PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN EKSPLORATIF TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN VISUALISASI, PEMAHAMAN KONSEP GEOMETRI, DAN KARAKTER SISWA.

(1)

hal

LEMBAR PERSETUJUAN . . . i

LEMBAR PENGESAHAN. . . ii

PERNYATAAN KEASLIAN. . . iii

LEMBAR PERSEMBAHAN. . . iv

KATA PENGANTAR. . . v

ABSTRAK. . . viii

ABSTRACT. . . ix

DAFTAR ISI. . . x

DAFTAR TABEL. . . xv

DAFTAR GAMBAR. . . xxi

DAFTAR GRAFIK . . . xxiii

DAFTAR LAMPIRAN . . . xxiv

BAB I PENDAHULUAN . . . 1

1.1Latar Belakang Masalah. . . 1

1.2Rumusan Masalah . . . 18

1.3Tujuan Penelitian. . . 21

1.4Manfaat Penelitian. . . 21

1.5Hipotesis Penelitian . . . 22

1.6Pendefinisian Istilah . . . 23

BAB II KAJIAN TEORI . . . 25

2.1Teori yang mendasari Kemampuan Visualisasi. . . 2.1.1 Kemampuan Visualisasi menurut Van Hiele . . . 2.1.2 Berpikir Spasial. . . . . . 2.1.3 Kemampuan Visualisasi . . . 25 25 32 36 2.2Pemahaman Konsep . . . 43


(2)

2.2.2 Pemahaman Konsep Geometri . . . 49

2.3Teori yang Mendasari Strategi Pembelajaran Eksploratif . . 2.3.1 Strategi Pembelajaran menurut Pandangan Konstruktivisme . . . 2.3.2 Strategi Pembelajaran menurut Pandangan Socio-Cultural . . . 2.3.3 Strategi Pembelajaran Eksploratif. . . 54 54 56 61 2.4Tinjauan tentang Pembelajaran Konstruktivisme . . . 69

2.5Hasil Penelitian yang Relevan. . . 74

2.6Soal Eksploratif dan Non-Eksploratif. . . 2.6.1 Soal Eksploratif. . . 2.6.2 Soal Non-Eksploratif. . . 76 77 83 2.7 Karakter Siswa. . . 85

2.8Kerangka Teori Penelitian. . . 97

2.9 Road Map Penelitian . . . . . . 100

BAB III METODOLOGI PENELITIAN . . . 104

3.1Metode dan Desain Penelitian. . . 104

3.2Populasi dan Sampel. . . 107 3.3Instrumen Penelitian . . .

3.3.1 Instrumen Tes . . . 3.3.1.1.Tes Kemampuan Awal Siswa . . . 3.3.1.2.Tes Pemahaman Konsep . . . 3.3.1.3.Tes Kemampuan Visualisasi . . . 3.3.2 Instrumen Non-Tes . . .

3.3.2.1Angket Karakter Siswa . . . 3.3.2.2Persepsi terhadap Karakter Berkelompok . . .

114 114 114 115 125 127 128 131


(3)

3.3.2.4Kuesioner. . . 136 3.4Bahan Ajar. . . 137 3.5Prosedur Pelaksanaan Penelitian . . . 138

3.5.1 Tahap Persiapan Penelitian. . . 3.5.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian. . . 3.5.3 Tahap Analisis Data . . .

138 138 142 3.5.3.1 Analisis Data Peningkatan Kemampuan

Visualisasi dan Peningkatan Pemahaman Konsep . . . 3.5.3.2 Analisis Data tentang Karakter. . . 3.5.3.3 Analisis Data Gabungan: Peningkatan

Kemampuan Visualisasi, Peningkatan Pemahaman Konsep dan Karakter . . .

143 147

151 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN . . . 152 4.1Gambaran Sekolah Tempat Penelitian . . . 152 4.2Hasil Penelitian tentang Pretes Kemampuan Visualisasi dan

Pemahaman Konsep . . . 152 4.3Hasil Penelitian tentang Kemampuan Visualisasi . . .

4.3.1 Deskripsi Peningkatan Kemampuan Visualisasi . . . . 4.3.2 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol . . . 4.3.3 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran,

Kategori Sekolah, dan TKAS terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . .

157 157

161

169 4.4Hasil Penelitian tentang Pemahaman Konsep . . .

4.4.1 Deskripsi Peningkatan Pemahaman Konsep . . . . . . . 174 175


(4)

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol. . . 4.4.3 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran,

Kategori Sekolah dan TKAS terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep . . .

178

184 4.5Hasil Penelitian tentang Karakter . . .

4.5.1 Deskripsi Data Karakter Individu. . . 4.5.2 Deskripsi Data Karakter Berkelompok. . . 4.5.3 Persepsi Guru terhadap Karakter Berkelompok. . . 4.5.4 Kuisioner. . .

189 189 190 192 194 4.6Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,

Peningkatan Pemahaman Konsep dan Karakter Siswa. . . 4.6.1 Hubungan antara Kemampuan Visualisasi dan

Pemahaman Konsep . . . . . . . . . 4.6.2 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan

Visualisasi dan Karakter. . . 4.6.3 Hubungan antara Peningkatan Pemahaman Konsep

dan Karakter . . . 4.6.4 Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Peningkatan

Pemahaman Konsep dan Indikator Karakter

Individu. . . 4.6.5 Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Peningkatan

Pemahaman Konsep dan Indikator Karakter

Berkelompok. . .

201 202 210 212 215 216 4.7Pembahasan Hasil Penelitian. . .

4.7.1 Pembahasan tentang Kemampuan Visualisasi . . . 4.7.2 Pembahasan tentang Pemahaman Konsep . . .

219 219 223


(5)

4.7.3.1 Gambaran Pembelajaran dengan Strategi Eksploratif. . . 4.7.3.2 Gambaran Kinerja Siswa pada Kemampuan

Visualisasi. . . 4.7.3.3 Gambaran Kinerja Siswa pada Pemahaman

Konsep. . . 4.7.3.4 Gambaran Kinerja Siswa pada Tes

Pemahaman Konsep. . . 4.7.4 Pembahasan tentang Karakter Individu . . . 4.7.5 Pembahasan tentang Karakter Berkelompok . . . 4.7.6 Pembahasan tentang Persepsi. . . 4.7.7 Pembahasan tentang Kuesioner . . . 4.7.8 Pembahasan Hubungan Kemampuan Visualisasi,

Pemahaman Konsep dan Karakter Siswa. . .

233

240

244

246 251 257 261 262

265 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN

REKOMENDASI . . . 275

5.1Kesimpulan. . . 275

5.2Implikasi . . . 283

5.3Keterbatasan Penelitian. . . 288

5.4Rekomendasi. . . 289

DAFTAR PUSTAKA . . . 291


(6)

hal Tabel 1.1 Deskripsi International Benchmark Geometry (TIMSS for

year 8) . . . 8

Tabel 1.2 Perolehan Score Benchmark Indonesia pada Tahun 2007 . . . . 8

Tabel 2.1 Pengertian Pemahaman Konsep . . . 44

Tabel 2.2 Karakter dalam Pembelajaran Matematika. . . 90

Tabel 2.3 Indikator Karakter Individu dan Karakter Berkelompok Siswa. 97 Tabel 3.1 Kategori Tingkat Kemampuan Awal Siswa. . . 106

Tabel 3.2 Tabel Wiener untuk Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan Karakter Berkelompok . . . 107

Tabel 3.3 Sebaran Peringkat Madrasah di Propinsi DKI Jakarta BAN-SM tahun 2009. . . 108

Tabel 3.4 Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat A (BAN-SM 2009) . . . 110

Tabel 3.5 Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat B (BAN-SM 2009) . . . 110

Tabel 3.6 Jumlah Siswa pada Tiap Sekolah. . . 112

Tabel 3.7 Kriteria Penyekoran Tes Pemahaman Konsep Geometri. . . 116

Tabel 3.8 Kriteria Penyekoran Visualisasi Geometri. . . 117

Tabel 3.9 Kisi-Kisi Instrumen Tes Pemahaman Konsep. . . 118

Tabel 3.10 Kendall's W Test Pemahaman Konsep. . . 120

Tabel 3.11 Derajat Reliabilitas. . . 121

Tabel 3.12 Derajat Validitas Instrumen. . . 122

Tabel 3.13 Validitas Butir Tes Pemahaman Konsep. . . 122

Tabel 3.14 Kriteria Tingkat Kesukaran. . . 123


(7)

Tabel 3.17 Rangkuman Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Visualisasi . . . . 126 Tabel 3.18 Indikator Angket Siswa. . . 129 Tabel 3.19 Kendall's W Test Angket Individu dan Angket Berkelompok 130 Tabel 3.20 Indikator Persepsi Guru. . . 132 Tabel 3.21 Kendall's W Test Angket Individu dan Angket Berkelompok 132 Tabel 3.22 Indikator Karakter Individu untuk Lembar Observasi . . . 134 Tabel 3.23 Indikator Karakter Berkelompok untuk Lembar Observasi . . . 134 Tabel 3.24 Kendall's W Test Lembar Observasi Karakter Individu dan

Karakter Berkelompok . . . 135 Tabel 3.25 Perhitungan Kategori Karakter. . . 149 Tabel 3.26 Rekapitulasi Jumlah Responden pada Kuisioner . . . 150 Tabel 3.27 Gabungan Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Peningkatan

Pemahaman Konsep, dan Karakter Individu. . . 151 Tabel 4.1 Nama Sekolah, Kategori Sekolah, Kelas Sampel, Strategi

Pembelajaran dan Jumlah Siswa. . . 152 Tabel 4.2 Rerata dan Deviasi Standar Data Pretes Kemampuan

Visualisasi . . . 153 Tabel 4.3 Uji Normalitas Pretes Kemampuan Visualisasi. . . 153 Tabel 4.4 Uji Beda Rerata Pretes Kemampuan Visualisasi. . . 154 Tabel 4.5 Rerata dan Deviasi Standar Data Pretes Pemahaman Konsep. . 155 Tabel 4.6 Uji Normalitas Pretes Pemahaman Konsep. . . 155 Tabel 4.7 Uji Mann-Whitney Pretes Pemahaman Konsep Geometri. . . 156 Tabel 4.8 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi 158 Tabel 4.9 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi

ditinjau dari Aspek Kategori Sekolah. . . 159


(8)

