ART Nikolaus KS, Georgius H, Bayu N Analisis Komparasi Usahatani Padi Full text

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

ANALISIS KOMPARASI USAHATANI PADI ORGANIK DAN
ANORGANIK DI KECAMATAN SAMBIREJO
KABUPATEN SRAGEN
COMPARISON ANALYSIS BETWEEN OF ORGANIC AND INORGANIC
RICE FARMING IN SAMBIREJO SUBDISTRICT
SRAGEN REGENCY
Nikolaus Kristanto Santoso1, Georgius Hartono2, Bayu Nuswantara3
Diterima 25 Juni 2012, disetujui 31 Juli 2012

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini pertanian organik menjadi suatu bisnis baru
dalam dunia pertanian Indonesia. Selama ini
produk pertanian mengandung bahan-bahan kimia
yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia.
Bahan-bahan kimia yang seringkali digunakan oleh
seorang petani dalam sistem budidayanya berupa
pestisida dan pupuk kimia sintesis hingga zat
1

2

pengatur tumbuh. Penggunaan bahan-bahan kimia
dapat memacu perubahan keseimbangan ekosistem serta perubahan sifat kimia, fisika hingga
biologi lahan. Dengan seiringnya waktu, produktivitas lahan akan mengalami penurunan karena
struktur lahan memadat. Sejalan dengan kesadaran
masyarakat mengkonsumsi makanan sehat dan

Alumni Fakultas Pertanian & Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
Dosen Fakultas Pertanian & Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50714
email: bnuswan@yahoo.com

63

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

keseimbangan ekosistem, muncul selogan "Back
to Nature" yang didukung syarat jaminan produk
pertanian, yaitu aman untuk dikonsumsi (food
safety attributes), memiliki kandungan nutrisi

yang tinggi (nutritional attributes), dan ramah
terhadap lingkungan (eco-labelling attribute)
(Sutanto, 2002).
Pertanian organik merupakan budidaya yang
mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintesis. Tujuan utama dari
pertanian organik yaitu menyediakan bahan
pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan
konsumennya serta tidak merusak lingkungan.
Pertanian organik membutuhkan lahan yang tidak
tercemar oleh bahan kimia. Konversi lahan pertanian anorganik menjadi organik membutuhkan
waktu kurang lebih dua tahun (Sutanto, 2002).
Hingga saat ini, pertanian anorganik masih banyak
dilakukan oleh petani padi Indonesia. Penggunaan
pestisida, dapat mengakibatkan "hilangnya" agen
pengendali hayati dari organisme pengganggu
tanaman (OPT) budidaya. Selain itu dapat
meningkatkan keresistenan hama. Penggunaan
pupuk sintesis dapat menimbulkan dampak kurang
baik bagi struktur tanah, sehingga perakaran
tanaman sulit menembusnya (Untung, 2007).

Hasil produksi pertanian organik mencapai 5-7%
dari total produk pertanian yang diperdagangkan
di pasar internasional dan sebagian besar dipenuhi
oleh negara maju seperti Australia, Eropa dan
Amerika. Di Asia, pasar produk pertanian organik
banyak didominasi Jepang, Taiwan dan Hongkong.
Di Indonesia, potensi penjualan produk pertanian
organik masih sedikit, karena terbatas di kelas
menengah ke atas. Kendala yang lain adalah nilai
investasi pertanian organik yang tinggi. Penyebabnya diperlukan pemilihan lahan yang belum
tercemar bahan kimia. Kendala lainnya adalah
belum ada kepastian pasar produk pertanian
organik, sehingga petani tidak termotivasi memproduksi produk pertanian organik (Anonim, 2002).

64

Saat ini pertanian organik sudah memasuki pertanian di Indonesia, namun dalam skala kecil.
Pertanian organik memiliki kesamaan dengan pertanian organik pada umumnya, yaitu memproduksi
bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan
ramah lingkungan. Beberapa komoditas prospektif

yang dapat dikembangkan dengan pertanian
organik antara lain tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta
peternakan (Anonim, 2002).
Bahan pangan strategis seperti beras, gula, jagung,
kedelai, ubi kayu, dan ikan kering sudah mendapatkan perhatian khusus. Di negara-negara Asia
termasuk Indonesia, pangan berarti Beras. Ini
menandakan beras memegang peranan penting
sebagai bahan pangan. Diperkirakan 40-80%
kebutuhan kalori masyarakat berasal dari beras.
Beras menjadi sumber pendapatan penting bagi
sebagian besar petani kecil Asia, karena diperkirakan 2/3 lahan pertanian di Asia dialokasikan
untuk tanaman padi (Sawit dalam Widodo dkk,
2002: 117-119).
Berdasarkan Dispertan Provinsi Jawa Tengah
tahun 2005, produksi Padi di Jawa Tengah adalah
8.424.096 ton, yang diperoleh dari luasan lahan
panen sebesar 1.611.107 Ha, di mana produktivitas
adalah 52,29 Kw/Ha (Anonim, 2005 dalam
Trianto, 2006: 10).

Menurut penelitian Aprilia yang dilakukan di daerah
Ngawi tahun 2006 tentang usahatani Padi organik
didapati produksi rata-rata pertanian organik lebih
rendah dari pada pertanian anorganik yaitu 5.472,91
Kg/Ha sedangkan pertanian konvensional 6.399,57
Kg/Ha. Namun demikian Pendapatan rata-rata
pertanian organik lebih tinggi yaitu sebesar
Rp. 5.496.178/Ha sedangkan pertanian konvensional Rp. 3.699.938/Ha (Aprilia, 2006).
Dari uraian di atas, ada hal yang menarik yaitu
mengenai pendapatan bersih seorang petani.
Pendapatan bersih pertanian organik lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pertanian anorganik
sebab biaya yang dikeluarkan untuk pembelian

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

saprodi (benih, pupuk, pestisida, dan fungisida)
lebih rendah. Penyebabnya pupuk, pestisida, dan
fungisida yang digunakan dalam usahatani sangat
murah dan mudah dibuat secara mandiri. Oleh

karena itu biaya saprodi yang dikeluarkan hanya
untuk pembelian benih lokal.
Jika dilihat dari sisi pendapatan kotor yang
dihubungkan dengan harga jual tiap kilogram Beras
dari tangan petani, maka pertanian organik memberikan pendapatan kotor yang tinggi. Harga jualnya sampai Rp. 10.000,00/Kg untuk varietas padi
yang sama, dalam hal ini adalah varietas IR-64.
Berbeda dengan harga jual Padi IR-64 yang
diproduksi secara pertanian anorganik, yaitu
Rp.5.900,00/Kg.
Dari uraian latar belakang, terdapat beberapa
permasalahan yang menarik untuk diteliti
diantaranya mengenai pendapatan bersih dan kotor
pertanian padi organik dengan anorganik,
kemudian mengenai perbedaan produktivitas padi
pertanian organik, semi organik dan anorganik yang
memiliki selisih yang relatif cukup besar. Sehingga
rumusan masalahnya adalah bagaimanakah tingkat
produktivitas padi yang dibudidayakan secara
organik dan anorganik? Bagaimanalah tingkat
perbedaan pendapatan kotor dan pendapatan bersih yang diperoleh petani padi yang dibudidayakan

