Studi Deskriptif Mengenai Status Intimacy pada Wanita yang Mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan di Gereja "X" Bandung.
Universitas Kristen Maranatha v
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul Studi Deskriptif mengenai Status Intimacy pada Wanita Peserta Kursus Persiapan Pernikahan (KPP) di Gereja “X” Bandung ini bertujuan memberikan paparan mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan status intimacy sehingga ditemukan status intimacy dari wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode desktriptif. Sasaran populasi dalam penelitian ini adalah wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung tanggal 15-17 April 2016 yang berada pada masa dewasa awal. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 23 orang.
Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner status intimacy yang menggunakan skala Likert, disusun berdasarkan teori psikososial Erikson, dan dikembangkan oleh Orlofsky kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Kuesioner ini terdiri dari 100 item yang dikelompokkan berdasarkan 9 aspek yang menentukan status intimacy, yaitu komitmen, komunikasi, perhatian dan kasih sayang, pengetahuan akan sifat-sifat pasangan, perspective-taking, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat-minat pribadi, penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan, dan ketergantungan terhadap pasangan. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan distribusi frekuensi dan tabulasi silang.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh gambaran status intimacy wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung adalah sebagai berikut: Preintimate (48%), Intimate (22%), Merger-committed (17%), dan Pseudointimate (13%). Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu status intimacy sebagian besar wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung adalah Preintimate. Peneliti menyarankan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini agar meneliti status intimacy pada pria yang mengikuti KPP.
(2)
Universitas Kristen Maranatha vi
ABSTRACT
This research which is titled Descriptive Study About Intimacy Status in Female Participants of KPP in “X” Church Bandung is intended to give a brief explanation about aspects which is connected to intimacy status so that the intimacy status of female participants of KPP in “X” Church can be determined. The method used is descriptive method. Population focused in this research are female participants of KPP in “X” Bandung on April 15-17 2016 whom are on young adult developmental stage. The sample quantity is 23 people.
Measuring instrument used in this research is a questionaire of status intimacy using Likert scale, constructed by Erikson’s Psychosocial Theory, developed by Orlofsky (1993) then modified to suit the sample by researcher. The questionaire consists of 100 items which are grouped by 9 aspects that determined the individual intimacy status, such as commitment, communication, love and attention, knowledge of couple’s traits, perspective-taking, power and decision making, reserving self interests, acceptance of separation with couple, and dependancy of couple. The collected data are then analized using distributed frequency dan crosstab.
Based on the research that has been done, we found that the intimacy status of female participants of KPP in “X” Church Bandung are Preintimate (48%), Intimate (22%), Merger-committed (17%), dan Pseudointimate (13%). The conclusion of this research is the intimacy status of most female participants of KPP in “X” Church Bandung is Preintimate. Researcher suggests fellow researchers that are interested in continuing this research to study the intimacy status in males.
(3)
Universitas Kristen Maranatha x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ··· v
ABSTRACT··· vi
PRAKATA ··· vii
DAFTAR ISI ··· x
DAFTAR TABEL ··· DAFTAR BAGAN ··· DAFTAR LAMPIRAN ··· BAB I PENDAHULUAN ··· 1
1.1Latar Belakang Masalah ··· 1
1.2Identifikasi Masalah ··· 7
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ··· 7
1.3.1 Maksud Penelitian ··· 7
1.3.2 Tujuan Penelitian··· 8
1.4Kegunaan penelitian ··· 8
1.4.1 Kegunaan Teoritis··· 8
1.4.2 Kegunaan Praktis··· 8
1.5Kerangka Pemikiran ··· 8
1.6Asumsi··· 17
(4)
xi
Universitas Kristen Maranatha
2.1 Intimacy···18
2.1.1 Definisi Intimacy ···18
2.1.2 Aspek-aspek dalam Intimacy ···19
2.1.3 Aspek-aspek dalam Pembentukan Intimacy ···22
2.1.4 Faktor-faktor Perkembangan Status Intimacy ···30
2.1.5 Intimacy pada Wanita ··· 32
2.2 Masa Dewasa Awal ··· 33
2.3 Tahap Perkembangan Psikososial Erikson ··· 33
2.4 Relasi Sosial ··· 35
2.4.1 Definisi Relasi Interpersonal ··· 35
2.4.2 Jenis-Jenis Relasi Sosial ··· 35
2.4.3 Manfaat Relasi Sosial ··· 36
2.4.4 Relasi Heteroseksual ··· 36
2.5 Relasi Romantis, Pernikahan, dan Kursus Persiapan Pernikahan··· 38
2.5.1 Definisi Relasi Romantis ··· 38
2.5.2 Definisi Pernikahan ··· 40
2.5.3 Definisi Kursus Persiapan Pernikahan ··· 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ··· 42
3.1 Desain Penelitian ··· 42
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ··· 42
3.2.1 Variabel Penelitian ··· 42
3.2.2 Definisi Konseptual ··· 42
3.2.3 Definisi Operasional ··· 43
(5)
xii
Universitas Kristen Maranatha
3.3.1 Alat Ukur Status Intimacy ···44
3.3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ··· 46
3.3.3 Data Penunjang ··· 50
3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ··· 50
3.3.4.1 Validitas Alat Ukur ··· 50
3.3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ··· 51
3.4 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ··· 52
3.4.1 Populasi Sasaran ··· 52
3.4.2 Karakteristik Sampel ··· 52
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel ··· 52
3.5 Teknik Analisis Data ··· 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ··· 53
4.1 Gambaran Sampel Penelitian ··· 53
4.2 Hasil Penelitian··· 55
4.3 Pembahasan ··· 57
4.4 Diskusi··· 71
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ··· 73
5.1 Simpulan ··· 73
5.2 Saran ··· 73
5.2.1 Saran Teoretis ··· 73
5.2.2 Saran Praktis ··· 74
(6)
xiii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN ··· 76 LAMPIRAN··· 77
(7)