Tabel 4.11 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol . . . 161

Tabel 4.12 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek

Kategori Sekolah . . . 162 Tabel 4.13 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek

Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 163 Tabel 4.14 Uji Beda Rank Peningkatan Kemampuan Visualisasi

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek

Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 164 Tabel 4.15 Uji Post Hoc Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori

Sekolah . . . 166 Tabel 4.16 Uji Post Hoc Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Tingkat

Kemampuan Awal Siswa. . . 167 Tabel 4.17 Uji Homogenitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi

ditinjau dari Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah

dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 170 Tabel 4.18 Korelasi antara Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan

TKAS terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 171 Tabel 4.19 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah

dan TKAS terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 172 Tabel 4.20 Rangkuman Uji Hipotesis Ngain Kemampuan Visualisasi


(9)

Tabel 4.21 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep. . . . 176 Tabel 4.22 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep

ditinjau dari Aspek Kategori Sekolah. . . 177 Tabel 4.23 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep

ditinjau dari Aspek Tingkat Kemampuan Awal Siswa. . . 178 Tabel 4.24 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol. . . 179 Tabel 4.25 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori

Sekolah . . . 180 Tabel 4.26 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Tingkat

Kemampuan Awal Siswa . . . 181 Tabel 4.27 Uji Beda Rank Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas

Eksperimen dan Kelompok Kontrol ditinjau dari Aspek

Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 181 Tabel 4.28 Uji Post Hoc Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori

Sekolah . . . 183 Tabel 4.29 Uji Homogenitas Peningkatan Pemahaman Konsep ditinjau

dari Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan

Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 185 Tabel 4.30 Korelasi antara Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan

TKAS terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep. . . 185 Tabel 4.31 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah


(10)

berdasarkan Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah

dan TKAS. . . 188 Tabel 4.33 Kategori Karakter Individu Siswa ditinjau dari Aspek Strategi

Pembelajaran, dan Kategori Sekolah. . . 189 Tabel 4.34 Kategori Karakter Berkelompok Siswa ditinjau dari Aspek

Strategi Pembelajaran, dan Kategori Sekolah, . . . 191 Tabel 4.35 Kategori Karakter Berkelompok Siswa berdasarkan Persepsi

Guru. . . 193 Tabel 4.36 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Pendidikan Orang Tua. . 194 Tabel 4.37 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Dukungan Materi. . . 196 Tabel 4.38 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Hubungan Sosial. . . 198 Tabel 4.39 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Kemampuan Akademik. 199 Tabel 4.40 Kategori Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan

Peningkatan Pemahaman Konsep. . . 201 Tabel 4.41 Korelasi antara Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman

Konsep Geometri. . . 204 Tabel 4.42 Model Summary Ngain Visualisasi dan Ngain Pemahaaman

Konsep . . . 204 Tabel 4.43 ANOVA untuk Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman

Konsep. . . 205 Tabel 4.44 Analisis Regresi untuk Kemampuan Visualisasi dan

Pemahaman Konsep. . . 205 Tabel 4.45 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan

Peningkatan Pemahaman Konsep ditinjau dari Aspek Strategi

Pembelajaran . . . 206


(11)

Sekolah. . . 207 Tabel 4.47 Kategori Effect Size. . . 209 Tabel 4.48 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,

Karakter Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari

Aspek Strategi Pembelajaran . . . 210 Tabel 4.49 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,

Karakter Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari

Aspek Kategori Sekolah. . . 211 Tabel 4.50 Hubungan antara Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan

Karakter Berkelompok ditinjau dari Aspek Strategi

Pembelajaran . . . 213 Tabel 4.51 Hubungan antara Peningkatan Pemahaman Konsep, Karakter

Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari Aspek

Kategori Sekolah. . . 214 Tabel 4.52 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,

Peningkatan Pemahaman Konsep, dan Indikator Karakter. . . . 215 Tabel 4.53 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,

Peningkatan Pemahaman Konsep, dan Indikator Karakter

Berkelompok. . . 216 Tabel 4.54 Peningkatan Kemampuan Visualisasi Siswa dengan Kategori

Rendah . . . 220 Tabel 4.55 Coefficientsa,b karakter Individu dan Karakter Berkelompok. . 273


(12)

hal

Gambar 1.1 Skema Integrasi Geometri dengan Karakter. . . 5

Gambar 1.2 Soal Geometri pada TIMSS tahun 1994. . . 6

Gambar 1.3 Soal Geometri pada TIMSS tahun 2002. . . 6

Gambar 1.4 Soal Geometri pada TIMSS tahun 2007. . . 7

Gambar 2.1 Segiempat. . . 26

Gambar 2.2 Soal Visualisasi McLeay. . . 39

Gambar 2.3 Tahapan Pemahaman menurut Teori Pirie-Kieren . . . 46

Gambar 2.4 Kerangka Teori Skema Pembelajaran Eksploratif. . . 68

Gambar 2.5 Aktivitas Siswa dengan menggunakan Media. . . 75

Gambar 2.6 Visualisasi Bangun Ruang. . . 78

Gambar 2.7 Soal Eksplorasi Bangun Ruang. . . 78

Gambar 2.8 Pembuktian Luas Segitiga. . . 79

Gambar 2.9 Kerangka Teori Penelitian. . . 99

Gambar 2.10 Road Map Hasil Penelitian Geometri. . . 103

Gambar 3.1 Embedded Design (Creswell, 2007). . . 104

Gambar 3.2 Alur Penentuan Sampel Penelitian. . . 113

Gambar 3.3 Model Pembelajaran di Kelas Eksperimen. . . 140

Gambar 3.4 Model Pembelajaran di Kelas Kontrol . . . 141

Gambar 3.5 Skema Analisis Data Penelitian. . . 143

Gambar 4.1 Suasana Belajar di Kelas Kontrol-Kategori A. . . 231


(13)

Kategori A dan B . . . 235

Gambar 4.4 Aktivitas Eksplorasi Individu . . . 237

Gambar 4.5 Aktivitas Presentasi . . . 238

Gambar 4.6 Aktivitas Eksplorasi Kelompok . . . 239

Gambar 4.7 Aktivitas Diskusi di Sekolah Kategori A dan B. . . 240

Gambar 4.8 Visualisasi Bangun Ruang 3 Dimensi menjadi 2 Dimensi. . . 242

Gambar 4.9 Visualisasi Bangun Ruang 3 Dimensi dari 2 Dimensi. . . 242

Gambar 4.10 Rangka Bangun Ruang hasil Karya Siswa. . . 243

Gambar 4.11 Visualisasi untuk Memecahkan Masalah Sudut pada Bangun Ruang 3 Dimensi. . . 243

Gambar 4.12 Pemahaman Siswa tentang Kedudukan Sudut pada LES 1. . 244

Gambar 4.13 Pemahaman Siswa tentang Menentukan Besar Sudut pada LES 6. . . 245

Gambar 4.14 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 1. . . 246

Gambar 4.15 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 2. . . 247

Gambar 4.16 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 3. . . 248

Gambar 4.17 Visualisasi Pemahaman Siswa pada Bangun Ruang 3 Dimensi. . . 249

Gambar 4.18 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 4. . . 250

Gambar 4.19 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 5. . . 251


(14)

hal

Grafik 4.1 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran Eksploratif, Kategori sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa

terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 173 Grafik 4.2 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran Eksploratif,

Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap Pemahaman Konsep. . . 187 Grafik 4.3 Uji Normalitas Regresi Linear. . . 202 Grafik 4.4 Sebaran Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan


(15)

hal

Lampiran A Pertimbangan Para Ahli mengenai Instrumen. . . 299

Lampiran B Kisi-kisi Instrumen dan Instrumen Penelitian . . . 303

Lampiran C Data Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman Konsep . . . 342

Lampiran D Data Hasil Penelitian . . . 352

Lampiran E Analisis Data dengan SPSS. . . 364


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kurikulum pendidikan dewasa ini diimplementasikan untuk mengarahkan proses pembelajaran pada pencapaian kompetensi bidang studi tertentu misalnya Matematika, Agama, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan lain sebagainya yang telah ditetapkan serta dalam rangka membentuk pribadi siswa dengan karakter yang baik. Peran dan tujuan pendidikan ini dikembangkan dari fungsi pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 Pasal 3 bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.

Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kemampuan kognitif semata akan tetapi melibatkan pembiasaan diri yang baik sehingga terbentuk karakter yang baik. Hal ini menjadi sebuah harapan agar tercipta generasi muda yang memiliki perilaku yang baik serta mencintai budaya dan bangsa sendiri. Tanda-tanda perilaku yang tidak baik banyak terjadi bahkan sering muncul dalam pemberitaan baik melalui media elektronik, seperti: televisi, internet, media cetak, seperti: majalah, koran, maupun media lainnya.


(17)

Sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam proses pembentukan pribadi seorang individu yakni melalui dunia pendidikan, Menteri Pendidikan Republik Indonesia beserta jajarannya menginstruksikan kepada seluruh pelaksana pendidikan untuk menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai acuan kurikulum pendidikan di Indonesia. KTSP disusun berdasarkan pada keragaman budaya, keragaman tingkatan, letak geografis, suasana, lingkungan yang ada di Indonesia, sehingga KTSP dalam hal ini mengatur pada delapan standar pelaksanaan pembelajaran, antara lain: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan dan standar penilaian pendidikan. Implementasi pembelajaran di lapangan dikembalikan kepada satuan pendidikan masing-masing sesuai dengan sarana dan prasarana, budaya serta lingkungan dimana proses pembelajaran berlangsung.

