Hubungan Antara Konflik Kerja Keluarga dan Kesejahteraan Subjektif pada Wanita Bekerja (Suatu Penelitian pada Karyawan di PT. Bank "X").

(1)

Penelitian ini berjudul “Hubungan antara Konflik Kerja-Keluarga dan Kesejahteraan Subjektif pada Wanita Bekerja” dengan sub-judul “Suatu Penelitian pada Karyawati di PT. Bank “X”. Tujuannya adalah mengetahui apakah ada hubungan antara konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif pada wanita bekerja yang berada pada rentang usia dewasa awal. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode korelasional dengan teknik survei. Populasi yang memenuhi karakteristik penelitian ini berjumlah 36 orang yang diambil dengan teknik purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan adalah dua buah kuesioner yang dikonstruksi dan dimodifikasi oleh peneliti berisi 50 item yang terdiri dari 16 item konflik kerja-keluarga dan 34 item kesejahteraan subjektif. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Pearson dan reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach, diperoleh 13 item valid dengan validitas berkisar antara 0.314 – 0.655 dan reliabilitas 0.813 yang berarti alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas tinggi untuk konflik kerja-keluarga dan 19 item valid dengan validitas berkisar antara 0.322 – 0.772 dan reliabilitas 0.888 yang berarti alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas tinggi untuk kesejahteraan subjektif.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan koefisien korelasi antara konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif yaitu −0,765. Tanda negatif memiliki arti bahwa semakin tinggi konflik kerja-keluarga maka semakin rendah kesejahteraan subjektif dan begitu pula sebaliknya. Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah memerluas ukuran sampel, menjaring data sosio-demografis yang lebih spesifik, dan melihat bukan hanya dari skor total tetapi juga dari bentuk dan arah konflik kerja-keluarga dan hubungannya dengan kesejahteraan subjektif.


(2)

Abstract

The title of this study is Correlation between Work-Family Conflict and Subjective Well Being on Working Woman with sub-title A Research on Employee in PT. Bank “X”. The aim is to acquire a clear representation in whether there is a relation between work-family conflict and subjective well-being on working women within early adulthood range. The study design is co-relational method using survey technique. The population is 36 people which were taken with purposive sampling technique.

The instrument used is two questionnaires which were constructed and modified consist of 50 items; 16 items for work-family conflict and 34 items for subjective well-being. Based on Pearson validity test and Alpha Cronbach reliability test, the writer discovered 13 valid items, with validity ranging from 0.314 – 0.655 and reliability around 0.813, meaning that the instrument used has high reliability for work-family conflict and 19 valid items with validity ranging from 0.322 – 0.772 and reliability around 0.888, meaning that the instrument used has high reliability for subjective well-being.

Based on statistic result, it was known work-family conflict and subjective well-being had a coefficient correlation −0,765. The negative sign means the higher the work-family conflict, the lower the subjective well-being and vice versa. The suggestion for the next research is to enlarge the sample size, using a more specific socio-demographic data and not only looking from the conflict total score but also the correlation between conflict shape and way with subjective well-being.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR ORISINALITAS PENELITIAN LEMBAR PUBLIKASI PENELITIAN KATA PENGANTAR

ABSTRAK………...……...i

ABSTRACT...ii

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR BAGAN...vii

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR LAMPIRAN...ix

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...13

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...13

1.3.1 Maksud...14

1.3.2 Tujuan...14

1.4 Kegunaan Penelitian...14


(4)

1.5 Kerangka Pikir...15

1.7 Asumsi………24 1.7 Hipotesis Penelitian………25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...26

2.1 Konflik Kerja-Keluarga (Work-Family Conflict)...26

2.1.1 Pengertian Peran dan Konflik Peran...26

2.1.2 Definisi Konflik Kerja-Keluarga (Work-Family Conflict)...30

2.1.3 Bentuk Konflik Kerja-Keluarga...33

2.1.4 Sumber atau Penyebab Konflik Kerja-Keluarga..……….36

2.1.5 Dimensi Konflik Kerja-Keluarga………..…44

2.1.7 Model Konseptual Konflik Kerja-Keluarga….………...45

2.1.7 Dampak yang Ditimbulkan Konflik Kerja-Keluarga………...47 2.2 Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well-Being)...51

2.2.1 Pengertian Kesejahteraan Subjektif...51

2.2.2 Komponen Kesejahteraan Subjektif……….52 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif ...56

2.3 Masa Dewasa Awal...65

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...67

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian...67

3.2 Prosedur Penelitian………...………...67

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...68 Variabel Penelitian……….


(5)

3.4 Alat Ukur………...70

3.4.1 Alat Ukur Konflik Kerja-Keluarga... 70

3.4.2 Alat Ukur Kesejahteraan Subjektif...72

3.4.3 Data Sosio-Demografis...74

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...75

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur...75

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur...76

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel...77

3.5.1 Populasi Sasaran………..77

3.5.2 Karakteristik Sampel....………...77

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel....……….………...77

3.6 Teknik Analisis Data………78

3.6 Hipotesa Statistik….………78

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...79

4.1 Gambaran Subjek Penelitian...79

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia...79

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak...80


(6)

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja...81

4.2 Hasil Penelitian...82

4.2.1 Korelasi Konflik Kerja-Keluarga dan Kesejahteraan Subjektif...82

4.2.2 Korelasi antara Kesejahteraan Subjektif dan Data Sosio-Demografis...82

4.3 Pembahasan...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...87

5.1 Kesimpulan...87

5.2 Saran...88

5.2.1 Saran Teoritis... 88

5.2.2 Saran Guna Laksana... 89

DAFTAR PUSTAKA...90

DAFTAR RUJUKAN...92 LAMPIRAN


(7)

Bagan 2.1.2 Work-Family Role Pressure Incompatibility………...31 Bagan 3.2 Prosedur Penelitian……...57


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur Konflik Kerja-Keluarga...61

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesioner Konflik Kerja-Keluarga...62

Tabel 3.3 Gambaran Alat Ukur Kesejahteraan Subjektif……….….….……....63

Tabel 3.4 Sistem Penilaian Kuesioner Kesejahteraan Subjektif ………....64

Tabel 3.5 Kriteria Validitas……….………...65 Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas………..………...66

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia...69

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak...70

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Anak Terakhir...70

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Perkawinan...71

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja...71

Tabel 4.6 Hubungan Konflik Kerja-Keluarga dan Kesejahteraan Subjektif...72


(9)

Lampiran 1. Validitas Alat Ukur

Lampiran 2. Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 3. Alat Ukur Setelah Revisi

