yaitu 1) gaya kognitif field dependent–field independent, 2) gaya kognitif impulsif – reflektif, 3) gaya kognitif perseptif-reseptif, 4) gaya kognitif sistematis-intuitif.42
Pada 1971, Paivo mengklasifikasikan gaya kognitif ke dalam gaya kognitif visualizer dan gaya kognitif
verbalizer. Paivo mengungkapkan bahwa “visualizer (also called imager) rely primarily on imagery when attempting to perform cognition task, whereas verbalizer rely primarily on verbal analitycal strategies.”43Penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa gaya kognitif visualizer cenderung membayangkan ketika mencoba menyelesaikan tugas kognitif, sedangkan verbalizer cenderung mengandalkan strategi analisis verbal.
Paivo telah menemukan gaya kognitif visualizer dan verbalizer yang didasarkan pada perbedaan sistem pemrosesan informasi dengan cara visual atau verbal. Namun, Blazenkova menemukan bahwa teknologi
neiroimaging menunjukkan adanya dua jenis visualisasi (imagery) yang memroses informasi visual dengan cara yang berbeda. Dua jenis visualisasi itu adalah object imagery dan spatial imagery. Object imagery memroses tampilan visual dari suatu objek berdasarkan bentuk, warna, dan teksturya. Sedangkan spatial imagery memroses lokasi suatu objek, perpindahan objek tersebut, serta hubungan-hubungan spasial dan transformasi.44
42 Nasution, Berbagai Pendekataan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 95.
43 Nisa Rachmi Istiqomah, Tesis: “Penalaran Aljabar Siswa SMA dalam Menyelesaikan
Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2016), 28.
44 Olesya Blazhenkova – Maria Kozhevnikov, “The New Object-Spatial-Verbal Cognitive Style Model: Theory and Measurement”, Applied Cognitive Psychology, (Mey, 2009), 640.
(44)
35
Berdasarkan perbedaan tersebut, Blazhenkova and Kozhevnikov mengembangkan suatu instrumen untuk menilai/mengklasifikasikan perbedaan gaya kognitif seseorang, apakah seseorang tersebut memiliki gaya kognitif object imagery, spatial imagery atau verbal cognitive styles. Instrumen tersebut adalah the Object-Spatial Imagery and Verbal Questionnaire (OSIVQ).45
Pada 2006, Blazhenkova and Kozhevnikov telah mengklasifikasikan dua gaya kognitif, yaitu gaya kognitif objek dan gaya kognitif spasial. Instrumen yang digunakan untuk mengukur gaya kognitif tersebut adalah Object-Spatial Imagery Questionnaire (OSIQ). The Object-Spatial Imagers Questionnaire (OSIQ) dibuat berdasarkan pada psikologi kognitif dan pendekatan neurosains yang menekankan pada perbedaan pemrosesan informasi, yaitu antara pemrosesan sifat-sifat objektif dan pemrosesan hubungan spasial.46 OSIQ terdiri dari 30 butir instrumen kuesioner, yaitu 15 kuesioner mengindikasikan gaya kognitif objek dan 15 kuesioner lainnya mengindikasikan gaya kognitif spasial.47
3. Gaya Kognitif Objek
Object Imagery Cognitive Style atau gaya kognitif objek adalah gaya kognitif yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kecenderungan memroses sifat-sifat objektif ketika mendapatkan suatu informasi, seperti merepresentasikan bentuk yang tepat, ukuran, bentuk, warna dan kecerahan.48 Seseorang yang memiliki gaya kognitif objek cenderung memiliki kemampuan yang baik dalam mengamati warna, bentuk, atau detail dari suatu benda atau objek. Seseorang yang ber-gaya kognitif objek memiliki karakteristik yang berbeda dengan gaya kognitif spasial ketika menyelesaikan suatu masalah matematika. Sebagai contoh, ketika disajikan grafik fungsi kemudian 45 Xenia Xistouri, “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 570.
46 Olesya Blazhenkova – Maria Kozhevnikov, “Object-Spatial Imagery: A New Self-Report Imagery Questionnaire”, Applied Cognitive Psychology, (January, 2006), 242. 47
Ibid, halaman 245. 48 Ibid, halaman 240.