secara organik dan anorganik?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui produktivitas padi yang dibudidayakan secara organik dan anorganik.
2. Memperbandingkan besarnya modal lancar,
pendapatan kotor dan bersih, dan biaya produksi yang meliputi benih, pupuk, pestisida dan
tenaga kerja di pertanian Padi organik dan
anorganik.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian,
maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Hasil produksi pertanian organik lebih rendah
dari pertanian anorganik.
2. Modal lancar pertanian organik lebih rendah
dari pertanian anorganik.
3. Pendapatan kotor dan pendapatan bersih
pertanian organik lebih tinggi dari pada
pertanian anorganik.
4. Biaya benih pertanian organik lebih rendah dari

pertanian anorganik.
5. Biaya pupuk pertanian organik lebih rendah
dari pertanian anorganik.
6. Biaya pestisida pertanian organik lebih rendah
dari pertanian anorganik.
7. Biaya tenaga kerja pertanian organik lebih
rendah dari pertanian anorganik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukorejo dan
Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten
Sragen. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) karena merupakan
wilayah pertanian padi organik yang telah cukup
lama dan telah mendapat sertifikat organik dari
INOFOCE. Penelitian ini diselenggarakan pada
11 Juli 2011 sampai dengan 11 Agustus 2011.
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian
ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research) yang biasa disebut juga dengan penelitian
taksonomik (taxonomic research). Digunakan
sebagai pengeksplorasian dan klarifikasi mengenai

suatu fenomena atau kenyataan melalui pendeskripsian sejumlah variabel berhubungan dengan
masalah dan unit yang sedang diteliti. Dalam
penelitian deskriptif dilakukan pengolahan dan
analisis data dengan menggunakan statistik yang
bersifat deskriptif (statistic descriptive) (Faisal,
2007).
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survei, yaitu pendekatan dalam penelitian yang ditujukan pada
sejumlah besar individu yang ditelaah sehingga
dapat menggambarkan karakteristik tertentu dari
populasi yang ada (Faisal, 2007).
65

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

Penelitian ini memiliki dua kelompok, sehingga
diambil dua jenis sampel yaitu dari populasi
pertanian organik dan populasi pertanian anorganik. Cara pengambilan sampel ini sangat
riskan, sebab terkadang seorang petani memiliki
lahan lebih dari satu, serta penggunaannya dibedakan, yaitu untuk pertanian organik dan anorganik.

Jika terjadi demikian, maka sampel tersebut
dieliminasi dari daftar responden dan digantikan
dengan responden lainnya. Dari jumlah populasi
yang ada, diambil 30 orang sebagai responden.
Pengambilan sampel menggunakan metode
sampel acak sederhana (sample random sampling), dimana merupakan sebuah sampel yang
diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit
penelitian dapat dievaluasi secara obyektif.
Penelitian ini menggunakan uji-t sampel independen (independent sample t-test) yaitu metode
yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata
dari dua populasi yang bersifat independen, di-

mana peneliti tidak memiliki informasi mengenai
ragam populasi. Maksud independen adalah
populasi satu dengan yang lainnya tidak berhubungan (Kurniawan, 2008).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Variabel-variabel yang diuji adalah produksi, modal
lancar, pendapatan yang meliputi pendapatan kotor
dan pendapatan bersih, serta biaya yang meliputi
biaya saprodi: pupuk, pestisida, benih, dan tenaga

kerja.
Dari hasil pengujian, diketahui ada tiga variabel
yang tidak signifikan, yaitu modal lancar, biaya
pupuk, dan biaya tenaga kerja. Dalam Tabel 1
disertakan kolom levene's test for equality of
variances, sebab kolom tersebut berperan
memberikan petunjuk penggunaan data pada baris
equal variances assumed atau pada baris equal
variances not assumed. Untuk lebih jelasnya,
berikut

Tabel 1. Hasil Analisis Uji-t Sampel Independen Pada Variabel Penelitian
Levene's test
Uraian
1. Produksi PO - PA
2. Modal lancar PO - PA

t-test

F

Sig

t-tab

t-hit

0,813

0,371

2,024

4,044

5,376

0,024

2,024

1,018

3. Pendapatan kotor (Bawon) PO - PA

275,938

0,000

2,024

7,306

4. Pendapatan bersih PO - PA

211,251

0,000

2,024

8,081

6,821

0,011

2,024

1,018

6. Biaya saprodi pestisida PO - PA

28,581

0,000

2,024

-3,496

7. Biaya saprodi benih PO dengan PA

14,451

0,000

2,024

7,395

3,709

0,059

2,024

-1,686

5. Biaya saprodi pupuk PO - PA

8. Biaya tenaga kerja (Bawon) PO - PA
Sumber: Analisis Data Primer 2011

Perbandingan Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik Dari Segi Produksi
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di tabel levene's test for equality of variances 0,371 >α 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa
variasi kelompok ada kesamaan, sehingga untuk
analisis selanjutnya digunakan hasil pengujian di
kolom equal variances assumed. Dari kolom
66

tersebut didapati nilai t-hitung 4,044 > t-tabel 2,042
(lihat Tabel 1). Dari hasil analisis ini dapat
disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata produksi
antara petanian organik dengan anorganik. Untuk
mengetahui rata-rata produksi manakah yang lebih
besar dilakukan dengan melihat nilai mean di tabel
group statistics. Produksi pada penelitian ini
dihitung dalam satuan kilogram/hektar. Nilai mean
produksi pertanian organik 7.367,43 kilogram (7,4

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

ton) > produksi pertanian anorganik 6.472,77 kilogram (6,5 ton). Disimpulkan, rata-rata produksi
pertanian organik lebih tinggi dari pada pertanian
anorganik. Oleh karena itu hipotesis awal yang

menyatakan produksi pertanian organik lebih
rendah dari pada pertanian anorganik ditolak,
sebab yang terjadi adalah kebalikannya. Berikut
adalah tabel 2. Hasil Produksi Sampel Penelitian.

Tabel 2. Hasil Produksi Sampel Penelitian

Sumber : Analisis Data Primer 2011

Suhartini dkk. (2006: 100), mendapati rata-rata
hasil produksi Padi organik di Masa Tanam (MT)
II dari Kecamatan Sambirejo tahun 2003/2004
sebesar 5,6 ton/ha sedangkan hasil produksi Padi
anorganik di kecamatan tersebut hanya 4,0 ton/
ha. Dari hasil ini, menunjukkan bahwa hasil
produksi pertanian organik lebih tinggi dari pada
pertanian anorganik. Terdapat kesamaan antara
penelitian tahun 2003/2004 dengan penelitian
yang dilakukan pada tahun 2011, yaitu hasil
produksi pertanian organik lebih tinggi dari pada
pertanian anorganik.
Tingginya hasil produksi pertanian organik yang
ada di Desa Sukorejo akibat beberapa hal, pertama karena lamanya usahatani organik. Pertanian organik di Desa Sukorejo sudah berlangsung
selama 11 tahun (terhitung dari tahun 2000). Indonesia berada di wilayah tropis, sehingga dekomposisi bahan-bahan organik dan perkembangan mikroorganisme di wilayah Indonesia bisa lebih
cepat. Karena proses dekomposisi bahan-bahan
organik berjalan dengan baik, kebutuhan unsur
hara tanaman dapat terpenuhi sehingga hasil
produksinya maksimal. Namun demikian yang
terjadi di Desa Musuk, lahan usahataninya sudah
banyak yang rusak akibat kurangnya kesadaran