Lampiran 4. Kisi-Kisi Alat Ukur Setelah Revisi

Lampiran 5. Identitas Subjek

Lampiran 6. Data Mentah

Lampiran 7. Tabel Distribusi Frekuensi Data Sosio-Demografis

Lampiran 8. Korelasi Pearson Kesejahteraan Subjektif dengan Data Sosio-Demografis

Lampiran 9. Hasil Korelasi Konflik Kerja-Keluarga dan Kesejahteraan Subjektif

Lampiran 10. Hasil Konflik Kerja-Keluarga Berdasarkan Bentuk Konflik

Lampiran 11. Profil PT. Bank “X”


(10)

32323

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di zaman yang sedang berkembang saat ini, sebagai mahluk sosial setiap manusia memiliki beragam kebutuhan dan keinginan yang harus dipenuhi, sehingga manusia termasuk kaum wanita berupaya melakukan aktivitas untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Maslow, 1993). Aktivitas bekerja diharapkan mampu memenuhi segala kebutuhan dan keinginan hidup yang muncul. Fenomena di atas menyebabkan wanita melakukan aktivitas bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun beberapa alasan wanita bekerja menurut Matlin (1987), yaitu untuk membantu menambah penghasilan dalam keluarga atau suami, karena adanya keinginan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri wanita, dan mencari tantangan baru dalam bekerja.

Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007), individu pada masa dewasa awal termasuk wanita mulai membuat keputusan terkait dengan

intimate relationship dimana wanita mulai membina kehidupan rumah

tangga dengan lawan jenis dan personal lifestyles dimana wanita mulai meniti karir demi memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga atau


(11)

memenuhi kebutuhan yang timbul karena gaya hidup mereka masing-masing.

Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan jumlah wanita pekerja di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 48,44 juta, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 47,24 juta walaupun pada tahun 2009 jumlah tersebut baru mencapai 46,68 juta orang. Data di atas membuktikan bahwa jumlah perempuan pekerja terus meningkat setiap tahunnya. Indikasi yang serupa juga ditemukan jika mempelajari aktivitas perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas, dimana semakin banyak yang memberikan jawaban bahwa kegiatan mereka adalah bekerja. Persentasenya mencapai 79,2% pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 80,8% pada tahun 2011.

Perubahan sosial di atas, menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Ricardi S. Adnan, menyebabkan terjadinya pergeseran perilaku sosial yang cukup signifikan terutama di kalangan ibu yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Batam dan kota-kota besar lainnya dalam 10 tahun terakhir ini.

(http://the-marketeers.com). Wanita bekerja menurut Suranto dan Subandi (1998)

adalah seorang wanita yang melakukan aktivitas formal atau non-formal di tempat kerja yang dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berkaitan dengan peran wanita yang bekerja, maka tidak jarang ditemukan keluarga dimana pria (suami) dan wanita (istri) memiliki pekerjaan, yang dimana bisa dikatakan sebagai pergeseran komposisi


(12)

3

keluarga, dari single career family dimana dalam sebuah rumah tangga hanya pria (suami) yang bekerja menjadi dual career family, dimana pria (suami) maupun wanita (istri) sama-sama bekerja. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dual-career merupakan mereka baik dirinya maupun pasangannya, memiliki aspirasi serta tanggung jawab karir dengan bekerja baik di bidang manajerial maupun pekerjaan profesional lainnya. Dual-career mampu memicu masalah baru apabila pasangan tersebut tidak dapat menyelaraskan antara masalah pekerjaan dan masalah keluarga, terutama para wanita yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga (Alteza dan Hidayati, 2012).

Survey awal yang dilakukan dengan teknik wawancara kepada 10 orang wanita bekerja di PT. Bank “X” menunjukkan bahwa 50% responden mengalami kesulitan dalam pergi bekerja mengatur waktu ketika harus merawat anak yang sakit atau menemani anak belajar. Kesulitan tersebut disebabkan oleh jadwal kerja yang mengharuskan mereka berada di kantor hingga sore hari. Jika anak sakit dan tidak bisa ditinggalkan biasanya responden pada akhirnya harus mengambil cuti dari kantor agar bisa menemani anak mereka, meskipun responden juga harus menyelesaikan pekerjaannya dengan meminta tolong kepada koleganya untuk membantunya menyelesaikan tugasnya hari itu, atau membawanya ke rumah jika pekerjaan tersebut bisa diselesaikan di rumah.

Jika tidak, maka respoden akan menyelesaikannya dengan cara mengambil lembur ketika responden kembali masuk kerja. Sedangkan


(13)

50% responden lainnya menyatakan bahwa mereka tidak lagi merasakan kesulitan dalam mengatur waktu dikarenakan usia anak mereka yang sudah besar dan keberadaan pengasuh yang mereka percaya atau anggota keluarga lain yang menggantikan mereka menemani anak di rumah. Seorang responden mengatakan jika sama sekali tidak ada orang yang bisa menemani anak di rumah maka responden akan secara bergantian dengan suami responden mengambil cuti dari kerja demi menemani anak di rumah. Responden mengatakan ia harus bisa mengatur waktunya dengan baik supaya baik pekerjaan maupun urusan keluarga dapat ditangani.

Hasil survei selanjutnya menunjukkan bahwa 90% responden menyatakan bahwa baru dapat menghabiskan waktu bersama anak-anak di sore hingga malam hari. Apabila pekerjaan di kantor yang ada sangat mendesak tetapi anak membutuhkan perhatuan, responden akan tetap pergi bekerja. Namun di sela-sela waktu bekerja, responden beberapa kali menelepon ke rumah untuk menanyakan kondisi anak kepada orang yang menjaga anaknya di rumah. Rutinitas menghubungi ini juga responden lakukan setiap hari, tidak tergantung pada kondisi anak. Salah satu responden mengatakan bahwa frekuensi menelepon ke rumah untuk memastikan kondisi anak juga tergantung pada orang yang menjaga anak di rumah.

Apabila responden merasa bisa memercayai orang tersebut, maka frekuensi untuk menelepon ke rumah akan berkurang. Akan tetapi jika responden merasa kurang percaya dengan orang yang menemani anaknya,


(14)

5

responden akan lebih sering menelepon ke rumah. Sedangkan 10% responden lainnya tidak mengalami kekhawatiran yang berlebihan dikarenakan telah memercayai orang yang menemani anak di rumah. Namun seorang responden berkata bahwa tidak mudah untuk menemukan orang yang bisa ia percaya untuk menemani anaknya di rumah. Setidaknya responden sudah 30 kali berganti-ganti pengasuh untuk menemani anaknya di rumah dalam jangka waktu yang relatif singkat.