Universitas Kristen Maranatha xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Peraturan dalam Membedakan Status Intimacy ··· 29
Tabel 2.2 Tabel Penentuan Status Intimacy ··· 30
Tabel 3.1 Tabel Kisi-kisi Alat Ukur Status Intimacy ···44
Tabel 3.2 Bobot Penilaian ··· 47
Tabel 3.3 Tabel Penentuan Status Intimacy ···48
Tabel 4.1 Tabel Persentase Responden berdasarkan Usia ··· 54
Tabel 4.2 Tabel Persentase Responden berdasarkan Lamanya Masa Berpacaran ··· 54
Tabel 4.3 Tabel Status Intimacy ··· 55
(8)
Universitas Kristen Maranatha xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir ··· 16 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ··· 42
(9)
Universitas Kristen Maranatha xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Status Intimacy ··· L-2 Lampiran 2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ··· L-12 Lampiran 3 Tabel Hasil Tabulasi Silang Status Intimacy dengan 9 Aspek ··· L-13 Lampiran 4 Tabel Hasil Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Usia ··· L-22 Lampiran 5 Tabel Hasil Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Lama Berpacaran··· L-24 Lampiran 6 Tabel Hasil Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Derajat Keterbukaan ··· L-26 Lampiran 7 Tabel Hasil Tabulasi Silang Status Intimacy dengan Derajat Ketergantungan L-27
(10)
Universitas Kristen Maranatha 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sesamanya dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara fisik, manusia juga mengalami perkembangan. Dalam psikologi, manusia memiliki tugas-tugas perkembangan yang perlu dipenuhi sepanjang hidupnya (Erikson dalam Santrock, 2013). Pada usia dewasa awal, yaitu 20-35 tahun (Santrock, 2013), manusia akan menjalani tugas perkembangan yang disebut intimacy versus isolation (Erikson dalam Santrock, 2013) dan memenuhi kebutuhan untuk menjalin hubungan yang dekat dan hangat dengan cara mencari orang lain yang sesuai dengan dirinya dimulai dari berteman. Menurut Erikson (dalam Santrock 2013), individu yang sudah berhasil memenuhi tugas perkembangan dalam menemukan dan membangun identitas dirinya yang stabil mulai memasuki tahap perkembangan berikutnya, yaitu intimacy atau keintiman yang berarti menemukan diri sendiri yang sebenarnya sekaligus kehilangan bagian lain dari diri dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini membutuhkan komitmen terhadap orang tersebut. Jika individu gagal dalam mengembangkan intimacy, dihasilkan individu yang terisolasi dimana hubungan yang dijalin dengan sesamanya tidak hangat, dekat, dan memiliki kualitas yang rendah (Orlofsky dalam Marcia, 1993). Intimacy itu sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda dan bergradasi dari paling rendah (isolate) hingga paling tinggi (intimate) dan diistilahkan sebagai status intimacy.
Orlofsky (dalam Marcia, 1993) mengungkapkan bahwa status intimacy ditentukan oleh sembilan aspek. Pertama, komitmen yang merupakan keterlibatan individu dalam hubungan dan sudah mempunyai rencana yang pasti untuk masa depan. Kedua,
(11)
2
Universitas Kristen Maranatha komunikasi dibagi menjadi dua dimensi, yaitu intrapersonal dan interpersonal. Komunikasi intrapersonal adalah kemampuan individu untuk mengkomunikasikan masalah dan berbagi perasaan kepada pasangan sedangkan komunikasi interpersonal adalah kemampuan individu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan yang positif maupun negatif secara terbuka kepada pasangan. Ketiga, perhatian dan kasih sayang, yaitu kemampuan untuk memberikan perhatian dan kasih sayang secara tulus kepada pasangan. Keempat, pengetahuan akan sifat-sifat pasangan dimana individu mampu menggambarkan pasangan beserta keunikannya dan menghargainya sebagai individu yang spesial. Kelima, perspective-taking adalah kemampuan untuk melihat dan menghargai sudut pandang pasangan. Keenam, kekuasaan dan pengambilan keputusan yang meliputi kemampuan untuk menghargai interaksi yang timbal-balik dan peran pasangan yang seimbang. Ketujuh, memertahankan minat-minat pribadi, yaitu kemampuan untuk tetap melakukan hal-hal yang diminati tanpa mengabaikan kebutuhan dan keinginan pasangan. Kedelapan, penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan untuk mendukung dan menghargai pasangan sebagai individu yang otonom. Kesembilan, ketergantungan terhadap pasangan yang dimaksudkan agar pasangan memiliki interdependensi dimana pihak yang satu tergantung terhadap pihak yang lain, tetapi tidak berlebihan atau juga terlalu mandiri.
Dalam persahabatan, jenis kelamin menjadi faktor yang dapat membedakan cara individu berkomunikasi. Wanita memiliki lebih banyak teman dekat dan persahabatan mereka melibatkan lebih banyak self-disclosure dan dukungan yang bersifat timbal-balik (Dow & Wood dalam Santrock, 2013). Wanita juga cenderung lebih mampu mendengarkan apa yang ingin disampaikan temannya, kemudian merasa simpatik akan hal tersebut. Gouldner & Strong (dalam Santrock, 2013) melabeli wanita sebagai teman berbicara karena percakapan merupakan hal yang utama dalam hubungan mereka. Ketika
(12)
3
Universitas Kristen Maranatha berkumpul bersama, wanita suka berbincang-bincang sedangkan pria lebih memilih beraktivitas bersama, terutama outdoor, tidak terlalu mementingkan kedalaman relasi seperti wanita. Karena peran intimacy dalam relasi yang begitu penting bagi wanita, intimacy pada wanita juga akan lebih mudah dilihat dan berkembang dibanding pada pria. Tidak menutup kemungkinan individu pada usia dewasa awal melanjutkan persahabatannya dengan lawan jenis ke jenjang yang lebih serius untuk mengenalnya lebih dalam jika hubungan tersebut dirasa cocok, yaitu dengan berpacaran. Pacaran pada usia dewasa awal berbeda dengan pacaran pada usia remaja. Pada usia dewasa awal, individu diharapkan memiliki rencana jangka panjang dengan pasangannya dibanding ketika usia remaja. Maka individu akan berusaha menjaga kelangsungan hubungan dengan saling menyesuaikan diri dan memenuhi kebutuhan satu sama lain, baik secara fisik maupun emosional sehingga dihasilkan hubungan yang berkualitas untuk dilanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu pernikahan. Namun dalam membangun hubungan yang berkualitas, diperlukan komitmen, kesesuaian dan keyakinan atas hubungannya dengan pasangan.