petani sampel untuk menggunakan bahan organik
sebagai pupuk dasar. Dalam usahataninya, petani
selalu memberikan pupuk kimiawi secara berkala
sehingga tanah menjadi semakin keras.
Hal kedua yang mempengaruhi lebih tingginya
hasil produksi pertanian organik dari pada
Pertanian Organik
pertanian
anorganik
adalah
Hasil
Produksi
(ton)segi varietas benih
Orang
%
yang digunakan. Di pertanian anorganik, varietas
< 5 dibudidayakan meliputi IR-64,
- Menthik 0,00
yang
5 - 6 dan Ciherang. Di pertanian
- organik 0,00
Wangi
varietas
6 - 6,5yang sedang dibudidayakan- saat pene- 0,00
litian
varietas IR-64, Menthik9 Wangi, C- 30,00
6,5 adalah
-7
4 7Raja,
Dari 43,33
- 7,5 Merah Thailand, dan Hitam.
13
berbagai
varietas
Padi
yang
diusahakan
sebagai
7,5 - 8
6
20,00
anorganik
maupun
organik,
dapat
dipilah
menurut
>8
2
6,67
jenis
varietasnya. Varietas IR-64, Ciherang,
dan 100,00
Jumlah
30
C-4 Raja termasuk dalam varietas padi unggul,
sedangkan varietas Menthik Wangi dan Hitam
termasuk dalam varietas padi lokal, kemudian
varietas Merah Thailand termasuk varietas
introduksi. Pada saat dilakukan pengambilan data,
varietas Merah Thailand dan Menthik Wangi
paling banyak dibudidayakan di pertanian organik.
Varietas lokal biasanya memiliki hasil produksi
relatif lebih rendah bila dibandingkan varietas
unggul, namun varietas unggul relatif lebih rendah
67

1
6
6
14
1
2
30

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

dari pada varietas introduksi. Dengan banyaknya
sampel pertanian organik yang mengusahakan
padi varietas Merah Thailand, rata-rata hasil

produksi pertanian organik lebih besar bila
dibandingkan dengan rata-rata hasil produksi
pertanian anorganik, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Varietas Benih yang Digunakan
Varietas
IR 64
C 4 Raja
Ciherang
Menthik Wangi
Merah Thailand
Beras Hitam
Jumlah

Desa Musuk
Lahan
%
11
16,92
0,00
6
9,23
13
20,00
0,00
0,00
30
46,15

Desa Sukorejo
Lahan
%
6
9,23
4
6,15
0
0,00
11
16,92
13
20,00
1
1,54
35
53,85

Jumlah
Lahan
17
4
6
24
13
1
65

%
26,15
6,15
9,23
36,92
20,00
1,54
100,00

Sumber : Data Primer 2011

Hal ketiga yang mempengaruhi tinggi rendahnya
hasil produksi antara pertanian organik dengan
anorganik adalah sumber unsur hara. Sumber
unsur hara pertanian organik didapat dari bahanbahan alami seperti limbah kandang. Dari hasil
penelitian Pramono (2004), pemberian pupuk
kompos sebanyak 1.000 kg/ha atau 2.000 kg/ha
mampu meningkatkan hasil produksi antara 0,64
- 0,95 ton/ha. Sumber unsur hara pertanian
anorganik berasal dari pupuk kimia buatan.
Penggunaan bahan-bahan kimia yang secara
kontinyu digunakan dalam sebuah lahan
memberikan dampak negatif seperti membuat
partikel tanah menjadi saling berikatan kuat. Ini
akan memberikan dampak pada perakaran
tanaman yang sulit menembusnya. Budianto
(2002) dalam Suhartini dkk (2006: 91)
menyebutkan bahwa kondisi lahan dari negaranegara penghasil beras, termasuk Indonesia
diidentifikasi terjadi deteriorasi kesuburan tanah
atau yang dikenal sebagai tanah sakit (soil sickness). Penyebab terjadinya soil sickness adalah
pengolahan lahan yang kurang baik, oleh karena
itu langkah terbaik untuk memulihkan kondisi
lahan demikian adalah melalui penambahan
bahan organik ke lahan-lahan tersebut. Sebelumnya pernah dilaporkan oleh Satari (1999) dalam
Nasahi (2010: 4) sumber daya lahan dan air Indonesia mengalami deteriorasi mutu akibat
68

penggunaan pupuk kimiawi yang berlebihan.
Selain itu dengan adanya akumulasi pupuk kimia
mengakibatkan banyaknya kandungan racun,
sebab pH tanah akan menjadi asam, sehingga
keanekaragaman mikroba tanah menjadi sangat
sedikit. Dengan demikian proses dekomposisi
bahan organik tidak berjalan baik. Berbeda
dengan yang terjadi di pertanian organik,
penggunaan bahan-bahan organik merupakan
sesuatu yang wajib dilakukan. Penambahan
sejumlah bahan organik dan dengan didukung
penggunaan pestisida hayati dan lingkungan
tropis mengakibatkan perkembangan mikroorganisme tanah berjalan maksimal.
Perbandingan Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik Dari Segi Modal Lancar
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di tabel levene's test for equality of
variances 0,024 < α 0,05. Hasil ini menunjukkan
bahwa variasi kelompok tidak sama, sehingga
untuk analisis selanjutnya digunakan hasil
pengujian di kolom equal variances not assumed. Dari kolom tersebut didapati nilai t-hitung
1,018 < t-tabel 2,04 (lihat Tabel 1). Dari hasil
analisis ini dapat disimpulkan jika tidak terdapat
perbedaan rata-rata modal lancar antara pertanian organik dengan anorganik. Untuk mengetahui rata-rata modal lancar manakah yang lebih

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

besar dilakukan dengan melihat nilai mean di
tabel group statistics. Modal lancar pada
penelitian ini dihitung dalam satuan rupiah/hektar.
Nilai mean modal lancar pertanian organik
Rp 1.407.115,20 > modal lancar pertanian
anorganik Rp 1.157.379,50. Dengan demikian
disimpulkan bahwa meskipun tidak terdapat
perbedaan rata-rata modal lancar namun jika
dilihat besarannya, modal lancar pertanian

organik lebih besar dari pada modal lancar
pertanian anorganik. Dari hasil pengujian, ratarata modal lancar pertanian organik dengan
anorganik tidak berbeda, namun jika dilihat nilai
mean terjadi perbedaan sebesar Rp 249.735,7
sebab selisih tersebut oleh SPSS dianggap tidak
terlalu signifikan. Sehingga kesimpulannya tidak
ada perbedaan. Berikut merupakan Tabel 4.