Adapula 40% responden mengatakan bahwa waktu cuti yang diberikan oleh kantor seringkali habis digunakan oleh responden untuk menghabiskan waktu bersama keluarga terutama anak-anak. Ijin setengah hari, ijin terlambat masuk atau ijin pulang cepat merupakan ijin yang digunakan oleh responden agar bisa menemani anak terutama ketika anak berada dalam kondisi yang tidak bisa ditinggalkan. Menurut responden, kantor akan selalu berada pada prioritas kedua dibandingkan dengan anak. Seorang responden lain mengatakan bahwa ketika anak-anak responden masih kecil, terasa lebih sulit dalam mengatur waktu responden antara bekerja dan rumah tangga.

Seringkali responden memikirkan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan disebabkan oleh stress yang responden alami dalam menyeimbangkan pekerjaan dan rumah tangga. Tuntutan antara rumah tangga dan tuntutan yang datang dari pekerjaan membuat responden bingung untuk memutuskan. Di satu sisi responden ingin menemani anak responden dalam menjalankan aktivitasnya namun di sisi lain responden


(15)

harus bekerja untuk mencari nafkah tambahan dan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Akan tetapi saat anak-anak responden sudah lebih besar, responden merasa lebih nyaman dan bahkan merasa lebih mudah dan lebih terbiasa dalam membagi waktu.

Seorang responden lain bercerita bahwa awalnya responden ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya ketika memiliki anak. Akan tetapi karena responden harus membantu keadaan ekonomi keluarga maka responden tidak memiliki pilihan lain selain harus bekerja. Pembentukan karakter anak merupakan salah satu kesulitan yang responden rasakan, dimana responden tidak bisa ada secara nyata ada untuk menjadi contoh bagi anaknya sehingga anak tidak bisa belajar secara langsung dari orang tua. Responden mengatakan bahwa anak responden menjadi lebih dekat kepada suami karena pada sore hari suami responden telah berada di rumah.

Kegiatan memasak yang biasanya dilakukan anak dengan responden akhirnya dilakukan dengan ayah. Responden juga merasa hanya memberikan waktu sisa kepada anaknya dimana seharusnya sebagai seorang ibu, dia bisa memberikan waktu lebih banyak lagi pada keluarganya yang pada akhirnya berujung pada responden yang memanjakan anaknya misalkan dengan selalu menuruti keinginan anak atau membelikan anak mainan. Pekerjaan responden yang memiliki jadwal kerja yang padat mengharuskan responden untuk mematuhi jadwal tersebut sehingga seringkali ketika sampai di rumah, responden sudah


(16)

7

kelelahan dan hal tersebut berpengaruh pada emosi responden apalagi bila anak responden masih membutuhkan perhatiannya maupun bantuannya.

Selain itu, 40% responden mengutarakan adanya rasa bersalah yang dirasakan dikarenakan tidak bisa menemani anak mereka dalam jangka waktu yang lebih panjang dan melewatkan tahap dalam kehidupan anak, yang responden sebut dengan loss moment. Di sisi lain, 60% dari responden menyatakan bahwa mereka tidak mengalami rasa bersalah dikarenakan mereka dapat memercayakan anak mereka kepada anggota keluarga lainnya sehingga mereka masih bisa memantau anak mereka lewat anggota keluarga tersebut dan responden sendiri masih bisa menebus kekurangan waktu tersebut di hari libur. Dikarenakan rasa bersalah yang dirasakan, 40% responden tersebut tetap mengurus sendiri kebutuhan anak mereka untuk hari itu dengan bangun lebih pagi dan menyiapkan kebutuhan anak sebelum berangkat kerja.

Menurut salah satu responden, ada banyak cara untuk mensiasati bagaimana agar responden tetap bisa menghabiskan waktu bersama dengan anak meski harus bekerja. Seorang responden mengatakan bahwa responden membangunkan anaknya lebih pagi sebelum responden berangkat kerja untuk setidaknya membuat sang anak bertemu dengan responden di pagi hari. Dan ketika sore hari tiba, sepulang dari kerja responden segera menemani anak-anak. Dari hasil survei di atas dapat dilihat bahwa seringkali responden mengalami kesulitan dalam mengatur waktu antara perannya sebagai wanita karier dan sebagai ibu rumah


(17)

tangga, terlebih lagi ketika anak responden sakit atau berada dalam kondisi yang tidak bisa ditinggalkan yang membuat responden menjadi sulit memutuskan untuk berangkat bekerja atau tidak.

Wanita yang menjalankan perannya sebagai ibu dan perannya sebagai wanita karier seringkali mengalami konflik dalam menjalankan dua peran tersebut. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh wanita bekerja dalam mengatur waktunya dalam memenuhi perannya sebagai wanita karier dan sebagai ibu rumah tangga menjadi salah satu sumber konflik yang mengarah pada konflik kerja-keluarga (work-family conflict). Menurut Kahn (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) konflik kerja-keluarga terjadi saat partisipasi dalam peran pekerjaan dan peran keluarga saling tidak cocok antara satu dengan lainnya. Karenanya partisipasi dalam peran pekerjaan terhadap keluarga dibuat semakin sulit dengan hadirnya partisipasi dalam peran keluarga terhadap pekerjaan.

Konflik kerja-keluarga dapat terjadi karena tuntutan waktu di satu peran yang bercampur aduk dengan keikutsertaan peran lainnya, stress yang bermula dari satu peran yang spills over ke dalam peran lainnya yang akan mengurangi kualitas hidup dalam peran tersebut, dan perilaku yang efektif dan tepat pada satu peran, namun tidak efektif dan tidak tepat saat ditransfer pada peran lainnya. Dengan demikian ada dua arah (bidirectional) dalam konflik kerja-keluarga, yaitu konflik pekerjaan terhadap keluarga dan konflik keluarga terhadap pekerjaan.


(18)

9

Konflik pekerjaan terhadap keluarga (work interfering family) terjadi saat pengalaman dalam bekerja mempengaruhi kehidupan keluarga. Contohnya adalah tekanan dalam lingkungan kerja seperti jam kerja yang panjang, tidak teratur, atau tidak fleksibel, perjalanan yang jauh, beban kerja yang berlebihan dan bentuk-bentuk lainnya dari stress kerja, konflik interpersonal di lingkungan kerja, transisi karir, serta organisasi atau atasan yang kurang mendukung. Konflik keluarga terhadap pekerjaan (family interfering work) terjadi saat pengalaman dalam keluarga memengaruhi kehidupan kerja. Contohnya adalah tekanan keluarga seperti hadirnya anak-anak yang masih kecil, merasa bahwa tanggung jawab utamanya adalah bagi anak-anak, bertanggung jawab merawat orang tua, konflik interpersonal dalam unit keluarga, serta kurangnya dukungan dari anggota-anggota keluarga (Greenhaus, 2002).