(45)
36
diminta untuk menggambar grafik derivatif, orang yang mempunyai gaya kognitif objek dan orang yang memiliki gaya kognitif spasial menggunakan strategi yang berbeda untuk menafsirkan grafik fungsi. Misalnya, seseorang dengan gaya kognitif objek memulai dengan menggambar gradien (tangent lines), tetapi dia tidak berhasil mengubahnya menjadi grafik derivatif.49
Selanjutnya, Marilena mengatakan dalam penelitiannya bahwa hasil penelitian tentang kreativitas matematika dan gaya kognitif yang dilakukan oleh Pitta-Pantazi dan Christou menunjukkan bahwa gaya kognitif spasial terkait dengan kemampuan matematika yang baik. Anderson dalam penelitiannya mengatakan, gaya kognitif spasial mempunyai relasi positif dengan masalah geometri, namun sebaliknya dengan gaya kognitif objek.50
Adapun pernyataan-pernyataan dalam OSIQ yang mengindikasikan gaya kognitif objek adalah gambarku sangat colourfull dan terang; ketika saya membaca buku fiksi, saya dapat menggambarkan dengan jelas latar tempat yang dideskripsikan di dalam cerita tersebut; saya memiliki kemampuan fotografi; untuk mendapatkan suatu benda di toko yang sering saya kunjungi, saya dapat dengan mudah membayangkan lokasi yang tepat dari benda tersebut, letak raknya, dan sebagainya; gambar saya sangat jelas; jika saya diminta untuk memilih antara belajar arsitektur dan seni visual, saya akan memilih seni visual; gambar-gambar yang saya buat cenderung mirip dengan ukuran, bentuk, dan warna benda-benda yang biasanya saya lihat; ketika saya membayangkan wajah teman saya, saya dapat membayangkannya dengan jelas dan terang; saya dapat dengan mudah mengingat banyak detail visual yang mungkin tidak pernah dilihat oleh orang lain, sebagai contoh, saya dapat mengetahui detail penampilan seseorang, apa warna kemeja seseorang atau apa warna sepatunya; saya 49 Erhan Selcuk Haciomeroglu, “Object-spatial Visualization and Verbal Cognitive Styles, and Their Relation to Cognitive Abilities and Mathematical Performance”, Educational Sciences: Theory & Practice,16:3,(June, 2016), 989.
50
Marilena Chrysostomou, “Cognitive Styles And Their Relation To Number Sense And Algebraic Reasoning”, Proceedings of CERME 7, (February, 2011), 287.
(46)
37
menyukai warna-warna yang cerah dan bentuk yang agak unik di suatu gambar/karya seni; kadang-kadang gambar saya begitu hidup; ketika saya memejamkan mata, saya dapat dengan mudah membayangkan pemandangan yang sudah pernah saya lihat; saya mengingat segala sesuatu secara visual, saya bisa menangkap atau mengingat apa yang dikenakan orang lain dan cara mereka duduk, daripada apa yang mereka diskusikan; gambar visual saya selalu di kepala saya sepanjang waktu; ketika saya mendengarkan penyiar radio yang tidak pernah saya kenal dan temui sebelumnya, saya dapat menggambarkan penampilan penyiar radio tersebut.
4. Gaya Kognitif Spasial
Gaya kognitif spasial adalah gaya kognitif yang terkait dengan kemampuan visual-spasial siswa dalam menangkap detail, hingga memahami pengaturan detail-detail itu menjadi berbagai pola, sampai mencocokkan pola-pola tersebut ke dalam suatu landasan pengetahuan yang dapat dimengerti, atau dengan kata lain seseorang yang memiliki gaya kognitif spasial cenderung memroses informasi berdasarkan pemrosesan hubungan spasial.
Noel Antwistle menguraikan bahwa karakteristik siswa yang memiliki gaya kognitif spasial dicirikan oleh beberapa hal, yaitu dalam berfikir selalu imajinatif; cepat berfikir jika dihadapkan pada masalah yang abstrak; saat menerima informasi, dipecahkan dengan menyertakan peran citra mental; menganalisis objek yang visual, selalu melihat akibatnya; tidak mudah terpengaruh oleh kritik; selalu mempertimbangkan resiko; memecahkan masalah dapat dilakukan dengan cepat jika disertai dengan gambar, tabel atau grafik; dalam mengerjakan tugas tidak diperlukan bimbingan secara rinci; dan memiliki rotasi mental yang tinggi. Kemp memberikan ciri individu yang memiliki gaya kognitif spasial cenderung bercipta yang dapat menghasilkan, mampu menciptakan gubahan musik,
(1)
125
Herdianyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk
Ilmu-Ilmu Sosial.Jakarta: Salemba Humanik
Hidayanto, Taufiq. Subanji. Erry Hidayanto. 2015. “Deskripsi Kesalahan Konstruksi Penyelesaian Masalah Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama”. Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang
Diselenggarakan oleh APPPI.
http://litbang.kemdikbud.go.id/data/puspendik/HASIL%20RISET/TIMS S...pdf diakses pada tanggal 25 Desember 2016 pukul 20.03 WIB
http://romisatriawahono.net/2009/08/10/defragmentasi-otak/ diakses pada tanggal 27 Desember 2016 pukul 20.41 WIB
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/jan.prasetyokj/material/teoripiagetf asesensorimotortiur.pdf diakses pada kamis 2 februari 2017
http://www.bincangedukasi.com/ diakses 25 Desember 2016 pukul 19:24 WIB
http://www.bukukerja.com/2012/10/panduan-penentuan-skoring-kriteria.html, diakses pada hari Minggu, 26 Maret 2017 pukul 21.14 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Defragmentasi diakses pada tanggal 27 Desember 2016 pukul 19.39 WIB
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ilma, Rosidatul. 2017. Skripsi: “Profil Berpikir Analitis Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya
Kognitif Visualizer Dan Verbalizer Di SMPN 25 Surabaya”.
