PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dengan adanya pendidikan sebagai suatu kekuatan dinamis serta mempercepat perkembangan. Pendidikan merupakan keharusan bagi eksistensi manusia. Pendidikan memegang peranan utama dalam kemajuan suatu bangsa. Karena pendidikan maka akan tercipta masa depan suatu bangsa yang maju. Dalam hal ini, suatu bangsa membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan bernalar tinggi serta memiliki kemampuan untuk memproses dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat.

Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah reformasi dalam pembelajaran matematika yang telah dicantumkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Tingkat ketercapaian pelaksanaan reformasi pendidikan dan pembelajaran matematika tersebut dapat diketahui melalui pelaksanaan evaluasi pada berbagai tingkat pendidikan, seperti pada evaluasi Ujian Nasional (UN). Pada pasal 3 PP No. 20 Tahun 2005, UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.


(2)

2

Seringkali hasil dari ujian nasional, terutama pada pembelajaran matematika Sekolah Dasar dijadikan satu-satunya indikator kemampuan matematika siswa Sekolah Dasar. Meskipun demikian, jika dilihat dari soal-soal yang disajikan dalam UN, tampak bahwa pada umumnya soal-soal itu adalah merupakan soal-soal rutin, bukan soal pemecahan masalah atau masalah kontekstual. Bahkan pada UN Sekolah Dasar soal-soal rutin mendominasi lebih dari 75% dari seluruh soal yang tersedia (Departemen Pendidikan Nasional, 2001). Hal ini berarti bahwa jika rata-rata hasil UN matematika Sekolah Dasar relatif lebih baik dari suatu bidang studi lain, seperti IPS misalnya, belum dapat dijadikan indikator penguasaan siswa terhadap soal-soal cerita matematika telah baik. Hal ini diperkuat dengan kenyataan posisi siswa Indonesia dalam laporan Trends International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2007 dan jenis soal-soal yang disajikannya didominasi oleh pemecahan masalah termasuk masalah-masalah kontekstual. Sampai saat ini soal atau masalah realistik dalam matematika masih merupakan isu yang cukup menarik. Hal ini karena jenis soal tersebut masih merupakan soal yang sulit, baik ditinjau dari sisi guru (bagaimana mengajarkannya) maupun dari sisi siswa (bagaimana menyelesaikannya).

Hasil TIMSS di atas dapat dijadikan sebagai informasi bahwa masih banyak siswa yang tidak bisa menjawab materi ujian matematika yang berstandar internasional. Jika dilihat dari materi yang diujikan, materi tes yang diberikan merupakan soal-soal tidak rutin (masalah matematis yang membutuhkan kemampuan penalaran). Soal seperti itu belum dibiasakan pada siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah. Selama ini, penekanan pembelajaran


(3)

matematika adalah pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal rutin. Siswa hanya mengerjakan soal latihan yang langsung diselesaikan dengan menggunakan rumus dan algoritma yang sudah diberikan sehingga siswa hanya dilatih mengingat. Konsekuensinya adalah jika mereka diberikan soal tidak rutin, mereka melakukan banyak kesalahan. Akibatnya, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di Indonesia masih kurang, padahal dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah sangat penting.

Pernyataan di atas juga dibuktikan, ketika peneliti mencoba melakukan uji coba instrumen tentang keliling dan luas persegi dan persegi panjang yang dilakukan pada salah satu Sekolah Dasar Negeri. Soal tersebut meliputi 6 tidak rutin (soal-soal cerita) dan 4 rutin. Dari hasil jawaban siswa menunjukkan bahwa 85% siswa dapat menjawab dengan baik soal-soal rutin, sedangkan untuk soal tidak rutin hanya mampu dijawab 15% siswa.

Menurut Nasution (2000), pemecahan masalah dapat dipandang sebagai proses siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang baru. Siswa yang terlatih dengan pemecahan masalah akan terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Keterampilan itu akan menimbulkan kepuasan intelektual dalam diri siswa, meningkatkan potensi intelektual, dan melatih siswa bagaimana melakukan penelusuran melalui penemuan. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang harus mendapat perhatian, mengingat peranannya yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi intelektual siswa.


(4)

4

Agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, maka diperlukan sikap matematis siswa yang baik pula, diantaranya adalah menyenangi matematika, menghargai keindahan matematika, memiliki keingintahuan yang tinggi dan senang belajar matematika. Dengan sikap yang demikian, siswa diharapkan dapat terus mengembangkan matematika, menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam hidupnya, dan dapat mengembangkan disposisi matematis siswa. Jadi, kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa saling terkait.

Disposisi matematis siswa terhadap matematika tampak ketika siswa menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri, tanggung jawab, tekun, pantang putus asa, merasa tertantang, memiliki kemauan untuk mencari cara lain dan melakukan refleksi terhadap cara berpikir yang telah dilakukan. Hal ini sejalan dengan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989: 233), yang menyatakan bahwa,

The assessment of students’ mathematical disposition should seek information about their:

1. Confidence in using mathematics to solve problems, to communicate ideas,

and to reason;

2. Flexibility in exploring mathematical ideas and trying alternative methods

in solving problems;

3. Willingness to persevere in mathematical tasks;

4. Interest, curiosity, and inventiveness in doing mathematics;

5. Inclination to monitor and reflect on their own thinking and performance;

6. Valuing of the application of mathematics to situations arising in other disciplines and everyday experiences;

7. Appreciation of the role of mathematics in our culture and its value as a tool and as a language.

Penilaian dari disposisi matematis di atas termuat dalam ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika berdasarkan Kurikulum 2006, yaitu,


(5)

“peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 346).

Dari penilaian ranah afektif seperti dikemukakan dalam Kurikulum 2006 tersebut, dapat diketahui betapa pentingnya peningkatan disposisi matematis dalam proses belajar mengajar matematika. Dalam proses belajar mengajar, disposisi matematis siswa dapat dilihat dari keinginan siswa untuk merubah strategi, melakukan refleksi, dan melakukan analisis sampai memperoleh suatu solusi. Disposisi siswa terhadap matematika dapat diamati dalam diskusi kelas. Misalnya, seberapa besar keinginan siswa untuk menjelaskan solusi yang diperolehnya dan mempertahankan penjelasannya. Namun demikian, perhatian guru dalam proses belajar mengajar terhadap disposisi matematis siswa masih kurang.

Hal ini didukung juga oleh studi pendahuluan, bahwa sebanyak 297 siswa di kota Palembang menunjukkan persentase perolehan skor rerata disposisi matematis siswa baru mencapai 58 persen yang diklasifikasikan rendah. Selain itu, dilihat dari proses pembelajaran yang digunakan guru masih dominan menggunakan pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini, guru di pandang sebagai sumber pengetahuan dan siswa hanya perlu menerima pengetahuan tersebut tanpa harus terlibat secara maksimal dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir matematis siswa sebagaimana dijelaskan di atas.


(6)

6

Menurut Polla (2001: 48), “pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya”. Saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat sulit dan menakutkan, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan mendasar dalam pembelajaran matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan pendekatannya. Ini berarti, perlu dilakukan reformasi dalam pendekatan pembelajaran matematika dari kegiatan biasanya yang terpusat pada guru ke situasi yang menjadikan pusat perhatian adalah siswa. Guru sebagai fasilitator dan pembimbing, sedangkan siswa sebagai yang dibimbing tidak hanya menyalin mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.

