SEJARAH KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA (1938-1945 M).

(1)

SEJARAH KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN

KEMERDEKAAN INDONESIA (1938-1945 M)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh

Kurnia Sukma

NIM: A82212144

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul tentang “Sejarah KH. Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1938-1945 M)”. Adapun permasalahan yang dibahas pada penelitian ini, meliputi; (1) Siapa KH. Masjkur?, (2) Bagaimana kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama?, (3) Bagaimana peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia?.

Untuk menjawab permasalah tersebut, penulis menggunakan metode sejarah dengan tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan historis. Selain itu penulis juga menggunakan teori peran dan teori kepemimpinan kharismatik Max Weber.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) KH. Masjkur adalah seorang tokoh Ulama yang lahir di Singosari Malang tahun 1900 dan meninggal pada tanggal 18 Desember 1992. (2) Beliau juga menjadi salah satu tokoh penting di Nadhatul Ulama yang pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU menggantikan posisi KH. Wahid Hasyim. (3) Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia beliau ikut serta dalam anggota kemiliteran dan dalam perumusan dasar negara dengan menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iv

TRANSLITERASI... v

MOTTO ...vi

PERSEMBAHAN ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI...xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Kegunaan Penelitian... 5

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritis... 6

F. Penelitian Terdahulu ... 7

G. Metode Penelitian... 8


(8)

BAB II: BIOGRAFI KH. MASJKUR

A. Riwayat Hidup KH. Masjkur ... 13

B. Karir KH. Masjkur ... 19

BAB III: KIPRAH KH. MASJKUR DALAM ORGANISASI NADHATUL ULAMA A. Perkembangan Nadhatul Ulama Sampai Jepang Datang ... 38

B. Peran Masjkur Dalam Organisasi Nadhatul Ulama ... 42

C. Peran Organisasi Nadhatul Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia ... 48

BAB IV: PERAN KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA A. Perjuangan KH. Masjkur dalam Keprajuritan Indonesia ... 51

1. Syuu Sangi-kai (DPRD zaman Jepang) ... 51

2. PETA... 55

3. Hizbullah dan Sabilillah ... 56

B. Perjuangan KH. Masjkur dalam BPUPKI dan PPKI ... 58

C. Peran KH. Masjkur dalam Piagam Jakarta di Konstituante ... 69

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan... 72

B. Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penjajahan, bagaimanapun bentuk dan dimanapun tempatnya selalu saja membawa penderitaan, baik lahir terutama batin. Dalam perspektif ajaran agama Islam, penjajahan atau yang disebut dengan kolonialisme (dalam segala bentuknya) termasuk perkara munkar (keji/kejahatan) sebagai kebalikan dari ma’ruf(kebijakan/ perdamaian). Dimana setiap umat Islam (pria dan wanita) secara individual maupun kolektif berkewajiban melengkapinya.

Karena termasuk perkara munkar yang harus dilenyapkan sejak semula, sikap orang Islam maupun umat Islam dimanapun dan dalam zaman kapanpun melandasi mereka sikap mereka melawan penjajah berdasar ajaran Rasulullah SAW.

Di Indonesia, penjajahan dimata umat Islam adalah orang-orang kafir yang anti Islam dan itu pula sebabnya dimanapun tempatnya disitu umat Islam berada dan terjajah selalu saja muncul reaksi perlawanan.1

Kondisi umat Islam yang tidak sama dalam setiap periode perjuangan yang ada membuat sikap perlawanan yang di munculkan juga bervariasi dan beraneka ragam. Adakalanya melalui pemberontakan dalam perjuangan kemerdekaan melalui pergerakan politik, melalui jalur dakwah maupun perang kebudayaan dan melalui


(10)

2

perjuangan di bawah tanah. Dalam kondisi yang paling burukpun, sikap perlawanan terhadap penjajahan dilakukan secara perorangan, bahkan kelihatan seolah-olah diam seribu bahasa. Namun, dalam hati bergejolak sikap perlawanan yang membara.

Apapun keragaman tersebut, pada dasarnya tetaplah tidak menyimpang dari dasar ajaran agama Islam itu sendiri tentang kewajiban dalam mengantisipasi setiap bentuk kemungkaran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.

Tiga setengah abad (bahkan jika dihitung sejak zaman Portugis, penjajahan di Indonesia justru berlangsung selama 433 tahun, yakni sejak 1511-1945). Belum lagi Agresi Militer Belanda II yang berakhir pada tahun 1949, begitulah sejarah mencatat masa-masa dimana kehidupan masyarakat bangsa Indonesia banyak diwarnai dengan pergerakan-pergerakan dan perjuangan di dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Melihat sejarah Indonesia baik berupa perjuangan dan kemerdekaannya, fakta sejarah dalam bentuk apapun menyebutkan bahwa betapa keberadaan serta peranan dan sumbangsih umat Islam yang dimotori oleh para ulama adalah sangat besar. Bahkan menurut penuturan para pelaku-pelaku sejarah (para ulama dan pembantu-pembantunya yang sudah wafat maupun yang masih hidup) adalah diramalkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah tercapai, bila mengingat keadaan rakyat dimasa itu yang serba kekurangan, akibat kekejaman penjajah.

Akan tetapi berkat motivasi dan upaya transformasi besar-besaran beralihnya gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau organik dari produk para


(11)

3

ulama pendahulu dengan disertai sugesti pensakralkan peperangan melawan penjajah.2Maka kemerdekaan itu tidak luput dari hasil perjuangan para ulama.

Karenanya tidak heran jika dikemudian hari para ahli sejarah Indonesia menilai ketidaksempurnaan pemaparan sejarah nasional Indonesia tanpa disertai keberadaan dan perkembangan peranan umat Islam di dalamnya. Sebagai salah satu contoh yang dikemukakan oleh HM. Yunan Nasution dalam makalahnya pada seminar tahun 1984 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta bahwa: “… Apabila

ditelusuri peranan ulama dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, dapatlah disimpulkan bahwa pada umumnya para ulama mendorong, menggerakkan dan menjiwai perjuangan tersebut sejak zaman atau periode meretas, merintis hingga sampai dengan tercetusnya kemerdekaan Indonesia menjadi satu kenyataan”.3

Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa, umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna yang sangat terang dalam kanvas sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, utamanya dalam perlawanan menentang penjajahan Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Begitu mendalamnya torehan sejarah yang dipahat umat Islam sepanjang masa imperialisme di bumi nusantara ini, sehingga kemanapun kita mencoba melacak jejak-jejak perjuangan dimasa penjajahan maka senantiasa akan menemukan pijaran-pijaran api semangat Islam dimana-mana.

2Hotman Siahaan,Peranan Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan(Surabaya: PWNU, 1995), 148. 3HM. Yunan Nasution,Peranan Ulama Dalam Kancah Perjuangan(Surabaya: PWNU, 1996), 48.


(12)

4

Sebagai kilas balik sejarah, uraian tersebut diatas menjelaskan bahwa keunggulan persenjataan bangsa-bangsa penjajah selama dua ratus tiga puluh lima tahun ternyata tidak mampu secara politik menguasai bumi nusantara apalagi mengendalikannya. Dari sini sebabnya Islam dan umat Islam menjadi penghalang bagi setiap laju imperialisme di Indonesia.

Bebicara tentang perjuangan umat Islam, penulis ingin sekali mengangkat sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sehingga penulis memasukkan tokoh yang mengalami sendiri proses dimana memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari awal sampai akhir. Disini penulis mengangkat judul Sejarah KH. Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1938-1945 M), karena penulis sangat tertarik dengan pengabdian KH. Masjkur yang merupakan tokoh nasional dan mempunyai peran kesejarahan sangat besar baik saat perjuangan fisik melawan Belanda maupun perjuangan pergerakan nasional di era revolusi.

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan pada penelitian ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Siapa KH. Masjkur?

2. Bagaimana kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama?


(13)

5

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui biografi KH. Masjkur.

2. Mengetahui kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama.

3. Mengetahui peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. D. Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini memiliki arti penting bagi penulis untuk mengintegrasikan keseluruhan mata kuliah Sejarah dan Kebudayaan Islam secara ilmiah. Selain itu, penelitian ini juga mempunyai kegunaan lain yang penjelasannya sebagai berikut:

1. Secara akademik

Sebagai upaya menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang sejarah Indonesia. Di samping itu, KH. Masjkur adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

2. Secara praktis

Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat menyelesaikan kuliahnya di Strata satu (S-1) jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya dan mendapatkan gelar sarjananya.


(14)

6

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi di masa lampau melalui pendekatan historis. Pendekatan ini diharapkan bisa mengungkapkan latar belakang sejarah awal perjuangan sampai peranan yang dilakukan oleh KH. Masjkur.

Selain itu penulis juga menggunakan teori peran dan teori kepemimpinan. Menurut Soerjono Soekanto, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.4 Peranan juga merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilakukan dan terdapat sesuatu yang diharapkan orang lain melalui proses sosial, yaitu hubungan timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.5

Penulis juga menggunakan teori kepemimpinan kharismatik, jenis kepemimpinan ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli sosiologi Jerman yakni Max Weber. Kepemimpinan kharismatik didefinisikan oleh Weber berdasarkan persembahan pemimpin terhadap para pengikut dengan kesucian, kepahlawanan, karakter khusus seorang individu dan juga pola normatif atau keteraturan yang telah disampaikan. Pemimpin kharismatik muncul pada waktu krisis atau keadaan yang sukar, termasuk jika ada masalah-masalah ekonomi, agama, ras, politik dan sosial.6

4

Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 243.

5Soekanto,Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya, 100.

6Anthony Giddens,Kapitalisme dan Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx Durkheim dan


(15)

7

Teori ini bisa dipakai untuk menganalisis beberapa jenis pemimpin, termasuk pemimpin agama, spiritual dan politik. Dalam rangka untuk mengungkapkan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar menghasilkan penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibat- akibatnya. Ia juga mengatakan bahwa:“ciri yang mencolok dari hubungan sosial adalah kenyataan bahwa hubungan-hubungan tersebut bermakna bagi mereka yang mengambil bagian didalamnya.7

Yang dikenal dengan teori tindakan”.Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa: “ciri

penting kependekatan (Kiai) adalah spesialis sekelompok orang tertentu dalam menjalankan kegiatan penyembahan yang bersifat terus-menerus, yang senantiasa terkait dengan norma-norma, tempat-tempat dan saat-saat tertentu pula”.8

Dari uraian tersebut penulis gunakan untuk mengetahui bagaimana KH. Masjkur menjalankan fungsinya sebagai seorang Kiai, pejuang, tokoh politik, panutan dan sebagai seorang pemimpin. Menurut Weber ada tiga kepemimpinan yang dimiliki oleh para pemimpin agama.