Komitmen, kesesuaian, dan keyakinan atas hubungan pacaran dengan pasangan lama-kelamaan akan dapat membantu meneguhkan pasangan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu pernikahan. Pernikahan merupakan titik puncak/ kulminasi dari hubungan romantis yang dijalani individu bersama pasangan. Corsini (2002) mengungkapkan bahwa pernikahan merupakan sebuah komitmen sosial antara dua orang atau lebih, biasanya dengan tujuan agar dikenali oleh masyarakat atau orang-orang lain sebagai suatu unit yang stabil, suatu rekanan (partnership), dan keluarga. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan), perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir-bathin antara seorang pria
(13)
4
Universitas Kristen Maranatha dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dilakukan oleh manusia pada sebagian besar populasi di seluruh belahan dunia. Fuchs mengungkapkan bahwa pernikahan adalah salah satu institusi yang paling tua, universal, dan dapat menjadi ciri pembeda manusia: tidak ada satupun catatan dari semua masyarakat yang tidak memiliki pernikahan sebagai salah satu dari elemen kunci dalam struktur sosial mereka (Fuchs, 1983 dalam Cox, 1984). Pada umumnya, pernikahan didasari oleh agama tertentu yang dianut oleh salah satu atau kedua individu yang menikah. Setiap agama memiliki cara dan upacara tersendiri dalam menggabungkan dua insan menjadi satu kesatuan yang utuh, yaitu keluarga.
Pada penelitian ini, khususnya akan dibahas mengenai pernikahan dalam ajaran agama Katolik dimana manusia dikehendaki untuk saling melengkapi satu sama lain serta melanjutkan keturunan dengan cara menikah sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam kitab Kejadian 1: 27-28 yang berbunyi “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”. Ayat lainnya dalam mengenai tujuan pernikahan berbunyi: Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 15:12).
Dalam pernikahan agama Katolik, tidak dikenal kata “perceraian” karena pernikahan
Katolik memiliki dua sifat, yaitu (1) unitas, yaitu pernikahan hanya dilakukan antara seorang wanita dan seorang pria, tidak ada relasi eksklusif di luar relasi suami-istri, dan (2) indissolubilitas yang berarti pernikahan Katolik adalah pernikahan yang mengikat seumur hidup. Hanya kematian salah satu pasangan yang dapat memutuskan ikatan pernikahan. Pernikahan pasangan Katolik juga harus dilandasi oleh perasaan saling mencintai antarpasangan. Oleh karenanya, gereja Katolik tidak merestui pernikahan dimana pasangannya dijodohkan. Umat yang akan menikah secara Katolik diwajibkan mengikuti
(14)
5
Universitas Kristen Maranatha Kursus Persiapan Pernikahan atau disingkat menjadi KPP yang bertujuan menjelaskan tata cara pernikahan Katolik, meningkatkan intimacy antarpasangan serta mencegah perceraian.
Pada umumnya KPP dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut dan pasangan diwajibkan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan tanpa absen. Setelah selesai mengikuti KPP, peserta akan diberikan sertifikat yang berlaku 3 bulan setelah tanggal kelulusan. Sertifikat tersebut diperlukan sebagai kelengkapan jika ingin melaksanakan pernikahan di Gereja Katolik. Maka dari itu, wanita yang mengikuti KPP tentunya sudah akan menikah paling lambat dalam 3 bulan. Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan utama peneliti untuk melakukan penelitian di Gereja “X” yang merupakan Gereja Katolik.
Berdasarkan survey mengenai kasus perceraian di Indonesia yang didapat dari koran Pikiran Rakyat, tercatat dari 2.162.268 pasangan yang melakukan pernikahan pada tahun 2009, di antaranya sebanyak 216.286 pasangan melakukan perceraian. Pada tahun 2010, tercatat sebanyak 2.207.364 pasangan menikah, kemudian 285.184 pasangan bercerai. Tahun 2011, tercatat 2.319.821 pasangan melakukan pernikahan dan 258.119 pasangan di antaranya bercerai. Tahun 2012 tercatat 2.291.265 pasangan menikah dan 372.577 di antaranya bercerai. Tahun 2013 terdapat 2.218.130 pernikahan, kemudian 324.527 pasangan di antaranya bercerai. Secara kuantitatif, pernikahan Katolik tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap angka tersebut, meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa pernikahan Katolik mampu menangkal ancaman perceraian (sumber: www.pikiranrakyat.com).
Fakta yang dijumpai peneliti pada survey awal terhadap 5 wanita peserta KPP bulan April 2015 di Gereja “X” dengan teknik wawancara mengungkapkan bahwa 5 orang (100%) sedang terlibat dalam hubungan yang serius dan sudah siap menikah. Ketika ditanyakan mengenai komunikasi dan keterbukaan ungkapan terhadap pasangan, 80%
(15)
6
Universitas Kristen Maranatha menyatakan sudah merasa nyaman untuk mengekspresikan emosi, menceritakan berbagai hal kepada pasangan serta berusaha berkomunikasi secara dua arah. 20% sisanya mengatakan bahwa lebih sulit untuk mengekspresikan emosi dan cenderung menuruti pasangan sehingga komunikasi lebih bersifat searah meskipun sudah terbiasa untuk menyampaikan berbagai hal kepada pasangan.