Tabel 4. Modal Lancar Sampel Penelitian
Modal Lancar (Rp)
< Rp 500.000,00
Rp 500.000,00 - Rp 1.000.000,00
Rp 1.000.000,00 - Rp 1.500.000,00
Rp 1.500.000,00 - Rp 2.500.000,00
Rp 2.500.000,00 - Rp 3.500.000,00
Rp 3.500.000,00 - Rp 4.500.000,00
> Rp 4.500.000,00
Jumlah

Pertanian Organik
Orang
%
6
20.00
9
30.00
7
23.33
4
13.33
2
6.67
1
3.33
1
3.33
30
100.00

Pertanian Anorganik
Orang
%
1
3.33
12
40.00
12
40.00
4
13.33
1
3.33
0.00
0.00
30
100.00

Sumber: Analisis Data Primer 2011

Hipotesis variabel ini menyatakan modal lancar
pertanian organik lebih rendah dibandingkan modal
lancar pertanian anorganik. Penetapan hipotesis
ini berasal dari perkiraan biaya yang dikeluarkan
untuk pembelian saprodi lebih murah karena
pupuk, pestisida dan benih yang digunakan dalam
budidaya dibuat sendiri karena bahan bakunya
banyak tersedia di lingkungan sekitar tempat
tinggal para petani organik. akan tetapi dari hasil
pengambilan data di lapangan dan pengujian
hipotesis terjadi sebaliknya.
Rata-rata modal lancar antara pertanian organik
maupun anorganik tidak berbeda secara signifikan. Hal ini terjadi akibat mahalnya biaya pupuk
dari pertanian organik. Mahalnya biaya pupuk
(pupuk kandang) akibat adanya beberapa sampel
penelitian yang mencukupi kebutuhan pupuk
kandang dengan membeli dari daerah lain,
sehingga terjadi pertambahan biaya berupa biaya
angkut. Selain itu di beberapa petani terjadi
tambahan harga yang cukup tinggi sekitar
Rp 500,00/kg. Harga tersebut ditetapkan akibat

pembebanan biaya tenaga petani saat mencari
rumput dan merawat ternak hingga menghasilkan
limbah kandang berupa kotoran ternak.
Selain dari mahalnya penghargaan pupuk kandang
yang terdapat di pertanian organik, mahalnya biaya
benih juga mengakibatkan rata-rata modal lancar
pertanian organik menjadi lebih mahal
Rp 249.735,7. Meskipun benih yang digunakan
berasal dari lahan milik sendiri, benih tetap
dinominalkan. Harga benih yang ada mendapatkan
pembebanan biaya pengorbanan. Hal ini terjadi
karena benih yang seharusnya dipanen dan dijual
dalam bentuk GKP harus disimpan dan digunakan
sebagai modal lancar di musim selanjutnya. Selain
itu, mahalnya harga benih akibat ada proses
adaptasi yang cukup lama, sebab benih yang
sebagian besar dibudidayakan oleh petani organik
pada musim lalu termasuk varietas introduksi.
Varietas yang dimaksud adalah varietas Padi
Merah Thailand.
Rata-rata modal lancar di pertanian anorganik
adalah Rp 1.157.379,50 sebab saprodi yang
69

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

diperlukan sebagian besar dibeli. Saprodi yang
dibeli meliputi pupuk (UREA, TSP, SP-36, dan
PONSKA), benih (Menthik Wangi, Ciherang
dan IR-64), dan pestisida (merk Prevaton,
Fastak, Virtaco dan Temik). Dari saprodi
tersebut, seluruhnya tidak dapat dibuat sendiri dan
harus terus menerus dibeli.
Perbandingan Usahatani Padi Organik dengan
Anorganik Dari Segi Pendapatan Kotor
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di tabel levene's test for equality of variances 0,000 t-tabel 2,042 (lihat
Tabel 1). Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan
jika terdapat perbedaan rata-rata pendapatan kotor
antara pertanian organik dengan anorganik. Untuk
mengetahui rata-rata pendapatan kotor manakah
yang lebih besar dilakukan dengan melihat nilai
mean di tabel group statistics. Pendapatan kotor
pada penelitian ini dihitung dalam satuan rupiah/
hektar. Nilai mean pendapatan kotor pertanian
organik Rp 42.924.170,87 > pendapatan kotor
pertanian anorganik Rp 19.844.439,17. Dari
antara keduanya terdapat selisih sebesar
Rp 23.079.731,7 hasil ini sesuai dengan hipotesis
sebelumnya yang menyatakan pendapatan
pertanian organik lebih besar dari pada pertanian
anorganik. Dengan demikian hipotesis yang
diajukan diterima.
Pendapatan kotor pertanian organik lebih besar
dari pada pertanian anorganik akibat tingginya
harga jual GKP dari usahatani Padi organik. Harga
varietas Merah Thailand Rp 8.500,00/kg, IR-64
Rp 3.800,00/kg, Menthik Wangi Rp 3.500,00/kg,
dan C-4 Raja Rp 7.000,00/kg. Sedangkan harga
jual GKP pertanian anorganik varietas IR-64
Rp 3.000,00/kg, Menthik Wangi Rp 3.200,00/
kg, dan Ciherang Rp 2.700,00/kg.

70

Pendapatan kotor ini pengaruh dari harga jual GKP
yang diperoleh petani. Pada petani organik, GKP
yang mereka peroleh adalah hasil kesepakatan
petani dengan pengusaha yang menampung hasil
produksi mereka. Harga yang disepakati merupakan harga yang ditetapkan oleh seorang petani
organik atas beberapa pertimbangan dari sisi
petani, sedangkan yang terjadi pada harga GKP
jual petani anorganik adalah harga yang ditetapkan
oleh pembeli hasil produksi dari petani. Hasil
produksi pertanian anorganik disalurkan ke
pengepul, dimana kebanyakan pengepul akan
memberikan harga yang agak rendah dari yang
sewajarnya. Ini dapat terjadi karena pengepul juga
memperhitungkan biaya-biaya lain yang harus
mereka tanggung, seperti biaya transportasi. Dari
harga jual GKP yang saat ini hanya ditetapkan
pengepul, pendapatan kotor petani anorganik
menjadi rendah.
Berdasarkan peristiwa di atas, menunjukkan
seorang petani organik memiliki kekuatan sebagai
price maker akan memperoleh pendapatan kotor
yang lebih tinggi dari pada seorang petani
anorganik yang berlaku sebagai price taker.
Kemampuan dari seorang petani sebagai price
maker atau price taker mungkin akibat tinggi atau
rendahnya pendidikan yang sudah diterima.
Sebagian besar sampel petani organik dan
anorganik berpendidikan Sekolah Dasar, namun
petani organik banyak yang berpendidikan SMP,
SMA/SMK dan bahkan ada yang D3. Petani
anorganik yang berpendidikan di atas SD hanya
ada tiga sampel. Dari pendididkan yang diperoleh,
memberikan kemampuan seorang petani untuk
mengajukan beberapa argumen kuat untuk mempertahankan dan menawarkan harga jual GKP
yang dirasakan mampu memberikan kesejahteraan, namun jika petani anorganik, biasanya karena
kurang mampu berargumen dan memperhitungkan, maka harga jual GKP yang mereka terima
rendah. Berikut merupakan Tabel 5.