F. Penelitian Terdahulu

Untuk menunjang hasil penelitian, penulis melakukan penelusuran terkait tulisan-tulisan yang mengenai judul diatas. Setahu penulis, hanya ada beberapa tulisan ilmiah yang membahas tentang judul tersebut. Tulisan pertama adalah Skripsi karya Muhammad Ali Dimyati yang berjudul“KH. Masjkur Dalam Laskar Sabilillah

7

Tom Campbell,Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian dan Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 199.

8Betty R. Scraft,Kajian Sosiologi Agama, terj. Machun Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995),


(16)

8

(1945-1949)” di UIN Sunan Ampel Surabaya. Seperti yang ditunjukkan judulnya, tulisan ini membahas tentang peranan K.H. Masjkur dengan fokus pembahasan dalam Laskar Sabilillah.

Karya selanjutnya yang membahas tentang judul tersebut adalah “Peranan KH. Masjkur Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Malang”. Skripsi ini membahas tentang peran KH. Masjkur dalam memberikan suatu dorongan terhadap pemuda-pemudi muslimin dalam dunia pendidikan di kota Malang.

Penulis juga menemukan buku yang membahas tentang judul tersebut yakni buku yang berjudul “Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik”, buku ini berisi tentang profil KH. Masjkur dan mantan menteri-menteri agama dulu dan juga perjalanannya didunia perpolitikan.

Berbeda dengan penelitian-penilitian diatas, pada kali ini penulis ingin membahas tentang peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan fokus pembahasan pada peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan juga kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama tahun 1938-1945.

G. Metode Penelitian

Penulisan ini adalah sebuah studi sejarah, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian historis. Metode penelitian sejarah akan membahas tentang penelitian sumber, kritik, sintesis, sampai kepada penyajian hasil penelitian. Semua kegiatan atau proses ini harus mengikuti metode dan aturan yang benar. Adapun langkah-langkah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(17)

9

1. Heuristik

Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.9

Dalam tahap ini peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan melalui studi kepustakaan, yaitu bertujuanmengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di perpustakaan.10

Sumber primer penulisan ini berasal dari buku arsip milik Negara yaitu

“Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Dibuku tersebut dijelaskan peran KH. Masjkur dalam anggota BPUPKI.

Sumber sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara sistematis dan kritis. Di samping itu data juga diperoleh dari internet yang terkait

9Lilik Zulaicha,Metodologi Sejarah I(Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011), 16. 10Kartini Kartono,Pengantar Metodologi Riset Sosial(Bandung: Mandar Maju, 1990), 33.


(18)

10

dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer. 2. Kritik Sumber

Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik apa tidak. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik ekstern.

a. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak. Di dalam buku yang berjudul KH. Masjkur, sebuah biografi karya Soebagijo I.N. yang bisa dikatakan sumber kredibel atau dapat dipercaya. Karena buku tersebut dibuat saat KH. Masjkur masih hidup. Dengan kata lain saat buku itu dibuat KH. Masjkur sendiri dapat mengoreksi kebenarannya.

b. Kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak. Dengan kata lain peneliti wajib meneliti sumber secara seksama agar bisa dipercaya kebenarannya.

3. Interpretasi

Interpretasi adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentisnya terdapat saling hubungan atau yang satu dan yang lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang telah didapatkan.


(19)

11

Dalam fase ini, peneliti akan menginterpretasikan atau menafsirkan fenomena yang sudah diteliti tentang sejarah KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan beberapa sumber yang sudah terkumpul dan memberikan perbandingan atas sumber yang sudah ada.

4. Historiografi

Historiografi adalah menyusun atau merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa lain, pada tahap ini penulis melakukan pemaparan hasil penelitian secara sistematis data sejarah menjadi kisah.11

H. Sistematika Bahasan

Agar dalam penyusunan skripsi ini dapat terarah dan sesuai dengan apa yang direncanakan atau diharapkan oleh peneliti untuk mengungkapkan alur bahasan sehingga dapat diketahui logika penyusunan dan koherensi antara satu bagian (bab dan sub-bab) dengan bagian (bab dan sub-bab) yang lain maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut.

Bab I antara lain: Pendahuluan, Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Pendekatan dan kerangka teoritis, Penelitian terdahulu, Metode penelitian dan Sistematika bahasan.


(20)

12

Bab II tentang biografi KH. Masjkur yang berisi tentang informasi pribadi, pendidikan, karir dalam politik dan pemerintahannya.

Bab III tentang kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama yang dimulai dari awal bergabung dengan organisasi Nadhatul Ulama sampai ditunjuk menjadi ketua umum PBNU.

Bab IV tentang peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai dari ditunjuk sebagai anggota PETA, BPUPKI, pengurus hizbullah sampai sejarah beliau dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bab V yakni penutup, di bab terakhir ini akan berisi kesimpulan atas apa yang telah dijabarkan untuk menjawab rumusan masalah yang ada.


(21)

BAB II

BIOGRAFI KH. MASJKUR

A. Riwayat Hidup KH. Masjkur

KH. Masjkur lahir di Singosari, Malang, tahun 1900 M/ 1315 H.1 Ia dilahirkan dari pasangan Maksum dengan Maemunah. Maksum adalah seorang perantau yang berasal dari sebuah dusun di kaki gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah. Ia datang ke Singosari memenuhi perintah ibunya untuk mencari ayahnya yang pergi meninggalkan kampung halaman.2 Maksum sebagai anak laki-laki yang melajang masa remaja tidak hendak membantah perintah sang ibu. Baginya, apa yang diperintahkan ibundanya, merupakan suatu keharusan yang tak dapat dan tak perlu dibantah lagi.3

Pada masa itu, orang masih belum banyak yang berani ke luar kampung halaman, berdagang seorang diri, mengembara di kota orang. Namun ayah Maksum dan teman-temanya meninggalkan desa karena ikut dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda.

Kemudian, di Singosari, Maksum tinggal di pesantren yang dipimpin kiai Rohim. Dan menjadi santri di pesantren tersebut. Dalam waktu yang singkat, Maksum sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang santri yang rajin, yang cerdas dan juga tekun serta suka menolong sesama rekannya. Karena itu tidak

Soebagijo I.N,K.H. Masjkur(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 3.

Azyumardi Azra (ed),Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik(Jakarta: PPIM, 1998), 56.

3


(22)

✂ ✄

anehlah bahwa Maksum menjadi kesayangan kiai Rohim, sampai akhirnya dia diambil menantu oleh sang kiai, dikawinkan dengan anak perempuannya, Maemunah.

Pasangan Maksum dengan Maemunah inilah yang kemudian melahirkan Masjkur bersaudara. Mereka itu ialah: Masjkur (tertua), Toyib, Hafsah, Barmawi, Toha dan Hassan. Dalam perkembangannya, keenam bersaudara itu berhasil menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah.4

Sepulang haji, Masjkur memulai proses pendidikannya di dunia pesantren. Ia belajar pada tidak kurang dari tujuh pesantren terkemuka di berbagai daerah dengan konsentrasi keilmuan yang berbeda-beda.masjkur kecil diantarkan ayahnya ke pesantren Bungkuk Singosari, di bawah pimpinan kiai Thohir. Selesai belajar di pesantren Bungkuk, Masjkur pindah ke pesantren Sono, yang terletak di Bundaran Sidoarjo, untuk belajar ilmu sharaf dan nahwu. Empat tahun kemudian pindah ke pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, untuk belajar ilmu fikih. Selanjutnya, Masjkur pindah ke pesantren Tebuireng Jombang untuk belajar ilmu tafsir dan hadits pada kiai Hasyim Asy’ari selama dua tahun. Setelah menamatkan pelajaran di Tebuireng, Masjkur berangkat ke pesantren Bangkalan Madura untuk belajar qiraat al-Qur’an pada kiai Khalil selama satu tahun. Dan kemudian pindah ke pesantren Jamasaren di Solo.5

Selama itu pula, Masjkur mendapat pengalaman bahwa kehidupan di pesantren pada waktu dulu diatur sedemikian rupa oleh kiai masing-masing, sehingga para santri itu selalu saling tolong-menolong baik dalam hal rohani

Mastuki H.S. at el. Intelektualisme Pesantren(Jakarta: Diva Pustaka,2003), 95.

5


(23)

✆ ✝

maupun jasmani, lahir dan batin. Ada lagi suatu hal yang berhasil diamati Masjkur. Yakni bahwa para ulama pada masa dahulu sangat kuatnya semangat non-koperator terhadap musuh (Belanda), maka para santrinya tidak dibenarkan untuk meniru tingkah laku dan tabiat orang asing itu. Karenanya, menggunakan bahasa Belanda pun dilarang keras dan berpakaian sebagai orang Eropa sama sekali tidak dibenarkan.

Sedangkan pesantren yang memiliki makna tersendiri bagi Masjkur adalah pesantren Jamsaren, karena waktu itu sudah mulai menginjak masa dewasa. Di sini pula dia mulai berkenalan dengan teman-temannya yang dikemudian hari menjadi ulama terkenal dan pemimpin masyarakat di daerah masing-masing, seperti kiai Musta’in (Tuban), kiai Arwan (Kudus), kiai Abdurrahim (adik kiai Abdul Wahab Hasbullah, Jombang).6

Selain itu, di pesantren Jamsaren ini perkembangan berfikir Masjkur mengalami kemajuan pesat. Dia mulai menyadari bahwa umat Islam kalah maju dengan golongan lain, karena tidak dapat mengikuti zaman. Banyak di antara sesama rekannya santri yang hanya pandai menulis dan membaca huruf arab, tetapi tidak mampu membaca huruf latin. Padahal, ketika itu huruf latin sudah banyak di pelajari orang. Di sekolah-sekolah para murid sudah di beri pelajaran huruf latin, di samping huruf jawa. Buku-buku ilmu pengetahuan, yang berisi dongeng dan cerita banyak di tulis dalam huruf latin. Tetapi, semua itu bagi

6


(24)

✞6

mereka yang paham akan huruf latin pasti buku yang ia miliki hanya tertutup saja dan tidak ada artinya sama sekali.7

Karena itu tergeraklah hati Masjkur dan beberapa orang temannya santri di Jamsaren untuk belajar membaca dan menulis huruf latin. Dia mendengar kabar bahwa di kota ada seorang janda tua, berkebangsaan Indo-Belanda, mau dan bersedia mengajar mereka yang ingin membaca dan menulis latin. Begitulah Masjkur dan beberapa orang temannya mulai belajar dengan beberapa temannya tadi sampai akhirnya dia cukup mahir menulis dan membaca huruf latin.

Setelah dia menyelesaikan pelajaran di Jamsaren, Masjkur melanjutkan belajar di pesantren Kresek, Penyosokan Cibatu Jawa Barat, setahun lamanya.8 Selama itu pula dia berhasil menjalin tali persahabatan dengan beberapa ulama terkemuka di sana seorang diantaranya ialah Jalil al-Muqadasih yang kemudian pindah ke Makkah, mendirikan madrasah di sana dan bermukim di Makkah sampai akhir hayatnya. Masjkur berkelana dan menjelajah tanah Priangan, berpindah-pindah dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain, membandingkan keadaan pondok yang satu dengan pondok yang lain dan setelah dia merasa puas serta cukup mengadakan penelitian, dia pun lalu pulang kembali ke Singosari, Malang, dengan membawa cita-cita serta gagasan yang mantap dan matang.