Bila dilihat dari jawaban terhadap pertanyaan mengenai cara dan intensitas pengungkapan kasih sayang terhadap pasangan serta sentuhan-sentuhan fisik, 80% merasa sudah cukup memerhatikan kebutuhan pasangan serta memberikan perhatian dan kasih sayang kepada pasangan pada sebagian besar kesempatan sedangkan 20% menyatakan sudah berusaha untuk memerhatikan dan memenuhi kebutuhan pasangan, namun karena kesibukan pekerjaan seringkali kurang dapat menghabiskan waktu bersama seperti yang diinginkan pasangan.
Ketika ditanyakan mengenai pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan pasangan, 100% peserta KPP menyatakan sudah cukup mengenal sifat dan pribadi pasangan, namun dalam hubungannya seringkali muncul perilaku yang tidak diketahui sebelumnya. Berdasarkan aspek perspective-taking, 60% menyatakan bahwa masih sulit menerima perbedaan yang muncul dalam hubungan walaupun sudah berusaha untuk dapat memahami perbedaan tersebut dan 40% merasa sudah cukup mampu memahami dan menghargai setiap pendapat pasangan yang berbeda.
Dalam menentukan keputusan yang akan diambil untuk kepentingan bersama, 60% selalu melibatkan pasangan dalam pengambilan keputusan dan berusaha menghargai setiap alternatif keputusan yang diungkapkan oleh pasangan; 20% tidak bersedia melibatkan pasangan dalam pengambilan keputusan mengenai pekerjaan, namun untuk masalah pribadi yang menyangkut hubungan dengan pasangan tetap berusaha untuk menghargai setiap keputusan yang diberikan oleh pasangan meskipun sesungguhnya tidak
(16)
7
Universitas Kristen Maranatha menyetujuinya; 20% sisanya menyatakan bahwa sering berdiskusi dengan pasangan mengenai masalah-masalah yang dihadapi, namun yang mengambil keputusan dan bertindak harus diri sendiri.
Dalam menggambarkan usahanya memertahankan minat-minat pribadi, 100% responden menyatakan tetap melakukan kegiatan/ hobi bersama rekan-rekan tanpa melibatkan pasangan dan memberikan kebebasan pula kepada pasangan untuk melakukan kegiatannya sendiri. Kemudian dari aspek penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan, 60% dari mereka merasa cukup sulit memahami setiap kegiatan dan hobi pasangan yang seringkali mengurangi waktu mereka bersama sedangkan 40% menyatakan sudah dapat menerima kesibukan pasangan dan memahaminya. Bila dilihat dari aspek ketergantungan terhadap pasangan, 100% menyatakan lebih nyaman melakukan berbagai kegiatan dengan pasangan, namun ada hal-hal tertentu, seperti pekerjaan atau keuangan yang lebih baik diurus secara pribadi.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui status intimacy yang manakah yang dimiliki wanita yang mengikuti KPP sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menikah.
1.2Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui status intimacy pada wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian
Memperoleh gambaran mengenai intimacy pada wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung.
(17)
8
Universitas Kristen Maranatha
1.3.2 Tujuan penelitian
Mengetahui status intimacy pada wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung berdasarkan derajat aspek-aspek intimacy.
1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan teoretis
Sebagai sumbangan informasi yang diharapkan dapat memperkaya penelitian dan pemahaman kajian studi Psikologi Perkembangan, khususnya mengenai status intimacy pada wanita yang sudah bersiap menjalin hubungan permanen dengan pasangannya.
Sebagai bahan penelitian lanjutan mengenai status intimacy.
1.4.2 Kegunaan praktis
Dapat menjadi informasi bagi para wanita yang akan menikah, yang dapat dipakai sebagai pengetahuan dasar untuk mengembangkan intimacy dalam menjalin hubungan yang mendalam dengan pasangannya dan disertai komitmen.
Dapat menjadi informasi bagi konselor keluarga dalam melakukan konseling terhadap para wanita dan pasangan, khususnya dengan memerhatikan status intimacy wanita yang bersangkutan.
1.5Kerangka Pemikiran
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari kehadiran individu lain dan kebutuhan untuk menjalin relasi yang hangat dengan sesamanya. Relasi yang dijalin setiap orang berbeda-beda tingkat kedalamannya dan menurut hukum gereja Katolik hanya sah diakui bila terjadi antara dua individu yang berbeda jenis kelamin. Relasi heteroseksual yang pada awalnya dangkal pun dapat menjadi suatu relasi yang disertai suatu ikatan eksklusif di kemudian hari. Dalam relasi yang disertai ikatan ini, kedua
(18)
9
Universitas Kristen Maranatha individu yang terlibat di dalamnya berusaha untuk saling mengenal lebih dalam, mengetahui serta memahami pandangan hidup pasangannya, juga mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada di antara keduanya.
Pasangan yang telah memiliki hubungan eksklusif dan sudah mempertimbangkan secara matang mengenai tindakan yang akan diambil selanjutnya dalam rangka menempuh kehidupan berkeluarga bersama kemudian akan menikah. Dalam gereja Katolik, pasangan yang akan menikah wajib mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan yang bertujuan membina pasangan agar kelak mengusahakan kehidupan berkeluarga yang harmonis. KPP memberikan pemahaman yang sesungguhnya mengenai makna pernikahan yang sakral serta gambaran mengenai kehidupan setelah pernikahan yang akan dilanda berbagai masalah, juga pentingnya intimacy antarpasangan dalam berkeluarga. Intimacy meliputi kemampuan dalam keterbukaan, suportif dan mesra dengan orang lain, tanpa takut kehilangan identitas dirinya dalam proses menjadi dekat. Intimacy termasuk kemampuan saling berempati dan saling mengatur kebutuhan-kebutuhan (Newman & Newman, 1979). Walau KPP membantu memperdalam intimacy yang telah dimiliki pasangan peserta, peserta diharapkan sudah memiliki intimacy satu sama lain sebelumnya sehingga dapat ditentukan status intimacy-nya terhadap pasangannya.