Pendekatan pembelajaran matematika yang digunakan guru cenderung dilakukan dengan cara: “(1) guru menjelaskan pengertian konsep dalam matematika; (2) memberikan dan membahas contoh soal dari konsep tersebut; (3) menyampaikan dan membahas soal-soal aplikasi dari konsep; (4) membuat rangkuman; dan (5) memberikan tugas berupa pekerjaan rumah (PR).” (Haji, 2004: 6).

Sama halnya yang dikemukakan oleh Mulyana (2009), pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru matematika memiliki pola sebagai berikut: (1) guru menerangkan suatu konsep atau mendemonstrasikan keterampilan dengan ceramah, dan siswa diberikan kesempatan bertanya; (2) guru memberikan contoh penggunaan konsep atau prosedur menyelesaikan soal; (3) siswa berlatih menyelesaikan soal-soal secara individual atau bersama teman sebangku, sedikit


(7)

tanya jawab; dan (4) mencatat materi yang diajarkan dan soal-soal pekerjaan rumah. Pendekatan pembelajaran matematika seperti yang dikemukakan Haji dan Mulyana, sering disebut sebagai pembelajaran matematika konvensional. Melalui pendekatan seperti di atas, kreativitas siswa kurang berkembang. Akibatnya, prestasi siswa dalam mata pelajaran matematika rendah dan siswa kurang menyenangi matematika.

Berdasarkan pendapat di atas, rendahnya prestasi matematika siswa dewasa ini sangat tergantung pada peran seorang guru sebagai pentransfer ilmu yakni dalam hal ini ialah matematika. Masih banyak guru matematika menyandarkan pemilihan bahan ajar hanya dari buku teks yang telah dipaket secara rapi dan baku. Dalam keadaan seperti ini, alternatif penafsiran terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar siswa tidak terperhatikan sebagaimana mestinya.

Praktik pembelajaran yang kurang memperhatikan masalah-masalah sekitar siswa ini tampaknya tidak akan efektif membekali siswa kemampuan pemecahan masalah yang kompleks yang ada dalam kehidupan nyata di luar kelas. Di samping itu, masih banyak guru yang beranggapan bahwa tugas utama mengajar matematika adalah memperkenalkan kepada siswa konsep-konsep dan algoritma-algoritma untuk menyelesaikan soal-soal matematika.

Dalam lingkungan belajar seperti ini, upaya siswa menyusun cara-cara baru menyelesaikan masalah matematika kurang memperoleh perhatian dibanding dengan kemampuan mereproduksi jawaban berdasarkan atas algoritma standar yang pernah disampaikan guru. Keadaan seperti ini tampaknya kurang memberi


(8)

8

peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi pemahaman baru terhadap masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar siswa. Salah satu nilai matematika yang diajarkan di sekolah yang terpenting adalah kegunaannya dalam kehidupan nyata. Dengan menampakkan keterkaitan matematika dengan kejadian-kejadian dalam dunia nyata, maka matematika akan dirasakan lebih bermanfaat. Oleh karena itu, salah satu sasaran pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan matematika yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).

Mengacu pada argumentasi di atas, timbul pertanyaan upaya apa yang dapat ditempuh agar (1) pembelajaran berlangsung optimal; (2) pembelajaran lebih bermakna; (3) mahasiswa belajar secara koperatif; (4) manfaat dari belajar matematika dapat lebih dirasakan oleh siswa; dan (5) kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa dapat meningkat. Salah satu cara dan ini yang sering ditempuh oleh pemerintah adalah menyempurnakan atau merevisi kurikulum. Dari sisi akademis, merevisi atau mengubah kurikulum dengan maksud memperbaiki kualitas pendidikan cukup beralasan karena menurut Saylor (Sanjaya, 2009), kurikulum dan pengajaran itu seperti Romeo dan Juliet. Artinya, berbicara tentang Romeo adalah berbicara juga tentang Juliet. Romeo tidak akan berarti apa-apa tanpa Juliet dan juga sebaliknya. Tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, dan pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.


(9)

Bila dicermati lebih jauh, walaupun kurikulum disempurnakan atau direvisi, pembelajaran dikombinasikan dengan berbagai pola, ternyata hasil belajar matematika tetap saja tidak berbeda jauh bahkan sebagian orang menganggap tetap saja rendah. Alternatif yang diusulkan agar (1) pembelajaran berlangsung optimal; (2) pembelajaran lebih bermakna; (3) mahasiswa belajar secara koperatif; (4) manfaat dari belajar matematika dapat lebih dirasakan oleh mahasiswa; dan (5) kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa dapat meningkat adalah mengubah pendekatan atau model.

Mengubah model atau pendekatan pembelajaran itu sangat mungkin untuk dilaksanakan mengingat: (1) pemilihan pendekatan atau model pembelajaran merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki guru sehingga guru dapat melaksanakan model atau pendekatan yang telah dipilihnya; (2) negara-negara yang maju dalam bidang matematika telah menerapkan pendekatan pembelajaran yang mendukung kemampuan pemecahan masalah.

Salah satu strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan dan meningkatkan hasil belajar, kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa adalah pendekatan realistik yang pertama kali dikembangkan di Belanda sejak awal tahun 70-an. Pendekatan realistik dimaksudkan agar ide proses matematisasi berkaitan erat dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan masalah-masalah yang di desain secara khusus (Freudenthal, dalam Suryadi, 2007).


(10)

10

Prinsip aktivitas dalam pendekatan realistik yang memberikan penekanan pada pentingnya siswa untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kegiatan bermatematika, nampaknya dapat memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis mereka. Prinsip aktivitas yang sekaligus dapat mendorong terlaksananya prinsip interaksi, memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, karena aspek-aspek berpikir seperti matematisasi situasi, melakukan analisis, melakukan interpretasi, mengembangkan model sendiri, memberikan argumen matematis, dan membuat generalisasi pada hakekatnya merupakan rangkaian aktivitas bermatematika (Suryadi, 2007).

Paparan di atas tentang pembelajaran dengan pendekatan realistik menunjukkan bahwa pendekatan realistik berpotensi mengembangkan kompetensi berpikir matematis, yaitu pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, koneksi, komunikasi, representasi dan disposisi matematis siswa. Ini berarti pembelajaran dengan pendekatan realistik sangat urgent untuk dilaksanakan dalam pembelajaran matematika.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan

kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional?


(11)

2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan disposisi matematis antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional? 3. Adakah keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan

pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

masalah antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional.

2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan disposisi matematis antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional.

3. Untuk mengetahui adakah hubungan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah dengan disposisi matematis siswa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagi guru, menambah pengetahuan tentang strategi pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dan disposisi matematis.

2. Bagi siswa, dapat berpotensi untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.


(12)

12

3. Sumbangan pemikiran dalam upaya perbaikan mutu pendidikan belajar mengajar matematika khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dan disposisi matematis.

4. Sumbangan pemikiran bagi pengembangan penelitian pengajaran

matematika lebih lanjut.

5. Memberikan gambaran tingkat kemampuan pemecahan masalah dan

disposisi matematis siswa.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. H1 : µ1≠µ2

Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan realistik dan yang belajar dengan menggunakan pendekatan konvensional. 2. H1 : µ1≠µ2

Terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan realistik dan yang belajar dengan menggunakan pendekatan konvensional.

