INFLASI PARTAI POLITIK

INFLASI PARTAI POLITIK
Setelah 40 tahun berada dalam pasungan politik, lewat rezim Orde Lama dengan
Demokrasi Terpimpinnya dan Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya yang
memaksakan depolitisasi massa (politik massa mengambang), maka mulai tahun 1998
bangsa Indonesia kembali belajar untuk berdemokrasi. Begitu lepas dari pasungan,
semangat untuk melakukan partisipasi politik begitu menggelora, mengingatkan kita pada
tahun-tahun 1950an, menjelang Pemilu 1955, ketika semangat partisipasi politik juga
meluap-luap.
Tahun 1998 menandai terjadinya masa transisi nasional. Para ahli ilmu politik
menyebutnya sebagai transisi menuju demokrasi. Transisi sebagai peluang terbuka untuk
menyelesaikan krisis-krisis yang terjadi dalam skala nasional. Transisi sebagai proses
menuju ke keseimbangan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi yang terjadi dan yang disadari sepertinya bukan transisi, tetapi eforia, gegap
gempita yang mendekati kemabukan kebebasan yang berskala nasional. Alih-alih
keseimbangan baru diperoleh, justru ketidakseimbangan (disharmoni) yang mendekati
instabilitas yang kemudian terjadi.
Banyak sekali kekuatan politik yang sepertinya terperangkap dan terpenjara oleh masa
silamnya. Mereka yang mengalami trauma dan luka politik misalnya, kemudian
menjadikan trauma dan luka politik itu sebagai batu pijakan dan fondasi untuk
memperjuangkan masa depan politiknya. Di sini transisi nasional kemudian menyempit
menjadi hanya bermakna sebagai transisi kelompok, golongan yang sempit Transisi

hanya bermakna sebagai lorong sempit untuk melakukan mobilitas vertikal..
Atas nama partisipasi politik yang menjadi salah satu pilar demokrasi, kelompokkelompok dan golongan politik itu ramai-ramai mendirikan partai politik. Mereka
mengharap, lewat partai dan lewat pemilu, akan terjadi mobilitas vertikal bagi diri
mereka sendiri. Dalam kaitan ini seringkali mobilitas vertikal juga dimaknai secara
sempit, sebagai kemungkinan untuk memperoleh potongan kue kekuasaan yang lebih
besar lagi. Dan kue kekuasaan berarti kue kemakmuran, kekayaan dan keuntungan
pribadi dan golongannya.
Itulah yang dapat dilihat secara kritis pada pasca Pemilu 1999. Kelompok, golongan dan
partai politik yang semula menderita trauma dan luka politik, begitu mengalami mobilitas
vertikal, mendadak mereka menjadi makmur, kaya, jumlah uang dan hartanya melangit,
mereka tersenyum dan makin gemuk karena makan enak dan dapat berganti mobil
mewah setiap waktu. Para pemimpinnya pun mengalami mobilitas vertikal yang lebih
hebat lagi.
Bukti bahwa transisi demokrasi hanya difungsikan sebagai lorong mobilitas vertikal bagi
kepentingan tokoh partai dan kelompoknya adalah, ketika mereka semakin makmur,
rakyat justru semakin melarat karena ditimpa dan ditimbuni berbagai kesulitas berupa
kenaikan harga dan berbagai macam tarif. Rakyat sama sekali tidak mengalami mobilitas
vertikal, bahkan menderita degradasi kemakmuran.
Iming-iming dan impian akan mengalami mobilitas vertikal, dan barangkali bukan spirit
untuk mengabdi dan menyejahterakan rakyat yang kemudian menyebabkan banyak

kelompok dan golongan kemudian mendirikan partai politik. Memang ada yang masih
memiliki niat luhur, untuk memuliakan nasib rakyat, biasanya hidup mereka bersahaja,

tetapi kebanyakan dari para politisi itu seringkali hanya mementingkan diri sendiri dan
kelompoknya.
Ini yang kemudian menyebabkan demam partai politik kembali terulang. Setelah Pemilu
1999 melahirkan lebih dari seratus partai, yang diseleksi menjadi 48 peserta Pemilu.
Sehabis Pemilu muncul 5 partai besar. Kini menjelang Pemilu 2004, telah lahir lebih
banyak lagi partai. Kita belum tahu pasti mengapa gairah mendirikan partai demikian
berkobar. Apakah memang demi aspirasi politik yang merasa belum tertampung dalam 5
partai besar? Atau ada sebab lain? Apa pun alasannya, kecenderungan tersebut
menimbulkan ‘inflasi’ partai politik! Kenapa rasionalisasi politik dan konsolidasi
demokrasi tidak terjadi di Indonesia? Kenapa transisi menuju demokrasi sepertinya
berubah menjadi transisi permanen?
Pada pasca Pemilu 1955 Bung Karno langsung memvonis partai-partai yang kalah
Pemilu yang pengikutnya sedikit sebagai Partai Gurem sebagai yang tidak layak hidup.
Pada era Soeharto pasca Pemilu 1971 yang diikuti 10 partai kemudian diambil kebijakan
penyederhanaan partai menjadi 3 partai dengan 1 partai yang harus selalu menang
(Golkar). Maka apa yang sebaiknya dilakukan untuk Pemilu 2004 dimana sudah terdaftar
188 partai yang akan bersaing? Bisakah UU Pemilu pelan-pelan mampu membuat rakyat

berfikir rasional dalam berpartai, termasuk rasional dalam mendirikan partai? Bagaimana
sebaiknya restrukturisasi jumlah parpol dilakukan?
Mungkinkah memperluas kembali tujuan pendirian partai-partai dari sekadar
menciptakan lorong mobilitas vertikal yang sempit menjadi upaya menciptakan koridor
mobilitas vertikal seluruh rakyat Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi PR
panjang yang harus dijawab oleh bangsa kita. (Bahan-bahan dan tulisan: tof)
Sumber: SM-14-2002