Mengutip dari Greenhaus & Beutell (1985), dikatakan bahwa ada tiga bentuk konflik kerja-keluarga, yaitu konflik berdasarkan waktu, konflik berdasarkan ketegangan dan konflik berdasarkan perilaku. Konflik berdasarkan waktu terjadi ketika seseorang menggunakan waktu untuk menjalankan satu peran, waktu yang dihabiskan dalam satu peran mengakibatkan seseorang tidak dapat memenuhi tugas di perannya yang lain. Menurut Pleck (dalam Frone, Russell & Cooper, 1997) konflik berdasarkan waktu dapat terjadi dalam dua bentuk, yang pertama yaitu tuntutan waktu pada satu peran membuat seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan peran yang lain, yang kedua adanya konflik waktu yang membuat


(19)

seseorang tidak mampu untuk berkonsentrasi pada satu peran meskipun ia sudah berusaha memenuhi tuntutan peran lainnya.

Kemudian ada konflik berdasarkan ketegangan, adalah suatu konflik yang terjadi ketika ketegangan atau kelelahan pada satu peran akan mempengaruhi peran lainnya, hal ini terjadi ketika ketegangan dari satu peran bersamaan dengan pemenuhan tanggung jawab di peran lain. Yang terakhir dinamakan konflik berdasarkan perilaku yaitu suatu konflik yang terjadi dimana pola-pola perilaku dalam satu peran tidak sesuai dengan pola-pola pada peran lainnya, disebabkan perilaku pada satu peran yang mungkin tidak dapat dibandingkan dengan harapan bagi peran lainnya.

Pada dasarnya konflik kerja-keluarga dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. Meski demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas terjadi konflik kerja-keluarga pada wanita lebih besar dibandingkan pria (Apperson, Schmidt, Moore & Grunberg, 2002). Keterlibatan dan komitmen waktu perempuan pada keluarga yang didasari tanggung jawab mereka terhadap tugas rumah tangga, termasuk mengurus suami dan anak membuat para wanita bekerja lebih sering mengalami konflik (Simon, 1995 dalam Apperson et al, 2002). Tingkat konflik ini lebih parah pada wanita yang bekerja secara formal karena mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan atau target penyelesaian pekerjaan.

Studi oleh Apperson et al. (2002) juga menemukan bahwa karakteristik pekerjaan yang sifatnya lebih formal dan manajerial seperti jam kerja yang


(20)

11

relatif panjang dan pekerjaan yang berlimpah lebih cenderung memunculkan konflik kerja-keluarga pada wanita bekerja. Sementara Greenhaus and Beutell (1985) yang mengutip penelitian Herman dan Gyllstrom (1977), menemukan bahwa individu yang sudah menikah akan mengalami lebih banyak konflik pekerjaan keluarga dibandingkan individu yang tidak menikah. Dalam konteks yang sama, individu yang berperan orang tua akan mengalami konflik kerja-keluarga lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak berperan sebagai orang tua.

Beberapa studi lainnya menyimpulkan bahwa orang tua dengan anak yang lebih muda usianya (dimana anak membutuhkan waktu dari orang tua) akan mengalami lebih banyak konflik dibandingkan orang tua dengan anak yang dewasa usianya (Beutell & Greenhaus, 1980; Greenhaus & Kopelman, 1981; Pleck, Staines & Lang, 1980 dalam Greenhaus and Beutell, 1985). Konflik kerja-keluarga memengaruhi beberapa ranah kehidupan, salah satunya adalah kepuasaan hidup. Penelitian yang dilakukan pada konflik keluarga menemukan bahwa konflik kerja-keluarga memengaruhi berbagai macam hal, salah satunya adalah kepuasan hidup (Greenhaus & Beutell, 1985; Gutek, Searle, & Klepa, 1991; Voydanoff, 1988). Studi yang dilakukan oleh Allen, Bruck & Spector (2000) juga menunjukkan bahwa tingginya level konflik kerja-keluarga mempunyai hubungan dengan level yang rendah dari kepuasan hidup. Salah satu komponen yang membentuk kesejahteraan subjektif (subjective well-being) adalah kepuasan hidup.


(21)

Menurut Diener, Lucas, dan Oishi (2002), kesejahteraan subjektif (subjective well-being) didefinisikan sebagai evaluasi afektif dan kognitif individu tentang kehidupannya. Elemen kognitif yang dimaksud adalah apa yang individu pikirkan mengenai kepuasan hidupnya secara utuh atau secara spesifik pada area kehidupan tertentu, misalnya pernikahan, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya. Sedangkan elemen afektif berhubungan dengan emosi, mood dan perasaan yang dirasakan oleh individu. Elemen afektif ini terdiri dari dua bagian utama yaitu emosi positif dan emosi negatif.

Individu yang memiliki level kepuasan hidup yang tinggi dimana secara kognitif, invidivu tersebut menilai bahwa kehidupannya sejahtera dan stabil serta mengalami lebih banyak mengalami emosi positif dibandingkan emosi negatif akan memiliki level kesejahteraan subjektif yang tinggi, atau lebih sederhananya dapat dikatakan sangat bahagia. Kesejahteraan subjektif dibangun oleh dua komponen, yaitu penilaian kognitif dan penilaian afektif. Penilaian kognitif adalah penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Sementara itu penilaian afektif adalah penilaian individu terhadap mood dan emosi yang sering dirasakan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam Lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005). Penilaian afektif ini bisa datang dalam penilaian yang positif (afek positif) seperti perasaan cinta atau kasih sayang dan penilaian yang negatif (afek negatif) seperti kegelisahan atau rasa bersalah. Seperti yang telah disebutkan dalam hasil survey awal, dinyatakan bahwa beberapa


(22)

13

responden merasakan rasa bersalah karena tidak bisa menemani anak mereka dalam jangka waktu yang lebih panjang. Selain itu, responden juga mengatakan bahwa ada keinginan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dikarenakan stress yang dirasakan.

Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungan antara konflik kerja-keluarga dengan kesejahteraan subjektif pada wanita bekerja di PT Bank “X”.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui apakah ada hubungan antara konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif pada pada wanita bekerja pada rentang usia dewasa awal.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif pada wanita bekerja pada rentang usia dewasa awal.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hubungan konflik kerja-keluarga melalui bentuk dan arah konflik


(23)

yang kemudian dikaitkan pada kesejahteraan subjektif melalui evaluasi afektif dan kognitif pada wanita bekerja pada rentang usia dewasa awal, didukung dengan data sosio-demografis sehingga menjadi lebih komprehensif.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan informasi tambahan mengenai hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif dalam penerapan ilmu Psikologi khususnya dalam ilmu Psikologi Keluarga. 2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti topik serupa dan dapat mendorong dikembangkannya penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan gambaran kepada para pembaca, khususnya wanita yang bekerja dan berkeluarga mengenai hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif secara lebih komprehensif melalui data sosio-demografis yang ikut dijaring.