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

Tabel 5. Pendapatan Kotor Sampel Penelitian
Pendapatan Kotor
(Rp)
< 10.000.000
10.000.000 - 15.000.000
15.000.000 - 20.000.000
20.000.000 - 30.000.000
30.000.000 - 40.000.000
40.000.000 - 50.000.000
50.000.000 - 60.000.000
> 60.000.000

Pertanian Organik
Orang
%
0.00
0.00
0.00
14
46.67
1
3.33
0.00
9
30.00
6
20.00

Jumlah

30

100.00

Pertanian Anorganik
Orang
%
1
3.33
0.00
13
43.33
16
53.33
0.00
0.00
0.00
0.00
30

100.00

Sumber : Analisis Data Primer 2011

Perbandingan Usahatani Padi Organik dengan
Anorganik Dari Segi Pendapatan Bersih
Perhitungan pendapatan bersih dari penelitian ini
dibagi menjadi dua, yang menyertakan biaya
tenaga kerja model nominal dan model bawon
sebab pada perhitungan tenaga kerja juga
dilakukan demikian.
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, biaya
tenaga kerja antara pertanian organik dengan
anorganik didapati nilai sig. di tabel levene's test
for equality of variances 0,000 < α 0,05. Hasil
ini menunjukkan bahwa variasi kelompok tidak
sama, sehingga untuk analisis selanjutnya
digunakan hasil pengujian di kolom equal variances not assumed. Dari kolom tersebut didapati
nilai t-hitung 8,081 > t-tabel 2,042 (lihat tabel 1).
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan terdapat
perbedaan rata-rata pendapatan bersih antara
petanian organik dengan anorganik. Untuk mengetahui rata-rata pendapatan bersih manakah yang
lebih besar dilakukan dengan melihat nilai mean
di tabel group statistics. Pendapatan bersih pada
penelitian ini dihitung dalam satuan rupiah/hektar.
Nilai mean pendapatan bersih pertanian organik
Rp 38.667.762,23 > pendapatan bersih pertanian
anorganik Rp 14.591.680,23. Dengan demikian
disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata
pendapatan bersih sebab, pendapatan bersih
pertanian organik lebih besar dari pada pendapatan

bersih pertanian anorganik. Dari hasil tersebut
terdapat selisih sebesar Rp 24.076.082,00. Rumus
untuk mendapatkan pendapatan bersih adalah TR
(Total Revenue) - TC (Total Cost), sehingga biaya tenaga kerja, biaya saprodi, dan biaya sewa,
dan biaya pajak diperhitungkan.
Dari hasil pengujian, diketahui pendapatan bersih
pertanian organik, memberikan pendapatan bersih
yang tinggi. Jumlah tersebut lebih tinggi dari pada
pertanian anorganik hampir dua kali lipat. Ratarata pendapatan bersih di pertanian organik cukup
tinggi akibat tingginya harga jual GKP, biaya
saprodi pestisida yang rendah, jumlah hasil
produksi yang tinggi, dan biaya tenaga kerja lebih
rendah.
Harga jual GKP dari usahatani Padi organik untuk
varietas Merah Thailand Rp 8.500,00/kg, IR64 Rp 3.800,00/kg, Menthik Wangi Rp 3.500,00/
kg, dan C-4 Raja Rp 7.000,00/kg. Dengan harga
yang demikian, bila didukung dengan jumlah hasil
produksi yang cukup tinggi akan memberikan
pendapatan kotor yang besar, namun karena biaya
produksinya rendah, maka pendapatan bersihnya
tetap tinggi.
Berbeda dengan harga jual GKP pertanian
anorganik untuk varietas IR-64 Rp 3.000,00/kg,
Menthik Wangi Rp 3.200,00/kg, dan Ciherang
Rp 2.700,00/kg. Harga tersebut bila dibandingkan
dengan harga jual GKP organik sangat jauh. Selain
71

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

itu hasil produksinya juga lebih rendah dari pada
pertanian organik sehingga bila dijumlahkan
menghasilkan pendapatan kotor yang masih
berada di bawah pertanian organik. Dari pendapat-

an kotor yang lebih rendah ini, masih dikurangi
dengan biaya-biaya yang cukup besar, sehingga
pendapatan bersihnya makin rendah. Berikut
adalah tabel 6.

Tabel 6. Pendapatan Bersih Sampel Penelitian
Pendapatan Kotor (Rp)
< 10.000.000
10.000.000 - 15.000.000
15.000.000 - 20.000.000
20.000.000 - 30.000.000
30.000.000 - 40.000.000
40.000.000 - 50.000.000
50.000.000 - 60.000.000
> 60.000.000
Jumlah

Pertanian Organik
Orang
%
0.00
0.00
0.00
14
46.67
1
3.33
4
13.33
9
30.00
2
6.67
30
100.00

Pertanian Anorganik
Orang
%
2
6.67
13
43.33
15
50.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
30
100.00

Sumber : Analisis Data Primer 2011

Perbandingan Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik Dari Segi Biaya Pupuk
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di tabel levene's test for equality of variances 0,011 biaya saprodi pupuk pertanian
anorganik Rp 961.649,77. Dengan demikian
disimpulkan bahwa meskipun tidak terdapat
perbedaan rata-rata biaya saprodi pupuk, namun
jika dilihat besarannya biaya saprodi pupuk
72

pertanian organik lebih besar dari pada biaya
saprodi pupuk pertanian anorganik. Dari hasil
pengujian, rata-rata biaya saprodi pupuk pertanian
organik dengan anorganik tidak berbeda, namun
jika dilihat nilai mean, terjadi perbedaan sebesar
Rp 236.620,06. sebab selisih tersebut oleh SPSS
dianggap tidak terlalu signifikan. Sehingga
kesimpulannya tidak ada perbedaan.
Hipotesis awal dari variabel ini menyatakan biaya
saprodi pupuk pertanian organik < biaya saprodi
pupuk pertanian anorganik. Penetapan hipotesis
ini berasal dari perkiraan bahwa pupuk pertanian
organik dibuat sendiri, sehingga jika dinominalkan
biaya pupuk pertanian organik lebih murah bila
dibandingkan dengan biaya pupuk pertanian
anorganik yang diperoleh dengan cara membeli.
Biaya tertinggi saprodi pupuk pertanian organik
untuk luasan 1 ha sebesar Rp 6.000.000,00
sedangkan biaya terendahnya Rp 80.000,00.
Untuk biaya saprodi pupuk pertanian anorganik
tertinggi sebesar Rp 2.132.000,00 dan yang
terendah adalah Rp 212.000,00. Rata-rata biaya
saprodi pupuk pertanian organik Rp 1.198.269,83