KTSP mulai diberlakukan sejak tahun 2006 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, dimana dalam KTSP dijelaskan bahwa proses pembelajaran dan penilaian di sekolah harus mengimplementasi pendidikan karakter, dalam hal ini guru dituntut untuk mengintegrasikan materi pelajaran dengan penanaman nilai-nilai karakter sehingga diharapkan siswa dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, pengembangan karakter tidak hanya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, akan tetapi diterapkan juga dalam pendidikan formal. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat harapan orang tua yang bekerja penuh untuk memberikan pendidikan dan pembentukan pribadi


(18)

siswa karena siswa banyak menghabiskan waktu siang hari di sekolah, bahkan beberapa sekolah yang menerapkan sistem full-day, yakni sekitar 9 jam siswa menghabiskan siang hari di sekolah, sehingga secara maksimal guru dapat melihat perkembangan siswanya. Oleh sebab itu pendidikan formal dapat menunjang keberhasilan pembentukan karakter siswa. Pendidikan yang terintegrasi dengan pembentukan karakter tentu saja harus melibatkan semua komponen pendidikan diantaranya adalah isi kurikulum, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas/kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, ethos kerja di lingkungan sekolah, namun selain itu diperlukan juga peran serta/kontribusi orang tua.

Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sangat bervariasi, misalnya pelajaran agama, kesenian, bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, PKn, Olah raga dan pelajaran lainnya. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang banyak diperhatikan oleh kalangan pendidik dan juga kalangan umum. Pentingnya matematika tidak hanya terjadi di Indonesia, seluruh dunia mengakui bahwa matematika merupakan ilmu yang banyak manfaatnya dalam kehidupan. Standarisasi matematika sekolah secara internasional khusunya di Indonesia, merujuk pada Principle and Standard for School Mathematics dari NCTM yang mengatur standar isi dan standar proses pembelajaran matematika pada tingkat K-12. Standar isi yang dikembangkan ada lima, yaitu: Bilangan dan operasi bilangan, Aljabar, Geometri, Pengukuran, serta Analisis data dan Probability, demikian juga ada lima standar proses dalam pembelajaran


(19)

matematika yaitu: Pemecahan Masalah, Penalaran dan Pembuktian, Komunikasi, Koneksi dan Representasi (NCTM, 2000).

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia memiliki budaya dan letak geografis yang beranekaragam, maka untuk mengantisipasi kegaraman tersebut, pemerintah mengatur pelaksanaan pembelajaran matematika sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2006 dengan memberlakukan 8 standar pelaksanaan program pendidikan. Tujuan dari Peraturan Menteri Pendidikan ini pada intinya bahwa seluruh tingkatan/jenjang pendidikan di Indonesia harus melaksanakan kegiatan pendidikan termasuk didalamnya adalah proses pembelajaran harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dengan tujuan membuat standarisasi dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai kompetensi bidang studi tertentu misalnya pelajaran matematika,  yang sama untuk semua wilayah di Indonesia.

Secara khusus, standar kompetensi matematika tingkat SMA/MA dalam KTSP meliputi enam aspek materi: Logika, Aljabar, Geometri, Trigonometri, Kalkulus serta Statistika dan Peluang. Meskipun materi yang diajarkan pada setiap tingkatan sudah ditetapkan, namun KTSP memberikan kebebasan kepada guru untuk memilih dan mengembangkan strategi pembelajaran, penggunaan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, keadaan lingkungan, serta pemanfaatan fasilitas yang tersedia, sehingga akan terbentuk siswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematika yang baik dan menjadi individu yang berkarakter sesuai dengan kondisi lingkungan dan budaya tempat siswa menempuh pendidikan. Skema Integrasi pembelajaran matematika khususnya


(20)

geometri serta penanaman nilai-nilai karakter bangsa yang dijelaskan di atas, maka ide penulis terntang integrasi tersebut dituangkan pada pada Gambar 1.1 berikut:

Implementasi pembelajaran geometri tidak terjadi di lingkungan sekolah saja melainkan juga banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Geometri dapat membentuk pengetahuan keruangan, dan dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang, mulai dari pekerjaan konvensional tukang ledeng, pekerja bangunan, pengepakan barang sampai pada pekerjaan menggunakan teknologi, misalnya desain, manufaktur mobil, robot, teknisi mesin, interior designer, pembuatan pesawat terbang, penggunaan teknologi global positioning system (GPS) dan sebagainya. Geometri juga dapat membantu memahami konsep lain aljabar, persamaan garis lurus, kalkulus, aritmetika, dan sebagainya (Whitely, 1999; dan Jones, 2000, 2001).

Meskipun demikian, ditemukan fakta masih banyak siswa sekolah menengah yang mengalami kesulitan mempelajari konsep geometri (Clement,

Gambar 1.1 Skema Integrasi Geometri dan Karakter KTSP Standar Kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa SMA/MA NCTM Geometri Karakter standar kompetensi

lulusan, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan dan standar penilaian pendidikan Standar Isi Standar Proses Terampil dalam Matematika dan berkarakter baik


(21)

2003; Ives, 2003; dan Eraso, 2007), sebagaimana ditunjukkan oleh hasil laporan TIMSS bahwa kemampuan siswa kelas 8 dalam bidang geometri masih tergolong rendah, berikut beberapa contoh soalnya:

Soal latihan 1:

In the ABC, shown above, the altitudes BN and CM intersect at point S. The measure of MSB is 400 and the measure of SBC is 200. Write a PROOF of the following statement: “ABC is isosceles”. Give geometric reasons for a statement in your proof.

Soal latihan 1 merupakan pertanyaan tentang pembuktian matematika yang memuat kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi disamping pemahaman konsep geometri. Hasil laporan TIMMS menunjukkan banyak siswa yang tidak dapat menjawab dengan baik.

Soal latihan 2:

In this figure, triangle ABC and DEF are congruent with BC=EF A

B

C E

D

F G

400 600

What is the measure of angle EGC?

a. 200

b. 400

c. 600

d. 800

e. 1000

Gambar 1.2 Soal Geometri pada TIMSS 1994 (Moyer, 2003:6)

200

A

40

0

B

C M

N


(22)

Soal latihan 3:

In this diagram, CD=CE What is the value of x?

a. 400 b. 500 c. 600 d. 700

Soal latihan 2 dan Soal latihan 3, merupakan pertanyaan pilihan yang beralasan, yang menunjukkan kemampuan koneksi, pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi. Hasil laporan TIMMS juga menunjukkan bahwa sebagian besar siswa dapat menjawaban dengan benar, akan tetapi masih kesulitan dalam memberikan alasan atas jawabannya

Secara statistika, menurut laporan TIMMS menunjukkan siswa yang menjawab benar Soal latihan 1, 2 dan 3 berturut-turut 48%, 48%, dan 32%. Penilaian di TIMSS diukur menggunakan dua dimensi yaitu dimensi content dan dimensi cognitive.

Hasil akhir penilaian akan menentukan kemampuan siswa yang dikelompokkan menjadi empat kategori uji mutu, yaitu low benchmark, intermediate benchmark, high benchmark dan advance benchmark. Tabel 1.1 menunjukkan kategori uji mutu kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal geometri.

x

A

B C

D E

500


(23)

Tabel 1.1

Deskripsi International Benchmark Geometry (TIMSS for year 8)

Low International Benchmark Intermediate international Benchmark High international benchmark Advance international benchmark

(400) (457) (550) (625)

Students have some knowledge of whole number and decimals, operation, and basic graphs.

Students can apply basic mathematical knowledge in straightforward situations. Students demonstrate understanding of properties of triangle and basic geometric concepts.

Students can apply their understanding and knowledge in a variety of relatively complex situations.

Students use

knowledge of geometric properties to solve problems, including area, volume, and angle.

Students can organize and draw conclusions from information, make generalizations, and solve non- routine problems.

Students can apply their knowledge of geometry in complex problem situations.

Sumber: Mullis, 2008

Hasil TIMMS tahun 2007 menunjukkan bahwa perolehan hasil ajang kompetisi matematika dari Negara Indonesia pada content domain dan cognitive domain disajikan pada Tabel 1.2 berikut:

Tabel 1.2

Perolehan Score Benchmark Indonesia pada Tahun 2007

Content Domain Cognitive Domain

Bilangan Aljabar Geometri & Pengukuran

Data &

Peluang Pengetahuan Applikasi Penalaran

399 405 395 402 397 398 405

Nilai Rata-rata secara Internasional 500 Sumber: Mullis, 2008

Berdasarkan data pada Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kemampuan matematika baik pada aspek content domain dan cognitive domain masih berada di bawah nilai rata-rata secara internasional. Nampak bahwa skor pada conten geometri paling rendah. Jika dilihat pada kategori uji mutu, Negara indonesia


(24)

termasuk pada kategori Low International Benchmark, artinya siswa memiliki pengetahuan terbatas dalam menyelesaikan soal-soal geometri.

Selanjutnya, pada laporan PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 68 dari 74 negara. PISA merupakan salah satu ajang internasional dalam bidang matematika yang menguji kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan matematik dan menggunakannya dalam memecahkan masalah. Seperti yang diungkapkan dalam PISA 2009 Result:

The PISA mathematics literacy test asks students to apply their mathematical knowledge to solve problems set in various real-world contexts. To solve the problems students must activate a number of mathematical competencies as well as a broad range of mathematical content knowledge. TIMSS, on the other hand, measures more traditional classroom content such as an understanding of fractions and decimals and the relationship between them (curriculum attainment). PISA claims to measure education's application to real-life problems and lifelong learning (workforce knowledge)”.

Memahami geometri tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu singkat dan proses yang sederhana, akan tetapi diperlukan proses berpikir tingkat tinggi. Van Hiele (Bitter, 1989; Baynes, 1998; Clement, 2003; Moyer, 2003; dan Goos, 2007) mengembangkan lima tahapan berpikir dalam geometri yaitu recognition, analysis, abstraction, deduction and rigor.