Setibanya kembali di kampung halaman, dia berniat hendak mengamalkan segala apa yang telah dipelajarinya dengan bertekad membangun pondok

7

Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 57.

8


(25)

✟ ✠

pesantren. Di sana dia hendak memberi pelajaran kepada anak-anak di sekitarnya terutama mengenai ajaran-ajaran agama.

Pada tahun1923 di Singosari dia mulai membuka pondok madrasah yang di beri nama Misbachul Wathon. Yang berarti pelita tanah air. Madarasah itu mula-mula masih sederhana saja, baru menerima beberapa murid laki-laki karena pada waktu itu memang belum lazim anak perempuan belajar mengaji di sekolah bersama dengan anak laki-laki.9

Dengan tekun serta telatennya madrasah yang didirikan itu dibinanya, meskipun dia tahu dengan pasti halangan dan rintangan pasti datang terutama dari pihak penguasa, yaitu asisten wedana atau camat setempat.

Hampir setiap hari Masjkur mendapat gangguan dan sering kali dipanggil untuk datang ke kantor kecamatan untuk ditanya pelajaran apa saja yang diberikan kepada murid-muridnya. Peristiwa tersebut menarik perhatian masyarakat setempat. Dan rakyat yang sebagian besar terdiri dari orang awam terpengaruh pula oleh keadaan yang demikian. Pada umumnya mereka takut mengirim anak-anaknya ke madrasah yang dipimpin oleh Masjkur.

Masjkur menyadari bahwa tiap usaha dan perjuangan selalu harus menghadapi tantangan. Dengan segala ketabahan dia berusaha agar madrasah yang dipimpinnya tetap bisa bertahan dan berdiri meskipun jumlah muridnya tidak begitu banyak. 10Akhirnya kiai Masjkur meminta bantuan kepada kiai Wahab Hasbulloh. Dan Wahab Hasbulloh menganjurkan kepadanya, agar madrasahnya yang di Singosari diubah namanya dari Misbachul Wathon menjadi

9

Ibid., 16.

10


(26)

✡8

madrasah Nadhatul Wathon (yang artinya kebangunan tanah air), sekaligus menjadi cabangNadhatul Wathondari Surabaya.11

Cara pengajian, cara pengajaran agama, cara penyampaian ajaran agama disesuaikan dengan kehendak zaman, dengan cara yang sudah lazim dilakukan madrasah Nadhatul Wathon Surabaya. Sekembalinya di Singosari dia pun menyatakan niatnya kepada para muridnya dan sejak saat itulah madrasah Misbachul Wathonberganti nama menjadi madrasahNadhatul Wathon.

Kiai Wahab Hasbullah kemudian datang ke Singosari dan membawa Masjkur ke kantor kewedanan, sambil memberitahukan bahwaMisbachul Wathon sejak itu merupakan cabang dari Nadhatul Wathon di Malang. Sejak saat itu pihak alat pemerintah Belanda tidak lagi mengungkit-ungkit serta memanggil Masjkur agar datang ke kantornya. Dia kini dibenarkan bebas merdekan memberi pelajaran kepada muridnya, tidak mendapat gangguan atau rintangan.

Masjkur mengucap syukur dan perkembangan madrasah yang dipimpinnya mengalami kemajuan yang cukup. Masyarakat disekitar setelah tidak lagi melihat adanya adanya panggilan-panggilan oleh kantor kewedanan dan mulailah mereka berani mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah di madrasah itu.12Masjkur begitu penasaran dan menyelidiki penyebab dia tidak dipanggil lagi oleh pihak Belanda. Dan ternyata anggota pengurus Nadhatul Wathon Mas Sugeng adalah seorang sekretaris Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda.

Pada usia 27 tahun Masjkur menikah dengan cucu kiai Tohir di Bungkuk tempat pertama kali dia menjadi santri. Tetapi, waktu itu Haji Maksum meninggal

11

Ibid., 19.

12


(27)

☛9

dunia dan dengan sendirinya beban orang tua dilimpahkan kepada bahu Masjkur sebagai anak pertama. Dialah yang di tugaskan membesarkan, mengasuh dan mengawinkan adik-adiknya.13

Sejak kecil Masjkur sudah dididik untuk hidup sederhana dan dia menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuanya hidup tirakat sepanjang ajaran Jawa dan agama Islam. Segala hasil kerja orang tuanya di pergunakan untuk kepentingan anak-anak agar mereka itu nanti dapat maju dalam kehidupan. Ajaran kedua orang tuanya itu diterapkan kepada adik-adiknya dan mereka di ajari hidup serba hemat, apa adanya, rajin dan tetap beribadah kepada tuhan.

Setelah 16 tahun hidup bersama dengan cucu kiai Thahir (istrinya). Masjkur ditinggal meninggal dunia tanpa diberi keturunan oleh istrinya. Pada tahun 1939, atas saran dari kiai Khalil dari Genteng, Masjkur menikahi adik almarhumah istrinya yang bernama Fatimah. Setahun kemudian, pada 1940 pasangan itu dikaruniai seorang putra yang diberi nama Syaiful Islam.14

B. Karir KH. Masjkur

Ketika masih di Singosari, Masjkur sudah aktif di Nadhatul Ulama sebagai ketua Cabang Malang, yang kala itu merupakan cabang ke 6. 15Awal mula perkenalan Masjkur dengan Nadhatul Ulama terjadi ketika ia meminta nasehat kiai Wahab Hasbullah tentang adanya gangguan-gangguan dari pemerintah setempat terhadap pesantren yang dipimpinnya. Kiai Wahab menganjurkan agar Masjkur mengubah nama pesantrennya menjadi pesantren Nadhatul Wathon yang

13

Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 58.

14

Mastuki,Intelektualisme Pesantren, 96.

☞✌

Saifudin Zuhri,Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 473.


(28)

✍ ✎

merupakan cabang dariNadhatul WathonSurabaya. Sejak saat itu Masjkur sering datang ke Surabaya untuk mengadakan pertemuan dengan kelompok Taswirul Afkar yang membahas masalah agama, dakwah dan sosial.

Masjkur merasa memperoleh pengalaman baru dengan pertemuan tersebut. Ia berkenalan langsung dengan para pemimpin Taswirul Afkar, seperti kiai Mas Alwi, kiai Mas Mansur dan kiai Ridwan. Kelompok inilah yang kemudian memprakarsai keikutsertaan beberapa ulama “tradisional” dalam kongres Islam sedunia di Hijaz dan membidani lahirnya Nadhatul Ulama. Karena Masjkur sering terlibat dalam kelompok tersebut,dia pun ditunjuk menjadi ketua Nadhatul Ulama cabang Malang. Aktivitas Masjkur di Nadhatul Ulama semakin hari semakin meningkat. Pada 1938 Masjkur diangkat sebagai salah seorang Pengurus Besar Nadhatul Ulama yang bermarkas di Surabaya. Sejak itu, Masjkur hampir 12 tahun sering pulang pergi dari Malang ke Surabaya.16

Pada masa pendudukan Jepang, Masjkur terlibat dalam laskar hizbullah. Ia mengikuti latihan kemiliteran yang diadakan di Cisarua Bogor pada akhir Februari 1945. Selain itu Masjkur juga ikut latihan khusus bagi ulama yang diadakan Jepang pada Juli 1945. Masjkur saat itu menjadi utusan dari keresidenan Malang bersama dengan Haji Nuryasin dan H.M. Kholil. Selepas latihan, Masjkur diangkat menjadi anggota Syu Sangi-kai (semacam DPRD).17

Menjelang kemerdekaan, Masjkur diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bersama-sama Kahar Muzzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim, ketika membahas

16

Soebagijo,KH. Masjkur, 18.

17


(29)

✏ ✑

rancangan Undang-Undang Dasar, Masjkur termasuk anggota sidang yang mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara yang akan dibangun.

Saat pihak Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Segera setelah itu, barisan tentara suka rela lainnya dibentuk, kali ini hanya merekrut kalangan muslim saja, dan barisan ini diberi nama dengan hizbulloh (tentara Allah). Kelompok barisan ini adalah salah satu bagian Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam yang ada pada saat itu. Partai Masyumi membentuk komandonya sendiri yang disebut sebagai pembelaan. Pemimpin bagian ini dipercayakan kepada Masjkur yang juga sudah pengalaman memimpin hizbulloh pada masa Jepang.

Belakang Masjkur juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertahana Negara. Masjkur dalam dewan tersebut adalah utusan Masyumi. Dewan Pertahanan Negara ini dibentuk Presiden karena dinyatakan negara dalam keadaan bahaya, setelah terjadi huru-hara dan bentrokan senjata di daerah Solo yang diikuti dengan culik menculik yang dinilai pemerintah menjurus kearah anarki. Dewan Pertahanan Negara terdiri dari Perdana Menteri, Menteri Pertahan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Panglima Besar dan tiga orang wakil organisasi rakyat. Anggota-anggota Dewan Pertahanan Negara yang bukan menteri ialah Sarjono (PKI), Sumarso (Pesindo) dan kiai Haji Masjkur (hizbullah/Masyumi) sedangkan, yang menjadi sekretarisnya ialah Mr. Ali Sastroamijoyo.18

18


(30)

✒✒

Dewan Pertahanan Negara diberi kekuasaan dalam membuat peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain tersebut.19Maksudnya ialah untuk memusatkan mengkoordinasi dan mempercepat jalannya pemerintahan.

Saat menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara, tepatnya pada November 1947 Masjkur dipanggil Bung Karno untuk segera datang ke Yogyakarta.20

Setibanya di Yogyakarta Masjkur tidak langsung menuju ke Gedung Agung, tetapi terlebih dahulu datang ke kantor pusat Masyumi untuk melapor sekaligus mencari informasi tentang panggilan tersebut. Dari situlah, ia mendapatkan informasi bahwa sebentar lagi kabinet Amir Syarifuddin akan mengadakan reshuffle dan Masyumi yang semula ditinggalkan akan diikutsertakan dalam kabinet. Mendengar informasi tersebut, Masjkur langsung menemui Bung Karno dan saat itu juga Masjkur diminta untuk menjadi Menteri Agama oleh Bung Karno dalam kabinet Amir Syarifuddin ke-2 yang mulai bertugas sejak 11 November 1947.

Dalam kondisi politik yang belum stabil dan perekonomian yang masih terpuruk, sebagai Menteri Agama, Masjkur hanya mendapat gaji Rp 300,- Oeang Republik Indonesia (ORI) dalam sebulan. Pada saat itu gaji tersebut hanya cukup dimakan sekeluarga antara lima sampai enam hari.