Dalam Gereja Katolik “X” tempat diadakannya KPP, individu-individu yang menjadi peserta akan diteliti status intimacy-nya sebagai populasi yang memiliki kesamaan. Selain agama dan tempat pelatihan yang sama, materi yang diberikan juga tentunya serupa sehingga hasil penelitian dapat lebih objektif dan representatif menggambarkan status intimacy populasi tersebut.
Tannen (dalam Santrock, 2013) menganalisa pengaruh gender dalam intimacy. Ditemukan bahwa wanita lebih memprioritaskan hubungan dan lebih fokus dalam
(19)
10
Universitas Kristen Maranatha menjaga hubungan dengan orang lain sekaligus berpartisipasi dalam mengembangkan sesamanya. Harriet Lerner (1989, dalam Santrock, 2013) dalam bukunya yang berjudul The Dance of Intimacy menyimpulkan bahwa penting bagi wanita untuk membawa hubungannya menjadi suatu relasi yang kuat, asertif, dan otentik. Wanita juga lebih berorientasi terhadap hubungan dibanding pria (Gilligan dalam Santrock, 2013).
Wanita sebagai individu yang lebih berorientasi pada relasi, lebih ekspresif, dan terbuka dalam mengungkapkan perasaan lebih terlihat kedalaman relasinya dibanding pria (Bem, Martyna, & Watson, 1976; Douvan & Adelson, 1966; Orlofsky & Windle, 1978 dalam Marcia, 1993). Hal ini terbentuk sejak masa kanak-kanak sehingga saat memasuki masa dewasa, wanita akan lebih siap terhadap tuntutan emosional dalam pembentukan intimacy. Status intimacy yang dimiliki tergantung dari pencapaian identitas dimana individu yang sudah menemukan identitas diri akan memiliki status intimacy yang semakin dalam pula (Orlofsky dalam Marcia, 1993). Berkaitan dengan hal ini, bila seorang wanita mampu mencapai status identitas sesuai dengan tuntutan perkembangan di masa remaja, diharapkan akan mampu mencapai status yang intimate di masa dewasa awal. Maka dari itu, wanita diasumsikan memiliki perkembangan intimacy yang lebih dalam dibanding pria dan hal ini penting sebagai persiapan sebelum menikah.
Untuk menentukan status intimacy individu, Orlofsky (dalam Marcia, 1993) mengungkapkan bahwa status intimacy terdiri dari sembilan aspek dengan derajat yang berbeda-beda. Pertama, komitmen yang merupakan keterlibatan pasangan dalam hubungan dan sudah mempunyai rencana yang pasti untuk masa depan. Kedua, komunikasi dibagi menjadi dua dimensi, yaitu intrapersonal dan interpersonal. Komunikasi intrapersonal adalah kemampuan individu untuk mengkomunikasikan masalah dan berbagi perasaan kepada pasangan sedangkan komunikasi interpersonal adalah kemampuan individu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan yang positif
(20)
11
Universitas Kristen Maranatha maupun negatif secara terbuka kepada pasangan. Ketiga, perhatian dan kasih sayang, yaitu kemampuan untuk memberikan perhatian dan kasih sayang secara tulus kepada pasangan. Keempat, pengetahuan akan sifat-sifat pasangan dimana individu mampu menggambarkan pasangan beserta keunikannya dan menghargainya sebagai individu yang spesial. Kelima, perspective-taking adalah kemampuan untuk melihat dan menghargai sudut pandang pasangan. Keenam, kekuasaan dan pengambilan keputusan yang meliputi kemampuan untuk menghargai interaksi yang timbal-balik dan peran pasangan yang seimbang. Ketujuh, memertahankan minat-minat pribadi, yaitu kemampuan untuk tetap melakukan hal-hal yang diminati tanpa mengabaikan kebutuhan dan keinginan pasangan. Kedelapan, penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan untuk mendukung dan menghargai pasangan sebagai individu yang otonom. Kesembilan, ketergantungan terhadap pasangan yang dimaksudkan agar pasangan memiliki interdependensi dimana pihak yang satu tergantung terhadap pihak yang lain, tetapi tidak berlebihan atau juga terlalu mandiri.
Status intimacy terbagi menjadi tujuh macam yang masing-masing memiliki derajat kedalaman yang berbeda-beda, yaitu isolate, stereotyped relationship, pseudointimate, merger uncommitted, merger committed, preintimate, dan intimate. Dalam mengukur status intimacy dalam hubungan ini juga terdapat 9 aspek yang patut diperhitungkan, di antaranya (1) komitmen, (2) komunikasi, (3) perhatian dan kasih sayang, (4) pengetahuan akan sifat-sifat pasangan, (5) perspective-taking, (6) kekuasaan dan pengambilan keputusan, (7) kemampuan memertahankan minat-minat pribadi, (8) penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan, dan (9) ketergantungan terhadap pasangan. Selain itu sebagai pasangan yang akan menikah dan memiliki pekerjaan, kesibukan pekerjaan juga dapat berdampak terhadap hubungan pasangan.