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

dan Rp 961.649,77 untuk pertanian anorganik.
Rata-rata biaya pupuk pertanian organik lebih
tinggi karena adanya sebagian sampel penelitian
yang kebutuhan pupuknya didatangkan dari luar
daerah, sebab jumlah limbah kandang masih belum
mampu mencukupi kebutuhan. Karena hal ini,
biaya saprodi pupuk mengalami peningkatan sebab
harga tiap kilogram pupuk kandang dihargai
Rp 100,00-Rp 500,00. Sebagai informasi, rata-rata
kebutuhan pupuk kandang tiap 1 ha dari sampel
penelitian adalah 4,3 ton. Jumlah ini mendekati
jumlah penggunaan pupuk kandang di pertanian
organik yang terdapat di Desa Baruara, Sumatra
Utara yaitu sebesar 5 ton/ha (Siahaan, 2009: 23).
Namun jika diperbandingkan dengan pernyataan
Young dalam Reijntjes et al. (1992) dalam Nasahi
(2010: 17) jumlah tersebut masih terbilang sedikit,
sebab menurut Young di daerah lembab diperlukan
sisa tanaman atau hewan hingga 8,5 ton/ha karena
Indonesia berada di daerah tropis. Jumlah yang
diperlukan untuk daerah sub lembab adalah 4 ton/
ha sedangkan daerah semi kering adalah 2 ton/ha.
Besarnya kebutuhan pupuk kandang mungkin
akibat keinginan petani untuk mengembalikan
kesuburan lahan dengan memberikan masukan
bahan organik yang cukup banyak. Selain itu
mungkin untuk memenuhi kebutuhan unsur hara
dalam tanah sebab unsur hara yang digunakan
untuk pertumbuhan tanamannya hanya berasal
dari pupuk kandang saja. Jika unsur hara terpenuhi,
pertumbuhan tanaman akan berjalan dengan baik
dan pada akhirnya akan memberikan hasil yang
memuaskan. Hal ini diperkuat oleh Brandy (1990)
dalam Anisuryani (2011: 8), jumlah bahan organik
dalam tanah akan mengalami penurunan hingga
35% untuk lahan yang ditanami secara terus
menerus bila dibandingkan dengan lahan yang
belum ditanami. Dengan jumlah bahan organik
yang cukup, maka kerusakan lahan dapat
diminimalkan.

Selain itu, banyaknya pupuk kandang yang
dibutuhkan mungkin untuk mengantisipasi datangnya musim tanam yang ketiga. Awal musim tanam
ketiga jatuh pada bulan Juli dan Agustus, dimana
musim tersebut termasuk musim kering. Karena
di daerah penelitian musim tanam Padi berlangsung sepanjang tahun. Seperti yang kita kita
ketahui, pada musim kemarau kelembaban tanah
menjadi berkurang. Untuk mengatasinya, aplikasi
bahan organik menjadi salah satu alternatif. Sebab
bahan organik mampu mempertahankan kelembaban tanah. Seperti yang dikatakan oleh
Stevenson (1994) dalam Anisuryani (2011), bahan
organik berfungsi sebagai penyedia hara,
pembentuk agregat tanah, meningkatkan daya
jerap air, meningkatkan kapasitas tukar kation,
meningkatkan kapasitas sangga tanah, dan
meningkatkan keragaman mikroorganisme tanah.
Dalam Sukristiyonubowo dkk (2011) disebutkan
pupuk hijau (Bahasa setempat: Aram-aram)
dapat digunakan sebagai pupuk di pertanian
organik. Aram-aram berasal dari tanaman
Leguminosa yang banyak tumbuh secara liar di
lingkungan pedesaan seperti di tanggul-tanggul
sawah hingga pekarangan rumah. Dari pada
tanaman Leguminosa tersebut tumbuh liar dan
tidak terdayagunakan, sebaiknya digunakan
sebagai bahan baku pembuatan pupuk untuk
pertanian organik. Dengan pengomposan yang
sederhana, Aram-aram mampu menjadi pupuk
alternatif selain pupuk kandang bagi pertanian
organik. Dengan demikian, apabila kebutuhan
pupuk kandang kurang, aram-aram mampu
menggantikannya sehingga biaya saprodi pupuk
dari pertanian organik dapat lebih rendah.
(Sukristiyonubowo dkk, 2011: 175). Berikut Tabel 7.

73

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

Tabel 7. Biaya Saprodi Pupuk Sampel Penelitian
Biaya Saprodi Pupuk (Rp)
< 100.000
100.000 - 200.000
200.000 - 800.000
800.000 - 1.400.000
1.400.000 - 2.000.000
2.000.000 - 4.000.000
> 4.000.000
Jumlah

Pertanian Organik
Orang
%
1
3.33
1
3.33
12
40.00
11
36.67
1
3.33
3
10.00
1
3.33
30
100.00

Pertanian Anorganik
Orang
%
0.00
0.00
10
33.33
18
60.00
1
3.33
1
3.33
0.00
30
100.00

Sumber : Analisis Data Primer 2011

Perbandingan Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik Dari Segi Biaya Pestisida
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di tabel levene's test for equality of variances 0,000 < α 0,05. Hasil ini menunjukkan
bahwa variasi kelompok tidak sama, sehingga
untuk analisis selanjutnya digunakan hasil
pengujian di kolom equal variances not assumed.
Dari kolom tersebut didapati nilai t-hitung -3,496
> t-tabel 2,042 (lihat Tabel 1). Nilai negatif dalam
hal ini dianggap mutlak. Dari hasil analisis ini dapat
disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata biaya
saprodi pestisida antara petanian organik dengan
anorganik. Untuk mengetahui rata-rata biaya
saprodi pestisida manakah yang lebih besar
dilakukan dengan melihat nilai mean di tabel group
statistics. Biaya saprodi pestisida pada penelitian
ini dihitung dalam satuan Rupiah/hektar. Nilai mean
biaya saprodi pestisida pertanian organik
Rp 3.970,93 < biaya saprodi pestisida pertanian

anorganik Rp 152.040,03. Dengan demikian ratarata biaya saprodi pestisida pertanian organik lebih
rendah dari pada pertanian anorganik. Hasil ini
sesuai dengan hipotesis sebelumnya, sehingga Hi
diterima dan Ho ditolak.
Biaya tertinggi saprodi pestisida pertanian organik
Rp 32.000,00,- dan biaya rata-ratanya Rp 3.970,93.
Sedangkan biaya tertinggi saprodi pestisida
pertanian anorganik Rp 1.046.667,00,- dan biaya
rata-ratanya Rp 152.040,03. Dari hasil pengambilan data di populasi pertanian organik, terdapat 23
orang sampel yang tidak menggunakan pestisida,
sedangkan dari populasi pertanian anorganik
terdapat 14 sampel. Sampel tersebut tidak menggunakan pestisida akibat lahan usahataninya tidak
terserang hama atau terserang hama namun dinilai
tidak memberikan dampak yang membahayakan.
Dengan demikian, nilai terendah dari biaya saprodi
pestisida adalah Rp 0. Untuk lebih jelasnya, berikut
Tabel 8.