3. H1 : ρ≠ 0

Terdapat keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.


(13)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi dengan pendekatan kuantitatif. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen (the nonequivalent control group design). Desain ini sama saja dengan desain kelompok pretes-postes, kecuali mengenai pengelompokan subjek (tidak secara acak).

Dalam pengumpulan data, teknik penelitian yang digunakan penulis adalah tes kemampuan pemecahan masalah dalam bentuk uraian, angket dengan skala likert (lima pilihan) untuk mengukur disposisi matematis, pedoman observasi disposisi matematis, dan wawancara disposisi matematis.

G. Lokasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian di Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini dianggap representatif untuk dijadikan tempat penelitian, selain karena SD ini memiliki kualitas sedang (menengah), juga letaknya yang berada dipinggiran kota, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Penelitian ini berupa penelitian kuasi eksperimen, sehingga dalam pemilihan sampel langsung dipilih dua kelompok, dan ditetapkan sebagai sampel dalam penelitian ini.


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen (eksperimen semu), oleh karena itu pelaksanaannya menggunakan siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok kontrol yang pemilihannya tidak secara acak (apa adanya). Pada kelompok eksperimen, peneliti memberi perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik, yang bertujuan untuk melihat gejala atau dampak yang ditimbulkan pada diri siswa terkait dengan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa. Selanjutnya untuk melihat gejala yang muncul pada subjek yang diberi perlakuan, diperlukan kelompok subjek pembanding yang disebut kelompok kontrol. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan, atau membandingkan nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Selain menghadirkan kelompok pembanding peneliti berupaya semaksimal mungkin melakukan pengontrolan terhadap variabel-variabel luar yang tidak menjadi fokus kajian dalam penelitian.

B. Desain dan Subjek penelitian 1. Desain Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian ini ada dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan


(15)

pendekatan konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes, dengan menggunakan instrumen tes yang sama. Menurut Sudjana (2002), penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas. Variabel bebas yaitu penerapan pembelajaran dengan pendekatan realistik, sedangkan variabel tidak bebas yaitu kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa sekolah dasar.

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa, serta keterkaitan kedua variabel tersebut yang diperoleh dari hasil uji hipotesis. Hasil penelitian di olah dari data mentah dengan mempergunakan data deskriptif, seperti median, rata-rata, standar deviasi, varians dan penyajian data dalam bentuk distribusi yang disertai grafik histogram untuk setiap variabel.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen (the nonequivalent control group design). Desain ini sama saja dengan desain kelompok pretes-postes, kecuali mengenai pengelompokan subjek (tidak secara acak). Menurut Ruseffendi (2003: 47), “pada desain eksperimen ini ada pretes, perlakuan yang berbeda, dan ada postes.” Diagram desain eksperimennya sebagai berikut:

0 X1 0

--- 0 X2 0


(16)

54

Berdasarkan diagram eksperimen penelitian di atas, maka untuk rancangan penelitian ini dapat dibuat pola seperti pada Tabel 3.1 berikut:

TABEL 3.1

RANCANGAN PENELITIAN

Kelompok Pre Test Perlakuan Post Tes

Eksperimen Kontrol

0 0

Pendekatan Realistik (X1)

Konvensional (X2)

0 0 Keterangan:

0 = Pre-Test dan postes untuk kelompok eksperimen dan kontrol X1 = Perlakuan dengan menggunakan pendekatan realistik

X2 = Perlakuan dengan menggunakan pendekatan konvensional

Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah:

a. Menentukan sampel penelitian, yaitu kelas III Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan dan memilih untuk setiap kelas masing-masing sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

b. Memberi pelatihan kepada guru tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik, dan membuat kesepakatan bahwa pembelajaran dilaksanakan oleh guru yang bersangkutan, peneliti bertugas sebagai observer dan partner guru, dan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan.

c. Setiap kelompok diberikan pretes kemudian menentukan nilai rata-rata dan standar deviasi dari tiap-tiap kelompok untuk mengetahui kesamaan


(17)

tingkat penguasaan kedua kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

d. Memberi perlakuan kepada tiap-tiap kelompok, kelompok eksperimen perlakuan yang diberikan yaitu pembelajaran dengan pendekatan realistik, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan dengan pendekatan konvensional.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III di Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang mempunyai kualitas sedang (menengah). Pemilihan tempat dalam penelitian ini dilakukan secara purposif, yaitu memilih salah satu sekolah dasar yang dikategorikan menengah di tinjau dari kriteria ranking sekolah berdasarkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2009/2010 di Dinas Pendidikan Cabang Jalaksana.

Alasan dipilihnya sekolah dengan level menengah dikarenakan pada level ini kemampuan akademik siswanya heterogen, mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi terwakili. Sedangkan pada level tinggi, siswanya cenderung dominan memiliki kemampuan akademik yang tinggi, dan pada level sekolah rendah siswanya cenderung dominan memiliki kemampuan akademik yang rendah.

Menurut Darhim (2004), sekolah yang berasal dari level tinggi (baik) cenderung memiliki hasil belajar yang lebih baik dan baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang dilakukan, demikian juga dengan


(18)

56

sekolah yang berasal dari level rendah (kurang), cenderung hasil belajarnya akan kurang baik (jelek) dan kurang (jelek) tersebut bisa terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini sekolah dengan level baik dan level rendah tidak dipilih sebagai subjek penelitian. Kriteria sekolah sedang berdasarkan ranking sekolah yang dibuat oleh Dinas Pendidikan Dasar setempat.

Penentuan level sekolah dilakukan dengan ditetapkan proporsi 50% sekolah yang berada pada level menengah, setelah 100% dikurangi 25% untuk sekolah yang berada pada level tinggi, dan bawah. Alasan penetapan 50% sekolah level menengah adalah agar peluang memperoleh sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan yang lebih heterogen dapat terpenuhi.

Adapun pemilihan kelas III didasarkan atas pertimbangan bahwa siswa berada di akhir kelas rendah dan akan memasuki tahap kelas tinggi. Dalam hal ini, pembelajaran matematika diperlukan pendekatan pembelajaran yang menarik bagi siswa, sehingga siswa akan merasa tertarik untuk belajar matematika, dan akan memudahkan untuk tahap berikutnya.

Ada beberapa alasan pemilihan subjek penelitian, yaitu:

a. Dipilih siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat dimaksudkan agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara nyata pada tempat tugas peneliti. b. Prestasi pelajaran matematika pada tahun pelajaran 2009/2010 berdasarkan

nilai UN matematika, siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, berada pada tingkat sedang pada Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, sehingga


(19)

memungkinkan untuk dilakukan pengujian pendekatan pembelajaran yang baru.

c. Dipilih siswa kelas III, dengan asumsi bahwa mereka sangat

membutuhkan pendekatan pembelajaran yang menarik di kelas rendah dan memungkinkan siswa akan mampu memahami pembelajaran matematika dengan lebih baik ketika masuk di kelas tinggi.

C. Definisi Operasional

1. Pendekatan Realistik adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan process of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri strategi atau cara penyelesaian masalah dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. 2. Pendekatan konvensional merupakan pembelajaran matematika yang biasa

digunakan guru yang didominasi oleh metode ceramah dan tanya jawab, dimana guru cenderung lebih aktif sebagai sumber informasi bagi siswa dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Guru lebih banyak berperan dalam hal menerangkan materi pelajaran, memberi contoh-contoh, serta menjawab semua permasalahan yang diajukan siswa.

3. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan siswa dalam

memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan. Dalam penelitian ini, indikator kemampuan pemecahan masalah yang diukur adalah: mengidentifikasi unsur yang diketahui dan ditanyakan,


(20)

58

membuat model matematika baik model informal maupun model formal, menentukan strategi dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah, dan menentukan jawaban yang benar.

4. Disposisi matematis siswa merupakan beliefs terhadap matematika, beliefs tentang diri sendiri dalam menguasai matematika, beliefs tentang pembelajaran matematika dan beliefs terhadap matematika dalam konteks sosial. Kecenderungan untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang positif, yang memiliki ciri: (1) menunjukkan antusias dalam belajar matematika; (2) menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar

matematika; (3) menunjukkan kegigihan dalam menghadapi

permasalahan; (4) menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar; (5) menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi; dan (6) kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.

D. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan empat macam instrumen yang terdiri dari: (1) soal tes kemampuan pemecahan masalah; (2) angket disposisi matematis siswa; (3) lembar observasi disposisi matematis siswa; dan (4) wawancara disposisi matematis siswa. Instrumen ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan instrumen, tahap penyaringan dan tahap uji coba instrumen (untuk tes kemampuan pemecahan masalah).

Pembahasan dari masing-masing instrumen penelitian sebagai berikut:


(21)

1. Tes (mengukur kemampuan pemecahan masalah)

Tes kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini berupa soal-soal pemecahan masalah yang kontekstual yang berkaitan dengan materi keliling dan luas persegi dan persegi panjang. Kemampuan pemecahan masalah siswa diukur melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual yakni mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, membuat model matematika (model formal) atau kalimat matematika, menentukan strategi dan menerapkannya dalam menyelesaikan masalah, dan menentukan hasil (jawaban) yang benar.

Tes kemampuan pemecahan masalah disusun dalam bentuk uraian. Tes ini terdiri dari sepuluh soal. Dalam penyusunan tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: a. Membuat kisi-kisi soal yang sesuai dengan standar kompetensi,

kompetensi dasar, indikator yang ada dalam silabus, dan indikator kemampuan pemecahan masalah yang diukur.

Adapun kisi-kisi soal pemecahan masalah, yaitu pada Tabel 3.2 berikut:

TABEL 3.2

KISI-KISI INSTRUMEN

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH Kompetensi

Dasar

Aspek yang diukur No.

Soal

Pendekatan Realistik Indikator

Menghitung keliling persegi dan persegi

1. Kemampuan

memahami dan mengaitkan

Pemahaman, meliputi:

1.Mengidentifikasi

3, 4, 5, 9


(22)

60

Kompetensi Dasar

Aspek yang diukur No.

Soal

Pendekatan Realistik Indikator

panjang serta penggunaannya dalam pemecahan masalah masalah dengan kehidupan sehari-hari atau dapat membayangkannya

2. Membuat model of

dan model for

data atau informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah

2.Menyusun model

matematis dari masalah yang akan diselesaikan Menghitung luas persegi dan persegi panjang serta penggunaannya dalam pemecahan masalah Menyelesaikan masalah secara informal/formal serta membuat keterkaitannya (intertwining) Strategi, penalaran, dan prosedur

1.Memilih dan

menggunakan strategi pemecahan masalah 2.Melakukan prosedur matematis untuk menyelesaikan masalah

6, 7, 8

Kemampuan

menjelaskan kembali secara mandiri atau kelompok diskusi model simbolik dari kegiatan matematis informalnya Komunikasi 1.Memberikan penjelasan terhadap strategis, konsep-konsep terkait, dan prosedur matematis yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah 2.Menggunakan representasi, istilah, atau notasi


(23)

Kompetensi Dasar

Aspek yang diukur No.

Soal

Pendekatan Realistik Indikator

matematis yang sesuai

3.Memaknai atau

mengkomunikasik an solusi

Melakukan refleksi Mengkaji/memeriksa

kembali kebenaran model atau rumus yang digunakan, langkah-langkah penyelesaian, dan hasil yang diperoleh

10

Sumber: Exemplars (Mahmudi, 2010)

b. Menyusun soal pemecahan masalah berdasarkan kisi-kisi tersebut dan membuat contoh kunci jawaban. Adapun soal pemecahan masalah beserta kunci jawaban secara lengkap disajikan pada lampiran A.2 dan A.4.

c. Menilai validitas isi soal pemecahan masalah yang berkaitan dengan kesesuaian antara indikator dengan soal, validitas konstruk, dan kebenaran kunci jawaban oleh dosen pembimbing, mahasiswa S2 UPI, dan guru Sekolah Dasar kelas III.

d. Mempertimbangkan keterbacaan soal yang dilakukan oleh dosen pembimbing, mahasiswa S2 UPI, dan guru Sekolah Dasar kelas III, untuk mengetahui apakah soal-soal tersebut dapat dipahami baik atau tidak oleh siswa. Dalam hal ini juga dilakukan uji coba soal terhadap siswa kelas IV untuk mengetahui keterbacaan siswa terhadap soal tersebut.


(24)

62

e. Melakukan uji coba tes yang dilanjutkan dengan menghitung validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembedanya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah tes (soal) yang akan digunakan dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat atau belum.

f. Membuat level skor yang diberikan yaitu 0 sampai 4. Pedoman penskoran tes kemampuan pemecahan masalah disajikan pada Tabel 3.3 berikut:

TABEL 3.3

PEDOMAN PENSKORAN TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH Skor Pemahaman Strategi dan

Prosedur Komunikasi

1 Menuliskan

data, informasi dan model matematika yang tidak tepat terkait masalah yang akan diselesaikan.

- Menggunakan

strategi pemecahan masalah yang tidak tepat.

- Melakukan banyak kesalahan prosedur matematis sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi akhir yang tidak sesuai.

Memberikan

penjelasan yang tidak tepat terhadap strategi dan prosedur

matematis yang dilakukan, serta tidak menginterpretasikan solusi atau

menginterpretasikan solusi secara tidak tepat.

2 Menuliskan

data, informasi, dan model matematika yang sesuai untuk menyelesaikan masalah, tetapi kurang lengkap. - Menggunakan strategi pemecahan masalah yang sesuai, tetapi kurang efisien. - Melakukan prosedur matematis secara tidak lengkap sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi - Memberikan penjelasan yang kurang lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tidak tepat.

- Menggunakan

representasi, terminologi, atau notasi matematik


(25)

Skor Pemahaman Strategi dan

Prosedur Komunikasi

akhir yang tidak sesuai.

yang tidak sesuai dan tidak akurat.

3 - Menuliskan

data atau informasi secara lengkap yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah - Membuat model matematika yang kurang lengkap atau kurang tepat - Menggunakan strategi pemecahan masalah yang sesuai - Melakukan prosedur matematis secara kurang akurat sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi akhir yang tidak sesuai

- Memberikan penjelasan yang cukup lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tepat.

- Menggunakan

representasi, terminologi, dan notasi matematis secara tepat, tetapi terdapat

kekurangakuratan di beberapa bagian

4 Menuliskan

data, informasi, dan model matematika secara lengkap dan tepat terkait masalah yang akan diselesaikan. - Menggunakan strategi pemecahan masalah secara efisien dan efektif - Melakukan

prosedur

matematis secara tepat dan akurat sehingga diperoleh solusi akhir yang sesuai

- Memberikan penjelasan yang lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tepat

- Menggunakan

representasi terminologi, dan notasi matematis secara tepat dan akurat.