Recognition yaitu menyelesaikan masalah geometri berdasarkan pada pertimbangan visual dengan menggunakan konsep dasar geometri. Analysis yaitu menyelesaikan masalah geometri berdasarkan pada analisis secara informal dengan menggunakan sifat-sifat pada geometri. Abstraction yaitu menyelesaikan masalah geometri secara logis dengan menggunakan konsep, definisi dan bentuk abstrak geometri. Deduction yaitu menyelesaikan masalah geometri secara formal


(25)

dan sistematis dengan menggunakan istilah tak terdefinisi, aksioma, definisi dan teorema. Rigor yaitu menunjukkan sebuah teorema dengan menggunakan sistem postulat serta menganalisis sistem ini . Beberapa contoh Rigors yang dilakukan oleh Riemannian dan Lobachechian geometri (Moyer, 2003: 37) antara lain:

1. The students rigorously establish theorem in difference axiomatic systems (e.g. Hilbert’s Approach to foundations of geometry);

2. The students compares axiomatic system (e.g., Euclidean and non-Euclidean geometries); psontaneously explore how changes in axioms affect the resulting geometry;

3. The students establishes consistency of aset of axioms, independence of an axiom, an equivalency of different sets of axioms; create an axiomatic system for a geometry;

4. The students invent generalizaed methodes for solving classes of problems. 5. The students searches for the broadest context in which a mathematical

theorem/principle will apply;

6. The students does in depth study of subject logic to develop new insight and approaches to logical inference.

Namun demikian, penulis membatasi kemampuan matematika dalam penelitian ini yaitu kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep. Van Hiele mengatakan bahwa tahap pertama dalam berpikir geometri adalah menyelesaikan masalah geometri pada pertimbangan visual, dengan kata lain bahwa kemampuan visualisasi merupakan kemampuan paling dasar. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan tidak sedikit siswa yang belum memiliki kemampuan visualisasi dengan baik, kesulitan menunjukkan sifat-sifat geometri yang disajikan dalam bentuk gambar, kesulitan mengaplikasikan konsep geometri. (Baynes, 1998; Ives, 2003; McLeay, 2006; Eraso, 2007; Basham, 2007; dan Rittle, 1998).

Rendahnya kemampuan visualisasi disebabkan siswa kurang dilatih dalam menggunakan visualisasi untuk mengolah informasi. Pandangan konstruktivisme mengklaim bahwa proses pembelajaran harus melibatkan aktivitas konstruktif


(26)

siswa secara langsung, sedangkan guru berperan sebagai pemberi semangat (Cobb, 2007). Upaya para peneliti untuk meningkatkan kemampuan visualisasi, antara lain: yang telah dilakukan oleh Ives (2003) yaitu pembelajaran geometri berbasis dynamic models di kelas 7 menunjukkan bahwa kemampuan visualisasi spasial siswa menjadi lebih baik. McLeay (2006) menggunakan media dan pengalaman kongkrit untuk melatih kemampuan visualisasi sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah keruangan. Tartre (1990) melatih kemampuan spasial siswa kelas 10, dengan cara menghubungkan konsep geometri dengan masalah non-geometri. Kemampuan spasial siswa pada level tinggi dapat membentuk struktur mental untuk membuat hubungan antara masalah yang baru dengan masalah sebelumnya, sedangkan Basham (2007) menggunakan software 3-Dimensional CADD dengan module alone untuk meningkatkan kemampuan spasial ruang siswa kelas 9 khususnya kemampuan rotasi objek secara mental.

Pemahaman konsep geometri diartikan sebagai kemampuan siswa memahami prinsip dasar dalam membangun geometri serta memahami hubungan diantara prinsip sehingga menjadi pengetahuan geometri secara utuh untuk mencapai tingkat penguasaan dan pemahaman yang lebih komprehensif. Akan tetapi dalam penelitian ini pemahaman konsep yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran geometri tingkat SMA dalam KTSP yang secara lebih rinci akan dibahas pada bab selanjutnya.

Kaitan antara kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep seperti yang diungkapkan oleh Van Hiele, pemahaman konsep dalam geometri terdiri dari 5 tahapan berfikir geometri mulai pada tahap recognition, analysis, abstraction,


(27)

deduction and rigor (Baynes, 1998), yang berarti bahwa kemampuan visualisasi memiliki kedudukan yang paling rendah dibandingkan dengan kemampuan lainnya, sehingga jelas bahwa kemampuan visualisasi memiliki keterkaitan dengan pemahaman konsep geometri. Berdasarkan penjelasan tersebut, kemampuan visualisasi merupakan kemampuan paling dasar dalam geometri, maka pemahaman konsep geometri akan dipengaruhi oleh kemampuan visualisasi dan ini merupakan sebuah hubungan sebab akibat artinya kemampuan visualisasi yang tinggi akan menyebabkan pemahaman konsep yang tinggi atau sebaliknya. Dengan demikian, penulis menduga jika kemampuan visualisasi siswa rendah maka kemungkinan pemahaman konsepnya akan rendah pula, sehingga sebelum penulis meningkatkan pemahaman konsep geometri, akan dilakukan terlebih dahulu peningkatan terhadap kemampuan visualisasi.

Rendahnya kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep siswa, salah satunya adalah dipengaruhi oleh cara belajar atau membelajarkan. Pembelajaran geometri tidak dapat dilakukan dengan cara transfer informasi melalui kegiatan ceramah atau yang dikenal dengan ekspositori. Pembelajaran geometri, khususnya untuk meningkatkan kemampuan visualisasi harus melibatkan aktivitas tindakan baik aktivitas objek langsung maupun aktivitas dalam pemikiran yang disebut mental image. Pembentukan konsep pada mental image harus dilatih dengan cara eksplorasi benda kongkrit, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan media teknologi komputer. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran geometri diarahkan pada aktivitas eksplorasi benda kongkrit yang


(28)

menggunakan peralatan yang tradisional maupun eksplorasi benda yang menggunakan teknologi komputer.

Sebagaimana diungkapkan oleh Yeo (2006) “eksplorasi” serupa dengan

“investigasi”, perbedaan keduanya adalah kegiatan eksplorasi matematika adalah aktivitas siswa yang dibimbing untuk menemukan konsep tertentu, sedangkan investigasi matematika adalah sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh siswa untuk menemukan berbagai hal baru berdasarkan kepada permasalahan yang telah diberikan, bahkan temuan tersebut tidak dapat diantisipasi oleh guru”.

Strategi pembelajaran eksploratif diduga dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri, karena dalam proses pembelajaran yang menggunakan strategi eksploratif melibatkan aktivitas tindakan terhadap objek secara langsung, kemudian hasil tindakan masuk dalam pemikiran yang disebut mental image, dan selanjutnya akan mengantarkan pada proses pembentukan konsep dasar geometri. Setelah konsep dasar terbentuk pada mental image muncul persepsi yang berdasarkan konsep tersebut yang dituangkan menjadi representasi geometris. Dengan demikian, diasumsikan bahwa strategi pembelajaran eksploratif dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri siswa.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembelajaran di sekolah harus terintegrasi dengan penanaman nilai dan karakter. Upaya ini dilakukan karena

terjadinya kemerosotan perilaku atau “karakter” bangsa yang sudah mulai rapuh


(29)

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mengembangkan karakter bangsa. Pemerintah mengharapkan bahwa karakter siswa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika antara lain sikap teliti, sikap kreatif, sikap keingintahuan dan sikap pantang menyerah (Hasan, 2010). Pengembangan keempat karakter tersebut yang terintegrasi dalam matematika sekolah, diharapkan para siswa menjadi generasi muda yang memiliki kemampuan berfikir kritis dan kreatif, memiliki sikap yang tidak pernah menyerah dan selalu berusaha untuk mengetahui apa yang terbaru/terkini, namun demikian semuanya dilakukan secara bertanggung jawab dan menemukan pada suatu nilai kebenaran seperti yang menjadi ciri khas matematika adalah menemukan kebenaran.

Senada dengan pendapat Hasan, Costa (2001) juga mengatakan bahwa pengembangan potensi anak, harus memperhatikan pada kemampuan kognitif dan juga kemampuan lainnya. Kemampuan kognitif dalam hal ini adalah kemampuan siswa dalam menyelesaiakan persoalan matematika dengan baik, sedangkan kemampuan selain kognitif yang dapat diukur dalam pembelajaran matematika adalah kinerja siswa. Kinerja siswa dalam pembelajaran matematika menuntut adalanya kemampuan bernalar matematis, siswa menunjukkan pada pola pikir yang berwawasan (insightfulness) dalam bidang matematika, siswa menunjukkan sikap tekun dalam menyelesaian permasalahan matematika, memiliki kreativitas yang tinggi dan juga memiliki keahlian tertentu yang merupakan aplikasi dari pembelajaran matematika, selanjutnya kemampuan yang dijelaskan tersebut oleh Costa disebut dengan perilaku “Habits of mind”.


(30)

Dari kedua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengembangan karakter atau “Habits of mind” dalam pembelajaran matematika perlu dilakukan dengan tujuan agar siswa menjadi generasi muda yang lebih fleksibel, mereka tidak menjadi manusia yang kaku artinya pandai dari aspek berfikir akan tetapi tidak pandai dari aspek bergaul dengan lingkungan masyarakat.

Jakarta merupakan kota di Indonesia yang perkembangannya sangat pesat, terutama dalam bidang pendidikan. Dewasa ini marak sekali dengan pendirian sekolah umum berbasis Islam atau dikenal dengan sekolah terpadu, yang menawarkan berbagai keunggulan-keunggulan terutama dalam peningkatan dan penanaman nilai-nilai keislaman dalam kurikulumnya. Sementara itu, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama di dalamnya sudah mengintegrasikan kurikulum pendidikan umum dan kurikulum keislaman. Kurikulum keislaman memuat pelajaran: Al-qur’an-Hadist Sejarah Kebudayaan Islam, Aqidah-Akhlak, dan Fikih.

Banyaknya muatan pelajaran di madrasah menyebabkan siswa harus belajar ekstra, sehingga tidak sedikit siswa yang mengalami kesulitan dalam menguasai semua materi. Menjadi sebuah temuan pada nilai ujian nasional, bahwa kualitas kemampuan siswa di madrasah pada bidang materi umum matematika, fisika, kimia dan lain sebagainya tidak lebih unggul dibandingkan dengan sekolah umum meskipun secara individu ada beberapa siswa madrasah yang dapat mengungguli siswa di sekolah umum.


(31)

Madrasah Aliyah (MA) merupakan sekolah Islam setingkat SMA yang berada pada lingkungan Kementrian Agama memiliki kurikulum keislaman yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum. Sehingga proses pembelajaran tambahan di sekolah lebih banyak dilakukan pada muatan keislaman, misalnya tadarusan, kegiatan shalat berjamaah (sunah dan wajib) dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kemampuan akademik siswa pada pelajaran umum (misalnya pelajaran matematika) tidak lebih unggul dibandingkan dengan siswa SMA. Hal lain yang menarik dari proses pembelajaran di MA adalah penanaman nilai-nilai yang selalu dilakukan setiap hari, misalnya bersalaman kepada guru, membaca surat pendek di awal pembelajaran, tadarusan di pagi hari, siraman rohani sebelum pembelajaran dan lain sebagainya.