Setiap kali rapat kabinet, jamuannya hanya teh manis dan disediakan makan siang atau malam apabila sidang sampai lama. Namun hal itu tidak mengurangi semangat anggota kabinet untuk terus memikirkan strategi

✓9

A.H. Nasution,Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 3(Bandung: Penerbit Angkasa, 1977), 140-141.

20


(31)

✔ ✕

perjuangan melawan Belanda dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.21

Dengan kondisi seperti itu, dapat dimaklumi jika pada masa kabinet Amir Syarifuddin kedua, Masjkur belum dapat melakukan pembenahan terhadap tugas dan fungsi Kementrian Agama seperti yang telah diamanatkan dalam Konferensi I (Rapat Kerja) Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada 17-18 Maret 1946.

Perhatian kabinet tercurah untuk menyiapkan perundingan dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat, yang kemudian menghasilkan perjanjian Renville. Ironisnya isi perjanjian tersebut justru memperlemah posisi Republik Indonesia.

Dalam perjanjian tersebut diputuskan bahwa kedaulatan atas Hindia Belanda akan tetap di tangan kerajaan Belanda sampai pada saat nanti diserahkan ke Republik Indonesia Serikat. Selain itu, dalam perjanjian tersebut diakui pula adanya garis Van Mook (garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang diduduki Belanda). Dan yang lebih tragis lagi, pasukan dan laskar Republik Indonesia yang masih beroperasi di daerah-daerah haruslah hijrah ke Republik Indonesia. Dan barulah bisa diadakan dasar-dasar baru untuk meneruskan perundingan. Perjanjian ini ditandatangani pada 17 Februari 1948 dan mendapatkan reaksi keras dari berbagai golongan. Bahkan, anggota-anggota Masyumi dan PNI yang duduk di kabinet meletakkan jabatannya, sambil

✖✗


(32)

✘ ✙

mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak ikut bertanggung jawab atas hasil perundingan Renville dan menuntut pergantian kabinet.22

Karena kabinet Amir Syarifuddin tidak mendapat dukungan dari Masyumi dan PNI, ia akhirnya meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada 23 Januari 1948. Dengan demikian kabinet Amir Syarifuddin kedua hanya berjalan dua setengah bulan. Dalam waktu yang relatif singkat tersebut, Masjkur selaku Menteri Agama menghasilkan Peraturan Menteri Agama No. 5/ 1947 tentang biaya perkara Pengadilan Agama yang harus disetor ke kas negara. Dalam waktu itu, berlangsunglah Konferensi Agama dengan Jawatan-jawatan Agama seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 13-16 November 1947 yang menghasilkan keputusan penting yaitu ditambahkannya bagian Penyiaran dan Penerangan Agama di setiap Jawatan Agama.23

Dengan mundurnya Amir Syarifuddin, Presiden Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin kabinet presidensial darurat yang bukan bertanggungjawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melainkan kepada Bung Karno sebagai Presiden. Para anggota kabinet berasal dari golongan tengah, terutama terdiri dari PNI, Masyumi dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Pada awalnya orang-orang Masyumi ragu untuk duduk di Kabinet Hatta, karena trauma dengan perjanjian Renville. Di tubuh Masyumi sendiri terjadi pertentangan antara pro dan kontra untuk duduk di kabinet. Namun hal ini dapat diselesaikan berkat usaha yang dilakukan K.H. Wahab Chasbullah, sehingga akhirnya Masyumi mendukung

✚ ✚

Ibid., 76.

23


(33)

✛ ✜

sepenuhnya kabinet Hatta. Pada kabinet baru ini, Masjkur kembali ditunjuk sebagai Menteri Agama.24

Dalam kabinet yang dikenal dengan Kabinet Hatta I ini Masjkur memberlakukan UU NO. 19/ 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan yang salah satu pasalnya, 35 (2) menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antar umat Islam diperiksa dan diputuskan menurut hukum Islam oleh pengadilan dengan formasi satu orang ketua hakim beragama Islam, dan 2 orang anggota hakim yang ahli agama Islam. Demikian pula halnya dengan peradilan tingkat kasasi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 53. Semua hakim yang dimaksudkan itu diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.25

Dalam menjalankan programnya, Kabinet Hatta I mendapatkan tantangan cukup berat dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi dan beraliran komunis. Kelompok FDR ini mendapat dukungan Muso, seorang komunis berasal dari Rusia. Kelompok ini berusaha keras untuk dapat kembali memegang kemudi pemerintahan dengan berbagai cara. Dimana-mana mereka mengadakan rapat raksasa dan demonstrasi, meneriakkan tuntut-tuntutan agar Amir Syarifuddin diangkat kembali menjadi Perdana Menteri. Pucak aksi mereka adalah terjadinya perebutan kekuasaan di Madiun pada 19 September 1948. Pemberontakan ini telah merusak dan membakar tempat-tempat ibadah dan pesantren-pesantren, terutama di daerah Madiun, Magetan dan Ponorogo. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, Masjkur memerintahkan stafnya

✢✣

Deliar Noer,Mohammad Hatta: Biografi Politik(Jakarta: LP3ES, 1990), 311.

25


(34)

✤6

membentuk sebuah tim untuk mengadakan penyelidikan serta pencatatan jumlah penghulu, naib, alim ulama dan pesantren yang menjadi korban keganasan kaum komunis. Selain itu, Kementerian Agama juga membentuk sebuah tim yang bersama-sama kementerian lainnya mengadakan perjalanan keliling ke berbagai daerah yang terkena dampak pemberontakan kaum komunis, khususnya Madiun dan Kediri.26 Tim ini juga memberi penjelasan dan penerangan kepada berbagai organisasi kemasyarakatan mengenai peristiwa yang baru terjadi, sekaligus menganjurkan ketahanan mental menghadapi kasus tersebut.27

Di Kediri, Masjkur menemui Kiai Abdul Kholik dan menginstruksikan agar membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat Kabupaten. Dalam sejarah Kementrerian Agama, KUA Kabupaten Kediri merupakan kantor pertama yang ada di Indonesia. Sebagai kepala KUA Kabupaten Kediri ditetapkan Kiai Mohammad Makhin, yang waktu itu penghulu kabupaten dan dibantu beberapa tenaga muda.28 Di samping itu, Masjkur ditugaskan kabinet pergi ke Jawa Barat untuk menemui Kartosuwiryo, yang telah melepaskan diri dari Masyumi dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Usaha Masjkur menemui Kartosuwiryo gagal, karena tidak ada di tempat dan sengaja menghindari pertemuan dengan Menteri Agama.29

Tugas lain yang dijalankan Masjkur selaku Menteri Agama adalah berkunjung ke Jakarta untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang kepercayaannya di jalan cemara, Menteng. Pertemuan itu membahas cara-cara

26

Ibid., 65. 27

Saifullah Ma’shum,Menapak Jejak, Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh NU(Jakarta: Yayasan Saifudin Zuhri, 1994), 184.

28

Ibid., 185. 29


(35)

✥ ✦

mendapatkan senjata, membelinya dan mengangkutnya ke daerah pedalaman. Kunjungannya ke Jakarta ini juga dimanfaatkan Masjkur untuk melawat ke wilayah Serang dan Banten. Di daerah tersebut Masjkur menjelaskan perihal situasi saat itu, baik yang berkaitan dengan jalannya perundingan maupun mengenai tugas dan kewajiban rakyat untuk menjaga dan memperkokoh persatuan.30

Keberhasilan Republik Indonesia menumpas pemberontakan kaum komunis mengubah simpati Amerika yang semula samar-samar, yang didasarkan atas sentimen anti penjajahan, menjadi dukungan diplomatik yang didasarkan pada strategi global. Dukungan Amerika semakin terlihat nyata setelah Belanda melakukan agresi militer kedua pada 18 Desember 1948. Amerika menghentikan bantuan kepada Belanda yang dialokasikan untuk keperluan di Indonesia. Aksi militer kedua sebetulnya merupakan bencana militer dan politik bagi Belanda, meski tampaknya mereka memperoleh kemenangan.31

Pada 19 Desember 1948 Yogyakarta berhasil diduduki Belanda dan para pemimpin Republik Indonesia sengaja membiarkan dirinya ditangkap dengan harapan bahwa opini dunia akan begitu tersinggung sehingga kemenangan militer Belanda akan berbalik menjadi kekalahan diplomatik.

Soekarno, Hatta, Agus Salim dan seluruh anggota Kabinet ditangkap Belanda, kecuali beberapa orang yang tidak ada ditempat. Masjkur adalah salah seorang menteri yang lolos dari penyergapan Belanda. Ia meloloskan diri dari belakang rumahnya dengan membawa putra tunggalnya, Syaiful yang masih kecil.

30

Ibid., 84-85.

31


(36)

✧8

Sejak saat itu, Masjkur mulai bergerilya. Mula-mula ia pergi ke wilayah Kauman. Di sana ia menemui seorang pegawai Kementerian Agama yang ditugaskan memberitahu orang di rumah bahwa Masjkur dan Syaiful selamat dan hendak pergi ke luar kota untuk bergerilya.32

Perjalanan dilanjutkan ke arah Solo, kemudian ke Ponorogo. Setibanya di Ponorogo Masjkur diikuti oleh 12 anggota tentara pelajar. Bersama dengan pasukannya Masjkur singgah di Pondok Gontor selama beberapa hari untuk mencari informasi mengenai tokoh-tokoh pemerintahan yang juga bergerilya. Di Gontor, Masjkur bertemu dengan Menteri Susanto. Rencananya mereka ingin bergabung untuk bergerilya, tetapi Masjkur agak keberatan atas pertimbangan strategis dengan rombongan kecil akan lebih baik dari pada rombongan besar.

Setelah beristirahat di Gontor, Masjkur dan pasukannya meneruskan perjalanan ke daerah Trenggalek. Di daerah ini ia bertemu dengan Harsono Cokroaminoto (penasehat Panglima Besar Sudirman waktu itu), yang akhirnya mempertemukan Masjkur dengan Jenderal Sudirman.

Sejak itu pasukan Masjkur bergabung dengan pasukan Panglima Sudirman. Tiga hari setelah mengikuti Jendral Sudirman, di daerah Pacitan Menteri Agama beserta pasukannya memisahkan diri. Kemudian Masjkur pergi ke arah Barat menuju kota Yogyakarta. Selama menjedi Menteri Agama sampai masa gerilya tersebut, ada beberapa kebijakan penting yang diambil Masjkur.33

32

Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 66.

33


(37)

★9

1. Bidang Pendidikan.

Masjkur mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2/ 1948 tentang bantuan kepada perguruan agama.

2. Bidang Haji.

Masjkur mengirimkan misi haji ke tanah suci Makkah di bawah pimpinan KH. Adnan. Misi ini adalah misi haji pertama setelah perang dunia kedua, sebelumnya misi haji Indonesia dihentikan pemerintah dengan keluarnya Maklumat Kementerian Agama No. 4/ 1947 tentang penghentian ibadah haji di masa perang.

