Perlindungan Hukum Bagi Terdakwa Dari Kekerasan Sebagai Aksi Main Hakim Sendiri di Pengadilan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERDAKWA DARI KEKERASAN SEBAGAI
AKSI MAIN HAKIM SENDIRI DI PENGADILAN DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA
PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
AJI PERI SANDRIA
110111090051
ABSTRAK
Salah satu hak terdakwa diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum, khususnya jiwa dan raga terdakwa. Negara
memberikan perlindungan hukum melalui aparat penegak hukumnya,
seperti kepolisian. Namun dalam kenyataannya, terdakwa yang seharusnya
dilindungi justru mendapatkan kekerasan sebagai aksi main hakim sendiri
di pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus
kekerasan sebagai aksi main hakim sendiri di pengadilan. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai manajemen
proses perlindungan bagi terdakwa di pengadilan dihubungkan dengan
prinsip diferensiasi fungsional dan prinsip saling koordinasi, faktor-faktor
yang menjadi kendala dalam proses perlindungan terhadap terdakwa di
pengadilan, serta pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap
petugas yang tidak dapat menjaga keselamatan terdakwa di pengadilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang menitikberatkan pada
penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka
dengan menggunakan data sekunder. Penelitian yang penulis susun
termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan penarikan
kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan dengan metode analisis data
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini,
disimpulkan bahwa manajemen proses perlindungan bagi terdakwa di
pengadilan belum seluruhnya sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional
dan prinsip saling koordinasi karena masih terdapat anggota kepolisian
yang tidak melaksanakan pengarahan dan pengendalian yang diberikan.
Faktor utama yang menjadi kendala dalam proses perlindungan terhadap
terdakwa dapat dilihat dari kepolisian yang tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik, serta adanya keinginan balas dendam dan
merosotnya rasa hormat terhadap pengadilan dari masyarakat. Anggota
kepolisian yang lalai dalam melakukan pengamanan dapat dimintai
pertanggungjawaban administrasi disiplin berupa teguran tertulis, dan
apabila telah melakukan tindakan indisipliner sebanyak tiga kali dapat
diberhentikan dari dinas kepolisian melalui sidang kode etik profesi.
iv
AKSI MAIN HAKIM SENDIRI DI PENGADILAN DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA
PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
AJI PERI SANDRIA
110111090051
ABSTRAK
Salah satu hak terdakwa diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum, khususnya jiwa dan raga terdakwa. Negara
memberikan perlindungan hukum melalui aparat penegak hukumnya,
seperti kepolisian. Namun dalam kenyataannya, terdakwa yang seharusnya
dilindungi justru mendapatkan kekerasan sebagai aksi main hakim sendiri
di pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus
kekerasan sebagai aksi main hakim sendiri di pengadilan. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai manajemen
proses perlindungan bagi terdakwa di pengadilan dihubungkan dengan
prinsip diferensiasi fungsional dan prinsip saling koordinasi, faktor-faktor
yang menjadi kendala dalam proses perlindungan terhadap terdakwa di
pengadilan, serta pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap
petugas yang tidak dapat menjaga keselamatan terdakwa di pengadilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang menitikberatkan pada
penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka
dengan menggunakan data sekunder. Penelitian yang penulis susun
termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan penarikan
kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan dengan metode analisis data
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini,
disimpulkan bahwa manajemen proses perlindungan bagi terdakwa di
pengadilan belum seluruhnya sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional
dan prinsip saling koordinasi karena masih terdapat anggota kepolisian
yang tidak melaksanakan pengarahan dan pengendalian yang diberikan.
Faktor utama yang menjadi kendala dalam proses perlindungan terhadap
terdakwa dapat dilihat dari kepolisian yang tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik, serta adanya keinginan balas dendam dan
merosotnya rasa hormat terhadap pengadilan dari masyarakat. Anggota
kepolisian yang lalai dalam melakukan pengamanan dapat dimintai
pertanggungjawaban administrasi disiplin berupa teguran tertulis, dan
apabila telah melakukan tindakan indisipliner sebanyak tiga kali dapat
diberhentikan dari dinas kepolisian melalui sidang kode etik profesi.
iv