Catatan: tidak terdapat jawaban sama sekali diberikan skor 0

2. Angket Skala Disposisi Matematis Siswa

Skala disposisi matematis siswa digunakan untuk mengetahui tingkat (skala) disposisi yang ditunjukkan siswa terhadap matematika. Instrumen ini memuat 42 pernyataan yag harus direspon siswa dengan opsi SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju), dan STS


(26)

64

(Sangat Tidak Setuju). Pernyataan-pernyataan ini berisikan 27 pernyataan positif dan 15 pernyataan negatif, yang dibuat sesuai dengan indikator disposisi matematis siswa. Untuk setiap pernyataan positif, diberikan skala 5 untuk SS, 4 untuk S, 3 untuk N, 2 untuk TS, dan 1 untuk STS. Sedangkan untuk setiap pernyataan negatif diberi skala sebaliknya.

Skor disposisi matematis yang digunakan berupa Skor Mean Distance from Optimal (MDO). Dengan cara pemberian skala seperti dikemukakan sebelumnya, maka skala optimal seorang siswa untuk pernyataan positif adalah 5, sedangkan skala optimal untuk pernyataan negatif adalah 1. Untuk memperoleh skor MDO disposisi matematis dari seorang siswa dapat menggunakan contoh berikut. Misalkan seorang siswa memperoleh rerata skor dari 27 pernyataan positif adalah 3,519, dan memperoleh rerata skor dari 15 pernyatan negatif adalah 2,800, maka skor MDO disposisi matematis dari siswa tersebut adalah , ,

3,26. (Beveridge dalam Endang Mulyana, 2009: 63).

Adapun kisi-kisi instrumen disposisi matematis siswa dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut:

TABEL 3.4

KISI-KISI INSTRUMEN DISPOSISI MATEMATIS SISWA

Variabel Indikator Nomor Butir

Pernyataan

Disposisi Matematis Siswa

percaya diri dalam

menggunakan matematika

1, 2, 3, 28, 29, 30, 31, 32

fleksibel dalam melakukan kerja matematika


(27)

Variabel Indikator Nomor Butir Pernyataan

(bermatematika) gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika

7, 8, 9, 10, 36

penuh memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika

11, 12, 13, 14, 15, 16, 37

melakukan refleksi atas cara berpikir

17, 18, 19, 20, 38

menghargai aplikasi matematika

21, 22, 23, 39

mengapresiasi peranan matematika

24, 25, 26, 27, 40, 41, 42

Sumber: National Council of Teachers of Mathematics (1989)

Sebelum instrumen ini digunakan, terlebih dahulu ditanyakan kepada dosen ahli (pembimbing) yang bergelar professor, untuk melihat kesesuaian pernyataan dengan indikator disposisi matematis yang akan diukur pada siswa. Sebelum diujicobakan kepada siswa, peneliti berdiskusi terlebih dahulu dengan guru matematika senior, apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai untuk mengukur disposisi matematis siswa, dan kemudian diujicobakan kepada 34 orang (satu kelas) siswa kelas IV pada sebuah Sekolah Dasar. Uji coba ini dilakukan hanya untuk mengetahui keterbacaan bahasa instrumen oleh siswa. Dengan demikian, perbaikan instrumen hanya dilakukan terhadap struktur kalimat dari pernyataan-pernyataan agar lebih mudah dimengerti.


(28)

66

3. Lembar Observasi Disposisi Matematis Siswa

Lembar observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati dan menelaah disposisi matematis siswa selama pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan realistik. Lembar observasi ini terdiri dari indikator pengamatan yang dikembangkan untuk memonitor munculnya disposisi matematis siswa selama proses pembelajaran. Dalam lembar observasi ini memuat aktivitas siswa dalam pembelajaran pada kelompok eksperimen dan kontrol.

Salah satu tujuan dari lembar observasi ini adalah untuk melihat perkembangan disposisi matematis siswa selama pembelajaran, selain dari hasil angket disposisi matematis yang di isi oleh siswa, sehingga dapat mendukung hasil penelitian dalam peningkatan disposisi matematis siswa. Selanjutnya dengan lembar observasi dapat digunakan untuk menelaah secara lebih mendalam tentang temuan yang diperoleh dari hasil penelitian.

Sebelum instrumen ini digunakan, terlebih dahulu ditanyakan kepada dosen pembimbing dan guru kelas III, apakah instrumen ini dapat mengukur disposisi matematis siswa yang dikembangkan oleh peneliti sesuai dengan indikator disposisi matematis siswa. Adapun kriteria penskoran terdiri dari skor 1 sampai dengan 4, dengan kriteria 1 = jika kegiatan tidak dilaksanakan oleh siswa, 2 = jika kegiatan dilaksanakan dengan cukup baik oleh siswa, 3 = jika kegiatan dilaksanakan dengan baik oleh siswa, dan 4 = jika kegiatan dilaksanakan dengan sangat baik oleh


(29)

siswa. Pedoman observasi disposisi matematis siswa ini secara lengkap disajikan pada Lampiran A.7.

4. Wawancara Disposisi Matematis Siswa

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada kelas eksperimen yaitu siswa yang belajar matematika dengan pendekatan realistik pada pokok bahasan keliling dan luas persegi dan persegi panjang. Wawancara ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang disposisi matematis siswa, tanggapan atau pendapat siswa secara lisan terhadap disposisi matematis yang muncul pada diri siswa selama proses pembelajaran dengan pendekatan realistik. Adapun tujuan dari hasil wawancara tersebut adalah untuk memperkuat hasil angket siswa terhadap disposisi matematis siswa.

E. Proses Pengembangan Instrumen 1. Validitas butir soal

Anderson (Arikunto, 2009: 65), menyebutkan “a test is valid if it measures what it purpose to measure.” Sebuah tes dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur. Adapun hasil validitas soal, dapat diperhatikan pada Tabel 3.5, yaitu dengan membandingkan antara rhitung dan

rtabel dengan berpedoman pada kaidah penafsiran jika rhitung≥ rtabel, berarti soal

tersebut valid, dan jika rhitung < rtabel berarti soal tidak valid.

TABEL 3.5

HASIL UJI VALIDITAS SOAL

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

No Soal Validitas Interpretasi

rXY rtabel Keterangan

1 0,602 0,349 Valid Dipakai


(30)

68

No Soal Validitas Interpretasi

rXY rtabel Keterangan

3 0,580 0,349 Valid Dipakai

4 0,717 0,349 Valid Dipakai

5 0,604 0,349 Valid Dipakai

6 0,677 0,349 Valid Dipakai

7 0,738 0,349 Valid Dipakai

8 0,605 0,349 Valid Dipakai

9 0,660 0,349 Valid Dipakai

10 0,772 0,349 Valid Dipakai

Sumber: Hasil Anates versi 4 (terlampir)

Tabel 3.3 di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun koefisien korelasi (rXY) berbeda, namun tetap lebih besar jika dibandingkan dengan nilai

rtabel. Dengan demikian, semua butir soal dalam tes kemampuan pemecahan

masalah matematis adalah valid.