3. Bidang Perkawinan.

Dalam bidang perkawinan ada dua kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Masjkur yaitu:

a. Penetapan Menteri Agama No. 1/ 1948 yang mencabut penetapan Menteri Agama No. 7/ 1947, tentang penambahan biaya NTR Rp 10,- untuk kas masjid (75%) dan kaum (25%).

b. Peraturan Menteri Agama No. 3/ 1948 tentang penyetoran biaya pencatatan NTR oleh naib kepada penghulu kabupaten. Peraturan ini mengganti Peraturan Menteri Agama No. 2/1947 pasal 2 (1).34

Dengan Penetapan Presiden No. 6/ 1949, tertanggal 4 Agustus 1949, PDRI berarti bubar dan pemerintahan berada di tangan kabinet Hatta, yang kemudian dikenal dengan Kabinet Hatta II. Dengan Penetapan Presiden tersebut, Kabinet Hatta mengalami berbagai perubahan karena ada menteri yang diresshuffle,

34


(38)

✩ ✪

mengundurkan diri dan berpindah jabatan. Natsir adalah salah seorang menteri yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan hasil perjanjian Roem-Royen.35

Sementara Syarifuddin Prawiranegara yang dalam Kabinet Hatta I menjadi Menteri Kemakmuran, dalam Kabinet Hatta II menjadi wakil Perdana Menteri. Dalam Kabinet Hatta II ini, Masjkur tetap dipercaya menjadi Menteri Agama.36Sejak Kabinet Hatta II ini, Kementerian Agama memasuki awal periode restaurasi yaitu periode penyusunan kembali organisasi, baik di pusat maupun di daerah, setelah mengalami kerusakan dan pemusnahan. Kabinet Hatta II ini kemudian diganti dengan kabinet Peralihan pimpinan Perdana Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo berdasarkan Keppres-RIS No. 2 tahun 1949 yang berlaku efektif mulai 20 Desember 1949 sampai 24 Januari 1950. Sekali lagi, dalam kabinet yang hanya berusia sekitar satu bulan ini, Masjkur ditunjuk sebagai Menteri Agama.37

Dalam periode yang singkat ini dikeluarkan peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1949 tentang lapangan pekerjaan (tugas-tugas) Kementerian Agama. Berdasarkan peraturan pada 24 Desember 1949 ini, Kementerian Agama mempunyai program kerja yaitu:

1. Melaksanakan asas ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya.

35

Azra,Menter-Menteri Agama RI, 69.

✫6

Deliar Noer,Muhammad Hatta, 352.

37


(39)

✬ ✭

2. Menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

3. Membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan aliran agama yang sehat.

4. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah negeri.

5. Menjalankan, memimpin, menyokong serta mengamati pendidikan dan pengajaran di madrasah dan perguruan agama lain.

6. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan paut dengan pelajaran rohani kepada anggota tentara, asrama, rumah penjara dan tempat-tempat lain yang dipandang perlu.

7. Mengatur, mengerjakan dan mengamati segala hal yang bersangkutan dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam.

8. Memberikan bantuan material untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat untuk beribadat (masjid, gereja dan lain-lain).

9. Mengerjakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi.

10. Menyelidiki, menentukan mendaftar dan mengawasi pemeliharaan wakaf. 11. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup

beragama.38

38


(40)

✮ ✯

Guna mengantisipasi masalah kepegawaian yang mungkin timbul sebagai akibat pendudukan wilayah RI oleh Belanda, Menteri Agama mengeluarkan Instruksi No. 1/ 1950, tertanggal 13 Januari 1950, yang berkenaan dengan masalah kepagaiwan. Dalam instruksi tersebut dinyatakan bahwa kedudukan pegawai berdasarkan Maklumat Menteri Agama RI No. S/ 2 tahun 1949, yang bekerja dan menerima sokongan dari pemerintah pendudukan dianggap bukan pegawai lagi. Namun mereka masih dapat diterima kembali sebagai pegawai RI jika berada di tempat, dengan jalan mengajukan permohonan kepada Kementerian Agama di atas kertas bermaterai Rp 75,- dengan ketentuan tidak diberi kedudukan dan gaji lebih tinggi dari kedudukan dan gaji sebelum tanggal 19 Desember 1949.

Sesudah kabinet peralihan itu, pemerintah RI, sebagai salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat, berada di tangan kabinet baru yang dipimpin Perdana Menteri A. Halim. Dalam kabinet ini, Menteri Agama dijabat KH. Faqih Usman, menggantikan posisi Masjkur yang telah sakit-sakitan akibat bergerilya. Pada saat yang sama terbentuk pula pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang kabinetnya dipimpin Muhammad Hatta dengan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim.39

Masjkur yang pada saat itu telah sakit-sakitan beristirahat di kampung halamannya hingga datang surat panggilan dari KH. Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama dalam Kabinet Natsir. Surat panggilan itu berisi perintah agar Masjkur datang ke Jakarta karena ada pembicaraan mengenai tugas yang sangat penting. Masjkur ditugaskan untuk mengadakan kunjungan kerja ke seluruh

39


(41)

✰✰

Indonesia. Tujuannya adalah membuka kantor-kantor agama di seluruh penjuru tanah air. Dalam menjalankan tugas ini Masjkur ditemani KH. Fakih Usman. Tugas Masjkur dalam hal ini bukan hanya mendirikan kantor-kantor agama, tetapi juga mengangkat pegawai dan memberi petunjuk apa dan bagaimana mengelola kantor agama.40

Pada saat Masjkur menduduki posisi Ketua Umum PBNU, ia ditunjuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menjadi Menteri Agama yang mewakili NU. Masjkur menjabat Menteri Agama menggantikan KH. Fakih Usman berdasarkan Keppres No. 123/ 1953, terhitung sejak 30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955. Usaha-usaha perbaikan dalam tubuh Kementerian Agama di bawah pimpinan Masjkur terus dilanjutkan. Rencana-rencana ke arah itu dituangkan dalam Konferensi Dinas Kementerian III di Tretes Jawa Timur, pada 25-30 Juni 1955. Namun, tak lama kemudian mengalami penggantian pimpinan, sehingga rencana-rencana tersebut tidak dapat dijalankan.41

Struktur organisasi kementerian agama tidak mengalami perubahan. Struktur organisasi dan lapangan pekerjaan Kementerian Agama masih sama dengan masa KH. Fakih Usman, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1952 jo Peraturan Menteri Agama No. 9, 10, 31 dan 39 tahun 1952. Adapun beberapa kebijakan Masjkur sewaktu memimpin Kementerian Agama dalam periode ini adalah sebagai berikut:

1. Bidang Pendidikan.

Kebijakan Menteri Agama Masjkur mengenai pendidikan di antaranya berupa:

40Saifullah Ma’shum,Menapak Jejak

, 186.

41


(42)

✱ ✲

a. Perubahan masa belajar PGA menjadi 6 tahun yang dibagi dua: 1. Bagian pertama, dari kelas I s/d IV: 4 tahun.

2. Bagian atas, dari kelas V s/d VI: 2 tahun.

b. Dengan penetapan Menteri Agama Np. 109 tanggal 19 Mei 1954, terhitung mulai 1 juni 1954, SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama) bagian A (bahasa), bagian B (ilmu pasti) dan bagian C (agama) berangsur-angsur dihapus. Sedang bagian D (Hukum Agama) dijadikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta. Perubahan terakhir ini dilakukan atas dasar penetapan Menteri Agama No. 14/ 1954.

c. Berkenaan dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang pendidikan maka dilakukan:

1. Usaha persiapan pelaksanaan wajib belajar dilingkungan Kementerian Agama.

2. Pelaksanaan pengajaran Agama pada sekolah-sekolah umum berdasarkan keputusan bersama Menteri PPK dan Menteri Agama. 3. Menjadikan pondok pesantren sebagai sasaran pendidikan yang perlu

dipertahankan. 2. Bidang Perkawinan.

a. Mengadakan P3NTR di desa-desa seluruh daerah luar Jawa dan Madura, dengan Penetapan Menteri Agama No. 14/ 1955.

b. Semua petugas P3NTR diwajibkan untuk melaksanakan UU No. 22/ 1946 jo UU No. 32/ 1954, yang diatur dengan Peraturan Menteri Agama No. 1/ 1955.


(43)

✳ ✴

3. Bidang Haji.

Mengenai bentuk paspor haji, diatur dengan penetapan Menteri Agama No. 3/ 1955 dan mengenai cara-cara penyetoran ongkos haji serta perubahan-perubahan akomodasi penumpang kapal dengan Penetapan Menteri Agama No. 4/ 1955 dan No.5/ 1955.

Mengenai tugas dan kewajiban MPH dan kedudukan penasehat MPH diatur dengan Penetapan Menteri Agama No. 8/ 1955. Sedangkan mengenai susunan rombongan haji diatur dengan penetapan Menteri Agama No. 13/ 1955.

4. Kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri.

Bersama dengan Departemen Dalam Negeri Masjkur mengeluarkan pernyataan tentang berlakunya maklumat bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Maklumat bersama tersebut berisi tentang Peraturan Kaum dan Rois (PKR) di luar Jawa.42

Setelah tidak lagi menjadi Menteri Agama karena Kabinet Ali Sastroamidjojo I jatuh, ada satu kasus yang belum diselesaikan Masjkur. Semasa dia menjabat Menteri Agama, diberitakan di media ibukota bahwa Menteri Agama Masjkur melakukan manipulasi kain kafan sebanyak satu juta yard. Berita itu menggegerkan masyarakat. Masjkur sendiri menanggapi berita tersebut dengan tenang dan sabar karena ia yakin bahwa berita itu disiarkan dengan tujuan menjelekkan pribadinya dan menjatuhkan partai yang diwakilinya, bahkan

42


(44)

✵6

menjatuhkan Kabinet Ali Sastroamidjojo.43 Sampai kabinet Ali jatuh, kasus itu belum dapat diselesaikan tuntas. Baru pada awal Desember 1955 pihak Kejaksaan Agung secara resmi mengumumkan bahwa setelah diadakan pemeriksaan-pemeriksaan teliti dan mendalam di sekitar soal pembagian kain kafan dalam Kementerian Agama sebanyak lebih kurang satu juta yard dan menurut berita-berita yang tersiar telah terjadi kekusutan dan kecurangan di dalamnya, maka pihak Kejaksaan Agung kini telah mengambil keputusan, menganggap tidak ada alasan untuk mengadakan sesuatu tuntutan terhadap diri mantan Menteri Agama, Masjkur.