(21)
12
Universitas Kristen Maranatha Wanita peserta KPP dengan status isolate pada umumnya kurang mampu menjalin relasi sosial yang hangat dan mendalam dengan individu lain sehingga mereka tidak berani terlibat dalam relasi berpacaran. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi wanita peserta KPP yang isolate untuk menjalin relasi berpacaran. Dalam menjalin hubungan dengan pasangannya, wanita peserta KPP yang isolate lebih menarik diri, kurang mampu mengekspresikan perasaan pada pasangannya, kurang mampu bersikap toleran atau menerima perbedaan yang ada pada diri pasangannya serta tidak mau mempercayai dirinya sendiri maupun pasangannya. Hal ini dapat dijumpai pada wanita peserta KPP yang belum terlalu mengenal pasangannya dan bukan menikah karena kemauannya, seperti contohnya wanita yang dibawa dari luar pulau tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan untuk dinikahkan.
Wanita peserta KPP dengan status stereotyped relationship memiliki derajat komitmen yang sedang dilihat dari durasi berpacarannya dan rendahnya kualitas relasi berpacaran tersebut. Relasi berpacaran mereka cenderung dangkal dan konvensional. Selain itu, derajat komunikasi personal, kedekatannya terhadap pasangan, kasih sayang, kepedulian, kekuasaan dalam pengambilan keputusan, perspective-taking, serta pengetahuan akan pasangannya berada pada taraf rendah. Derajat penerimaan terhadap keterpisahan pasangan, memertahankan minat pribadi, dan ketergantungan terhadap pasangan sedang. Hubungan yang dijalin menjadi kurang hangat, kurang terbuka, dan kurang mendalam (superficial), komunikasi jarang terjadi, dan hubungan dijalin oleh satu pihak atau kurang menekankan pada apa yang dapat diperoleh dari pasangannya. Kasus seperti ini dapat terlihat pada wanita peserta KPP yang belum berpacaran terlalu lama dengan pasangannya, biasanya di bawah 1 tahun sehingga ia belum terlalu mengenal pasangan dan belum dapat memercayainya untuk dapat mengekspresikan diri seutuhnya.
(22)
13
Universitas Kristen Maranatha Hal ini berbeda pada wanita dengan status pseudointimate yang telah memiliki relasi heteroseksual yang permanen, tetapi relasinya tidak disertai kedekatan dan kedalaman; pengetahuan akan sifat-sifat pasangannya juga cenderung terbatas dan dangkal karena tidak terbiasa berbagi perasaan dengan pasangannya. Komunikasi, baik intrapersonal maupun interpersonal, kasih sayang dan kepedulian, perspective-taking, kekuatan dan pengambilan keputusan berada pada derajat sedang. Ia kurang mengetahui sifat pasangannya, namun mampu memertahankan minat pribadi, menerima keterpisahan dengan pasangannya, dan memelihara hubungan yang interdependen. Contoh dari status ini dapat dilihat dari wanita peserta KPP yang sudah dijodohkan sejak kecil oleh orangtuanya sehingga ia telah mengenal pasangannya namun tidak berniat untuk terbuka kepada pasangannya dikarenakan pemilihan pasangan bukan berdasarkan kehendak hatinya sesuai hakikat pernikahan yang sesungguhnya, yaitu tanpa paksaan.
Berikutnya, wanita peserta KPP dengan status merger tampak mampu melibatkan diri secara mendalam, namun masih bergantung pada individu lain dan memiliki persepsi yang tidak realistis tentang individu lain untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Status merger terbagi dua, yaitu merger uncommitted dan merger committed. Wanita dengan status merger uncommitted tidak terlibat dalam suatu relasi berpacaran jangka panjang sedangkan yang berstatus merger committed terlibat dalam relasi berpacaran jangka panjang, maka dari itu peserta KPP yang sudah mengambil langkah lebih jauh menuju kehidupan pernikahan setidaknya sudah berstatus merger committed.
Wanita peserta KPP berstatus merger uncommitted tampak dari sulitnya ia untuk berjauhan dengan pasangannya dan tampak tergantung, namun sesungguhnya belum siap dan belum yakin untuk menikah dikarenakan belum bisa berkomitmen penuh untuk hubungan yang sakral ini. Ia sudah mampu membina komunikasi dan kasih sayang yang mendalam. Pengetahuan akan sifat pasangan, perspective-taking, kekuasaan dan
(23)
14
Universitas Kristen Maranatha pengambilan keputusan, dan memertahankan minat pribadi berada pada derajat yang rendah. Dalam pengambilan keputusan, salah satu pasangan akan lebih mengikuti pilihan pasangannya yang lain serta kurang memerhatikan minatnya sendiri. Ia lebih mengikuti KPP untuk mengetahui tata cara pernikahan dalam agama Katolik (berdasarkan survey awal pada wanita peserta KPP bulan April 2015) atau karena diminta oleh pasangannya.
Wanita peserta KPP dengan status preintimate telah mampu menjalin suatu relasi yang terbuka, menerima, penuh perhatian, saling menghormati, mengetahui serta memahami minat-minat serta sifat-sifat pasangannya, mengerti sudut pandang pasangan, juga kekuasaan dan pengambilan keputusan yang adekuat, namun demikian komitmen, memertahankan minat pribadi, dan toleransi terhadap keterpisahan dengan pasangan dalam relasi ini masih berada pada derajat sedang. Wanita dengan status ini juga dapat dijumpai pada KPP bulan April 2015 dimana ia sudah menjalin relasi berpacaran cukup lama bersama pasangannya, misalnya 2 sampai 8 tahun, tetapi sesungguhnya belum yakin bilamana pasangannya akan menjadi suaminya.