2. Memberikan pemahaman lebih kepada wanita bekerja tentang bentuk-bentuk konflik kerja-keluarga agar berguna dalam


(24)

15

menghadapi konflik kerja-keluarga di masa kini atau di masa mendatang.

3. Memberikan pemahaman lebih kepada wanita bekerja tentang elemen yang membangun kesejahteraan subjektif sehingga wanita bekerja dapat lebih memerhatikan kesejahteraan subjektif pribadi dilihat juga dengan konflik kerja-keluarga yang dialami.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dewasa awal merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa dewasa awal dimulai dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi, yang disebut sebagai emerging adulthood (Arnett dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2007), masa dewasa awal dilalui oleh individu pada usia yang berkisar antara 20 hingga 40 tahun. Dalam rentang usia ini, individu membuat keputusan-keputusan terkait

intimate relationship dan personal lifestyles, yang diarahkan untuk

membangun kehidupan berkeluarga. Havighurst (dalam Turner & Helms, 1995) juga mengemukakan beberapa tugas perkembangan wanita pada usia dewasa awal, beberapa di antaranya adalah membina kehidupan rumah tangga dan meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan


(25)

ekonomi rumah tangga. Dengan adanya dua peran tersebut, wanita itu dapat dikatakan berperan ganda.

Wanita berperan ganda harus menyeimbangkan tanggung jawab yang hadir dari kedua peran yang kedua-duanya membutuhkan pemenuhan tersebut. Bagi seorang istri sekaligus ibu menjalani tuntutan yang muncul dari pekerjaan dan keluarga secara bersamaan akan menimbulkan beberapa resiko masalah. Misalnya ketika seorang wanita sebagai pemimpin di kantor diharuskan memiliki sosok yang dapat diandalkan, memiliki keseimbangan emosional, agresif, dan memiliki tujuan. Akan tetapi di sisi lain, keluarga juga menginginkan ibu yang hangat, perhatian, emosional, dan lembut saat berinteraksi. Jika seseorang tidak dapat menyesuaikan dirinya dalam memenuhi harapan dalam peran yang berbeda-beda, orang tersebut akan mengalami konflik antara peran-perannya. Setiap individu yang menjalani peran ganda berpeluang mengalami konflik.

Ketidakselarasan yang terkadang terjadi di antara kedua peran tersebut sering disebut dengan sebutan konflik peran ganda atau konflik kerja-keluarga (work-family conflict). Berdasarkan Khan et al. (dalam Greenhaus dan Beutell, 1985), definisi konflik kerja-keluarga adalah suatu bentuk interrole conflict berupa tekanan peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga yang mengalami benturan. Greenhaus dan Beutell (1985) mengemukakan tiga bentuk konflik kerja-keluarga yaitu konflik berdasarkan waktu, konflik berdasarkan ketegangan dan konflik


(26)

17

berdasarkan perilaku. Konflik berdasarkan waktu terjadi saat waktu yang dicurahkan oleh wanita bekerja untuk memenuhi salah satu peran membuat waktu untuk memenuhi peran yang lain menjadi berkurang. Konflik berdasarkan ketegangan terjadi pada saat ketegangan baik secara fisik maupun psikis dari peran yang satu menyebabkan wanita yang bekerja tidak bisa memenuhi tuntutan dari peran yang lain, sedangkan konflik berdasarkan perilaku terjadi pada saat tingkah laku yang perlu dilakukan wanita yang bekerja pada peran yang satu bertentangan dengan tingkah laku yang diharapkan dalam peran lain.

Greenhaus (2000) juga mengemukakan dua arah konflik kerja-keluarga yaitu konflik pekerjaan terhadap kerja-keluarga (work interfering

family) dan konflik keluarga terhadap pekerjaan (family interfering work).

Konflik pekerjaan terhadap keluarga (work interfering family) terjadi saat pengalaman dalam bekerja mempengaruhi kehidupan keluarga. Contohnya adalah tekanan dalam lingkungan kerja seperti jam kerja yang panjang, tidak teratur, atau tidak fleksibel, perjalanan yang jauh, beban kerja yang berlebihan dan bentuk-bentuk lainnya dari stress kerja, konflik interpersonal di lingkungan kerja, transisi karir, serta organisasi atau atasan yang kurang mendukung. Sedangkan, konflik keluarga terhadap pekerjaan (family interfering work) terjadi saat pengalaman dalam keluarga mempengaruhi kehidupan kerja. Contohnya adalah tekanan keluarga seperti hadirnya anak-anak yang masih kecil, merasa bahwa tanggung jawab utamanya adalah bagi anak-anak, bertanggung jawab


(27)

merawat orang tua, konflik interpersonal dalam unit keluarga, serta kurangnya dukungan dari anggota-anggota keluarga.

Responden yang mengalami konflik kerja-keluarga yang tinggi akan merasakan banyak kesulitan dalam mengatur waktunya untuk bekerja dan waktunya untuk keluarga (konflik berdasarkan waktu). Kesulitan yang terjadi bisa berasal dari pekerjaan dikarenakan jadwal kerja yang padat sehingga tidak lagi dapat menyempatkan diri untuk menemani keluarga ataupun sebaliknya. Sulit menyelaraskan perilakunya agar sesuai dalam dua ranah yang berbeda tuntutan (konflik berdasarkan perilaku), dimana perilaku yang dituntut oleh rumah seperti sifat hangat dan mengayomi tidak sesuai dengan tuntutan tempat kerja yang mengharuskan responden bersikap tegas dan ajeg atau sebaliknya, serta kurang mampu mengatasi ketegangan atau kelelahan yang muncul setelah pemenuhan salah satu peran sehingga tidak memungkinkannya untuk memenuhi peran lain (konflik berdasarkan ketegangan), dimana responden sudah terlalu lelah sekembalinya dari kantor sehingga tidak lagi bisa membantu urusan rumah tangga atau sebaliknya.

Responden yang mengalami konflik kerja-keluarga dalam tingkat yang rendah akan mampu mengatur waktunya sehingga ia bisa memenuhi tuntutan kedua peran tersebut, bersikap sesuai dengan tuntutan perannya baik di rumah maupun dalam pekerjaan dan juga mampu mengatasi ketegangan atau kelelahan yang dirasakan setelah memenuhi salah satu peran sehingga mampu untuk menjalankan peran lain. Beberapa penelitian


(28)

19

yang dilakukan pada konflik kerja-keluarga menemukan bahwa konflik kerja-keluarga memengaruhi berbagai macam hal, salah satunya adalah kepuasan hidup (Greenhaus & Beutell, 1985; Gutek, Searle, & Klepa, 1991; Voydanoff, 1988). Penelitian Allen et al. (2000) juga menunjukkan bahwa tingginya level konflik kerja-keluarga mempunyai hubungan dengan level yang rendah dari kepuasan hidup dan salah satu komponen yang membentuk kesejahteraan subjektif (subjective well-being) adalah kepuasan hidup.