2. Reliabilitas butir soal

Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengukur ketetapan instrumen atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi tersebut. Suatu alat evaluasi (instrumen) dikatakan baik bila reliabilitasnya tinggi. Untuk mengetahui apakah suatu tes memiliki reliabilitas tinggi, sedang atau rendah dapat dilihat dari nilai koefisien reliabilitasnya.

Adapun klasifikasi interpretasi untuk koefisien reliabilitas adalah:

r11≤ 0,20 reliabilitas sangat rendah

0,20 < r11≤ 0,40 reliabilitas rendah

0,40 < r11≤ 0,70 reliabilitas sedang

0,70 < r11≤ 0,90 reliabilitas tinggi


(31)

Berdasarkan hasil uji coba instrumen, reliabilitas butir soal secara keseluruhan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,83 (hasil ANATES versi 4), yang berarti bahwa tes kemampuan pemecahan masalah mempunyai reliabilitas yang sangat tinggi.

3. Daya Pembeda

Perhitungan daya pembeda dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu alat evaluasi (tes) dapat membedakan antara siswa yang berada pada kelompok atas (kemampuan tinggi) dan siswa yang berada pada kelompok bawah (kemampuan rendah).

Adapun klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda adalah:

negatif – 9% sangat buruk

10% - 19% buruk

20% - 29% cukup baik

30% - 49% baik

50% ke atas sangat baik (Suherman, 2008)

Daya pembeda untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematis dapat disajikan dalam Tabel 3.6 berikut:

TABEL 3.6

ANALISIS DAYA PEMBEDA TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH Nomor Soal Daya

Pembeda (%)

Interpretasi Daya Pembeda

1 25,00 Cukup

2 33,33 Baik

3 16,67 Buruk


(32)

70

Nomor Soal Daya Pembeda (%)

Interpretasi Daya Pembeda

5 36,11 Baik

6 30,56 Baik

7 36,11 Baik

8 33,33 Baik

9 27,78 Cukup

10 30,56 Baik

Sumber: ANATES versi 4 (terlampir)

Tabel 3.6 di atas dapat disimpulkan bahwa dari sepuluh soal yang terdapat pada tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa hanya satu soal yang mempunyai daya pembeda buruk, dan soal ini perlu diperbaiki.

4. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran soal diperoleh dengan menghitung persentase siswa dalam menjawab butir soal dengan benar. Semakin kecil persentase menunjukkan bahwa butir soal semakin sukar dan semakin besar persentase menunjukkan bahwa butir soal semakin mudah.

Adapun klasifikasi interpretasi tingkat kesukaran adalah:

0% - 15% sangat sukar

16% - 30% sukar

31% - 70% sedang

71% - 85% mudah

86% - 100% sangat mudah (Suherman, 2008)

Tingkat kesukaran untuk tes kemampuan pemecahan masalah disajikan dalam Tabel 3.7 berikut:


(33)

TABEL 3.7

ANALISIS TINGKAT KESUKARAN TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH Nomor Soal Tingkat

Kesukaran (%)

Interpretasi Daya Pembeda

1 79,17 Mudah

2 77,78 Mudah

3 80,56 Mudah

4 58,33 Sedang

5 62,50 Sedang

6 54,17 Sedang

7 31,94 Sedang

8 47,22 Sedang

9 47,22 Sedang

10 29,17 Sukar

Sumber: ANATES versi 4 (terlampir)

Tabel 3.7 di atas dapat disimpulkan bahwa dari sebanyak sepuluh soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa terdapat tiga soal dengan kategori mudah, enam soal dengan kategori sedang, dan satu soal dengan kategori sukar.

Berdasarkan hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran maka tes kemampuan pemecahan masalah matematis yang telah diujicobakan dapat digunakan sebagai instrumen pada penelitian ini.

F. Bahan Ajar

Bahan ajar dalam penelitian ini adalah bahan ajar yang akan digunakan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada kelompok eksperimen. Bahan ajar disusun dengan mengacu pada karakteristik pembelajaran


(34)

72

matematika realistik yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di lapangan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Isi bahan ajar memuat masalah kontekstual yang berkaitan dengan pokok bahasan keliling dan luas persegi dan persegi panjang, yang disusun agar siswa dapat mengembangkan model-model matematika dalam menyelesaikan masalah kontekstual tersebut untuk menemukan sendiri konsep-konsep ataupun prosedur matematika yang sedang dipelajari. Sebelum penyusunan bahan ajar, terlebih dahulu disusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) agar setiap penyusunan bahan ajar mengarah kepada tujuan yang jelas.

Bahan ajar dalam penelitian ini berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS). LAS memuat kegiatan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang berkaitan dengan materi keliling dan luas persegi dan persegi panjang untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.

G. Teknik Pengolahan Data

1. Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Skala Disposisi

Data hasil tes dan skala disposisi yang diperoleh dari hasil pengumpulan data selanjutnya diolah melalui tahap sebagai berikut.

a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem penskoran yang digunakan;

b. Membuat tabel skor tes hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol;


(35)

d. Menghitun dan menun e. Menguji n normal ata f. Menguji ho g. Uji dua sam

rata-rata an mengguna Apabila d homogen, pengganti 1998); h. Peningkata pembelajar rumus: Keterangan Spost = sko

Spre = sko

Smaks = sko

i. Uji korelas Product M

tung standar deviasi untuk mengetahui penyeb unjukkan tingkat variansi kelompok data; i normalitas data untuk mengetahui apakah da atau tidak;

i homogenitas varians;

sampel t tes untuk mengetahui apakah ada tida antara dua kelompok sampel yang tidak berhu nakan uji parametrik Analisis Independent data yang diperoleh tidak berdistribusi no n, maka pengujiannya menggunakan uji n

ti uji-t yaitu uji Mann Whitney atau uji Wilcox

atan kompetensi yang terjadi sebelum jaran dihitung dengan rumus g factor (N

(Hake dalam Mahmudi, 2010) gan:

skor postest kor pretest kor maksimum

lasi (keterkaitan), dengan menggunakan uji K t Moment.

yebaran kelompok

data berdistribusi

idaknya perbedaan rhubungan dengan ent Sample Test. normal dan tidak i non parametrik coxon (Ruseffendi,

m dan sesudah (N-Gains) dengan


(36)

74

Untuk kecepatan dan ketepatan hasil yang diperoleh maka setelah penelitian, peneliti akan mengolah data dengan menggunakan program SPSS versi 16.

2. Data Hasil Observasi

Data hasil observasi yang dianalisis adalah disposisi matematis siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Mengenai yang dilaporkan dalam lembar observasi adalah sesuatu yang ada dalam keadaan wajar (Ruseffendi, 2005). Namun demikian tetap ada kelemahannya, yaitu subjektivitas observer, misalnya: observer dapat bertindak kurang objektif, kurang cekatan, lupa, tidak terawasi, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini dilakukan observasi setiap tindakan siswa, yang disesuaikan dengan indikator disposisi matematis siswa pada kelompok kontrol dan eksperimen. Observasi tersebut dilakukan oleh peneliti.

H. Teknik Analisis Data

Teknik statistik yang digunakan yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan adalah tabel frekuensi, rata-rata dan standar deviasi, untuk mendeskripsikan ciri atau karakteristik data masing-masing variabel penelitian. Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis.