Status intimacy yang paling dalam adalah intimate dimana wanita yang memiliki status ini menampilkan perilaku yang terbuka, bertanggungjawab terhadap pasangannya, memerhatikan pasangannya, menghormati integritas dirinya serta pasangannya. Wanita peserta KPP dengan status intimate tidak ragu untuk menjalin relasi jangka panjang dan berkomitmen pada relasi yang dijalaninya tersebut. Ia berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan pasangannya, memerhatikan dan menghargai pasangan, mengenal sifat-sifat serta pola pikir pasangannya dan tetap menerimanya apa adanya. Bila berpisah dengan pasangannya, ia juga masih dapat menoleransinya karena percaya dan memahami pasangannya sepenuhnya. Mereka masih dapat melakukan kegiatan masing-masing dan tetap menjalin relasi yang dekat satu sama lain. Kekuasaan dan pengambilan keputusan pun dilakukan secara adil antara kedua belah pihak. Hal ini terlihat dari wanita peserta
(24)
15
Universitas Kristen Maranatha KPP yang mengikuti KPP dengan tujuan mempersiapkan pernikahan dengan pasangannya saat itu dan akan segera melaksanakan pernikahan di gereja Katolik.
Status intimacy pasangan yang mengikuti KPP akan tercermin melalui kualitas relasi yang sedang dijalani selama melakukan persiapan tersebut. Sebagai peserta KPP, pasangan diharapkan telah mulai melakukan berbagai langkah serta persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga. Karena itulah, wanita peserta KPP diharapkan telah mampu menjalin relasi yang hangat, mendalam, terbuka, juga disertai komitmen dengan pasangannya yang pada penelitian ini disebut intimate. Harapannya, wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung sebagai individu yang akan segera menikah memiliki status intimacy yang intimate.
(25)
16 Un iv er sitas Kri sten M ar anat h a Aspek : 1. Komitmen 2. Komunikasi
3. Perhatian dan kasih sayang
4. Pengetahuan akan sifat-sifat pasangan 5. Perspective-taking
6. Kekuasaan dan pengambilan keputusan 7. Mempertahankan minat-minat pribadi
8. Penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan 9. Ketergantungan terhadap pasangan
Wanita yang mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan di Gereja “X”
Status Intimacy Stereotyped relationship Pseudointimate Merger uncommitted Merger committed Preintimate Intimate Isolate
(26)
17
Universitas Kristen Maranatha
1.6Asumsi
1) Wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung berkemungkinan lebih besar untuk memiliki status intimacy intimate, preintimate, dan merger-committed.
2) Status intimacy ditentukan oleh sembilan aspek yang saling berkaitan, yaitu komitmen, komunikasi, perhatian dan kasih sayang, pengetahuan akan sifat-sifat pasangan, perspective-taking, kekuasaan dan pengambilan keputusan, kemampuan memertahankan minat-minat pribadi, penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan, dan ketergantungan terhadap pasangan.
(27)
Universitas Kristen Maranatha 73
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa simpulan, sebagai berikut.
1. Status intimacy wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung adalah Preintimate (48%), Intimate (22%), Merger-committed (17%), dan Pseudointimate (13%).
2. Aspek-aspek status intimacy wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung berada pada derajat tinggi, kecuali aspek kekuasaan dan pengambilan keputusan (74%), penerimaan terhadap keterpisahan dengan pasangan (78%), dan ketergantungan terhadap pasangan (52%) yang berada pada derajat sedang.
3. Usia dan lamanya berpacaran tidak berpengaruh secara langsung dalam menentukan status intimacy wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung sedangkan penghayatan wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung mengenai derajat keterbukaan dan derajat ketergantungan mendukung pencapaian status intimacy wanita peserta KPP di Gereja “X” Bandung yang lebih intimate.
5.2 Saran
Melihat hasil yang didapat dari penelitian, maka penulis memberi beberapa saran sebagai berikut:
5.2.1 Saran Teoretis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan mengenai gambaran status intimacy, khususnya pada wanita yang akan menikah.
(28)
74
Universitas Kristen Maranatha
Kepada rekan-rekan yang bermaksud melanjutkan penelitian ini, peneliti menyarankan untuk menguji hubungan model dari 9 aspek untuk menentukan aspek yang berpengaruh paling tinggi terhadap status intimacy.
Peneliti juga menyarankan untuk meneliti status intimacy pada pria dan wanita serta kemungkinan adanya faktor perbedaan budaya yang menyebabkan perbedaan derajat aspek-aspek penentu status intimacy pada penelitian ini dibandingkan teori.
5.2.2 Saran Praktis
Bagi kaum wanita, khususnya yang sedang menjalin relasi berpacaran dan mempertimbangkan untuk menikah dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi dalam menjalin hubungan dengan pasangan agar relasi yang dijalin lebih sehat, hangat, dan terbuka sehingga lebih mampu mengenal kelebihan dan kekurangan pasangan serta menemukan keunikan pasangan, dan tentunya disertai komitmen jangka panjang.
Bagi konselor keluarga dapat memakai hasil penelitian ini sebagai informasi dalam melakukan konseling terhadap wanita dan pasangannya agar lebih mengetahui status intimacy diri serta bagaimana membina hubungan yang hangat dan mendalam dengan pasangan.
Bagi pihak penyelenggara KPP untuk menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi dalam menentukan materi yang akan disampaikan untuk membina pasangan-pasangan yang akan menikah agar lebih terbuka dalam berkomunikasi dan memiliki intimacy yang lebih dalam.
(29)
i
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI STATUS
INTIMACY
PADA WANITA
YANG MENGIKUTI KURSUS PERSIAPAN PERNIKAHAN DI
GEREJA “X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
REGINA MICHELLE NRP: 1230028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
(30)
(31)
(32)
vii PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Skripsi pada semester VIII di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dengan judul “Studi Deskriptif mengenai
Status Intimacy pada Wanita yang Mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan di Gereja “X”
Bandung”. Peneliti memahami bahwa tugas ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan, karena itu peneliti sangat mengharapkan dan terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca.
Dalam penyusunan tugas ini, peneliti mendapatkan bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Irene P. Edwina, M. Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, Psikolog selaku dosen koordinator mata kuliah Usulan Penelitian dan Skripsi.