Penilaian mutu pendidikan sekolah salah satunya adalah penilaian yang dilakukan oleh BAN-SM melalui akreditasi sekolah menengah. Penilaian ini menjadikan MA terbagi menjadi tiga kategori yaitu kategori A, kategori B dan kategori C dengan rentang penilaian tertentu, kategori A berarti sekolah dengan level baik, kategori B berarti sekolah dengan level sedang dan kategori C berarti sekolah pada level kurang. Berdasarkan penilaian BAN-SM tahun 2009, MA di wilayah DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu tersebar dengan perolehan kategori A sebanyak 37 (negeri dan swasta), kategori B sebanyak 25 (negeri dan swasta), dan ada 1 MA yang mendapat kategori C (Swasta). Pengkategorian MA dalam penelitian ini selanjutnya akan digunakan sebagai salah satu aspek yang akan diteliti dalam penelitian ini.


(32)

Pengkategorian sekolah ini menyebabkan labelisasi pada sekolah, sehingga sekolah yang memiliki kategori lebih baik menjadi tujuan utama para orang tua untuk menitipkan anaknya menimba dan menuntut ilmu. Selanjutnya pihak sekolah merasa kewalahan untuk menerima siswa pendaftar sementara kuota yang ada sangat terbatas. Akhirnya, setelah siswa pendaftar yang telah lolos seleksi administrasi harus mengikuti tes ujian mandiri yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Hasil tes ujian masuk diranking, dan selanjutnya penerimaan siswa berdasarkan skor ujian yang telah disusun.

Bagi siswa yang tidak diterima di sekolah kategori A, tentu saja mereka akan mencari sekolah lain yang tidak berbeda jauh dengan sekolah pilihan sebelumnya. Gambaran ini mengilustrasikan bahwa sebelum mereka masuk pada sekolah tertentu, siswa sudah memiliki kemampuan awal tentang materi-materi yang diujikan, terutama matematika. Berdasarkan urutan ranking menunjukkan bahwa siswa dapat digolongkan pada tiga kategori yaitu siswa pandai, siswa sedang dan siswa kurang. Kepentingan penelitian, kategori kemampuan awal tersebut digunakan sebagai salah satu aspek yang akan diteliti, namun istilah yang digunakan adalah kemampuan awal tinggi, kemampuan awal sedang dan kemampuan awal rendah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sebuah tantangan untuk melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan kemampuan matematika siswa khususnya pada materi geometri. Penulis merupakan salah satu pengajar pada mata kuliah pembelajaran matematika di salah satu Perguruan Tinggi Islam di wilayah Jakarta yang mempersiapkan calon guru untuk mengajar siswa pada tingkat Madrasah


(33)

Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Banyak kendala yang dihadapi oleh guru matematika khususnya pada tingkat Madsarah Aliyah. Dengan demikian, penelitian dilakukan pada Madrasah Aliyah di wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya dengan harapan melalui penelitian ini memberikan kontribusi dalam menawarkan sebuah strategi pembelajaran matematika yang dapat memudahkan siswa memahami konsep matematika khususnya geometri. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih lanjut tentang bagaimana pola pembentukan karakter siswa yang dilakukan melalui penanaman nilai-nilai keislaman melalui kegiatan pembiasaan berdasarkan pada aspek strategi pembelajaran yang digunakan, kategori sekolah dari BAN-SM dan aspek kemampuan awal siswa.

Dengan demikian, masalah yang terjadi dewasa ini dalam pembelajaran matematika di Madrasah Aliyah adalah rendahnya prestasi belajar matematika, dan semakin menurunnya nilai-nilai etika yang berkembang pada anak-anak usia remaja. Oleh karena itu penulis perlu dilakukan sebuah penelitian pada Madrasah Aliyah Negeri di wilayah Jakarta dalam upaya peningkatan kemampuan geometri siswa dan juga menanamkan pembentukan karakter bangsa yang bernilai luhur dengan judul “Pengaruh Strategi Pembelajaran Eksploratif terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep Geometri, dan Karakter Siswa”.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana diuraikan pada latar belakang masalah, bahwa kemampuan siswa MA tidak lebih unggul dibandingkan dengan siswa SMA karena di sekolah memuat kurikulum keislaman yang lebih banyak dan proses pembiasaan


(34)

penanaman nilai-nilai di sekolah yang hampir dilakukan setiap hari, maka penulis mencoba menerapkan strategi pembelajaran eksploratif dalam pembelajaran matematika khususnya geometri dan menggali lebih lanjut tentang pola pembentukan karakter siswanya.

Penilaian mutu pendidikan yang dilakukan oleh BAN-SM menyebabkan terjadinya pengkategorian sekolah yakni kategori A, kategori B dan kategori C. Kategori ini menyebabkan terjadinya penumpukkan pendaftar siswa baru, akibatnya kemampuan awal siswa diuji pada saat tes seleksi masuk. Berdasarkan skor tes masuk, skor diranking mulai dari yang tertinggi sampai terendah. Siswa yang dapat lolos adalah siswa yang memiliki skor tinggi dan skor menengah, sementara siswa dengan skor rendah tersisihkan dan harus mencari sekolah lain. Dengan kata lain bahwa di setiap sekolah terjadi urutan kemampuan siswa yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu kemampuan tinggi, kemampuan sedang dan kemampuan rendah.

Berdasarkan uraian tersebut, masalah penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah: (1) apakah strategi pembelajaran eksploratif dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri dan (2) Apakah Strategi Pembelajaran Eksploratif memberikan pengaruh pada pola pembentukan karakter individu dan karakter berkelompok siswa?

Rumusan masalah tersebut dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian yang lebih rinci, yaitu:


(35)

1. Apakah peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional ditinjau dari aspek: a) kategori sekolah, dan

b) tingkat kemampuan awal siswa.

2. Apakah peningkatan pemahaman konsep geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional ditinjau dari aspek:

a) kategori sekolah, dan

b) tingkat kemampuan awal siswa.

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi dari kategori sekolah, strategi pembelajaran dan TKAS terhadap peningkatan kemampuan visualisasi geometri?

4. Apakah terdapat pengaruh interaksi dari kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan pemahaman konsep geometri?

5. Bagaimana gambaran karakter individu siswa ditinjau pada aspek: (a) strategi pembelajaran, dan

(b) kategori sekolah?

6. Bagaimana gambaran karakter berkelompok siswa ditinjau pada aspek: (a) strategi pembelajaran dan


(36)

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mendeskripsikan kualitas pembelajaran geometri yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif dalam upaya meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri.

2. Menelaah secara komprehensif pengaruh interaksi strategi pembelajaran, kategori sekolah, dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri.

3. Mendeskripsikan pola pembentukan karakter individu dan karakter berkelompok siswa MA ditinjau pada aspek strategi pembelajaran dan kategori sekolah.

1.4Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, dalam penelitian menggambarkan proses pembelajaran matematika yang menggunakan strategi pembelajaran matematika eksploratif, sehingga dapat memberikan sumbangan:

1. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru, khususnya bagaimana seorang guru dapat menyusun strategi pembelajaran matematika berbasis eksploratif yang terintegrasi dengan karakter. Sehingga out put yang diharapkan setelah pembelajaran adalah produk dalam hal ini adalah kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep serta value/nilai.

2. Manfaat penelitian bagi siswa adalah keterlibatan secara langsung dalam proses pembelajaran akan melatih kemampuan dan keterampilan bekerja


(37)

matematika khususnya dalam penemuan konsep geometri, dan siswa dapat mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai karakter sehingga akan melatih kemampuan berfikir logis dan sistematis.

3. Bagi peneliti, kajian penelitian ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk mengembangkan strategi pembelajaran lain khususnya pembelajaran matematika sehingga hasil penelitian akan memberikan sumbangan bagi peningkatan kualitas pendidikan dan mencapai cita-cita bangsa yaitu membentuk karakter bangsa Indonesia.

1.5Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka beberapa hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa di kelas eksperimen pada sekolah kategori A lebih tinggi dari pada kemampuan visualisasi siswa di kelas kontrol pada sekolah kategori B.

3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa di kelas eksperimen antara siswa yang kemampuan awal tinggi, kemampuan awal sedang dan kemampuan awal rendah.


(38)

4. Peningkatan pemahaman konsep geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional.

5. Peningkatan pemahaman konsep geometri siswa di kelas eksperimen pada sekolah kategori A lebih tinggi dari pada siswa pada sekolah kategori B. 6. Terdapat perbedaan peningkatan pemahaman konsep geometri di kelas

eksperimen antara siswa yang kemampuan awal tinggi, kemampuan awal sedang dan kemampuan awal rendah.

7. Terdapat pengaruh interaksi dari faktor-faktor: kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan visualisasi geometri,

8. Terdapat pengaruh interaksi dari faktor-faktor: kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan pemahaman konsep.

1.6Pendefinisian Istilah

Ada beberapa istilah yang perlu didefinisikan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Mental Image: adalah kemampuan siswa untuk menggambar/merepresentasi

objek dalam otaknya sebagai salah satu cara dalam berfikir.

2. Kemampuan visualisasi: kemampuan merepresentasi objek nyata gambar/benda dalam mental-image, dan selanjutnya merepresentasi kembali objek yang tergambarkan pada mental image dalam bentuk gambar atau sebaliknya.


(39)

3. pemahaman konsep geometri: kemampuan memahami konsep dan ide geometri, melakukan prosedur penyelesaian dengan mengunakan model geometri untuk menyelesaikan masalah pada ruang dimensi tiga, dalam hal ini menyelesaikan masalah jarak antara titik, garis dan bidang, serta menghitung besar sudut yang terbentuk antara garis dengan garis, garis dengan bidang, dan bidang dengan bidang

4. Strategi pembelajaran eksploratif: proses pembelajaran konstruktif yang melibatkan aktivitas siswa secara aktif dengan menggunakan lembar kerja siswa yang diselesaikan secara individu dan secara kelompok dan guru bertindak sebagai fasilitator dan bertugas untuk membimbing siswa.