Definisi dari kesejahteraan subjektif sendiri adalah evaluasi afektif dan kognitif individu tentang kehidupannya. Elemen kognitif yang dimaksud adalah apa yang individu pikirkan mengenai kepuasan hidupnya secara utuh atau secara spesifik pada area kehidupan tertentu, misalnya pernikahan, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya. Sedangkan elemen afektif berhubungan dengan emosi, mood dan perasaan yang dirasakan oleh individu. Elemen afektif ini terdiri dari dua bagian utama yaitu emosi positif dan emosi negatif. Kesejahteraan subjektif dibangun oleh dua komponen, yaitu penilaian kognitif dan penilaian afektif. Penilaian kognitif adalah penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Sementara itu penilaian afektif adalah penilaian individu terhadap mood dan emosi yang sering dirasakan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam Lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005), seperti yang rasa bersalah yang banyak dirasakan oleh respoden dikarenakan mereka tidak bisa menemani anak mereka dalam waktu yang lebih lama. Responden


(29)

merasa bahwa waktu yang mereka berikan kepada anak-anak mereka seharusnya bisa lebih banyak daripada yang mereka berikan saat ini ataupun responden yang merasa stress dikarenakan oleh usahanya untuk menyeimbangkan dua peran yang berbeda.

Responden yang mengalami kesejahteraan subjektif yang tinggi akan memiliki evaluasi kognitif bahwa kehidupannya telah sejahtera dan tercukupi dalam berbagai aspek kehidupannya maupun secara keseluruhan serta lebih banyak merasakan emosi yang positif seperti senang, tenang, bahagia dan lain sebagainya sehingga memungkinkan responden tersebut merasa sejahtera dalam kehidupannya. Sedangkan responden yang mengalami kesejahteraan subjektif yang rendah akan memiliki evaluasi kognitif bahwa kehidupannya masih jauh dari sempurna dan ada begitu banyak hal yang belum tercukupi dalam berbagai aspek kehidupannya maupun secara keseluruhan serta lebih banyak merasakan emosi negatif seperti frustasi, sedih, panik, dan lain sebagainya sehingga memungkinkan responden tersebut merasa hidupnya tidak sejahtera.

Selain penelitian Allen et al. (2000) dan beberapa penelitian lain yang sudah disebutkan di atas, ada pula beberapa penelitian lain seperti yang dikemukakan oleh Parasuraman dan Simmers (dalam Wikaningrum, 2003) yang menemukan bahwa konflik kerja-keluarga memengaruhi kepuasan hidup sehingga semakin jelas bahwa konflik kerja-keluarga memiliki kaitan dengan kepuasaan hidup atau berdampak kepada kepuasaan hidup. Responden yang mengalami konflik kerja-keluarga yang tinggi akan


(30)

21

banyak mengalami kesulitan, ketidakselarasan, dan perasaan terhimpit antara kedua peran sehingga responden akan merasa frustasi atau tertekan karena tidak bisa menjalankan kedua peran tersebut dan merasa bahwa hidupnya kacau dan tidak beraturan sehingga responden tidak bisa memiliki evaluasi kognitif yang positif mengenai hidupnya dan mengalami emosi yang positif seperti bahagia, tenang, dan tentram. Sebaliknya responden yang mengalami konflik kerja-keluarga yang rendah dapat menjalankan kedua peran dengan tuntutan yang berbeda dengan sesuai dan tidak mengalami banyak kesulitan sehingga memungkinkan responden untuk memiliki evaluasi kognitif yang positif terhadap kehidupannya bahwa hidupnya sudah cukup terpenuhi dan tercukupi, juga lebih banyak diisi dengan emosi yang positif seperti bahagia, tenang dan lain sebagainya.

Paparan beberapa penelitian tentang konflik kerja-keluarga yang berdampak pada kepuasaan hidup, salah satu komponen yang membentuk kesejahteraan subjektif dan adanya rasa bersalah yang dialami oleh responden memunculkan asumsi bahwa konflik kerja-keluarga memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan subjektif. Untuk lebih memahami hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif secara komprehensif maka akan dijaring beberapa data sosio-demografis yang merupakan data yang digali secara kontekstual dengan responden sehingga tidak diturunkan dari konsep dan tidak bisa diposisikan sebagai


(31)

faktor-faktor yang memengaruhi. Data-data tersebut adalah usia, pendidikan terakhir, usia perkawinan, jumlah anak, dan usia anak terakhir.


(32)

23

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pikir

Data Sosio-Demografis: 1. Usia

2. Pendidikan Terakhir 3. Usia Perkawinan 4. Usia Anak Terakhir 5. Jumlah Anak

Wanita bekerja di

PT. Bank “X” Konflik Kerja Keluarga Kesejahteraan Subjektif

Bentuk Konflik:  Strain-based

Behavior-based

Time-based.

Arah Konflik:

Family Interfering Work

Work Interfering Family

Aspek Kognitif:

Kepuasan Hidup Aspek Afektif:

Afek Positif Afek Negatif


(33)

1.6 Asumsi Penelitian

1.) Wanita bekerja di PT. Bank “X” yang menikah akan menjalani peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja.

2.) Wanita di PT. Bank “X” yang berperan ganda akan berpeluang mengalami ketidakselarasan antara tugasnya sebagai ibu dan tugas-tugasnya di bidang pekerjaan.

3.) Ketidakselarasan tersebut dapat menimbulkan konflik yang disebut sebagai konflik kerja-keluarga.

4.) Konflik kerja-keluarga adalah suatu bentuk interrole conflict berupa tekanan peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga yang mengalami ketidakselarasan.

5.) Sumber-sumber ketidakselarasan tersebut bisa berawal dari persoalan rumah tangga yang dibawa ke tempat kerja atau persoalan dari tempat kerja yang dibawa ke rumah tangga. 6.) Ketidakselarasan tersebut dapat terjadi karena pola perilaku,

penggunaan waktu dan ketegangan yang ditimbulkan masing-masing peran.

7.) Konflik kerja-keluarga yang dirasakan oleh wanita bekerja di PT. Bank “X” akan memengaruhi beberapa hal, salah satunya adalah kepuasan hidup yang merupakan komponen yang membentuk kesejahteraan subjektif.


(34)

25

8.) Penghayatan konflik kerja-keluarga pada setiap wanita bekerja di PT. Bank “X”akan memengaruhi penghayatan kesejahteraan subjektif mereka masing-masing.

9.) Apabila wanita bekerja di PT. Bank “X” mengalami konflik kerja-keluarga yang tinggi maka kesejahteraan subjektif yang dirasakannya akan rendah dan begitu pula sebaliknya.