(37)

I. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data, maka disajikan langkah-langkah atau prosedur penelitian dalam bentuk bagan, disajikan pada Gambar 3.1 berikut:

Studi Kepustakaan

Penyusunan Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik

Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan Konvensional

Persiapan dan jenis instrumen

Ujicoba soal, ujicoba terbatas, revisi, pengesahan instrumen

a. Persiapan instrumen: Silabus, RPP, persiapan bahan ajar berupa LKS, kisi-kisi disposisi siswa, soal tes.

b. Jenis instrumen: Tes, observasi, angket disposisi siswa.

Penentuan Subjek Penelitian

Pretest

Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik

Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Konvensional

Postest

Pengumpulan data

Analisis data

Temuan

Kesimpulan Observasi dan angket

sikap siswa


(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya, maka disimpulkan bahwa:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dan siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik secara statistik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan disposisi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dan siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Dengan demikian, disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik secara statistik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional. 3. Terdapat keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan

pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa. Hal ini dapat dilihat dari siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya baik, memiliki disposisi matematis yang baik juga. Siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya sedang, memiliki disposisi matematis yang sedang juga. Dan


(39)

siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya rendah, memiliki disposisi matematis yang rendah juga.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran dengan pendekatan realistik di Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kabupaten Kuningan, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil tes dan observasi peneliti selama pembelajaran dengan pendekatan realistik, terdapat beberapa masalah yang dihadapi siswa, salah satunya adalah masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam membuat model serta strategi dan prosedur dalam penyelesaian masalah sehingga waktu yang direncanakan sering tidak mencukupi. Strategi dan prosedur dalam penyelesaian masalah ini merupakan indikator penting dalam kemampuan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam membuat atau merancang masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari disesuaikan juga dengan kemampuan awal siswa dan dapat dibayangkan oleh siswa sehingga siswa lebih mudah memahami masalah dan lebih terbiasa dalam membuat prosedur dan strategi pemecahan masalah.

2. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan disposisi matematis siswa. Oleh karena itu, pembelajaran dengan pendekatan realistik merupakan salah satu alternatif bagi guru matematika dalam menyajikan materi matematika dan juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya tingkat sekolah dasar.


(40)

124

3. Salah satu temuan penelitian ini yaitu dari segi karakteristik PMR yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam matematika yaitu dari segi bahan ajarnya. Dengan demikian, bagi guru agar implementasi pembelajaran PMR ini berhasil dengan optimal, perlunya merancang bahan ajar dengan masalah-masalah kontekstual yang ada. Guru juga perlu memperhatikan kemampuan yang dimiliki siswa, masalah yang disajikan harus menarik bagi siswa sehingga dapat memunculkan ide-ide kreatif siswa untuk menyelesaikannya. Guru sebagai ujung tombak dilapangan harus berupaya mencari strategi kegiatan dan inovasi-inovasi baru dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan realistik.

4. Pembelajaran dengan pendekatan realistik ini peran guru hanya sebagai fasilitator. Oleh karena itu, sebaiknya guru menciptakan suasana belajar yang lebih menarik bagi siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide-idenya dengan cara mereka sendiri, siswa juga diberi kesempatan untuk menilai jawaban dari temannya, sehingga dalam belajar siswa menjadi percaya diri untuk mengungkapkan berbagai alasan yang tepat dan dalam menemukan jawaban terhadap suatu masalah. Guru mengembangkan strategi pembelajaran yang bertumpu pada kontribusi siswa lewat representasi yang mereka hadirkan dalam upaya membangun dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan demikian guru dan siswa dapat saling bekerja sama dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara

Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesia Primary School, a Prototype of Local Instructional Theory. Tesis University of Twente. Enschede: Print Partner Ipskamp.

Asrori, M. (2008). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.

Arthur, L.B. (2008). Problem Solving. U. S.: Wikipedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/problem solving. [7 April 2011]. Dahar, R. W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika, Disertasi pada Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2001). Kurikulum Pendidikan Dasar. GBPP SD. Depiknas. Jakarta. Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis

Kompetensi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: depdiknas. Depdiknas. (2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning

(CTL)). Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Fathurrohman, P., & Sutikno, S., (2009). Strategi Belajar Mengajar Melalui

Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta

terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematic Education. Utrecht: Freudenthal Institute.

Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik terhadap Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.

Hamalik, O. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Trigenda Karya


(42)

126

Jacobsen, D.A., Eggen, P., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jensen, R. J. (1993), Affect: Critical component of mathemathical learning in early childhood. New York: NCTM.

Kilpatrick, J. (1978). Variables and methodologies in research on problem solving. In L.L. Hatfield & D. A. Bradbard (Eds.), Mathematical Problem

Solving: Paper from a reseach workshop. Colombos, Ohio:

ERIC/SMEAC.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Komariah, (2007). “Model Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Realistik pada Pembelajaran Matematika SD”. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. V. Nomor 7.

Mahmudi, A. (2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematika serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi. Tidak diterbitkan.

Mulligan, J. (1992). Children‘s solution to multiplication and division word problems: A longitudinal study. Mathematics Education Research Journal, 4, 24 – 41.

Mulyana, E. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Knisley terhadap Peningkatan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMA Program IPA. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.

Nasution, S. (2000). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Edisi Pertama. Jakarta: Bina Aksara.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and standards for school mathematics. North Carolina: NCTM.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/focalpoints. [3 April 2011].

NCTM. (2000). Defining Problem Solving. [online]. Tersedia:

http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk2/session03/ sectio03a.html. [17 April 2011]

Permana, Y. (2001). Analisis Tingkat Penguasaan Siswa dalam Menyelesaikan Persoalan Kontekstual pada Pembelajaran Matematika (Studi Deskripstif dalam Pembelajaran SPL Dua Peubah dengan Pendekatan Realistik di SLTPN 8 Bandung kelas 2-A1). Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika. FPMIPA UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.


(43)

Pierce, J.W. & Jones, B.F. (2001). Problem-based learning: Learning and teaching in contex of problems. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.

Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan. 4(2).

Polya, G. (1985). How to Solve it: A New Aspect of Mathematics Method (2nd ed). Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: UNNES Press.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung.

Salman. (2005). Komentar Guru tentang PMRI. Buletin PMRI. Edisi Ketiga-Jamari, hal. 3

Sanjaya, W. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.

Sears, S.J & Hers, S.B. (2001). Contextual teaching and learning: An overview of the project. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.

Slamet, I. (1983). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Erlangga.

Sudjana, N. (2000). Metode Statistika Edisi VI. Bandung: Tarsito. Sudjana, N. (2002). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Sudjana, N. dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. UPI Bandung.

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(44)

128

Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi Matematika: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB. Suryadi, D. (2007). Pendidikan Matematika. Dalam Ali, M., Ibrahim, R.,

Sukmadinata, N.S., Suidjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Handbook. Bandung: Fipupi Press.

Suryadi, D., Nishitani, I., Koseki,K., & Ohtake, K. (2001). Mathematical Problem Solving and Primary School Children: Some Essensial Issues, Gunma: Gunma. U. Ac. Jp.

Susetyo, B. (2010). Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama.

Trends in International Mathematics and Science Studies (2007). [online]. Tersedia: http://timss.bc.edu/timss2007/PDF/T07_S_IR_Chapter1.pdf. [3 Mei 2011]

Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Wahyudin (2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical

Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. August 25 2003.

Wahyudin (2010). Pembelajaran Matematika dan Pemecahan Masalah. Bandung: Mandiri Bandung.