3. Dr. Jacqueline M. Tj., M. Si., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Renattasha Christanto, S. Psi., MA selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu memberikan saran, dukungan, arahan, dan bantuan kepada peneliti.
5. Dra. Endeh Azizah, M. Si., Psikolog dan Cindy Maria, M. Psi., Psikolog sebagai dosen pembahas yang telah membantu memberikan masukan saat seminar Usulan Penelitian.
(33)
viii
6. Dr. Henndy Ginting, M. Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya, M. Si., Psikolog, Dra. Fifie Nurofia, Psikolog, MM selaku dosen penguji yang membantu memberikan masukan terhadap penelitian ini.
7. Pihak penyelenggara KPP Gereja “X” yang memberikan informasi mengenai kegiatan KPP dan keadaan sampel penelitian kepada peneliti, serta seluruh responden yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. 8. Pak Yudi, Ibu Nellyke, Ibu Trislowati, Ibu Idah, Pak Juhara, dan Pak Widhi selaku
staff Tata Usaha Fakultas Psikologi UKM yang telah bersedia direpotkan dan membantu peneliti dalam melengkapi berbagai keperluan administrasi.
9. Bapak Gregorius Bambang Rudyono Hendro dan Ibu Fenny Sugono selaku orangtua peneliti dan Monica Deandra serta Eduardus Erico Gerard selaku adik peneliti yang selalu mendukung dan mendoakan peneliti.
10. Forum Garis yang meliputi Gabriela Anggraini, Adriana Enge, Fransisca Andina, Miranti Djajakusumah, Melisa Afandi, dan keluarga Xandy, terutama Ikey yang selalu memberikan dukungan, semangat, saran, doa, dan bantuan kepada peneliti dalam pengerjaan tugas ini.
11. Marsha dan Ruth selaku mahasiswa pembahas yang membantu memberikan masukan dan semangat kepada peneliti, serta seluruh teman-teman yang telah hadir dan mendukung peneliti dalam seminar Usulan Penelitian dan sidang Sarjana Psikologi, terutama Hans dan Stevina yang membantu peneliti dalam merevisi tugas ini.
12. Sheila Vanouchka sebagai teman seperjuangan yang merupakan mahasiswi bimbingan Ibu Jacqueline dan teman-teman di Fakultas Psikologi UKM.
13. Pihak-pihak lain yang memberikan dukungan, semangat, arahan, kritik, saran, dan bantuan lainnya kepada peneliti yang tidak dapat disebutkan oleh peneliti satu per satu.
(34)
ix
Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
Bandung, Agustus 2016
(1)
i
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI STATUS
INTIMACY
PADA WANITA
YANG MENGIKUTI KURSUS PERSIAPAN PERNIKAHAN DI
GEREJA “X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
REGINA MICHELLE NRP: 1230028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
(2)
(3)
(4)
vii
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Skripsi pada semester VIII di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dengan judul “Studi Deskriptif mengenai Status Intimacy pada Wanita yang Mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan di Gereja “X” Bandung”. Peneliti memahami bahwa tugas ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan, karena itu peneliti sangat mengharapkan dan terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca.
Dalam penyusunan tugas ini, peneliti mendapatkan bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Irene P. Edwina, M. Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, Psikolog selaku dosen koordinator mata kuliah Usulan Penelitian dan Skripsi.
3. Dr. Jacqueline M. Tj., M. Si., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Renattasha Christanto, S. Psi., MA selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu memberikan saran, dukungan, arahan, dan bantuan kepada peneliti.
5. Dra. Endeh Azizah, M. Si., Psikolog dan Cindy Maria, M. Psi., Psikolog sebagai dosen pembahas yang telah membantu memberikan masukan saat seminar Usulan Penelitian.
(5)
viii
6. Dr. Henndy Ginting, M. Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya, M. Si., Psikolog, Dra. Fifie Nurofia, Psikolog, MM selaku dosen penguji yang membantu memberikan masukan terhadap penelitian ini.
7. Pihak penyelenggara KPP Gereja “X” yang memberikan informasi mengenai kegiatan KPP dan keadaan sampel penelitian kepada peneliti, serta seluruh responden yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. 8. Pak Yudi, Ibu Nellyke, Ibu Trislowati, Ibu Idah, Pak Juhara, dan Pak Widhi selaku
staff Tata Usaha Fakultas Psikologi UKM yang telah bersedia direpotkan dan membantu peneliti dalam melengkapi berbagai keperluan administrasi.
9. Bapak Gregorius Bambang Rudyono Hendro dan Ibu Fenny Sugono selaku orangtua peneliti dan Monica Deandra serta Eduardus Erico Gerard selaku adik peneliti yang selalu mendukung dan mendoakan peneliti.
10. Forum Garis yang meliputi Gabriela Anggraini, Adriana Enge, Fransisca Andina, Miranti Djajakusumah, Melisa Afandi, dan keluarga Xandy, terutama Ikey yang selalu memberikan dukungan, semangat, saran, doa, dan bantuan kepada peneliti dalam pengerjaan tugas ini.
11. Marsha dan Ruth selaku mahasiswa pembahas yang membantu memberikan masukan dan semangat kepada peneliti, serta seluruh teman-teman yang telah hadir dan mendukung peneliti dalam seminar Usulan Penelitian dan sidang Sarjana Psikologi, terutama Hans dan Stevina yang membantu peneliti dalam merevisi tugas ini.
12. Sheila Vanouchka sebagai teman seperjuangan yang merupakan mahasiswi bimbingan Ibu Jacqueline dan teman-teman di Fakultas Psikologi UKM.
13. Pihak-pihak lain yang memberikan dukungan, semangat, arahan, kritik, saran, dan bantuan lainnya kepada peneliti yang tidak dapat disebutkan oleh peneliti satu per satu.
(6)
ix
Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
Bandung, Agustus 2016