5. Karakter individu: sikap atau perilaku yang ditunjukkan siswa secara individual selama proses pembelajaran geometri, dalam hal ini karakter individual ditinjau pada indikator: sikap teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu.

6. Karakter berkelompok: sikap atau perilaku yang ditunjukkan siswa dalam proses pembelajaran bekerja secara berkelompok, sikap atau perilaku dalam lingkungan sosial masyarakat sekolah, dalam hal ini karakter kelompok siswa ditinjau pada indikator: kepemimpinan, sikap saling menghargai, kerjasama dan sikap peduli.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Metode dan Disain Penelitian

Sebagaimana tujuan penelitian yang telah dikemukakan, yaitu menerapkan strategi pembelajaran eksploratif untuk mengetahui efektifitasnya dalam meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri siswa serta kaitannya dengan karakter siswa. Dalam hal ini karakter dikelompokkan menjadi dua yaitu karakter individu dan karakter berkelompok.

Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti akan mengumpulkan data secara kuantitatif untuk mengukur kemampuan visualisasi siswa dan pemahaman konsep geometri. Sedangkan data tentang karakter akan digunakan metode secara kualitatif. Dengan demikian penelitian ini menggunakan penggabungan dua metode penelitian yaitu penelitian kuantitatif-kualitatif. Metode yang menggabungkan dua paradigma ini disebut dengan mixed methods dengan embedded design (lihat Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Embedded Design (Creswell, 2007:7)

Ada empat desain penelitian yang dikemukakan oleh Creswell (2007) yaitu explanatory design, exloratory design, embedded design dan triangulation.

Quantitative Data Qualitative Data

Results Embed the Data:


(41)

Embedded design dipilih dalam penelitian ini karena data yang diperoleh terdiri dari dua yaitu kemampuan geometri (kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep) dan karakter (karakter individu dan kelompok), penggabungan dua data ini bukan data yang merupakan hubungan sebab akibat antara kemampuan geometri dan karakter, atau data bukan merupakan implikasi dari data lainnya, selanjutnya juga bukan triangulasi karena data yang terkumpul hanya dua jenis. Maka embedded desain yang paling cocok dalam penelitian ini karena data tentang kemampuan geometri siswa akan dijelaskan lebih terperinci dengan pola pengembangan karakter siswa, serta bagaimana karakter berkelompok akan dikembangkan melalui aktivitas pembelajaran. Selain itu menurut Creswell (2007)

Mixed methods research helps answer questions that cannot be answered by qualitative or quantitative approaches alone”, artinya bahwa dengan menggunakan mixed method analisis data hasil penelitian akan menjadi luas, mendalam sesuai dengan fakta perhitungan statistik yang dikaitkan dengan investigasi pada data kualitatif.

Metode penelitian kuantitatif digunakan untuk membandingkan dua kelas dengan perlakukan yang berbeda. Kelas pertama menggunakan strategi pembelajaran eksploratif dan lainnya menggunakan strategi pembelajaran konvensional. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menggali informasi tentang pola pembentukan karakter siswa baik karakter individu maupun karakter berkelompok. Dengan demikian desain penelitian kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Control-Group Design (Kumar, 2005:104).


(42)

Setelah terpilih kelompok sampel, penulis memberikan Tes kemampuan awal siswa (TKAS) digunakan untuk mengelompokkan siswa menjadi tiga kategori berdasarkan kemampuannya, yakni kategori kemampuan tinggi (TG), kategori kemampuan sedang (SD) dan kategori kemampuan rendah (RD). Pengelompokkan tersebut didasarkan pada perhitungan statistika yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1

Kategori Tingkat Kemampuan Awal Siswa

Kategori Rentang Nilai

Kemampuan Tinggi (TG) � ≥ � +�� Kemampuan Sedang (SD) � +�� ≥ � ≥ � − �� Kemampuan Rendah (RD) � − �� ≥ �

Keterangan: x : skor TKAS � : nilai rata-rata �� : deviasi standar

Sebelum penelitian dilakukan, kedua Kelas diberikan pretest dengan tujuan ingin mengetahui pemahaman awal siswa tentang materi yang akan diajarkan. Selain itu, pretes dianalisis untuk mengetahui homogenitas pemahaman atau pengetahuan awal siswa tentang geometri pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada akhir pembelajaran kedua kelas diberikan postes untuk melihat adakah perbedaan peningkatan kemampuan visualisasi dan peningkatan pemahaman konsep geometri.

Keterkaitan semua variabel yang diukur dalam penelitian ini, yakni strategi pembelajaran eksploratif, strategi pembelajaran konvensional,


(43)

kemampuan visualisasi, pemahaman konsep geometri, karakter individu dan karakter berkelompok, penulis membuat model keterkaitannya yang digambarkan melalui Tabel Wiener seperti nampak pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2

Tabel Wiener untuk Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan Karakter Berkelompok

Kategori

Sekolah TKAS

Kemampuan Visualisasi

Pemahaman

Konsep Karakter

Individu

Karakter Berkelompok

E Kv E Kv

A

Tinggi VEAT VKvAT KEAT KKAT KIT KKT

Sedang VEAS VKvAS KEAS KKAS KIS KKS

Rendah VEAR VKvAR KEAR KKAR KIR KKR

B

Tinggi VEBT VKvBT KEBT KKBT KIT KKT

Sedang VEBS VKvBS KEBS KKBS KIS KKS

Rendah VEBR VKvBR KEBR KKBR KIR KKR

Total VE VKv KE KK K KK

Keterangan:

TKAS = Tingkat Kemampuan Awal Siswa E = Strategi Pembelajaran Eksploratif Kv = Strategi Pembelajaran Konvensional

VEBT = kemampuan Visualisasi kelas Eksploratif sekolah B untuk siswa kategori Tinggi

KIT = Karakter Individu kemampuan Tinggi KKR = Karakter Berkelompok kemampuan Rendah

3.2Populasi dan Sampel

Sebagaimana diuraikan pada latar belakang masalah, bahwa tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan kualitas kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri, serta mengkaji bagaimana pola karakter siswa di


(44)

wilayah Jakarta sebagai kota besar yang rentan sekali dengan kejadian tawuran antar pelajar, maka populasi dalam penelitian ini adalah siswa Madrasah Aliyah di Wilayah Jakarta dan Kepulauan seribu.

Berikut diuraikan langkah penentuan sampel penelitian. Sebaran data sekolah berdasarkan hasil akreditasi BAN-SM disajikan pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Distribusi Madrasah di Propinsi DKI Jakarta Menurut BAN-SM per Tahun 2009

Wilayah Peringkat Jumlah MA

Negeri

Jumlah MA Swasta

Jumlah tiap wilayah

Jakarta Pusat A 1 1 3

B 0 1

Jakarta Timur A 7 5 20

B 1 7

Jakarta Selatan

A 3 10

18

B 1 4

Jakarta Utara A 2 0 8

B 0 6

Jakarta Barat B 0 1 1

Kepulauan Seribu

A 4 4

12

B 2 2

Jumlah Total 19 43 62

Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik multiple stage random sampling, dengan lima tahap, yaitu Tahap pertama mengelompokkan sekolah yang ada di Jakarta dan Kepulauan seribu pada kategori A, B, dan C. Pertimbangan yang digunakan peneliti dalam mengelompokkan sekolah adalah data yang diperoleh dari BAN-SM tahun 2009. Tahap kedua memilih madrasah tempat penelitian dengan menggunakan teknik purposif sampling berdasarkan


(45)

pada berberapa pertimbangan agar penulis mendapatkan informasi yang benar dan tidak menyulitkan penulis pada pelaksanaan penelitian sehingga tujuan penelitian dapat dicapai secara maksimal. Tahap ketiga memilih satu sekolah pada kategori A dan kategori B sedangkan kategori C tidak digunakan dalam penelitian. Tahap

keempat tahap penentuan Madrasah Aliyah terpilih dan Tahap kelima penentuan

kelas yang akan dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Berdasarkan data sekolah yang terdapat pada Tabel 3.3, peneliti memilih dua kategori penilaian yakni terakreditasi A dan terakreditasi B. Peringkat C tidak digunakan dalam penelitian ini dengan beberapa alasan, antara lain 1) kemungkinan profil siswa yang tidak memadai sehingga dikhawatirkan peneliti akan memberikan scaffolding yang berlebihan, 2) profil sarana belajar, 3) kegiatan belajar yang kurang efektif sehingga kemungkinan akan terjadi penggunaan strategi lain untuk mendorong siswa melakukan eksplorasi serta kecenderungan siswa untuk menunggu perintah guru sehingga strategi pembelajaran eksplorasi tidak dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah disusun, dan terakhir 4) tidak ditemukan Madrasah Aliyah Negeri yang berada di wilayah Jakarta dan Kepulauan Seribu yang terakreditasi C.

Ada 8 komponen yang dinilai pada penilaian akreditasi sekolah di BAN-SM yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. namun dalam penelitian ini Sekolah dipilih berdasarkan empat komponen penilaian akreditasi sekolah, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, serta standar sarana dan


(46)

prasarana. Sebaran perolehan skor setiap komponen pada masing-masing sekolah disajikan pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.4

Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat A (BAN-SM 2009)

Komponen MAN A1 MAN A2 MAN A3

Standar Isi 93.33 90.00 88.33

Standar Proses 95.00 87.50 92.50

Standar Kompetensi Lulusan 94.00 87.00 87.00 Standar Sarana dan Prasarana 97.50 91.67 96.69

Tabel 3.5

Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat B (BAN-SM 2009)

Komponen MAN

B1

MAN B2

MAN B3

MAN B4

Standar Isi 81.67 86.67 83.33 86.67

Standar Proses 82.50 77.50 82.50 75.00

Standar Kompetensi Lulusan 72.00 77.00 83.00 81.00 Standar Sarana dan Prasarana 87.50 90.83 89.17 75.00

Pertimbangan penulis memilih tempat penelitian adalah pertimbangan jarak ke sekolah dan empat komponen akreditasi sekolah (Standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan dan standar sarana dan prasarana) yang dikeluarkan oleh BAN-SM tertanggal penetapan tahun 2009. Akhirnya sekolah terpilih yang dijadikan tempat penelitian ada tiga yaitu MAN A1 Jakarta (kategori A) yang berdomisili di Jakarta Selatan, MAN B2 Jakarta (kategori B) berdomisili di Jakarta Selatan dan MAN B4 Jakarta (kategori B) berdomisili di Jakarta Barat.