1.7 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan negative anatra konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif.


(35)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektifpadawanita bekerja khususnya karyawati di PT. Bank “X”, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1) Terdapat hubungan negatif antara konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan

subjektif pada wanita bekerja, khususnya karyawati di PT. Bank “X”.

Setiap terjadi peningkatan pada konflik kerja-keluarga akan menurunkan kesejahteraan subjektif yang dirasakan responden dan begitu pula sebaliknya.

2) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis usia responden dan usia perkawinan tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. 3) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan

subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis jumlah anak dan usia anak terakhir tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. 4) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan

subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis masa kerja dan lama bekerja di perusahaan responden tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif.


(36)

88

5) Berdasarkan perhitungan statistik, karyawati di PT. Bank “X” lebih banyak mengalami konflik yang disebabkan oleh waktu.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan peneliti guna memberi manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoretis

1) Bagi peneliti lain yang berminat mendalami hubungan antara konflik kerja dan kesejahteraan subjektif, disarankan untuk menambah jumlah responden. Selain itu, ada baiknya memerkaya hasil analisis dengan tidak hanya melihat total skor namun juga bagaimana arah konflik kerja-keluarga dan bentuk konflik itu sendiri memengaruhi kesejahteraan subjektif responden dikarenakan dalam penelitian hanya menggunakan total skor.

2) Bagi peneliti lain yang ingin meneliti kembali mengenai hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif, disarankan untuk memerkaya data sosio-demografis yang akan dijaring, seperti bagaimana responden mengisi waktu luang ketika tidak ada tuntutan pekerjaan yang mendesak atau jumlah waktu yang responden habiskan di pekerjaan dan di rumah, pendapatan responden agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih kaya, karena dalam penelitian ini data-data tersebut tidak dijaring.


(37)

5.2.2 Saran Guna Laksana

1) Bagiwanita bekerja di PT. Bank “X” yang menghayati konflik kerja-keluarga yang tinggi, disarankan untuk mulai mencoba menata jadwal kerja dengan waktu yang diluangkan untuk keluarga sehingga keduanya tidak berbenturan. Sedangkan untuk wanita bekerja di PT. Bank “X” yang menghayati kesejahteraan subjektif yang rendah, disarankan untuk menyempatkan waktu untuk melakukan kegiatan relaksasi atau melakukan kegiatan yang diminati sehingga dapat mengalami perasaan yang positif yang akan mengarah pada rasa kepuasan terhadap hidup.

2) Bagi wanita bekerja di PT. Bank “X” yang belum menikah, dapat melakukan persiapan diri terlebih dahulu sebelum menjalani dua peran yang berbeda dengan cara mengatur jadwal diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tuntutan pekerjaan.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Alteza, Muniya & Lina Nur Hidayati. 2012. Work-Family Conflict pada Wanita

Bekerja: Studi Penyebab, Dampak dan Strategi Coping.

Diener E., Suh E.M, Lucas R.E., Smith H.L. 1999. Subjective Well-Being: Three

Decades of Progress. Psychological Bulletin, 125 (2). 276-302.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Frone, Michael R., Marcia Russell and M. Lynne Cooper. 1997. Journal of

Occupational and Organizational Psychology Volume 70 Issue 4 (pg. 325-335). UK: The British Psychological Society.

Gita, Chrysentia. 2013. Studi Deskriptif Mengenai Work Family Conflict Pada

Karyawati Yang Sudah Berkeluarga Di Bank “X” Jakarta. Skripsi. Universitas Kristen Maranatha.

Greenhaus, J.H & Beutell, N.J. 1985. Sources of Conflict Between Work and

Family Role. Academy of Management Journal, 10, 76-88.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education, 3rd

edition. London: Mc.Graw-Hill.

Kaplan, Robert M. dan Dennis P. Sacuzzo. 2008. Psychological Testing:

Principles, Applications, and Issues (Sixth Edition). Belmont. Thomson

Wadsworth.

Korabik, Karen, Donna S. Lero and Denise L. Whitehead. 2008. Handbook of

Work-Family Integration. New York: Academic Press.

Lyubomirsky, S. & Dickerhoof, R. 2005. Subjective Well Being Dalam Worell, J.

(Eds). Handbook of Girls and Women’s Psychological Health. NC: Oxford University Press.


(39)

Ningsih, Didin Agustin. 2013. Subjective Well Being Ditinjau dari Faktor

Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan). Jurnal Online

Psikolog, 1 (2), 581-603.

Papalia, Diane E, Harvey L. Sterns, Ruth Duskin Feltman, Cameron J. Camp. 2007. Adult Development and Aging, 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Pavot W. & Diener E. 2008. The Satisfaction With Life Scale and The Emerging

Construct of Life Satisfaction. Journal of Positive Psychology, 3, 137-152.

Seligman, Martin E.P. 2005. Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan

dengan Psikologi Positif. Bandung: Penerbit Mizan.

Snyder, C.R & Shane J. Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.

Subandi, Idi dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono.2012. Statistika untuk Penelitian.Bandung: Alfabeta.

Turner, Jeffrey S. and Donald B. Helms. 1995. Lifespan Development. California: Harcourt Brace College Publishers.


(40)

DAFTAR RUJUKAN

Bull, Torill. 2010. Combining employment and child care: the subjective

well-being of single women in Scandinavia and southern Europe. (Online).

http://eng.kilden.forskningsradet.no/c52778/nyhet/vis.html?tid=74562 (diakses 10 November 2013).

Fakultas Psikologi. 2009. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Nirwana, Sitepu. 1994. Analisa Regresi dan Korelasi. Bandung: Usaha Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistika FMIPA Universitas Padjajaran.

Perempuan Bekerja Meningkat, Sambal Instan Muncul. http://the-

marketeers.com/archives/perempuan-bekerja-meningkat-sambal-instan-muncul.html (diakses tanggal 5April 2013)

Profil Bank BNI. www.bni.co.id(diakses tanggal 19 Mei 2014)

Problem yang Dihadapi Perempuan Bekerja. 2012. Jakarta: Female Kompas.com. htpp://female.kompas.com/read/2012/01/30/10425247/5.Problem.yang.Di hada%20pi.Perempuan.Bekerja (diakses tanggal 10 Desember 2013)

Sarwono, Jonathan. 2006. Korelasi.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektifpadawanita bekerja khususnya karyawati di PT. Bank “X”, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1) Terdapat hubungan negatif antara konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan

subjektif pada wanita bekerja, khususnya karyawati di PT. Bank “X”.

Setiap terjadi peningkatan pada konflik kerja-keluarga akan menurunkan kesejahteraan subjektif yang dirasakan responden dan begitu pula sebaliknya.

2) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis usia responden dan usia perkawinan tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. 3) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan

subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis jumlah anak dan usia anak terakhir tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. 4) Berdasarkan pengujian antara data sosio-demografis dan kesejahteraan

subjektif, ditemukan bahwa data sosio-demografis masa kerja dan lama bekerja di perusahaan responden tidak terbukti berhubungan dengan kesejahteraan subjektif.


(2)

88

5) Berdasarkan perhitungan statistik, karyawati di PT. Bank “X” lebih banyak mengalami konflik yang disebabkan oleh waktu.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan peneliti guna memberi manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoretis

1) Bagi peneliti lain yang berminat mendalami hubungan antara konflik kerja dan kesejahteraan subjektif, disarankan untuk menambah jumlah responden. Selain itu, ada baiknya memerkaya hasil analisis dengan tidak hanya melihat total skor namun juga bagaimana arah konflik kerja-keluarga dan bentuk konflik itu sendiri memengaruhi kesejahteraan subjektif responden dikarenakan dalam penelitian hanya menggunakan total skor.

2) Bagi peneliti lain yang ingin meneliti kembali mengenai hubungan konflik kerja-keluarga dan kesejahteraan subjektif, disarankan untuk memerkaya data sosio-demografis yang akan dijaring, seperti bagaimana responden mengisi waktu luang ketika tidak ada tuntutan pekerjaan yang mendesak atau jumlah waktu yang responden habiskan di pekerjaan dan di rumah, pendapatan responden agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih kaya, karena dalam penelitian ini data-data tersebut tidak dijaring.


(3)

89

5.2.2 Saran Guna Laksana

1) Bagiwanita bekerja di PT. Bank “X” yang menghayati konflik kerja-keluarga yang tinggi, disarankan untuk mulai mencoba menata jadwal kerja dengan waktu yang diluangkan untuk keluarga sehingga keduanya tidak berbenturan. Sedangkan untuk wanita bekerja di PT. Bank “X” yang menghayati kesejahteraan subjektif yang rendah, disarankan untuk menyempatkan waktu untuk melakukan kegiatan relaksasi atau melakukan kegiatan yang diminati sehingga dapat mengalami perasaan yang positif yang akan mengarah pada rasa kepuasan terhadap hidup.

2) Bagi wanita bekerja di PT. Bank “X” yang belum menikah, dapat melakukan persiapan diri terlebih dahulu sebelum menjalani dua peran yang berbeda dengan cara mengatur jadwal diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tuntutan pekerjaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alteza, Muniya & Lina Nur Hidayati. 2012. Work-Family Conflict pada Wanita Bekerja: Studi Penyebab, Dampak dan Strategi Coping.

Diener E., Suh E.M, Lucas R.E., Smith H.L. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin, 125 (2). 276-302.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Frone, Michael R., Marcia Russell and M. Lynne Cooper. 1997. Journal of Occupational and Organizational Psychology Volume 70 Issue 4 (pg. 325-335). UK: The British Psychological Society.

Gita, Chrysentia. 2013. Studi Deskriptif Mengenai Work Family Conflict Pada

Karyawati Yang Sudah Berkeluarga Di Bank “X” Jakarta. Skripsi.

Universitas Kristen Maranatha.

Greenhaus, J.H & Beutell, N.J. 1985. Sources of Conflict Between Work and Family Role. Academy of Management Journal, 10, 76-88.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education, 3rd edition. London: Mc.Graw-Hill.

Kaplan, Robert M. dan Dennis P. Sacuzzo. 2008. Psychological Testing: Principles, Applications, and Issues (Sixth Edition). Belmont. Thomson Wadsworth.

Korabik, Karen, Donna S. Lero and Denise L. Whitehead. 2008. Handbook of Work-Family Integration. New York: Academic Press.

Lyubomirsky, S. & Dickerhoof, R. 2005. Subjective Well Being Dalam Worell, J.

(Eds). Handbook of Girls and Women’s Psychological Health. NC: Oxford


(5)

Matlin, Margaret W. 1987. The Psychology of Women. Thomson Learning.

Maslow, Abraham H. 1993. Motivasi dan Kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ningsih, Didin Agustin. 2013. Subjective Well Being Ditinjau dari Faktor Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan). Jurnal Online Psikolog, 1 (2), 581-603.

Papalia, Diane E, Harvey L. Sterns, Ruth Duskin Feltman, Cameron J. Camp. 2007. Adult Development and Aging, 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Pavot W. & Diener E. 2008. The Satisfaction With Life Scale and The Emerging Construct of Life Satisfaction. Journal of Positive Psychology, 3, 137-152.

Seligman, Martin E.P. 2005. Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. Bandung: Penerbit Mizan.

Snyder, C.R & Shane J. Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.

Subandi, Idi dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono.2012. Statistika untuk Penelitian.Bandung: Alfabeta.

Turner, Jeffrey S. and Donald B. Helms. 1995. Lifespan Development. California: Harcourt Brace College Publishers.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Bull, Torill. 2010. Combining employment and child care: the subjective well-being of single women in Scandinavia and southern Europe. (Online). http://eng.kilden.forskningsradet.no/c52778/nyhet/vis.html?tid=74562 (diakses 10 November 2013).

Fakultas Psikologi. 2009. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Nirwana, Sitepu. 1994. Analisa Regresi dan Korelasi. Bandung: Usaha Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistika FMIPA Universitas Padjajaran.

Perempuan Bekerja Meningkat, Sambal Instan Muncul.

http://the- marketeers.com/archives/perempuan-bekerja-meningkat-sambal-instan-muncul.html (diakses tanggal 5April 2013)

Profil Bank BNI. www.bni.co.id(diakses tanggal 19 Mei 2014)

Problem yang Dihadapi Perempuan Bekerja. 2012. Jakarta: Female Kompas.com. htpp://female.kompas.com/read/2012/01/30/10425247/5.Problem.yang.Di hada%20pi.Perempuan.Bekerja (diakses tanggal 10 Desember 2013)

Sarwono, Jonathan. 2006. Korelasi.


Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Dengan Stres Kerja Pada Wanita Bekerja

11 127 100

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN HARDINESS DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Hardiness dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Wanita Bekerja.

0 14 10

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN HARDINESS DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Hardiness dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Wanita Bekerja.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KONFLIK PERAN GANDA PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Bekerja.

0 2 17

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KONFLIK PERAN GANDA PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Bekerja.

0 3 18

PENDAHULUAN Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Bekerja.

0 2 8

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Dengan Stres Kerja Pada Wanita Bekerja.

0 3 16

PENDAHULUAN Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Dengan Stres Kerja Pada Wanita Bekerja.

0 1 9

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Dengan Stres Kerja Pada Wanita Bekerja.

0 2 25

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KARYAWAN PERUSAHAAN LEASING DI LEMBAGA KEUANGAN.

0 0 16