Tabel 8. Biaya Saprodi Pestisida Sampel Penelitian
Biaya Saprodi Pestisida (Rp)
Tidak ada
< 15.000
15.000 - 30.000
30.000 - 100.000
100.000 - 250.000
250.000 - 500.000
500.000 - 1.000.000
> 1.000.000
Jumlah
Sumber : Analisis Data Primer 2011

74

Pertanian Organik
Orang
%
23
76.67
4
13.33
2
6.67
1
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
30
100.00

Pertanian Anorganik
Orang
%
14
46.67
1
3.33
0.00
2
6.67
4
13.33
7
23.33
1
3.33
1
3.33
30
100.00

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

Rata-rata biaya saprodi pestisida pertanian organik
sangat kecil, yaitu Rp 3.970,93, ini akibat banyaknya
sampel penelitian yang tidak menggunakan
pestisida. Selain itu, rendahnya biaya saprodi
pestisida pertanian organik akibat penggunaan
bahan-bahan alami yang mudah didapat dari
lingkungan tempat tinggal. Bahan-bahan alami
tersebut dicampur hingga menjadi ramuan pestisida, contohnya adalah ramuan dari Emponempon (Jahe, Temuireng, Temulawak, dan
Kunyit), Daun-daunan (Daun Mindi, Daun
Brotowali, Daun Mahoni, Daun Imba, dan Daun
Tembakau), Buah Maja, Akar Bambu, dan Umbi
Gadung. Bahan-bahan tersebut sebagian besar
diperoleh dari lahan pekarangan rumah atau
sekitar lahan usahatani dan kebun. Beberapa
bahan-bahan yang dibeli adalah Daun Tembakau,
sebab para petani sampel tidak membudidayakan
Tembakau. Selain tembakau, ada beberapa sampel
petani organik yang mengeluarkan biaya guna
membeli Jahe karena sampel tidak menanamnya.
Di pertanian anorganik, pestisida yang digunakan
buatan pabrik. Harganya saat ini cukup tinggi, dari
puluhan ribu hingga ratusan ribu. Sebagai informasi, pada saat dilakukan penelitian ada beberapa
lahan pertanian anorganik yang terserang hama
Wereng. Oleh karena itu, sampel petani membutuhkan banyak biaya untuk membeli pestisida
agar tidak gagal panen. Seperti yang kita ketahui,
hama Wereng merupakan hama yang paling
ditakuti oleh petani Padi karena mampu
menggagalkan panen. Menurut Inggit (2009: 50),
hama Wereng dapat diatasi dengan mengembangkan musuh alaminya seperti laba-laba. Namun
karena ekosistem sawah sudah tidak berjalan
sempurna akibat penggunaan pestisida kimia yang
berlebih, predator-predator ini ikut mati pada saat
petani menyemprotkan pestisida. Hal ini dikuatkan
oleh pernyataan Suhartini (2006: 92), penggunaan
pestisida kimia berdampak negatif pada lingkungan,
zat racun yang terdapat di pestisida mengakibatkan
serangga yang bukan menjadi sasaran ikut mat i,
serangga yang dimaksud adalah musuh alami dari
hama. Berbeda dengan lahan pertanian organik,

dengan penggunaan pestisida alami hanya hama
tanaman budidaya yang mengalami kematian,
sedangkan predator tetap hidup.
Banyaknya petani organik yang tidak menggunakan pestisida karena lahan usahataninya tidak
terserang hama yang parah, sehingga hama-hama
yang menyerang dikendalikan secara mekanik, yaitu
dibunuh dengan tangan. Situasi ini dapat terjadi
karena keseimbangan ekosistem lahan pertanian
organik sudah mencapai keseimbangan yang cukup
baik. Jika dilihat sekilas, jumlah predator hama
seperti Capung cukup banyak beter-bangan di atas
tanaman Padi. Karena populasi hama predator
cukup, pengendalian populasi hama yang terdapat
di lahan sawah dapat terjadi dengan sempurna.
Untuk biaya pestisida pertanian organik yang
diperoleh dengan cara membeli, dengan harga
yang sesuai dengan nominal yang dikorbankan oleh
petani untuk mendapatkan materi tersebut. Selain
itu bahan-bahan dapat diperoleh dari kebun atau
sekitar tempat tinggalnya, pengorbanan tenaga
untuk mencarinya, mengangkutnya, atau merawatnya selama beberapa waktu hingga mampu
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
pestisida alami.
Perbandingan Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik Dari Segi Biaya Benih
Dalam sebuah usahatani, benih termasuk saprodi
yang sangat penting. Baik tidaknya benih secara
tidak langsung mempengaruhi hasil produksi yang
diperoleh. Dari hasil penelitian dari kedua populasi,
didapatkan beberapa varietas Padi yang dibudidayakan yaitu Padi Hitam, Merah Thailand,
Menthik Wangi,C-4 Raja, IR-64, dan Ciherang.
Dari tiga varietas tersebut, Merah Thailand
termasuk varietas introduksi, sedangkan Hitam
dan Menthik Wangi termasuk varietas lokal.
Kemudian varietas C-4 Raja, IR-64 dan Ciherang
merupakan varietas unggul.
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, diketahui
nilai sig. di table levene's test for equality of
variances 0,000 < α 0,05. Hasil ini menunjukkan
75

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

bahwa variasi kelompok tidak sama, sehingga
untuk analisis selanjutnya digunakan hasil
pengujian di kolom equal variances not assumed.
Dari kolom tersebut didapati nilai t-hitung 7,395 >
t-tabel 2,042 (lihat Tabel 1). Dari hasil analisis ini
dapat disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata
biaya saprodi benih antara petanian organik dengan
anorganik. Untuk mengetahui rata-rata biaya
saprodi benih manakah yang lebih besar dilakukan
dengan melihat nilai mean di tabel group statistics. Biaya saprodi pestisida pada penelitian ini
dihitung dalam satuan rupiah/hektar. Nilai mean
biaya saprodi benih pertanian organik Rp
231.852,23 > biaya saprodi benih pertanian
anorganik Rp 96.144,93. Dengan demikian ratarata biaya saprodi benih pertanian organik lebih
tinggi dari pada pertanian anorganik. Hasil ini
berbeda dengan hipotesis sebelumnya yang

menyatakan biaya saprodi benih pertanian organik
< biaya saprodi benih pertanian anorganik,
sehingga Hi diterima dan Ho ditolak, namun
arahnya berbeda.
Pada awalnya hipotesis memperkirakan biaya
saprodi benih pertanian organik lebih murah. Hal
ini di dasarkan pada pemenuhan kebutuhan benih
yang dibuat sendiri, yang diperoleh dari hasil panen
yang sebelumnya. Di lapangan, hal tersebut
memang terjadi, sebab petani organik
menggunakan benih dari musim sebelumnya.
Namun terjadi hal yang sangat menarik, petani
memberikan penghargaan yang cukup tinggi.
Harga benih untuk Padi varietas Merah Tahiland
Rp 7.000,00/kg, varietas IR-64 Rp 3.000,00/kg,
varietas Menthik Wangi Rp 4.400,00/kg, varietas
C-4 Raja Rp 4.000,00/kg dan varietas Padi Hitam
Rp 15.000,00/kg. Berikut merupakan Tabel 9.