Tidak lama setelah menjabat Menteri Agama, Masjkur mendapatkan tugas dari Sekretariat Negara untuk menyertai Ibu Haryati Soekarno menunaikan ibadah haji bersama dengan rombongan ibu-ibu lainnya. Sebelum menjalankan tugas, Masjkur mengajukan syarat agar istrinya juga diizinkan menyusul ke Tanah Suci. Istri dan anaknya menyusul bersama rombongan di bawah pimpinan Kiai Wahab. Di sanalah Masjkur bertemu keluarganya. Selesai menunaikan ibadah haji, rombongan ibu Haryati pulang ke Indonesia, sedang Masjkur dan keluarganya tinggal beberapa hari di Mekkah kemudian mengunjungi Mesir, Libanon, Irak dan Iran. Selesai melakukan perjalanan ia pulang ke Indonesia melalui Hongkong, Jepang dan Filipina.44

Pada masa Kabinet Ali II diadakan pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (Konstituante) yang akan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara. Masjkur adalah salah satu anggota Konstituante. Sebagaimana

43

Soebagijo,KH. Masjkur, 178.

44


(45)

✶ ✷

diketahui, terjadi perdebatan sengit dalam sidang Konstituante mengenai masalah dasar negara. Sebagian anggota, yakni kalangan Islam, mengusulkan agar dasar negara Indonesia adalah Islam mengingat mayoritas penduduknya adalah Muslim: sebagain lain, kalangan nasionalis, menolak usulan tersebut dengan alasan heterogenitas agama yang dipeluk masyarakat Indonesia, perdebatan yang sama pernah terjadi sepuluh tahun sebelumnya ketika BPUPKI bersidang. 45

Pada masa Orde baru Masjkur aktif di DPR. Ia pernah menjadi Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Pada masanya terjadi perdebatan keras tentang RUU Perkawinan. Umat Islam banyak melakukan demonstrasi dan protes terhadap RUU yang di anggap bertentangan dengan hukum Islam tersebut. RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi UU no. 1 tahun 1974, setelah mengalami perubahan penting di sana-sini.46

Selain itu, Masjkur juga menjabat Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), yang diembannya hingga akhir hayat. Pada 18 Desember 1992, Masjkur dipanggil menghadap sang pencipta dalam usia 92 tahun.47

✸✹

Kacung Marijan,Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926(Jakarta: Erlangga, 1992), 82.

46

Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 78.

47


(46)

BAB III

KIPRAH KH. MASJKUR DALAM ORGANISASI NADHATUL ULAMA

A. Perkembangan Nadhatul Ulama Sampai Jepang Datang

Organisasi yang menamakan diri Nadhatul Ulama dalam waktu yang singkat ternyata dapat berkembang pesat. Di mana-mana berhasil dibentuk cabangnya dan masyarakat pun segera berbondong-bondong minta dicatat sebagai anggotanya.

Hal yang demikian itu dapat dipahami, karena sebagian besar dari rakyat di Jawa terutama adalah penganut agama Islam. Sedangkan di mana-mana baik di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur terdapat banyak pesantren. Peranan para kiai dengan pesantrennya besar pengaruhnya dalam perkembangan Nadhatul Ulama.1

Nadhatul Ulama dilahirkan oleh aspirasi pesantren yang ketika itu merupakan lingkungan yang terabaikan, tersisihkan dari hitungan serta percaturan zaman, bahkan tidak jarang dipandang sebagai lambang kejumudan, simbol kebekuan.2

Nadhatul Ulama hanya berdiri sebagai suatu perkumpulan agama dan sosial, tidak mencampuri soal-soal politik negara, jika tidak mengenai

1

Soebagijo I.N.,KH. Masjkur(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 26.

2

Saifuddin Zuhri,Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia(Bandung: PT Almaarif,1981), 616-618.


(47)

39

kepentingan Islam. Hal ini bukan tidak disengaja, tetapi diperbuat dengan rencana yang tertentu. Di antara, sebab-sebabnya ialah perkumpulan politik dalam masa Belanda tidak dapat berjalan lancar, berhubungan dengan sempitnya lapangan perjuangan dalam masa kolonial Belanda itu. Umat Islam juga harus dipersatukan terlebih dahulu dengan dasa-dasar keyakinan yang kuat dan dibimbing hidup berorganisasi.

Berdirinya Nadhatul Ulama sangat berkembang pesat kemajuannya. Dalam waktu perjuangan lima bulan telah berdiri tidak kurang dari tiga puluh lima cabangnya di seluruh Jawa, meskipun belum melangkah ke Sumatra dan Kalimantan.Kongres yang pertama diadakan dalam bulan Rabiul Awal 1345 H, di Surabaya.3

Dan begitulah selanjutnya, dari kongres pertama ke kongres kedua dan seterusnya, organisasi ini mendapatkan kemajuan dan setiap kali mengadakan kongres. Kongres tidak saja diadakan di Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah, Jawa Barat dan dapat berkembang di Kalimantan. Kongres yang ke- 11 diadakan di Banjarmasin adalah kongres yang pertama kali diadakan di luar Jawa.4

Pada bulan September 1939 organisasi yang baru ini secara resmi mulai mengadakan aktivitasnya yang pertama dengan mengundang orang-orang Islam luar negeri untuk menghadiri Pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 November tahun itu juga. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam

3

Aboebakar,Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar(Jakarta: Panitya Buku Peringatan alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957),480.

4


(48)

40

Indonesia, perhatian dialihkan dari Timur Tengah ke Negeri matahari Terbit. Sebuah konfrensi khusus diadakan oleh MIAI pada permulaan Oktober, di mana undangan dari Tokyo disetujui dan diterima.5

Pada 18-23 September 1938 di Surabaya diadakan permusyawaratan yang pertama kali dihadiri oleh segenap wakil umat Islam yang tergabung dalam berbagai partai dan organisasi. Kongres tersebut memutuskan memberi nama kepada permusyawaratan itu Majelis Islam A’la Indonesia.6

Maksudnya boleh diringkas menjadi dua. Pertama: Littasaawur, artinya karena untuk bermusyawarah. Di situ dikumpulkan para ulama dan pemimpin Islam guna berunding dan bermusyawarah. Kedua: Litta’aruf,artinya guna saling berkenalan, saling mengetahui dan nanti akhirnya persahabatan yang dapat membuahkan persatuan lahir dan batin di antara sesama umat Islam, ulama dan pemimpin umat Islam di tanah air Indonesia.

Kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1938 adalah gambaran yang sebaik-baiknya bagi persatuan umat Islam.7 Dalam Kongres itu tidak ada satu pun di antara perhimpunan Islam yang menjadi anggotanya yang mengeluh karena kepentingannya tidak diselenggarakan. Oleh karena itu Kongres MIAI di dalam tahun-tahun pertama mencapai hasil-hasil yang baik.

Selanjutnya Kongres Al-Islam yang ke 2 diadakan antara tanggal 2-7 Mei 1939 di Solo, yang dibanjiri oleh anggota-anggotanya dari perhimpunan Islam

5

Harry J. Benda,Bulan Sabit dan Matahari Terbit(Jakarta: Pustaka Jaya, 1958), 134. 6

Nur Khalik,NU dan Bangsa, 52.

7


(49)

41

seluruh Indonesia dan mengambil keputusan yang penting yaitu dengan adanya perubahan susunan organisasi MIAI.

Pada tanggal 5-8 Juli 1941 diadakan Kongres Al-Islam yang ke 3 dengan diganti namanya “Kongres Muslimin Indonesia” (KMI) yang bertempat di kota Solo. Rapat tersebut memutuskan tentang perubahan tata negara, milisi dan pemindahan darah. Kongres ini menghimpun semua pengurus besar perkumpulan-perkumpulan Islam yang ada di Indonesia sebagai anggotanya, antara lain:8

1. LTPSII. 2. PBPII.

3. HB Muhammadiyah.

4. HB Persatuan Ulama Indonesia. 5. HB Persatuan Islam.

6. HB Nadhatul Ulama.

7. HB Al-Ittihadiyatul Islamiyah. 8. HB Al-Islam.

9. HB Al-Irsyad. 10. HB PAI.

11. HB Musyawaratut Thalibin. 12.HB Jam’iatul Washliyah.

13. Komite Kesengsaraan Indonesia Mekkah (Kokesin).

8


(50)

42

B. Peran Masjkur Dalam Organisasi Nadhatul Ulama

Di Singosari, Masjkur giat mengadakan tabligh, menyampaikan dakwah ke desa-desa sekitarnya. Kegiatan Masjkur dilihat pula oleh pimpinan Pengurus Besar yang kala itu berpusat di Surabaya. Maka oleh karenanya pada tahun 1938 Masjkur diminta untuk memperkuat staf Pengurus Besar Nadhatul Ulama.9

Sejak itu dia pun harus selalu mengikuti rapat-rapat yang diadakan, meskipun awalnya hanya sebagai pendengar saja dan akhirnya diperbolehkan untuk mengeluarkan pendapatnya.

Pada masa itu para pejuang baik yang ada di dalam gerakan nasional maupun yang ada di dalam organisasi seperti Nadhatul Ulama ini, segala keperluan hidup harus ditanggung sendiri. Semua keperluan untuk biaya keluarga haruslah dicari sendiri dan organisasi sama sekali tidak memberi jaminan apapun. Meskipun demikian, karena sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat, semua para pejuang melakukannya dengan penuh keikhlasan dengan mengharapkan ridho Ilahi semata.

Dua belas tahun lamanya, mulai tahun 1928 sampai 1940, Masjkur hampir tiap minggu (2-3 kali) pulang balik Surabaya-Malang semata-mata bekerja pada PB Nadhatul Ulama.

Pada saat itu rakyat yang dipimpinnya menyadari serta melihat sendiri bahwa hendak mempunyai hajat atau nazar, akan menyembelih kerbau atau sapi. Dagingnya dibuat kenduri dan dimakan beramai-ramai dengan mengundang pak

9


(51)

43

kiai. Dengan demikian hubungan ulama dengan rakyatnya menjadi lebih akrab lagi.

Masjkur sendiri ketika itu memiliki tiga ekor kuda. Dua ekor digunakan untuk menarik dokar sehingga dengan begitu dia mendapatkan nafkah untuk ongkos hidup keluarganya. Yang seekor lagi digunakan untuk mengadakan perjalanan apabila dia melakukan dakwah atau propaganda organisasi di daerah sekitar Malang dan Singosari. Pada waktu itu masih sangat langkah sekali pemimpin dan ulama yang memiliki mobil dan kendaraan kuda memang sangat cocok untuk dipergunakan di daerah pegunungan seperti Singosari dan sekitarnya.10

Masjkur sering datang ke Surabaya untuk mengadakan pertemuan dengan kelompok Tashwirul Afkar yang membahas masalah agama, dakwah dan sosial. Melalui forum diskusi inilah Masjkur merasa memperoleh pengalaman baru. Ia berkenalan langsung dengan para pemimpin Tashwirul Afkar, seperti kiai Mas Alwi, kiai Mas Mansur dan kiai Ridwan.