(2)
126
Istiqomah, Nisa Rachmi. Tesis: “Penalaran Aljabar Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif”. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.
Buku Guru Matematika SMA/MA kelas X
Kirnasari, Tyas Pramukti. Tesis: “Defragmentasi Struktur Berpikir Melalui Pemetaan Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan
siswa dalam Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat”.
Malang: Universitas Negeri Malang. 2016
Kozhevnikov, Maria. “Cognitive Styles in the Context of Modern Psychology: Toward an Integrated Framework of Cognitive Style”, Psychological Bulletin of American Psychological Association. Vol.133 No. 3
Kuswana, Wowo. 2012. Taksonomi Berfikir. Bandung: Rosada Karya Laliyo, Lukman Abdul Rauf. 2012. “Pengaruh Strategi Pembelajaran
Dan Gaya Kognitif Spasial Terhadap Hasil Belajar Ikatan Kimia Siswa Kelas XI SMA Negeri Di Gorontalo”. JURNAL
PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN. Vol. 19 No. 1,
APRIL 2012
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Muhassanah, Nur’aini -Imam Sujadi-Riyadi. 2014. “Analisis Keterampilan Geometri Siswa Dalam Memecahkan Masalah Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir Van Hiele”. Jurnal
Elektronik Pembelajaran Matematika. Vol. 2 No.1. Maret
2014
Muin, Abdul dan Siska Amelia. 2013. “Strategi Think Aloud Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa”. KNPM V Himpunan Matematika Indonesia. Juni 2013
(3)
127
Mullis, Ina V.S. TIMSS 2003 International Mathematics Report. Unites States: International Association for the Evaluation of Educational Achievement. 2004
Nasution. 2006. Berbagai Pendekataan dalam Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Ozerem, Aysen. 2012. “Misconceptions In Geometry And Suggested Solutions For Seventh Grade Students”, International Journal
of New Trends in Arts, Sports& Science Education, Vol. 1
No. 4
Pitriani, Tesis: “Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Komputer Cabri 3D Untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Dan Habit Of Thinking Flexibly
Siswa SMA”, diakses melalui repository.upi.edu pada tanggal
7 Agustus 2017 pukul 11.48 WIB
Rahman, Abdul. Disertasi tidak diterbitkan: “Profil Pengajuan Masalah
Matematika berdasarkan gaya kognitif”. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya, 2009
Sakif. 2014. “Defragmenting Of Thinking Process Through Cognitive Mapping To Fix Student’s Error In Solving The Problem Of Algebra”. Proceeding International Seminar on Innovation in
Mathematics and Mathematics Education 1st ISIM-MED 2014
“Innovation and Technology for Mathematics and
Mathematics Education”. Yogyakarta:2014
Salinan Permendikbud nomor 69 tahun 2013 diakses dari
https://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2013/06/07-b-
salinan-lampiran-permendikbud-no-69-th-2013-ttg-kurikulum-sma-ma.pdf diakses 25 Desember 2016 pukul 19:10 WIB
Sari, Elen Mayanti Jiyat. 2016. “Profil Berpikir Kritis Siswa Smp Dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Ditinjau Dari Gaya Kognitif Visualizer Dan Verbalizer”. Jurnal Ilmiah
(4)
128
Setyosari, Punaji. 2015. Metode Penelitian Pendidikan dan
Pengembangan. Jakarta: Prenadamedia Group
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
Soemantri, Sandha. Tesis: “Defragmentasi Struktur Berpikir Siswa pada
Masalah Geometri Bangun Ruang”, Malang: Universitas
Negeri Malang, 2015
Solso, Robert L, 2007. Psikologi Kognitif. Surabaya : Erlangga.
So-Yeon Yoon* Newton D’Souza. “Different Visual Cognitive Styles, Different Problem-Solving Styles?”
Subanji. Disertasi unpublished: “Proses Berpikir Penalaran Kovariasional Pseudo Dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi
Kejadian Dinamik Berkebalikan”, Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya, 2007
Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan
Masalah Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan R & D. Bandung: Alfabeta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Kontrukstivisme dalam pendidikan. Yogyakarta : Kanisius
Surahmi, Ema. 2016. “Representasi Siswa SMA dalam Memahami Konsep Fungsi Kuadrat Ditinjau dari Gaya Kognitif (Visualizer – Verbalizer)”. Jurnal Sigma. Vol.1 No. 2
The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), PISA 2012 Result in Focus
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Group.
(5)
129
Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Warli. 2009. “Pembelajaran Kooperatif Berbasis Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif (Studi Pendahuluan Pengembangan Model Kbr-I)”. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan
dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta
Woolfolk, Anita E. Educational Phsychology Fifth Edition
Xistouri, Xenia. Demetra - Pitta-Pantazi. 2011. “Elementary Student’s Transformational Geometry Abilities and Cognitive Style”, Proceedings of CERME 7
Zuhri, Zainullah. 2016. Skripsi : “Analisis Koneksi Matematika Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Dibedakan Dari
Kecenderungan Gaya Berpikir”. Surabaya: UIN Sunan
(6)