Windayana, H. (2007). “Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif dan Kritis, serta Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Pendidikan Dasar. Nomor 8. Zulkardi (2001). “Realistic Mathematic Education (RME) Teori, Contoh

Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet”. Makalah pada Seminar Sehari Realistic Mathematics Education di Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung.

Zulkardi (2001). RME suatu Inovasi dalam Pendidikan Matematika di Indonesia. Suatu Pemikiran Pasca Konfrensi Matematika Nasional 17-20 Juli di ITB. Bandung.


(1)

siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya rendah, memiliki disposisi matematis yang rendah juga.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran dengan pendekatan realistik di Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kabupaten Kuningan, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil tes dan observasi peneliti selama pembelajaran dengan pendekatan realistik, terdapat beberapa masalah yang dihadapi siswa, salah satunya adalah masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam membuat model serta strategi dan prosedur dalam penyelesaian masalah sehingga waktu yang direncanakan sering tidak mencukupi. Strategi dan prosedur dalam penyelesaian masalah ini merupakan indikator penting dalam kemampuan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam membuat atau merancang masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari disesuaikan juga dengan kemampuan awal siswa dan dapat dibayangkan oleh siswa sehingga siswa lebih mudah memahami masalah dan lebih terbiasa dalam membuat prosedur dan strategi pemecahan masalah.

2. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan disposisi matematis siswa. Oleh karena itu, pembelajaran dengan pendekatan realistik merupakan salah satu alternatif bagi guru matematika dalam menyajikan materi matematika dan juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya tingkat sekolah dasar.


(2)

124

3. Salah satu temuan penelitian ini yaitu dari segi karakteristik PMR yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam matematika yaitu dari segi bahan ajarnya. Dengan demikian, bagi guru agar implementasi pembelajaran PMR ini berhasil dengan optimal, perlunya merancang bahan ajar dengan masalah-masalah kontekstual yang ada. Guru juga perlu memperhatikan kemampuan yang dimiliki siswa, masalah yang disajikan harus menarik bagi siswa sehingga dapat memunculkan ide-ide kreatif siswa untuk menyelesaikannya. Guru sebagai ujung tombak dilapangan harus berupaya mencari strategi kegiatan dan inovasi-inovasi baru dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan realistik.

4. Pembelajaran dengan pendekatan realistik ini peran guru hanya sebagai fasilitator. Oleh karena itu, sebaiknya guru menciptakan suasana belajar yang lebih menarik bagi siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide-idenya dengan cara mereka sendiri, siswa juga diberi kesempatan untuk menilai jawaban dari temannya, sehingga dalam belajar siswa menjadi percaya diri untuk mengungkapkan berbagai alasan yang tepat dan dalam menemukan jawaban terhadap suatu masalah. Guru mengembangkan strategi pembelajaran yang bertumpu pada kontribusi siswa lewat representasi yang mereka hadirkan dalam upaya membangun dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan demikian guru dan siswa dapat saling bekerja sama dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara

Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesia Primary School, a Prototype of Local Instructional Theory. Tesis University of Twente. Enschede: Print Partner Ipskamp.

Asrori, M. (2008). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.

Arthur, L.B. (2008). Problem Solving. U. S.: Wikipedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/problem solving. [7 April 2011]. Dahar, R. W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika, Disertasi pada Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2001). Kurikulum Pendidikan Dasar. GBPP SD. Depiknas. Jakarta. Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis

Kompetensi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: depdiknas. Depdiknas. (2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning

(CTL)). Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Fathurrohman, P., & Sutikno, S., (2009). Strategi Belajar Mengajar Melalui

Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta

terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematic Education. Utrecht: Freudenthal Institute.

Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik terhadap Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.

Hamalik, O. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Trigenda Karya


(4)

126

Jacobsen, D.A., Eggen, P., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jensen, R. J. (1993), Affect: Critical component of mathemathical learning in early childhood. New York: NCTM.

Kilpatrick, J. (1978). Variables and methodologies in research on problem solving. In L.L. Hatfield & D. A. Bradbard (Eds.), Mathematical Problem

Solving: Paper from a reseach workshop. Colombos, Ohio:

ERIC/SMEAC.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Komariah, (2007). “Model Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Realistik pada Pembelajaran Matematika SD”. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. V. Nomor 7.

Mahmudi, A. (2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematika serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi. Tidak diterbitkan.

Mulligan, J. (1992). Children‘s solution to multiplication and division word problems: A longitudinal study. Mathematics Education Research Journal, 4, 24 – 41.

Mulyana, E. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Knisley terhadap Peningkatan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMA Program IPA. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.

Nasution, S. (2000). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Edisi Pertama. Jakarta: Bina Aksara.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and standards for school mathematics. North Carolina: NCTM.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/focalpoints. [3 April 2011]. NCTM. (2000). Defining Problem Solving. [online]. Tersedia:

http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk2/session03/ sectio03a.html. [17 April 2011]

Permana, Y. (2001). Analisis Tingkat Penguasaan Siswa dalam Menyelesaikan Persoalan Kontekstual pada Pembelajaran Matematika (Studi Deskripstif dalam Pembelajaran SPL Dua Peubah dengan Pendekatan Realistik di SLTPN 8 Bandung kelas 2-A1). Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika. FPMIPA UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.


(5)

Pierce, J.W. & Jones, B.F. (2001). Problem-based learning: Learning and teaching in contex of problems. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.

Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan. 4(2).

Polya, G. (1985). How to Solve it: A New Aspect of Mathematics Method (2nd ed). Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: UNNES Press.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung.

Salman. (2005). Komentar Guru tentang PMRI. Buletin PMRI. Edisi Ketiga-Jamari, hal. 3

Sanjaya, W. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.

Sears, S.J & Hers, S.B. (2001). Contextual teaching and learning: An overview of the project. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.

Slamet, I. (1983). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Erlangga.

Sudjana, N. (2000). Metode Statistika Edisi VI. Bandung: Tarsito. Sudjana, N. (2002). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Sudjana, N. dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. UPI Bandung.

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(6)

128

Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi Matematika: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB. Suryadi, D. (2007). Pendidikan Matematika. Dalam Ali, M., Ibrahim, R.,

Sukmadinata, N.S., Suidjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Handbook. Bandung: Fipupi Press.

Suryadi, D., Nishitani, I., Koseki,K., & Ohtake, K. (2001). Mathematical Problem Solving and Primary School Children: Some Essensial Issues, Gunma: Gunma. U. Ac. Jp.

Susetyo, B. (2010). Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama.

Trends in International Mathematics and Science Studies (2007). [online]. Tersedia: http://timss.bc.edu/timss2007/PDF/T07_S_IR_Chapter1.pdf. [3 Mei 2011]

Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Wahyudin (2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical

Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. August 25 2003.

Wahyudin (2010). Pembelajaran Matematika dan Pemecahan Masalah. Bandung: Mandiri Bandung.

Windayana, H. (2007). “Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif dan Kritis, serta Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Pendidikan Dasar. Nomor 8. Zulkardi (2001). “Realistic Mathematic Education (RME) Teori, Contoh

Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet”. Makalah pada Seminar Sehari Realistic Mathematics Education di Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung.

Zulkardi (2001). RME suatu Inovasi dalam Pendidikan Matematika di Indonesia. Suatu Pemikiran Pasca Konfrensi Matematika Nasional 17-20 Juli di ITB. Bandung.