(47)

Alasan penulis menggunakan dua sekolah pada kategori sedang karena kondisi kelas pararel di MAN B2 Jakarta dan MAN B4 Jakarta ada tiga, yakni satu kelas jurusan IPA, satu kelas jurusan IPS dan satu kelas lagi jurusan Agama. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, ditemukan fakta bahwa di MAN B2 Jakarta ternyata sebaran kurikulumnya berbeda, materi geometri ada si semester 3 atau kelas XI dan tersedia tiga kelas pararel untuk kelas XI yaitu XI IPA. XI IPS dan XI Agama. Kondisi ini tidak memungkinkan karena penulis memerlukan dua kelas sebagai sampel penelitian.

Selanjutnya penulis mencari sekolah lain yang memiliki karakteristik serupa dengan MAN B2 Jakarta yaitu di MAN B4 Jakarta. Hasil penelusuran awal di MAN B4 Jakarta materi tentang geometri terdapat di semester 2 atau kelas X. Kondisi serupa dengan MAN B2 Jakarta, ternyata di MAN B4 Jakarta juga ada 3 kelas pararel untuk kelas X, yaitu XIPA, XIPS dan XAgama.

Ketersediaan kelas untuk penelitian di masing-masing sekolah hanya satu, maka penulis memutuskan untuk menggunakan kelas XI IPA di MAN B2 Jakarta sebagai sampel penelitian dan kelas XIPA di MAN B4 Jakarta. Dengan menggunakan pemilihan secara acak, maka terpilih siswa kelas XIPA semester 2 di MAN B4 Jakarta sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas XI IPA semester 3 di MAN B2 Jakarta sebagai kelas kontrol. Sementara itu di MAN A1 Jakarta ada 5 kelas IPA secara paralel sehingga tempat penelitian untuk sekolah kategori A hanya menggunakan 1 tempat. Berdasarkan pertimbangan guru pengajar, maka terpilih kelas XIPA 3 sebagai kelas eksperimen dan kelas X IPA 4 sebagai kelas kontrol. Tabel 3.6 menggambarkan keadaan sampel penelitian.


(48)

Tabel 3.6

Jumlah Siswa pada Tiap Sekolah Nama

Sekolah Kelas/Semester Jml siswa Sampel Keterangan MA Negeri

A1

X-IPA 3/2 35 34 Pindah kelas

X-IPA 4/2 35 35 -

MA Negeri

B2 XI-IPA 1/3 23 23 -

MA Negeri

B4 X-IPA/3 24 22

Pindah sekolah/kelas

Jumlah Total 117 114

Berdasarkan Tabel 3.6, dari 117 orang responden yang terpilih pada saat penentuan sampel penelitian, ternyata di tengah-tengah pelaksanaan penelitian ada 3 orang siswa pindah kelas dengan alasan tidak dapat mengikuti proses pembelajaran di kelas IPA. Perpindahan kelas yang dilakukan oleh siswa terjadi karena kebijakan dari Kementerian Agama RI, bahwa beban yang diberikan kepada siswa pada tingkat Madrasah Aliyah sama dengan Perguruan Tinggi yaitu sistem SKS, dengan tujuan untuk memberikan fasilitas kepada siswa yang dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat (akselerasi).

Penjurusan atau peminatan di sekolah kategori A sudah dilakukan pada saat pendaftaran di kelas X, sehingga di sekolah kategori A perpindahan siswa terjadi dikarenakan jumlah siswa dalam satu kelas. Sedangkan di sekolah kategori B penjurusan dilakukan di kelas X semester 2, sehingga siswa memungkinkan akan terjadi perpindahan siswa di kelas X.

Dua orang siswa di MAN B4 Jakarta tidak menjadi sampel penelitian karena yang satu pada pemberian pretes hadir, tapi kemudian pindah sekolah.


(49)

Sedangkan untuk siswa yang satu lagi, tidak ikut postes karena pindah kelas ke X Agama. Sementara di MAN A1 satu siswa pindah kelas ke IPA 2 karena lebih memilih pindah pada kelas yang internasional.

Dengan demikian jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 114 siswa, selanjutnya sajian dan analisis data diperoleh dari 114 orang responden yang disesuaikan dengan tujuan penelitian untuk menguji apakah hipotesis penelitian didukung oleh data atau tidak.

Proses penentuan sampel penelitian diilustrasikan pada Gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Alur Penentuan Sampel Penelitian

Penulis juga melibatkan beberapa guru sebagai responden untuk mengisi angket penilaian karakter siswa. Guru yang diminta kesediaannya untu mengisi angket terdiri dari 2 guru yang mengajar eksakta dan 2 guru yang mengajar non-eksakta pada masing-masing sekolah, pemilihan tersebut untuk mengetahui karakter siswa berdasarkan pandangan guru eksakta dan guru non eksakta. Dengan demikian jumlah guru keseluruhan ada 12 orang. Selain itu, penulis juga melibatkan 2 orang observer yang membantu mengobservasi pelaksanaan

MAN di DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu MAN A1 JKT MAN B2 JKT MAN B4 JKT Eksp Eksp Kontrol Kontrol A B Jkt Selatan Jkt Barat Jkt Timur Jkt Pusat Kep. Seribu


(50)

pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol baik dan juga mengobservasi karakter siswa di dalam kelas baik itu karakter individu maupun berkelompok.

3.3Instrumen Penelitian

Data penelitian yang akan diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Dengan demikian instrumen yang digunakan terdiri dari instrumen tes dan instrumen non-tes. Instrumen tes yang diperoleh tujuannya untuk mengukur kemampuan geometri yang terdiri dari tes kemampuan awal siswa, tes visualisasi dan tes pemahaman konsep geometri, sedangkan instrumen non-tes akan digunakan untuk mengukur karakter siswa melalui lembar observasi, kuesioner, angket siswa dan persepsi guru.

3.3.1 Instrumen Tes

Untuk memperoleh data penelitian, penulis menggunakan instrumen: tes kemampuan awal siswa, tes pemahaman konsep geometri, tes kemampuan visualisasi, lembar observasi, kuesioner, angket karakter individu siswa, angket karakter berkelompok siswa dan angket berkelompok untuk guru yang berisi tentang penilaian terhadap karakter berkelompok siswa.

3.3.1.1 Tes Kemampuan Awal Siswa

Tes kemampuan awal siswa (TKAS) diberikan kepada siswa untuk mengukur pemahaman awal siswa tentang materi-materi yang berhubungan dengan konsep geometri yang akan diberikan. TKAS berbentuk tes uraian yang


(51)

terdiri dari 4 soal. Skor setiap item tes mempunyai rentangan dari skor 0 untuk skor terendah sampai skor 25 untuk skor tertinggi pada setiap soalnya, sehingga jumlah total maksimum yang diperoleh siswa adalah 100.

Tes kemampuan awal matematika siswa merupakan soal-soal prasyarat geometri sebanyak 4 soal. Tes ini terdiri dari materi yang telah diajarkan pada tingkat MTs dan juga yang telah diajarkan di semester 1 sehingga penulis mengambil beberapa konsep yang akan diujikan, yaitu konsep Pythagoras, konsep jarak dua titik pada koordinat Cartesius, konsep sudut, aplikasi arah mata angin.

Penyusunan soal tes kemampuan awal siswa dilakukan penulis dengan memperhatikan materi yang telah ditentukan kemudian penulis melakukan diskusi dengan 2 guru bidang studi matematika di MAN A1 Jakarta, 1 guru matematika di MAN B2 Jakarta dan 1 orang guru di MAN B4 Jakarta untuk mengetahui apakah tes yang dibuat layak untuk mengukur kemampuan awal siswa pada materi geomerti MA.

3.3.1.2 Tes Pemahaman Konsep

Tes pemahaman konsep geometri disusun berdasarkan pada standar isi KTSP, pengembangan materi dengan mengkaji berbagai literatur dan mengikuti saran pembimbing.

Untuk memudahkan penilaian pada tes pemahaman matematika, maka perlu disusun pedoman penyekoran Tes Pemahaman Konsep. Pedoman penyekoran yang dibuat berpedoman pada acuan penilaian “Holistic Scoring Rubrics” yang dikemukakan oleh Cai, Lane dan Jacobcsin (Gani, 2007:120) . Tes


(52)

pemahaman konsep akan dijawab dengan melalui tahap visualisasi masalah dengan menggunakan visualisasi gambar tujuannya untuk memudahkan siswa dalam menyelesaikan masalah, oleh sebab itu perlu dibuat kriteria penyekoran untuk visualisasi gambar geometri.

Kriteria penyekoran tes pemahaman konsep disajikan pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7

Kriteria Penyekoran Tes Pemahaman Geometri

Skor Kriteria Jawaban dan Alasan

4

Konsep dan prinsip terhadap soal geometri secara lengkap, penggunaan istilah dan notasi matemamatika secara tepat, penggunaan algoritma secara lengkap dan benar.

3

Konsep dan prinsip terhadap soal geometri hampir lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika hampir benar,

penggunaan algoritma secara lengkap, perhitungan secara umum benar, namun mengandung sedikit kesalahan.

2

Konsep dan prinsip terhadap soal geometri kurang lengkap, dan perhitungan masih terdapat sedikit kesalahan.

1

Konsep dan prinsip terhadap soal geometri sangat terbatas, dan sebagian besar jawaban masih mengandung perhitungan yang salah.

0

Tidak menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal geometri.


(1)

Choi-Koh, S., & Jung, I., (2004), Prospective Math Teachers’ Thinking in Explorations Using a Hand-held Calculator. Proceeding International Conference of Mathemtics Education. Tersedia di

www.aulamatematica.com/congresos/ICME_10.

Coates, D.E., (2006), People skills training: Are you getting a Return on Your Investment. Performance Support Systems, Inc. (This article reproduced for internal educational purposes). Tersedia di http://www.praxisconsulting.org. [3 Sept 2012].