Tabel 9. Biaya Saprodi Benih Sampel Penelitian
Biaya Saprodi Benih (Rp)
< 50.000
50.000 - 100.000
100.000 - 150.000
150.000 - 200.000
200.000 - 250.000
250.000 - 300.000
300.000 - 350.000
> 350.000,00
Jumlah

Pertanian Organik
Orang
%
0,00
0,00
6
20,00
8
26,67
4
13,33
6
20,00
4
13,33
2
6,67
30
100,00

Pertanian Anorganik
Orang
%
1
3,33
21
70,00
7
23,33
0,00
0,00
1
3,33
0,00
0,00
30
100,00

Sumber : Analisis Data Primer 2011

Mahalnya harga benih akibat adanya pengorbanan
sejumlah hasil panen yang dilakukan petani.
Seharusnya jumlah tersebut dijual sehingga akan
mendapatkan pemasukan, akan tetapi jumlah
tersebut disimpan untuk musim tanam selanjutnya.
Selain itu, mahalnya harga benih di pertanian
organik di latarabelakangi oleh jenis varietas yang
dibudidayakan. Varietas Padi yang dibudidayakan
oleh sampel petani organik termasuk varietas
eksklusif, sebab varietas tersebut sudah diaklimatisasi dan diadaptasi lebih dari empat musim
tanam. Sebagai informasi, proses adaptasi varietas
76

ini sudah berlangsung dari tahun 2000. Varietas
dikatakan eksklusif akibat varietas tersebut sudah
menjadi unggul spesifik lokasi.
Berbeda dengan biaya saprodi benih di pertanian
anorganik yang diperoleh dengan cara membeli
di gerai-gerai sarana pertanian. Benih tersebut
diproduksi secara besar-besaran melalui proses
persilangan maupun seperti biasanya. Akan tetapi
yang membedakan karena benih di pertanian
anorganik tidak perlu mendapatkan perlakuan
khusus lagi oleh petani. Sehingga saat petani
membelinya, petani dapat langsung menanamnya

Analisis Komparasi Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kabupaten Sragen (N. Kristanto Santoso, G. Hartono, Bayu Nuswantoro)

tanpa mengadaptasikannya selama bertahuntahun.
Perbandingan Usahatani Padi Organik dengan
Anorganik Dari Segi Biaya Tenaga Kerja
Dalam pembiayaan tenaga kerja antara pertanian
organik dengan anorganik, didapati dua model
pembayaran upah tenaga kerja yang berbeda. Di
pertanian anorganik upah tenaga kerja di bayar
dengan sejumlah uang. Dimana setiap tenaga kerja
mendapat upah Rp 30.000,00/harinya. Besaran
nominal ini berlaku untuk pria maupun wanita.
Di pertanian organik, terdapat dua model pembayaran upah tenaga kerja. Model yang pertama
adalah membayar dengan sejumlah uang,
besarnya adalah Rp 30.000,00/hari untuk pria dan
Rp 25.000,00/hari untuk wanita. Model pembayaran ini hanya dilakukan untuk kegiatan
usahatani tanam di lahan dan panen. Model
pembayaran upah tenaga kerja yang kedua adalah
bawon. Perhitungan upah Bawon adalah setiap
seorang pekerja akan mendapatkan upah 10 kilogram GKP untuk kegiatan tanam dan panen.
Pembayaran Bawon dilakukan pada saat panen,
sehingga saat para pekerja menanam Padi di lahan,
mereka tidak mendapatkan upah karena upah
akan mereka dapatkan pada saat masa panen.
Dari model pembayaran upah tenaga kerja yang
demikian, pembiayaan setiap petani akan berbedabeda, sebab harga jual dari varietas Padi yang
diusahakan berbeda.
Berdasarkan hasil pengujian komputasi, biaya
tenaga kerja antara pertanian organik dengan
anorganik didapati nilai sig. di tabel levene's test
for equality of variances 0,059 > α 0,05. Hasil
ini menunjukkan adanya kesamaan variasi
kelompok, sehingga untuk analisis selanjutnya
digunakan hasil pengujian di kolom equal variances assumed. Dari kolom tersebut didapati nilai
t-hitung -1,686 < t-tabel 2,042 (lihat Tabel 1). Nilai
negatif dalam hal ini dianggap mutlak. Dari hasil
analisis ini dapat disimpulkan tidak terdapat
perbedaan rata-rata upah tenaga kerja antara

petanian organik dengan anorganik. Dari hasil
pengujian, rata-rata upah tenaga kerja pertanian
organik yang dibayar menggunakan model bawon
tidak berbeda dengan upah tenaga kerja pertanian
anorganik yang dibayar dengan model nominal.
Untuk mengetahui rata-rata upah tenaga kerja
manakah yang lebih besar diatasi dengan melihat
nilai mean keduanya di tabel Group Statistics.
Rata-rata upah tenaga kerja pada penelitian ini
dihitung dalam satuan rupiah/hektar. Diketahui nilai
mean upah tenaga kerja pertanian organik
Rp 2.446.760,07 sedangkan upah tenaga kerja
pertanian anorganik Rp 2.822.666,33. Dari hasil
ini terdapat selisih sebesar Rp 375.906,26. Selisih
ini tidak signifikan, namun bila dilihat dari nilai
mean yang diperoleh, biaya tenaga kerja pertanian
organik yang dihitung dengan model bawon masih
lebih murah bila dibandingkan biaya tenaga kerja
pertanian anorganik yang dihitung dengan model
nominal.
Dari kedua perhitungan biaya tenaga kerja,
diketahui biaya tenaga kerja pertanian anorganik
lebih mahal bila dibandingkan dengan biaya tenaga
kerja pertanian organik. Hal ini diakibatkan
banyaknya kegiatan yang perlu dilakukan untuk
merawat lahan budidayanya. Dari banyaknya
kegiatan budidaya maka akan memberikan dampak
pada kenaikan biaya tenaga kerjanya. Hal ini terlihat
dari banyaknya kegiatan penyiangan, pemupukan
dan pengendalian hama. Sebagian besar sampel
petani anorganik melakukan penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama lebih dari satu kali. Dari
kegiatan-kegiatan ini diperlukan tenaga kerja,
sehingga muncul biaya tenaga kerja yang kemudian
meningkatkan biaya tenaga kerja di pertanian
anorganik. Dalam penelitian ini, tenaga kerja yang
digunakan ada yang berasal dari luar keluarga petani
dan ada yang berasal dari dalam keluarga petani,
namun semuanya tetap dihitung. Jika ada kegiatan
tersebut dilakukan oleh petani itu sendiri, maka biaya
tenaga kerja tetap dikenakan padanya, ini menjadi
biaya yang seharusnya muncul, sebab tenaga
tersebut harus dihargai sehingga perhitungannya
menjadi lebih mudah.
77

AGRIC Vol.24, No. 1, Juli 2012: 63-80

Berbeda dengan pertanian anorganik yang
memerlukan banyak kegiatan untuk perawatan,
pertanian organik tidak demikian. Di pertanian
organik, perawatan lahan hanya sedikit. Seperti
pada pemupukan, pemupukan hanya dilakukan
satu kali dan waktunya bersamaan dengan
kegiatan pengolahan lahan tanam. Kemudian
pada pemberantasan hama hanya dilakukan jika
terjadi serangan hama yang oleh penilaian petani
sudah membahayakan. Jika belum membahayakan hanya dibiarkan saja. Ini dilakukan petani
karena petani sudah percaya pada keseimbangan
ekosistem yang ada di lahannya. Dengan demikian
biaya tenaga kerja untuk mengen-dalikan serangan
hama sudah dapat diminimalisir.

Jika diperbandingkan antara upah tenaga kerja
pertanian organik dengan anorganik, ternyata
biaya tenaga kerja pertanian organik lebih murah.
Biaya bawon memiliki hubungan dengan harga
jual GKP dari varietas Padi yang pada saat itu
ditanam oleh petani. Sebagai informasi, pada saat