Kelompok inilah yang kemudian memprakarsai keikutsertaan beberapa ulama tradisional dalam kongres Islam sedunia di Hijaz dan membidani lahirnya Nadhatul Ulama.

Mengingat Masjkur sering terlibat dalam kelompok tersebut, Masjkur pun ditunjuk menjadi ketua Nadhatul ulama cabang Malang. Aktivitas Masjkur di Nadhatul Ulama semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 1938, Masjkur

10


(52)

44

diangkat sebagai salah seorang Pengurus Besar Nadhatul Ulama yang bermarkas di Surabaya.11

Dalam hal sistem pengajaran, Masjkur termasuk ulama yang akomodatif terhadap perubahan. Beliau selalu memikirkan metode pembelajaran yang tepat bagi para santrinya. Sistem madrasah (sekolah) pun beliau terapkan. Padahal, sistem sekolah pada saat itu termasuk sistem yang banyak ditolak kalangan ulama. Beliau juga mewajibkan para santrinya menguasai tulisan latin, sesuatu yang tidak lazim di dunia pesantren saat itu.12

Kiprah Masjkur di bidang sosial keagamaan dimulai dari keterlibatannya di Nadhatul Ulama pada tahun 1932 sebagai ketua Nadhatul Ulama cabang Malang. Tetapi, jauh sebelum itu, Masjkur sudah aktif terlibat dalam usaha-usaha pendirian Nadhatul Ulama.

Tahun 1938, jabatan Masjkur di Nadhatul Ulama semakin tinggi, yaitu anggota PBNU yang berkedudukan di Surabaya. Bahkan pada tanggal 19 April 1953, Masjkur ditunjuk sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan posisi KH. Wahid Hasyim yang meninggal dunia karena kecelakaan.

Wafatnya KH. Wahid Hasyim langsung atau tidak langsung membawa akibat bagi kehidupan Masjkur. Dalam hirarki Pengurus Besar Partai Nadhatul Ulama yang baru disahkan di Kongres Palembang, KH. Wahid Hayim menduduki jabatan Ketua Umum. Sedangkan Masjkur menjadi Ketua I. Setelah KH. Wahid Hasyim meninggal dunia, lowongan jabatan itu harus segera diisi, tidak perlu menunggu sampai berlangsungnya Kongres berikutnya.

11

Azyumardi Azra (ed),Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik(Jakarta: PPIM, 1998), 58.

12


(53)

45

Sebab, Nadhatul Ulama dalam waktu yang singkat sudah berhasil mempunyai cabang di mana-mana, hampir di setiapn propinsi di Indonesia. Semua kegiatan partai harus ditangani, diberi bimbingan dan tuntunan.

Dengan pertimbangan itu maka disepakatilah bersama bahwa Masjkur yang akan menggantikan kedudukan KH. Wahid Hasyim sebagai Ketua Umum Partai.

Masjkur menyadari sepenuhnya bahwa tanggung jawab yang dipikulkan dipundaknya berat, jabatan Ketua itu diterimanya. Kedudukan memang tidak dicari, tetapi bila ada pertanggung jawaban yang diminta maka hal itu sama sekali tidak boleh dielakkan.13

Susunan Pengurus Besar Nadhatul Ulama pada waktu itu adalah sebagai berikut:14

DEWAN PRESIDIUM PB-NU Ketua : KH. Masjkur.

Penulis : H. Idham Chalid.

Anggota: (1) KH. Muhammad Dahlan, (2) Zainul Arifin, (3) A.S. Bachmid, (3) K.R.H. Abdulwahab Hasbullah, (4) KH. Moch. Iljas dan (5) H.A. Fatah Jasin.

P.B. SJURIAH

Ro’is ‘Aam Pengurus Besar: K.R.H. Abdulwahab Hasbullah. Wakil Ro’is ‘Aam : KH. Bisri Sansuri.

Katib : KH. Ma’sum Cholil.

A’awaan : (1) KH. Ridwan, (2) KH. Dachlan Ahjad, (3) KH. Baidhowy, (4) KH. Achmad, (5) KH. Satori, (6) KH. Dimjati dan (7) Ny. Fatimah.

13

Soebagijo I.N.,KH. Masjkur(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 160.

14


(54)

46

P.B TANFIDZIJAH (EXECUTIEF) Ketua Umum : KH. Masjkur.

Wakil Ketua : KH. Muhammad Dahlan. Sekretaris Umum : H. Idham Chalid.

Sekretaris I : A. Sjahri. Sekretaris II : A. Latief. Bendahara : H. Moh. Saprin.

Anggota : (1) Saifuddin Zuhri, (2) Zainul Arifin, (3) A.A. Achsien, (4) KH. Fatchurrachman, (5) KH. Sahal Mansur, (6) Achmad Shiddiq, (7) M. Nur A.G.N, (8) KH. Moh. Iljas, (8) Ny. Machmudah Mawardi, (9) H. Fatah Jasin, (10) KH. Abdul Manaf dan (11) Murtadlo.

PIMPINAN BAGIAN-BAGIAN P.B.N.U Ketua P.B.N.U. Bag.Da’wah : Saifuddin Zuhri. Ketua P.B.N.U. Bag. Ma’arief : KH. Moh. Iljas. Ketua P.B.N.U. Bag. Mabarraat : KH. Sahal Mansur. Ketua P.B.N.U. Bag. Ekonomi : A.A. Achsien. Ketua P.B.N.U. Bag. Keuangan : H. Moh. Saprin.

Ketua P.B.N.U. Bag. Penerbitan : H. Abdurrachiem Martam. Ketua P.B.N.U. Bag. Pertanian : H.A. Fatah Jasin.

YANG DUDUK DALAM D.P.R- R.I Ketua Fraksi : A.A. Achsien.

Wakil Ketua : A.S. Bachmid. Penulis : KH. Moh. Iljas.

Anggota : (1) Idham Chalid, (2) K.R.H. Abdulwahab Hasbullah dan (3) R.T. Surjaningprodjo.


(55)

47

Berkat pengalaman berorganisasi yang sudah dihayatinya sejak masa pra perang dulu, maka kaum Nahdiyin sama sekali tidak merasa canggung bergerak dalam alam kepartaian.

Karena kecakapannya, kemudian Masjkur terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Harian Pimpinan Nadhatul Ulama sejak tahun 1950-1954.15

Aktivitas Masjkur di Nadhatul Ulama ini dijalaninya sampai beliau memasuki usia senja. Ia konsisten dengan cita-cita dan perjuangan Nadhatul Ulama.

Ketika terjadi konflik dalam tubuh Nadhatul Ulama, Masjkur berusaha ikut mencari jalan keluar memecahkan masalah-masalah tersebut. Konflik dalam tubuh Nadhatul Ulama telah berlangsung lama, terutama perebutan kepemimpinan.

Benih-benih konflik, khususnya dalam masalah kepemimpinan antara KH. Idham Chalid dan KH. Mohammad Dahlan, telah muncul sejak Kongres di Bandung tahun 70-an.16

Konflik ini semakin jelas ketika memasuki Pemilu 1982. Waktu itu, Nadhatul Ulama mengajukan daftar calon anggota DPR kepada Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Namun usul tersebut diubah oleh pimpinan PPP tanpa sepengetahuan Nadhatul Ulama. Akibatnya, Nadhatul Ulama menolak perubahan tersebut. Sejak itu Nadhatul Ulama terpecah menjadi dua golongan, yakni yang pro masuk ke PPP dan yang kontra.

Masjkur berusaha ikut menyelesaikan perpecahan ini dengan menemui beberapa tokoh yang dianggapnya dapat menyelesaikan persoalan tersebut. 15

Mastuki,Intelektualisme Pesantren, 98.

16


(56)

48

Tetapi, usaha Masjkur tersebut tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan konflik tersebut tidak pernah selesai.17

C. Peran Organisasi Nadhatul Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Ketika Nadhatul Ulama didirikan pada 1926 Indonesia masih dijajah Belanda. Pada 1927 tujuan organisasi Nadhatul Ulama baru dirumuskan dan pedoman dasarnya bertanggal 5 September 1929 dan diakui oleh pemerintah Hindia Belanda baru pada Februari 1930. Kongres yang diadakan setelah tahun 1926-1940 berturut-turut diselenggarakan selama setahun sekali dan setelah itu bervariasi sampai sekarang lima tahunan.18

Nadhatul Ulama di masa-masa awal, dicerminkan dari kongres-kongres yang diadakan diberbagai daerah, dimasukkan untuk menghimpun sebanyak-banyaknya ulama dan dukungan umat Islam untuk bergabung dengan Nadhatul Ulama.

Pada masa awal, terlaksananya kongres Nadhatul Ulama saja sudah luar biasa, karena dimana-mana terjadi perang dan penjajahan. Berbagai pemberontakan daerah dilakukan untuk mengusir penjajah, juga mengakibatkan banyak keterlibatan kiai dalam pemberontakan-pemberontakan itu (salah satunya kiai Masjkur). Keputusan-keputusan kongres Nadhatul Ulama disamping soal-soal agama, juga menyangkut masyarakat. Disamping mengurus Nadhatul Ulama, para kiai juga mengurus pesantren dan terus-menerus mendidik kader.19

17

Azra,Menteri-Menteri Ulama, 79. 18

Nur Khalik,NU dan Bangsa, 49. 19


(57)

49

Pada masa penjajahn Jepang, Nadhatul Ulama dan organisasi Islam lain juka ikut menyokong berdirinya Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) pada November 1943. Saat itu, puluhan ribu anggota Nadhatul Ulama ada yang masuk Peta, dan ada juga yang kemudian mendirikan Hizbullah, milisi Muslim di bawah kendali Masyumi.

Mobilisasi ini dilakukan oleh semua kelompok di Indonesia yang saat itu belum merdeka, karena persiapan untuk menghadapi penjajah. Dalam federasi Masyumi ini, KH. Hasyim Asy’ari duduk sebagai Ketua Besar Masyumi. Utusan-utusan Masyumi yang merupakan federasi organisasi Islam juga terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pembuatan milisi-milisi rakyat untuk mengusir penjajah.20

Pada zaman Jepang, selain dibentuk organisasi-organisasi rakyat untuk dimobilisasi mendukungnya, dalam banyak hal rakyat memanfaatkannya untuk agenda kemerdekaan Indonesia sendiri, Jepang juga membentuk apa yang disebut dengan BPUPKI yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. Pemerintah Jepang di Indonesia mengatakan bahwa pembentukan lembaga ini adalah realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Nadhatul Ulama ambil bagian dalam BPUPKI ini dengan adanya dua wakil, yaitu KH. Masjkur dan KH. Wahid Hasyim.21

Pada waktu dibentuk PPKI, ada dua tokoh penting yang mewakili Nadhatul Ulama yaitu KH. Wahid Hasyim dan KH. Masjkur. KH. Masjkur, saat

20

Ibid., 60-61. 21


(58)

50

proklamasi dibacakan di Jakarta, beliau sedang tidak ada di Jakarta. Masjkur sudah kembali ke tempatnya di Singosari, Malang. Sedangkan KH. Abdul Wahid Hasyim, yang sering menjadi penghubung dan sumber informasi penting antara Jakarta dan tokoh-tokoh Nadhatul Ulama di daerah.22

Peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia saat menjadi anggota kemiliteran maupun dalam laskar Sabilillah berasal dari umat Islam yang dimotori oleh organisasi Nadhatul Ulama, turut berjuang membela kedaulatan negara. Perjuangan ini ditunjukkan untuk keutuhan dan keselamatan seluruh masyarakat, bangsa Indonesia dari berbagai umat dan golongan yang hidup di dalam negara Indonesia. Beliau di tunjuk oleh Nadhatul Ulama karena beliau sudah berpengalaman. Beliau juga sering mengadakan perjalanan berkeliling ke daerah-daerah untuk membangun markas dan juga menghimpun kekuatan. Sosok beliau yang kharismatik membuat sangat disegani oleh bawahan-bawahannya. Meski begitu, beliau juga ikut membimbing serta menuntun dan mengarahkan para santri dan kiai-kiai serta ulama.