Cobb, P., (2007), Putting Philosophy to Work. In Lester, F., (eds) Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. Information Age Publishing Inc.

Coe, R., (2002), It’s the Effect Size, Stupid: What effect size is and why it is important, Paper presented at the Annual Conference of The British Educational Research Association, University of Exeter, England.

Cohen, J., (1992), Quantitative Methodes in Psychology: A Power of Primer. Psycological Bulletin. Vol. 112, No.1, pp. 115-159.

Confrey, J., & Kazak, S., (2006), A thirty-year Reflection on Constructivism in Mathematics Education in PME. In A. Gutierrez & P. Boero (eds), Handbook of Research on The Psychology of Mathematics Education: Past, Present and Future. Rotterdam: Sense Publisher.

Costa, L.A., (2001), Developing Mind: Habits of Mind. 3rd edition. Alexandria: Associated for Supervision and Curriculum Development.

Creswell, J.W., & Plano, C.V., (2007), Designing and Conducting Mixed Methods Research. Thousand Oaks: Sage Publication.

Cunningham , D. D., (2010), The Seven Principles of Constructivist Teaching: A Case Study. The Constructivist. Vol. 17, No. 1, ISSN 1091-4072 Missouri State University.

Diezmann, C.M., & Watters, J.J., & English, L.D., (2001), Implementing mathematical investigations with young children . In Proceedings 24th Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia, pp 170-177, Sydney.

Downs, R. M., (2006), Learning to Think Spatially, Washington DC: The National Academic Press.


(2)

Duval, R., (1998), Geometry From a Cognitive Point of View. In C. Mammana & V. Villani (eds) Perspectives on the teaching of geometry for the 21st century. Dordrecht: Kluwer.

Eraso, M., (2007), Connection Visual and Analytic Reasoning to Improve

Students’ Spatial Visualization Abilities: A Construct Approach.

Dissertation. Miami: Florida International University.

Ernest, P., (1991), The Philosophy of Mathematics Education; Studies in Mathematics Education. Philadelphia: The Falmers Press.

Fraenkel, R.J., & Wallen, N., (1990), How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Gani, R. A., (2007), Pengaruh Pembelajaran Metode Inquiry Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Bandung: UPI-Disertasi. Geddes, D., & Fortunato, I., (1993), Research Idea for the Classroom Middle

Grades Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company. Goos, M., Stillman, G., & Vale, C., (2007), Teaching Secondary School

Mathematics: Research and practice for the 21 st century. Crows Nest: Allen & Unwin.

Gravemeijer, K., (1994), Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.

Guven B., & Kosa T., (2008), The Effect of Dynamic Geometry Software on Student Mathematics Teachers’Spatial Visualization Skills. The Turkish Online Journal of Educational Technology – TOJET October 2008 ISSN: 1303-6521 volume 7 Issue 4 Article 11.

Hasan, Said, H., dkk (2010), Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Pengembangan dan Penelitin Kurikulum, Pusat Kurikulum.

Heise, D., (1970), Attitude Measurement: The Semantic Differential and Attitude Research. Chicago: Rand Mc Nally. Tersedia di http://www.indiana.edu/ socpsy [16 Juli 2011]

Hershkowitz, R., (1998), About Reasoning in Geometry. In C. Mammana & V. Villani (eds) Perspectives on The Teaching of Geometry for The 21st Century. Dordrecht: Kluwer


(3)

Hiebert, J., & Carpenter, T.P., (1992), Learning and Teaching with Understanding. In D.A Grouws (ed), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan.

Idris, N., (2006), Teaching and Learning of Mathematics: Making Sense and Developing Cognitive Abilities. Kuala Lumpur: Utusan Publication. Ives D., (2003), The Development of Seventh Graders’ Conceptual Understanding

of Geometry and Spatial Visualization Abilities using Mathematical Representations with Dynamic Models. Dissertation. Montclair State University.

Johnstone-Wilder, S., & Mason J., (2005), Developing Thinking in Geometry. London: The Open University in Association with Paul Chapman Publishing.

Johnson, B. E., diterjemahkan oleh Setiawan, I., (2006), Contextual Teaching and Learning:Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna., Bandung: MLC.

Jones, K., (2000), Critical Issues in Design of The Geometry Curriculum. In: Bill Barton (ed) Reading in Mathematics Education. Auckland: University of Auckland.

Jones, K., (2001), Journal The Royal Society: Teaching and Learning Geometry: Spatial Thinking and Visualization.

Kemendiknas. (2011), Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Kirschner, P.A.; Sweller, J.; & Clark, R.E., (2006), Why Minimal Guidance

During Instruction Does Not Work: An Analysis of Failure of Constructivits, Discovery, Problem-Based, Experiental, and Inquiry-Based Teaching. Utrecht: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Journal of Educational Psychologist, Vol. 41, No. 2, pp. 75-86.

Kotler, P., (2001), The Organization of the future: Persaingan dan Karakter Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Kumar, R., (2005), Research Methodology. NSW: Pearson Education Australia. Malloy, C., (2004), Perspective on the teaching of mathematics. Sixty-sixth

yearbook: Equity in Mathematics Education is about Access. Reston, VA: NCTM.


(4)

Mancosu, P., (2005), Visualization, Explanation and Reasoning Style in Mathematics. Dordretch: Springer.

McLeay, H. (2006), Mathematics Teaching Incorporating Micromath: Imagery, Spatial Ability and Problem Solving. Derby: Assosiation of Teacher of Mathematics.

McLeod, S., (2009), Jean Piaget, tersedia di

http://www.simplypsychology.org/piaget.html#adaptation. updated 2012 McLeod, S. A., (2010), Zone of Proximal Development - Scaffolding. Tersedia di

http://www.simplypsychology.org/Zone-of-Proximal-Development.html Megawangi, R., (2004), Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk

Membangun Bangsa. Depok: Indonesia Herritage Foundation (IHF). Moyer, T., (2003), An Investigation of the Geometer’s Sketchpad and Van Hiele

Levels. Ann Arbor: ProQuest Information and Learning Company. Mullis, I., Martin, M.O., & Foy, P., (2008), TIMSS 2007 International Science

Report. Finding from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eight Grades. Boston: International Study Center.

National Council of Teacher of Mathematics (2000), Principles and Standards for School Mathematics. Reston: The National Councils of Teachers of Mathematics, Inc.

Phillips, D.C., (1995), The Good, The Bad, and The Ugly: The Many Faces of Constructivism. Educational Research, Vol. 24, No. 7, pp. 5-12.

PISA 2009 Result: What Students Know and Can Do: Students Performance in Reading, Mathematics and Science. Vol. 1. ISBN. 9789264091443. Tersedia pada www.oecd.org/pisa/

Prayitno, dan Khaidir, A., (2011), Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa: Pendidikan Karakter Cerdas: Pemikiran Alternatif Melalui Metode Klasikal dan Non-Klasikal dalam Pembinaan Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Rittle-Johnson, B., & Siegel, R., (1998), The Developmental of Mathematical Skills: The Relation between Conceptual and Procedural Knowledge in Learning Mathematics. East Sussex, UK: Psychology Press.


(5)

Schwartz, J. A., (2002), Bringing in a new era in character education: Transmitting Moral Wisdom in an Age of The Autonomous Self. California: Hoover Institution Press.

Skemp, (1987), The Psychology of Learning Mathematics. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Suherman, E., dan Sukjaya, Y., (1990), Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Sukadi, (2011), Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa: Pendidikan Karakter Bangsa Berideologi Pancasila. Bandung: Widya Aksara Press.

Schwartz, (2008), Teacher Education for Moral and Character Education. Handbook of Moral and Character Education. Ed. Nucci, L.P., & Narvaez, D., New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Tanan, A., (2008), Quantum leap: bagaimana entrepreneurship mengubah masa depan anda dan masa depan bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo. Tersedia di http://books.google.com [2 januari 2011].

Tartre, A.L., (1990), Spatial Orientation Skills and Mathematical Problem Solving. Journal for Research in Mathematics Education, Vol.21, No.3, NCTM. Tersedia pada http://www.jstor.org/stable/7439375.

Thalheimer, W., & Cook, S., (2002), How to Calculate Effect Sizes from Published Research: A Simplified Methodology. Copyright: A Work-Learning Research Publication. Tersedia di http://www.work-learning.com

Turmudi, (2008), Taktik dan Strategi Pembelajaran Matematika: Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Unal, H., Jakubowski, E., & Orey, D., (2009), Difference in Learning Geometry among High and Low Spatial Pre-Service Mathematics Teachers. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, Vol. 40, No. 8, Taylor and Francis. Tersedia pada http://www.informaworld.com [7 Desember 2010].

Utari-Soemarmo, (2010), Berfikir Logis, Kritis, Kreatif dan Budi Pekerti: Apa, Mengapa dan Bagaimana dikembangkan pada Siswa. UNY: Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika 17 April 2010.


(6)

Vigotsky, L.S., (1978), Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Edited: Cole, M., et.al. London: Harvard University Press.

Vita, N.A., (2011), Implementation of Character Education in Elementary School Students through Exploration Approach in Learning Mathematics. Yogyakarta: International Seminar and The Fourth National Conference on Mathematics Education 2011.

Wahyu, (2011), Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa: Masalah dan Usaha Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Wahyudin, (2011), Matematika sebagai Fondasi Membangun Karakter Bangsa. Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Matematika Tahun 2011 di Universitas Parahyangan Bandung.

Whitely, W., (1999), The Decline and Rise of Geometry in 20th Century North America. Proceedings of the 1999 Conference of The Mathematics Education Study Group of Canada. Ontario: Brock University.

Yeo, J., & Fook, H.N., (2006), Engaged Learning in Mathematics. In Electronic Proceeding of Educational Research Association of Singapore Conference: Diversity for Excellence: Engaged Pedagogies. Singapore: ERAS.

Yeo, J., & Yeap B., (2009), Investigating the Processes of Mathematical Investigation. Singapore: Paper presented at the 3rd Redesigning Pedagogy International Conference.

Yong, D., & Orrison, M., (2008), Imaging Math Day: Encouraging Secondary School Students and Teachers to Engage in Authentic Mathematial Discovery. Washington: Mathematical Association of America Focus.