22


(59)

BAB IV

PERAN KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

A. Perjuangan KH. Masjkur dalam Keprajuritan Indonesia 1. Syuu Sangi-kai (DPRD zaman Jepang)

Pada masa pendudukan Jepang, Masjkur terlibat dalam laskar Hizbulloh. Ia mengikuti latihan kemiliteran yang diadakan di Cisarua Bogor pada akhir Februari 1945. Selain itu, Masjkur juga ikut latihan khusus bagi ulama yang diadakan Jepang pada Juli 1945. Masjkur saat itu menjadi utusan dari keresidenan Malang bersama dengan Haji Nuryasin dan H.M. Kholil.1

Ada hal yang baru bagi kaum ulama, yakni lebih memberi penjelasan kepada mereka untuk diberi kesempatan menonton gambar hidup yang mengandung pelajaran dan melukiskan kemajuan di daerah-daerah Asia Timur Raya dalam lapangan kemakmuran dan perindustrian.2

Pelajaran diberikan mulai pukul 08.00 sampai pukul 15.15 sore, dengan catatan tiap hari Jumat istirahat penuh. Sedangkan pada hari Minggu belajar seperti biasa.

1

Azyumardi Azra (ed),Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik(Jakarta: PPIM, 1998), 59.

2


(60)

✺ ✻

Yang agak menyulitkan kaum ulama pada umumnya di waktu latihan ialah mereka harus belajar baris-berbaris seperti militer Jepang. Meraka harus bisa melakukan gerak badan yang dalam bahasa Jepang dinamakantaiso.

Setelah PM Hideki Todjo kembali ke Tokyo dari perjalanan ke daerah Selatan pertengahan 1943, di depan parlemen Jepang dia mengucapkan pidato yang isinya memberi hati kepada bangsa Indonesia, khusus yang berdiam di Jawa. Dalam pidatonya itu Todjo mengutarakan, bahwa “ penduduk Jawa diperkenankan untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negeri”.3

Dalam garis besarnya menurut pengumuman Pemerintah, “ada yang

dimaksudkan dengan dibenarkan mengambil bagian dalam pemerintahan

negeri” adalah pada Badan Penasihat yang akan diadakan dalam Pemerintahan

Balatentara, ditempatkan penduduk Jawa dengan dipilih yang mempunyai budi pekerti serta pengetahuan dan pendirian yang utama.

Dengan bantuan kegiatan pekerjaan Badan Penasihat, maka diharapkan Pemerintah Balatentara di Jawa akan memperoleh kemajuan yang pesat dan tepat, dengan tindakan:

1. Di Pusat Pemerintahan dibentuk Chuo sangi-in. Badan tersebut memajukan usul-usul serta menjawab pertanyaan Pemerintah tentang hal-hal politik dan tindakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Balatentara.

2. Di setiap Syuu (keresidenan) termasuk juga Tokubetsu Si, Kotapraja istimewa diadakan Sangi-kai. Sidang ini memajukan usul-usul serta

3


(61)

✼ ✽

menjawab pertanyaan Pemerintah keresidenan tentang urusan pemerintah daerah.

Sesuai dengan apa yang sudah diumumkan, tidak lama kemudian dibentuklah Chuo Sangi-in dan Syuu Sangi-kai. Untuk pusat diangkat tokoh-tokoh taraf nasional, sedangkan untuk daerah juga diangkat tokoh-tokoh daerah.

Selepas latihan, Masjkur mendapat panggilan dari kantor keresidenan, yang menyebutkan bahwa dia diangkat menjadi anggota Syuu Sangi-kai, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tetapi, DPRD jaman Jepang, kedudukannya sangat rendah. Sama sekali tidak mempunyai hak bertanya atau wewenang membuat perundang-undangan.

Namanya memang disesuaikan dengan wewenangnya, yaitu: badan penasihat. Jadi baik Chuo Sangi-in maupun Syuu Sangi-kai, haknya hanyalah memberi nasihat belaka. Dengan begitu kedudukannya, jauh lebih rendah ketimbang wewenangVolksraadpada jaman penjajahan Belanda dahulu.4

Meskipun demikian, para pemimpin Indonesia selalu mempergunakan tiap kesempatan yang ada untuk berbuat sesuatu yang baik bagi bagi rakyat dan negaranya. Begitu pula Masjkur sebagai anggota Syuu Sangi-kai yang sering diajak Jepang mengadakan perjalanan keliling menelusuri daerah Malang, dalam sidang-sidang juga sering mengemukakan pendapatnya dengan nada menolong nasib rakyat yang hidupnya menderita.

4


(1)

● ❍

menetapkan bahwa sementara DPR belum tersusun menurut UUD 1945, maka

DPR yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 menjalankan tugasnya

sesuai UUD 1945. DPR ini dibubarkan Presiden Soekarno lewat Penetapan

Presiden No. 3 tahun 1960, setelah terjadi perselisihan pendapat antara

Pemerintah dengan DPR mengenai penetapan Anggaran Belanja Negara tahun

1960.

Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No.

4/1960 yang mengatur susunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong

(DPR-GR). Di dalam DPR-GR ini Masjkur dan Ny. Wahid Hasyim ikut serta sebagai


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan dari setiap bab mengenai Sejarah KH. Masjkur

dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1938-1945 M, maka secara

garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. KH. Masjkur lahir di Singosari Malang tahun 1900 M dan meninggal pada

tanggal 18 Desember 1992 pada umur 92 tahun. Beliau merupakan satu di

antara tokoh NU yang pernah menjabat Menteri Agama RI (masa jabatan 11

November 1947- 21 Januari 1950 dan 30 Juli 1953- 12 Agustus 1955), anggota

DPR RI (1956- 1971) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968). Kiai

yang mendirikan pesantren Misbahul Wathan ini tak pelak dapat dikatakan satu

di antara founding fathers Negara Kesatuan RI. Ia terkenal sangat teguh

memegang prinsip.

2. Kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama dimulai tahun 1932

sebagai ketua Nadhatul ulama cabang Malang. Tetapi, jauh sebelum itu, beliau

sudah aktif terlibat dalam usaha-usaha pendirian Nadhatul Ulama. Tahun 1938

beliau menjabat sebagai anggota PBNU yang berkedudukan di Surabaya.

Bahkan pada tanggal 19 April 1953, beliau ditunjuk sebagai Ketua Umum


(3)

■ ❏

kecelakaan. Selanjutnya, beliau terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Harian

Pimpinan Nadhatul Ulama tahun 1950-1954.

3. Peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai dari

keterlibatan beliau menjadi anggota Syuu Sangi-kai (DPRD zaman Jepang)

pada tahun 1943. Tak lama berikutnya beliau diangkat menjadi anggota BPP

di PETA. Beliau juga terlibat dalam perumusan dasar negara dengan menjadi

anggota BPUPKI dan PPKI. KH. Masjkur juga di percaya sebagai pimpinan

Hizbullah dan Laskar Sabillah.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas maka penulis ingin memberikan saran-saran sebagai

sumbangan pikiran yang diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih

mengembangkan keilmuan tentang Sejarah Islam Indonesia, antara lain:

1. Hasil dari penulisan yang sudah dilakukan oleh penulis tentang Sejarah KH.

Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia tahun 1938-1945 belum

tentu memberikan hasil yang sempurna. Namun demi menunjang kemajuan

intelektual di UIN Sunan Ampel khususnya, serta masyarakat luas pada

umumnya, karya ini diharapkan mampu memberikan konstribusi dalam

menunjang pengetahuan kaitannya dengan peran ulama dalam

memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

2. Penulisan ini diharapkan dapat menggugah semangat kesadaran sejarah bagi

masyarakat. Penulisan ini hendaknya dapat digunakan dalam usaha pewarisan


(4)

❑ ▲

dapat melestarikan keutuhan bangsa dan mengisi kemerdekaan dengan

pembangunan.

3. Jika hasil penulisan ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan

ataupun tentang informasi yang berkaitan dengan Sejarah KH. Masjkur dalam

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia tahun 1938-1945, maka bisa dilakukan

pengkajian ulang dengan kritik dan saran yang membangun untuk


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aboebakar. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar. Jakarta:

Panitya Buku Peringatan alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957.

Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Pustaka

Perpustakaan Salman ITB, 1983.

Azra, Azyumardi (ed.). Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik.

Jakarta: PPIM, 1998.

Benda, Harry J.Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Jakarta: Pustaka Jaya, 1958.

Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian dan Perbandingan, terj. F.

Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Sosial Modern: Suatu analisis karya tulis

Marx Durkheim dan Max Weber, terj. Soeheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press, 1986.

H.S, Mastuki (ed.).Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

I.N, Soebagijo.K.H. Masjkur, Jakarta: PT Gunung Agung, 1982.

Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju,

1990.

Latief, Hasyim. Laskar Hizbulloh Berjuang Menegakkan RI. Jakarta: PBNU,

1995.

Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 1992.


(6)

Nasution, A.H.Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 3. Bandung: Penerbit

Angkasa, 1977.

Nasution, H.M. Yunan. Peranan Ulama Dalam Kancah Perjuangan. Surabaya:

PWNU, 1996.

Noer, Deliar.Muhammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990.

Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (ed). Sejarah Nasional Indonesia VI

edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Ridwan, Nur Khalik. NU dan Bangsa 1914-2010. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2010.

Scraft, Betty R. Kajian Sosiologi Agama, ter. Machun Husein. Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1995.

Siahaan, Hotman . Peranan Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan. Surabaya:

PWNU, 1995.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya. PT. Raja

Grafindo Persada, 2003.

_______________. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003.

Suryanegara, Ahmad Mansur.Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani, 2014.

Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia.

Bandung: Al-Ma’arif, 1981.

Zulaicha, Lilik. Metodologi Sejarah I. Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel